Soraya tersenyum melihat Sadewa masuk ke dalam ruangan dengan membawa satu bungkus bubur yang dia beli di luar gedung fakultas. Sebelumnya Soraya sudah bilang kalau Sadewa nggak perlu repot-repot buat beliin dia makanan, tapi karena Sadewa keras kepala jadi lima belas menit yang lalu dia keluar dari ruang kesehatan dan sekarang sudah tiba disini.
"Sumpah, Sa, lo nggak perlu beliin gue bubur. Gue nggak apa-apa. Nanti gue di cap jelek sama kating-kating disini lagi. Ntar pada bilang 'dih manja banget nih maba pake dibawain bubur segala'" ujar Soraya melakukan aksi protesnya saat Sadewa duduk di samping tempat tidurnya.
"Santai, Ray. Masa mau gue biarin aja? Perut lo kosong kan pasti makanya lo pingsan," balas Sadewa lalu dia membukakan bungkus buburnya dan memberikan kepada Soraya yang sudah dalam posisi duduk.
"Gue masih boleh ikut acara kan abis ini?" Soraya bertanya sambil memakan bubur yang ada di pangkuannya.
"Boleh aja kalo masih kuat. Cuma ceramah ini sih nggak ada kegiatan outdoor-nya." Jawab Sadewa. Diam-diam sejak tadi Sadewa melirik kearah wajah Soraya dan tangannya sungguh gatal untuk mengusap sisa bubur yang tertinggal di samping bibirnya.
"Nanti baliknya bareng gue ya?" Sadewa berbicara kembali berusaha mengalihkan perhatian Soraya saat tangannya mulai beranjak menuju ujung bibir Soraya untuk mengusap sisa buburnya.
Soraya terlihat terperangah menyadari aksi Sadewa barusan, ekspresi wajah pongo-nya pun nggak bisa di kontrol lagi dan pipinya menghangat. "Hah? Kenapa, Sa?"
Sadewa juga jadi salah tingkah sendiri. Apalagi saat Soraya menoleh dan menatap kekedua matanya. Dia mengusap tengkuknya yang memerah itu sambil kembali berkata, "Balik bareng gue, Ray. Nanti tunggu aja di halte fakultas yang udah rusak itu, gue jemput disana."
"Nggak mau, ah! Nanti penyamaran gue ketauan lagi. Gue kan nggak mau keliatan seumuran sama lo. Nanti dikirannya ada apa-apa lagi sama lo. Terus gue langsung gibahin satu kampus dan dibenci sama degem-degem lo karena maba macam apa yang bisa pulang bareng sama kating yang di gandrungi satu fakultas ini?" cerocos Soraya.
Memang dirinya gap year 2 tahun dan baru memutuskan kuliah tahun ini saat kembali lagi ke Jakarta. Dan kebetulan dia diterima di universitas dan fakultas yang sama dengan Sadewa dan Brian. Tapi, dia sudah bilang kepada Sadewa bahwa dia nggak mau ketahuan bahwa identitasnya ini dua tahun lebih tua dari mayoritas maba di kampusnya ini dan tetap memerankan peran sebagai yang lebih muda jika bertemu Sadewa dan Brian jika mereka saling berpapasan.
"Nggak bakal ada yang nyadar, Ray."
"Ada, Sadewa. Seragam gue putih hitam dan lo pake kaos panitia. Masa nggak ada yang nyadar?"
"Nggak ada, Raya. Percaya deh sama gue. Orang itu juga halte yang udah nggak di pake jadi sepi biasanya."
"Nggak mau, Kak. Raya pulang sendiri aja,"
Sadewa tertawa kecil. "Sialan, lo. Nggak usah berlagak lebih muda dari gue deh," ujarnya sambil mencubit pipi Raya gemas.
"Ish! Sakit tau!" Soraya mengusap-usap pipinya. "Pokoknya gue balik sendiri. Titik. Nggak boleh bantah."
"Yang ada maba nggak boleh ngebantah katingnya, Soraya." Sadewa tersenyum meledek lalu mengusap rambut Soraya.
"Udah sana hus-hus balik sana. Jangan ganggu gue nanti malah pingsan lagi," Soraya mendorong Sadewa jauh-jauh darinya dan hanya mendapati suara tawa dari orang yang didorong.
Sadewa beranjak dari kursinya lalu berkata, "Gue ada di pos satpam setelah acara nanti, kali aja lo berubah pikiran." ucapnya memberikan senyuman terakhir sebelum berjalan keluar ruang kesehatan.
Soraya menghela napas. Bukannya nggak mau, tapi dia masih ada misi yang harus diselesaikan setelah acara ospek berakhir hari ini.
Dan satu lagi, sebenarnya pingsan tadi adalah skenario yang dia buat untuk mengambil perhatian Brian. Kebetulan wajahnya yang memang sudah pucat dari sananya membantu semua proses pingsannya itu berjalan dengan lancar.
Karena dia tahu, dari jauh Brian memerhatikannya jadi mungkin pingsan adalah pilihan yang tepat untuk benar-benar mendapat perhatian dari Brian.
Iya, Soraya bisa segila itu untuk mendapat perhatian temannya kembali.
.
.
Saat para peserta ospek sudah dibubarkan, Soraya masih sibuk kesana kemari mencari sosok panitia yang sudah dicap galaknya oleh para maba di lapangan. Sejak tadi sebelum acara selesai, Brian sudah nggak kelihatan disekitaran tempat acara alias menghilang entah kemana.
"Raya, lo nggak balik?" Namira, salah satu teman dari kelompok ospek Soraya menghampirinya.
"Eh, Nam. Belum nih, gue lagi—ehm lagi nunggu di jemput." balas Soraya beralasan. Bodohnya, mereka lagi berdiri ditengah lapangan yang bukan tempat ideal untuk nunggu dijemput.
"Di jemput siapa sih, Ray, di tengah lapangan begini? Lagi nyari seseorang ya lo? Jangan-jangan kating yang gendong lo tadi ya?" goda Namira sambil menaik-naikan kedua alisnya.
Soraya langsung menggeleng untuk mengelak. Misi dia mencari Brian nggak boleh ketahuan siapa-siapa. "Enggak! Nga—ngapain juga coba? Udah ya, Nam. Gue balik dulu nih udah di sms supir gue udah di depan!" Soraya menunjukan layar ponselnya yang mati itu kepada Namira sebelum ia terbirit lari ke depan lobi.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya dan hasil untuk menemukan Brian pun nihil. Isi di depan lobi mayoritas adalah peserta ospek dan nggak ada tanda-tanda seseorang berfigur Brian terlihat disana.
Soraya berjalan lagi, masih belum menyerah untuk menemukan Brian. Dia berjalan menuju parkiran motor dan masih belum menemukannya. Begitu juga parkiran mobil. Tapi pada saat dia mendekati ujung parkiran mobil, dia mendengar suara petikan gitar dan kepulan asap dari samping mobil SUV.
Berhubung Soraya memiliki rasa ingin tahu tingkat kasasi alias kepo banget, dia berjalan menuju si sumber suara.
Sepertinya memang dewi fortuna sedang berpihak sama dia karena yang ada dibalik mobil adalah Brian yang sedang duduk diatas kursi panjang bersama gitar dipangkuannya dengan sebatang rokok menyala diantara jemarinya dan segelas kopi hitam yang terduduk manis di sampingnya.
"Kak, saya kesasar nih." Soraya bersuara membuat Brian berhenti memetik gitarnya. Brian mendongak melihat Soraya berdiri tak jauh darinya.
Dia masih termangu melihat Soraya yang berdiri disana sebelum akhirnya mematikan rokoknya dan beranjak dari tempat duduknya.
"Boleh tolong antar saya ke gerbang fakultas? Saya nggak tau jalan, Kak." Soraya beralibi kembali berharap kali ini cara yang digunakan bisa membuat Brian setidaknya bertahan selama tiga menit disisinya. Kartu dia sebagai 'adik tingkat' Brian masih menjadi strategi utama untuknya.
"Lo bisa sampai disini harusnya bisa juga dong cari jalan balik ke tempat semula," jawab Brian ketus.
"Namanya juga maba, Kak. Harap maklum, belum familiar sama lingkungannya." balas Soraya cengengesan. "Disini juga nggak bisa pake GPS. Google Maps-nya belum masuk sampe area fakultas, Kak." tambahnya sambil menyengir lebar.
"Yaudah, ayo. Ikut gue."
"Yes!" Soraya berseru kesenangan dan langsung mendapat tatapan sinis dari Brian yang membuat dia bungkam seketika.
Soraya berusaha berjalan beriringan dengan Brian tapi langkahnya yang terlalu besar itu membuat Soraya sulit menyamainya. Apalagi, Brian jalan cepat bukan seperti orang santai sedang berjalan.
"Bri, jalannya pelan-pelan dong," pinta Soraya namun nggak ditanggapi sama sekali oleh Brian. "Btw, gue juga satu jurusan sama lo loh, Bri. Ekonomi pembangunan. Mohon bantuannya yaaa, Kak." lanjut Soraya dengan nada jahilnya dan cengiran kudanya yang nggak juga dilewatkan meski Brian saat ini sedang memunggunginya.
"Bantuin gue ya nanti, Bri? Kalo ada yang susah atau gue nggak paham? Kayak waktu dulu kita SMA, Bri. Lo selalu—"
Brian menghentikan langkahnya membuat Soraya yang ada dibelakangnya menabrak punggungnya. "Aw!" Soraya mengusap-usap dahinya.
Brian memutar balikan tubuhnya untuk menghadap Soraya. Wajahnya sudah merah padam dengan ekspresi kesal nggak karuan.
"Lo bisa stop ngikutin gue nggak sih!?" bentak Brian di depan wajah Soraya. "Stop ngikutin gue dimana gue berada karena itu ganggu! Lo kayak begini sama aja nyiksa gue, Raya!"
"Ya, sama dong. Lo cuekin gue juga itu nyiksa buat gue, Brian." balas Raya dengan nada dan ekspresi yang meniru Brian.
"Gue serius, Raya." Brian menatap Soraya nanar lalu menyisir rambutnya frustasi.
"Gue juga, Brian." Soraya menangkat satu alisnya menantang Brian balik. "Sekali aja, Bri, kasih gue atau bahkan diri lo sendiri kesempatan buat kita bisa—"
"Nggak, Raya. Gue nggak mau. Apa yang udah gue lakuin waktu itu, gue nggak akan memberikan lo atau diri gue sendiri kesempatan kedua untuk membangun apa yang udah kita bangun dulu. Jadi gue mohon dengan sangat, tolong Raya, if you still love me as your best friend, please, leave me alone. I beg you," Brian menghembuskan napas beratnya lalu menunduk sambil memejamkan matanya menolak untuk melihat Soraya.
Melihat Brian sudah seperti ini rasanya Soraya juga nggak bisa nggak nurut. "Fine." Ucap Soraya. "Gue turutin kata-kata lo hari ini, Bri. Tapi gue nggak janji apakah besok-besok gue bisa melakukan hal yang sama atau enggak."
Dengan berat hati, Soraya berjalan meninggalkan Brian, disana, di lapangan parkir bersama dengan gitar dan hatinya yang tertinggal disana.
===