Eempat hari Brian sudah mangkir dari latihan bersama Enam Hari. Alasan klasik pun dibuatnya, katanya sakit diare dengan skenario yang dia buat sendiri. Brian jadi cemen, dia takut banget kalau dia bakal dipertemukan lagi sama Soraya kalau datang ke tempat latihan.
Masih ada sejuta pertanyaan berputar di kepala Brian tentang kehadiran Soraya kembali disini. Belum lagi Sadewa yang tiba-tiba datang bersama Soraya kemarin saat latihan band yang berhasil bikin pikiran Brian semakin uring-uringan. Sebenarnya yang bikin dia penasaran adalah apa hubungan Sadewa sama Soraya? Tapi kalau melihat dari gelagat Sadewa kepada Soraya, mereka bukan cuma teman biasa. Apalagi kemarin Brian sempat menangkap Sadewa mengusap kepala Soraya dengan perhatian.
Kenapa emangnya, Bri? Cemburuuu lo?
Ponselnya bergetar membuyarkan seluruh pikirannya, melihat beberapa pesan muncul di box notifikasi.
Sadewa : jangan lupa bri rapat hari ini, ospek bentar lg mulai jgn mangkir terus
Sadewa : ngga ada raya kok hari ini :) jadi lo aman
Kalau Brian bisa mengubur dirinya saat ini juga, mungkin dia akan langsung melakukannya. Rasa panik dan gelisah menyelimutinya saat melihat pesan terakhir yang dikirim oleh Sadewa untuknya. Nggak mungkin Raya cerita yang sebenarnya sama Sadewa kan?
Brian : hah? emang dia knp sama gue?
Sadewa : gak usah boonglah bri buktinya lo kemaren abis latian langsung cabut
Sadewa : sampe mangkir latian terus takut ketemu raya ya lo?
Sumpah demi alam semesta! Raya nggak mungkin ceritain yang sebenarnya ke Sadewa kan? Rahang dia nggak mungkin seenteng itu kan buat ceritain seluruhnya?
Brian : sumpah sa gue gak ngerti maksud lo apa
Brian : emang dia bilang apa ke lo sampe lo berasumsi gue takut ketemu dia?
Pura-pura bodoh memang jalan yang terbaik untuk menjawab rasa penasaran Brian.
Sadewa : kata raya pas enam hari terakhir manggung dia gak sengaja numpahin kopinya ke baju lo
Sadewa : terus lo marah-marah krn raya gak bisa ganti baju lo trus lo malah balik
Sadewa : beneran emang dia numpahin kopinya ke baju lo? gila, baju lo putih pula hari itu.
Napas lega pun dihembuskannya. Soraya benar-benar memainkan perannya dengan baik. Tanpa Brian meminta pun dia sudah mengikuti ke dalam alur yang sudah Brian bangun dari awal.
Brian : hmmm iye iye. jadi sebenernya lo bawa raya waktu kita terakhir manggung?
Sadewa : iya, sebenernya sekalian mau gue kenalin tapi dia pamit pulang duluan gara-gara udh kemaleman
Brian : oh gitu. ya udh gue mandi dulu trus lgsg cabut ke kampus ntar. rapat disana kan?
Sadewa : iya buru kesini udh pada ngumpul
.
.
Dua hari yang lalu, ospek universitas telah selesai dilakukan. Kini tiba saatnya ospek fakultas dimulai. Brian didapuk menjadi petugas kedisiplinan dan kini sudah berdiri didepan portal masuk fakultas dengan mengenakan jaket almamater kebanggaan sambil melihat mahasiswa baru yang datang dengan atribut yang dikenakan mereka. Sekitar dua menit lagi, portal akan ditutup dan bagi peserta ospek yang telat akan ditahan sementara diluar.
"Dua menit lagi portal di tutup! Hitungan telat dimulai!" Brian berkumandang membuat para peserta ospek alias mahasiswa baru yang berasal dari fakultas ekonomi berjalan berhamburan dengan ekspresi panik.
"Lima!"
"Empat!"
"Tiga!"
"Dua!"
"Satu! Ya, yang telat berdiri di depan saya!"
Portal di tutup dan ada beberpa mahasiswa baru yang gagal datang tepat waktu. Partner jaga Brian hari ini adalah Hani dengan tampang judesnya itu membuat para peserta sudah enek sendiri melihatnya.
Para peserta ospek berbaris dengan rapih sesuai dengan instruksi dari Hani. Brian diminta Hani untuk membantunya memasangkan pita kuning di lengan para peserta yang telat sambil bertanya alasan mereka kenapa telat.
"Bri, tolongin ya lo pasangin dari belakang." Ujar Hani sambil memberikan beberapa pita kepada Brian.
Brian berjalan belakang dan kakinya melemas seketika. Lagi-lagi semesta memang sedang mempermainkan hidupnya. Tubuhnya terasa kaku tidak bisa digerakan ketika dia menatap peserta paling belakang yang sedang berbaris sambil mengipasi wajahnya yang sudah bercucuran keringat. Selama beberapa detik Brian menatap perserta tersebut sambil membangun nyalinya untuk berjalan kedekatnya karena saat ini kalau dia bisa lari jauh-jauh dari sini tanpa dilabeli sebagai orang pengecut maka dia akan melakukan itu juga sekarang.
Nggak perlu diberitahu pun pasti sudah tahu peserta paling belakang yang dimaksud Brian itu adalah Soraya. Iya, Soraya yang seumuran dengan Brian yang harusnya, yang setahu Brian, dia sudah mulai kuliah sejak dua tahun yang lalu.
Brian mendekati Soraya dengan memasang wajahnya yang tidak ramah sama sekali ciri khas para petugas kedisiplinan.
"Kenapa telat?" tanya Brian dingin pura-pura nggak kenal dengan Soraya sambil perlahan menarik lengannya untuk menempelkan pita kuning di lengan bajunya.
"Tadi kejebak macet, Kak." jawab Soraya datar dan juga tidak melihat kearah Brian. Ternyata Soraya juga melakukan hal yang sama. Pura-pura nggak kenal dengan Brian dan dia bertingkah seperti orang yang lebih muda dari Brian meski pada kenyataannya mereka lahir pada tahun yang sama.
"Bisa kan berangkat lebih pagi? Udah tau macet, harusnya berangkat lebih pagi." Balas Brian mencoba untuk terdengar tegas di mata Soraya.
Meski keduanya tahu, mereka seperti ini hanya sebuah peran tidak nyata yang harus mereka mainkan di kehidupan nyata. Seperti Brian saat ini pura-pura galak kepada Soraya hanya sekedar formalitas agar tidak terlihat memerlakukan Soraya secara khusus dan Soraya memanggil Brian dengan embel-embel 'kak' juga hanya semata-mata sebagai adik kelas yang harus menghormati kakak kelasnya.
"Maaf, Kak." jawab Soraya lalu menunduk.
"Nggak usah nunduk, kamu salah harusnya berani ngaku. Besok, jangan diulang lagi. Setelah ini kamu dapat konsekuensi karena telat,"
"Baik, Kak. Siap."
Brian berjalan meninggalkan Soraya dan beralih kepada perserta yang lain. Dia masih bisa merasakan Soraya yang kini tengah menatapnya dari belakangnya. Dari ekor matanya Brian bisa melihat ada terbesit sedikit rasa kecewa yang terpancar dari mata Soraya. Ya, mungkin karena Brian sudah nggak memperlakukan Soraya seperti dulu lagi.
Entah apa yang akan Brian lakukan setelah ospek ini berakhir. Dia harus menerima kenyataan bahwa Soraya berada di satu kampus bahkan satu fakultas yang sama dengan dia. Belum lagi kalau mereka bakal berakhir di jurusan yang sama itu tandanya mereka akan sering bertemu. Nggak mungkin Brian melakukan tindakan diluar masuk akal dengan mengundurkan diri dari jurusan. Gimana nasib masa depannya? Yang ada dia malah dikatain bodoh sama teman-temannya sendiri.
Rasanya saat ini Brian sedang dihukum oleh alam semesta. Kembali terkurung dalam rasa takutnya, Brian lagi-lagi harus menyiapkan segala cara untuk keluar dari lubang rasa takutnya atau bahkan menghindar saja sudah cukup baginya. Seperti dia saat ini sedang diminta untuk menghadapi Soraya dan menyelesaikan semua masalah yang dia punya dengannya.
Tapi, apa bisa?
Brian selama ini selalu menghindar dan nggak punya nyali sama sekali untuk menghadapi Soraya.Pengecut, Brian memang melabeli dirinya sendiri dengan adjektiva tersebut.
Saat ini para perserta yang telat sedang dibawa ke lapangan untuk menerima hukuman. Brian tadi sempat pergi ke toilet sebelum akhirnya dia kembali ke pinggir lapangan dimana para peserta yang telat sedang diberi sanksi skot jump di depan teman-temannya yang tidak telat menontoni mereka.
Mata Brian mulai memandangi perserta yang sedang disanksi dengan wajah was-was karena dia sebetulnya dari awal para panitia sudah berjanji untuk tidak memberikan hukuman fisik seperti seperti ini. Sampai akhirnya matanya mendarat tepat pada Soraya yang berada di barisan belakang dengan wajahnya sudah pucat pasih dan kakinya mulai bergetar.
Brian menatap dengan kesal Hani yang masih menghitung jumlah skot jump yang harus mereka selesaikan sebelum bentakan Brian membuat Hani berhenti berhitung dan semua peserta berhenti melakukan gerakannya.
"Hani stop! Udah dibilang dari awal, gak boleh ada hukuman fisik!" bentak Brian dan saat itu juga dia sudah menemukan Soraya tergeletak jatuh di lapangan. Brian menatap kesekeliling lapangan sambil mengatur napasnya untuk menahan emosinya, fokus para panitia yang sedang bertugas kini tertuju padanya yang sudah siap meledak.
“Nggak harus dengan fisik kalo lo mau mendidik adik tingkat lo.” ujar Brian dengan sangat dingin sebelum dia buru-buru dia mengangkat Soraya dan segera membawanya ke ruang kesehatan.
Brian yang sedang menggendong Soraya pun akhirnya menjadi tontonan para panitia juga pesrta ospek yang hadir. Semua mengira bahwa maba yang sedang digendong oleh Brian pasti memiliki hubungan khusus makanya bisa sampai dibela seperti itu.
Gue terpaksa, demi alam semesta, kalau dia nggak sepucet itu dan kakinya nggak geter-geter kayak tadi gue nggak bakal bentak Hani kayak tadi, ujar Brian dalam hati berharap dia bisa menjelaskan hal itu kepada seluruh pasang mata yang menatapnya curiga.
Sedangkan Hani, yang dibentak oleh Brian hanya bisa termangu bingung dan memberhentikan hukuman yang sedang di berikan kepada peserta yang telat.
.
.
Ruang kesehatan sudah bersih dari panitia yang hadir untuk melihat kondisi Soraya dan kini hanya ada Brian dan dia di dalam ruangan. Brian memerhatikan wajah Soraya yang belum berubah sedikit pun sejak terakhir kali dia benar-benar melihatnya. Sebentar lagi dia harus keluar sebelum Soraya bangun dan kembali mengajaknya berbicara.
Rasanya tadi dia hampir mati melihat kondisi wajah Soraya yang pucat. Untuk tadi, Brian benar-benar nggak bisa diam kalau melihat kondisi Soraya yang sudah seperti itu. Apalagi dia tahu bahwa Soraya nggak bisa menerima hukuman fisik berat seperti tadi. Melihat Soraya masuk rumah sakit adalah hal terkahir yang ingin Brian lihat.
Mengingat dia sudah terlalu lama duduk di samping Soraya, Brian beranjak dari kursinya menuju pintu keluar.
"Brian, berhenti."
Brian menghentikan langkahnya dan menengok kebelakang.
"Apa gue harus pura-pura tidur dulu biar bisa lihat lo tenang duduk di samping gue? Apa gue harus pingsan dulu biar bisa lo perhatiin?" Soraya bersuara.
Brian nggak menyahut dan mulai memutar kenop pintunya.
"Jangan jadi pengecut, Brian. Gue cuma mau ngorbol sama lo sebagai teman lo," balas Soraya.
"Gue nggak bisa, Raya, dan lo tau kenapa."
"Sebentar aja, Brian." Soraya memohon.
Brian hanya menggeleng pelan. Meski dalam hatinya dia ingin sekali duduk disamping Soraya mendengarkan seluruh cerita yang dia lewati selama dua tahun ini.
"Emangnya lo nggak punya pertanyaan buat gue, Bri? Nggak ada yang mau lo tanyain dari gue? Kenapa gue bisa di Jakarta lagi? Kenapa gue bisa ada di kampus lo dan satu fakultas sama lo sekarang? Kenapa gue bisa kenal sama Sadewa yang ternyata temen ngeband lo? Lo nggak punya perasaan penasaran sama sekali, Bri?"
Ada, Raya, banyak.
Brian lagi-lagi hanya menggeleng. "Nggak ada, Ray. Untuk dapat seluruh jawaban dari rasa penasaran gue pun rasanya udah nggak pantes,"
"Bri, stop memperlakukan diri lo menyedihkan. Gue nggak ap—"
"Lo istirahat yang cukup. Acara ospek masih panjang," ujar Brian sebelum berjalan keluar ruangan dengan menghela napas beratnya. Yang ia tahu setelah ini, hari tiap harinya akan semakin sulit dilewatinya.
Brian menoleh kesamping mendapati Sadewa sedang berlari kearahnya.
"Soraya ada di dalem? Dia nggak kenapa-napa kan?" tanya Sadewa yang sarat akan kekhawatiran.
Brian menangguk. "Nggak apa-apa kok. Udah bangun tuh anaknya. Temuin sana," balas Brian menepuk bahu Sadewa pelan sebelum pergi meninggalkannya di depan ruang kesehatan.
Setidaknya, Ray, sekarang sepertinya ada orang yang bersungguh-sungguh buat jagain lo dengan baik dan benar.
===