Dira menenggak secangkir kopi yang baru saja dihidangkan di depannya. Kelas di Akademi sudah selesai, lumayan sore. Tapi sepertinya masih ada waktu untuk mencari rumah Zali yang sebenarnya berada jauh dari akademi dan asrama. Sekitar 1 Jam untuk sampai ke Rumah Zali di Sydney ini.
Dira meluangkan sedikit waktunya untuk sekedar menenggak secangkir kopi yang hangat dan pahit. Dengan bantuan sebuah kertas yang ditulis oleh Davin, Dira tidak yakin bisa menemukan Rumah Zali. Tapi semoga saja, itu dapat membantunya. Dira bisa berbicara untuk mengetahui di mana letak perumahannya, dan kalau nomor Rumah, Dira bisa melihat langsung di depan pintu setiap Rumah.
Setelah menghabisakan secangkir espresso, Dira melangkahkan kakinya berjalan keluar kafetaria, ia menuju stasiun karena jaraknya yang jauh, Dira lebih memilih untuk menaiki sebuah kereta yang akan mengantarnya langsung ke kawasan perumahan tempat Zali tinggal, ya walaupun tetap saja Dira harus berjalan kaki terlebih dulu untuk sampai di komplek perumahannya.
Sambil berjalan kaki, Dira memperhatikan sebagian sela-sela kota Sydney yang indah ini. Kota yang dipenuhi oleh sebuah Luka untuk Dira karena di kota ini Dira menghabisakan isi buku biru Zali yang berisi jika Zali mengidap gagal hati. Dan itu sukses membuat Dira sering melamun di asrama.
Dira berhenti tepat di depan Rumah khas Australia, di depan pintunya terpampang nomor 44 dan itu artinya, ini Rumah Zali.
“Excuse me” sambil mengetuk pintu, Dan memencet bel Rumah.
Setelah dua kali memencet bel Rumah, pintu Rumah itu langsung terbuka. Menampilkan seorang wanita yang menggunakan baju hangat dan juga kupluk di kepalanya.
“Who are you looking for?”
“Is this really Zali’s house?”
“Yes right”
“I looking for Zali”
“Wait a minutes”
Dira tetap berdiri di depan Rumah itu, sebentar lagi Dira bertemu dengan Zali. Iya, sebentar lagi. Hanya tinggal menunggu Zali keluar dari Rumahnya.
Wanita tadi siapa ya, Dira seperti melihat wanita itu, tapi di mana?
“Dir?” Pada saat Dira sedang bergulat pikirannya, tiba-tiba ada suara seorang laki-laki yang memanggilnya dari arah belakang.
“Zali?”
Semesta, terima kasih!
“Kamu di sini?”
“Iya”
Semesta, kenapa Zali tampak berbeda. Rambutnya sedikit pirang, badannya sedikit kurus, penampilannya sudah seperti anak skate Australia. Karena saat ini Zali datang dengan membawa papan skate di tangannya.
“Masuk”
Seorang wanita yang tadi menyapa Dira, ternyata sedang menonton Dira dan Zali dari balik pintu.
Dira mengikuti langkah Zali, ia mengikuti Zali dari belakang tubuh tinggi kurus itu.
“Ini Zila”
Iya, kenapa Dira bisa lupa pada Zila. Ini kan wanita yang sempat menjadi pedebatan hebat Zali dan Dira. Walaupun sebenarnya, Zila ini adalah saudara kembar Zali.
“Duduk dulu, aku panggil bunda” ucap Zila pada Dira. Sementara Zali, ia duduk di samping Dira.
“Apa yang membawa kamu sampai ke Sydney” pertanyaan Zali membuat Dira tersadar.
“Hatiku tahu kamu ada di sini”
“Aku sudah lupakan semuanya, bahkan soal hatimu sudah bukan urusanku”
“Tetap dan nggak akan pernah berubah, hati ini Isinya anak laki-laki yang pemberani”
“Aku sudah menyerah sejak mitologi itu menjadi kenyataan”
“Zal—“
“Kamu lulus seleksi?”
“Aku ada di sini”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Satu bulan, satu hari”
“Hey, Putrinya Zali. Kamu ada di sini?” suara itu adalah suara bunda.
Bunda baru saja turun dari tangga Rumahnya, bersama dengan Zila juga tentunya. Mereka langsung duduk di samping Dira. Bunda yang tampak senang, dan Zila juga sedari tadi tetap menampilkan senyumannya yang manis.
“Kamu kenapa bisa ada di sini?” Tanya bunda pada Dira.
“Ada program sekolah bunda, Alhamdulillah juga Dira terpilih untuk mewakili sekolah pergi ke sini”
“Wah, hebat sekali kamu. Oh iya nak, ini Zila adiknya Zali. Orang yang sempat kamu cemburui dulu”
Ya Ampun. Bunda ternyata masih ingat kejadian itu, Dira jadi malu saat disenyumi oleh Zila.
“Bun, Zali ke kamar ya” Ucap Zali pada bundanya.
Kenapa Zali pergi? Kenapa juga Dira tidak menyadari jika sejak tadi Zali sedikit dingin daripada biasanya.
“Bunda, Zali sakit?” Terpaksa, Dira mengeluarkan pertanyaan itu untuk mengetahui kejelasannya.
“Iya, sekarang dia lagi dibujuk sama ayah untuk transplatasi hati, pendonornya juga sudah ada. Tapi Inilah Zali, dia itu keras kepala. Sekali tidak,ya tetap tidak” Kali ini bukan bunda yang menjawab pertanyaan Dira. Tapi Zila. Kembarannya Zali.
“Kondisinya?”
“Seperti itu, dia lebih banyak berdiam diri di kamar dan kalau sudah berada di titik terjenuhnya, dia pergi keluar Rumah Buat bermain skate. Setelah itu pulang dan berdiam diri di kamar lagi”
Semesta, kenapa Zali seperti itu, kenapa Zali tidak menyanyangi hatinya. Hatinya sudah gagal fungsi, kini otaknya juga seperti kehilangan akalnya.
“Bunda pamit ke dapur sebentar ya, kalian lanjut ngobrolnya aja”
Selanjutnya bunda pergi, dan hanya tersisa Dira dan Zila di Ruangan Tamu ini.
“Aku senang bisa bertemu dengan seseorang yang kakakku cintai, sampai-sampai hatinya tidak mau diganti karena terlalu takut jika hatinya diganti, isinya nanti bukan namamu lagi”
Apa? Jadi Dira adalah alasan kenapa Zali tidak mau melakukan transplatasi hati? Semesta, Dira ingin menangis di sini. Kenapa Zali menjadikan Dira sebagai alasannya. Kenapa ini begitu rumit dan, Dira benar-benar ingin menangis karena Zali benar-benar kehilangan akal sehatnya karena Dira.
“Aku titip ini, ini alamatku di Sydney dan Akademi tempat aku melangsungkan program. Barangkali, Zali mau berkunjung dan aku bisa membujuk Zali untuk melakukan trasplatasi hati”
Dira memberikan sebuah kertas yang sudah ia tulis sejak di kafetaria tadi siang.
“Dan” Dira mengambil sesuatu dari dalam tasnya, buku biru Zali. Buku ini harus dikembalikan kepada pemiliknya karena ini adalah milik Zali. Dira hanya bertugas untuk membaca, bukan memiliki. “Tolong, ini milik Zali. Kembalikan pada dia”
Sejak tadi Zali pergi ke kamar, Dia tidak kembali lagi hingga detik ini. Hingga bunda datang membawa camilan, Zali tak kunjung keluar lagi dari dalam kamarnya. Sepertinya benar, kehadiran Dira ke sini tidak sama sekali diinginkan oleh Zali.
“Kalau gitu, aku permisi. Aku harus kembali ke Asrama sebelum jam 7 malam”
“Kamu ke Asrama naik apa?”
“Kereta”
“Biar diantar sama supir kami ya”
“Aku bisa sendiri, makasih banyak untuk tawarannya”
Dira berpamitan pada Zila dan bunda. Setelah itu Dira keluar Rumah, berjalan sendirian menyusuri jalanan Sydney yang ternyata dilanda rintikan hujan salju sore ini.
Semesta, Kisahnya sudah selesai belum? Dira sudah lelah mengikuti semuanya. Kisahnya tidak ada yang membahagiakan. Semuanya menyedihkan. Dira ingin pulang. Dira ingin menangis dipelukan ibu dan menjatuhkan air matanya tanpa penghambat, seperti rintikan air hujan ini.
***