Dan, hari ini sudah dua jam pelajaran berlalu, Adit terus menatap pintu kelas, beralih ke kursi Dira, lalu beralih ke pintu kelas. Tidak ada tanda-tanda jika Dira akan datang ke sekolah hari ini.
Kata putus yang kemarin sempat terucap, ingin Adit tarik lagi, tapi rasanya tidak mungkin. Dira sudah tak mungkin mau menerima perasaan ini lagi.
Adit, kenapa begitu bodohnya kamu. Membodohi orang pandai seperti Dira. Gila, ya pantas saja, pantas jika Adit disebut Gila. Karena dia sangat berani memperbodoh orang yang pandai.
Adit, bodoh sekali, dengan mudahnya berucap kata putus yang sangat membuat telinga Dira sakit. Dengan entengnya berbicara kata putus setelah berjuang dengan perjuangan yang ekstra dan butuh kesabaran yang penuh.
Sejak tadi malam, telepon Adit, Whatsapp Adit, tak ada satupun yang dibalas oleh Dira. Paling bagus, Chat itu hanya dibaca oleh Dira. Parah, satu katapun tak ada yang Dira berikan untuk Adit. Sebenarnya, di sini siapa yang salah? Dira? Atau Adit?Atau Livi? Atau semesta? Atau nama Zali yang tiba-tiba muncul?
Adit sempat mengamati, Kemarin sore, saat mereka benar-benar putus, bukan tangis yang tercipta cukup lama, tapi senyuman yang tercipta sangat abadi. Tandanya, Dira menginginkan hal ini. Hanya itu penyimpulan yang bisaAdit simpulkan hari ini. Dira menangis sejenak, setelah itu ia tersenyum karena membaca buku Zali. Simpel sekali, sumber kebahagiaan Dira adalah Zali. Dira sudah jatuh terlalu dalam dan sepertinya sudah sulit untuk keluar.
Buku kimia yang menjadi materi hari ini, malah menjadi coret-coretan sebuah garis yang tidak beraturan, mungkin garisan itu sudah menjadi gambar abstrak yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu.
“Oke semuanya, hari ini kita sudahi, bertemu lagi besok. Dan tugas hari ini harus diselesaikan besok”
Andaikan Bu Hida mengerti jika Adit saat ini sedang galau. Sudah galau, ditambah dengan tugas kimia, hancurlah semuanya. Biasanya juga, Adit selalu mengerjakan tugas bersama dengan Dira. Kini Dira juga sudah tidak ada kabarnya, ya sudah. Adit harus bisa sendiri. Walaupun sebenarnya Adit tidak pernah bisa mengerjakan ini sendiri.
Setelah Bu Hida keluar kelas, Adit juga mengikuti langkah Bu Hida keluar kelas. Langkah kakinya menuju ke kelas Davin, di sana, sepertinya Dira bisa mengetahui kejelasan tentang ketidak hadiran Dira hari ini.
Sampai di sana, mata Adit mengelilingi ruangan yang isinya rata-rata adalah seorang anak wanita yang sedang menyantap bekalnya. Jika melihat mereka semua, Adit ingat pada Dira. Biasanya Dira selalu membawa bekal dan kadang, Adit yang menyantapnya bukan Dira.
“Eh liat Davin gak?” Adit menghentikan salah satu orang yang akan melintas masuk ke dalam kelas.
“Davin ya?” anak itu tampak berpikir sejenak. “Kemarin terakhir dia sekolah, sekarang katanya dia berangkat ke Jakarta untuk pergi ke Sydney” Adit terdiam sejenak, ia berpikir itu artinya Dira juga?
“Oke makasih ya”
Itu artinya Dira juga?
Kenapa secepat itu? Katanya, Satu minggu lagi, tapi kenapa sekarang sudah berangkat ke Jakarta?
Adit melangkahkan kakinya menuju ke Ruang Guru, dengan langkah yang menurutnya paling cepat, yaitu berlari. Akhirnya, Adit sampai di ruangan guru. Tempat Bu Hida dan Bu Rere bersinggah.
“Maaf bu, Apa Dira juga berangkat hari ini?” entahlah, kepada siapa Adit bertanya, yang pasti, di sana hanya ada Bu Hida. Tidak ada Bu Rere.
“Iya, Bu Rere tidak datang hari ini karena mengantar Davin dan Dira ke Jakarta.”
“Kapan berangkatnya?”
“Tadi pagi, sekitar jam 4 pagi. Mungkin Dira dan Davin sudah terbang karena setahu ibu, Boarding mereka jam 9 pagi”
“Terimakasih bu”
Kalian tahu seperti apa wajah Adit sekarang? Adit berlari sekencang-kencangnya menuju ke parkiran sekolah, ia mengambil kunci motor yang ada di saku bajunya, melajukan motor dengan kecepatan yang tinggi, bahkan bisa disebut gila. Ia melajukan motornya ke Rumah Dira. Tujuannya adalah berharap ada keajaiban yang terjadi untuknya hari ini, tapi sepertinya tidak. Ini bukan dunia karangan manusia yang isinya adalah sebuah keajaiban. Ini adalah sebuah dunia yang nyata. Tidak bisa Adit putar lagi, jika bisa, mungkin Adit akan memutarkan waktu agar kejadian kemarin tidak terjadi. Adit tidak memutuskan Dira, dan akan menjelaskan semuanya dengan baik-baik sehingga Dira tidak marah lagi. Tapi sepertinya. Itu mustahil.
Sampai di Rumah Dira, ternyata Rumahmya sepi dan itu tandanya, benar, Dira sudah pergi. Dia sudah pergi ke Jakarta, bahkan mungkin Dira sudah terbang menuju Sydney.
Tak lama berada di sana, Adit langsung memutar balikkan motornya, bukan ke Sekolah, tapi pulang. Ke Rumah. Menenangkan dirinya dengan semua penyesalan yang kini menumpuk seperti gunung.
Adit tahu, penyesalan apapun kini tidaklah berarti, Dira sudah pergi, sangat jauh, dan akan kembali nanti, jika ia sudah menyelesaikan programnya. Itupun, jika Dira mau pulang dan menemui Adit, jika tidak. Yasudah. Kisahnya berakhir sampai sini.
Penyesalan kini tidaklah berarti lagi, Dira sudah pergi. Tampa pamit lagi, bahkan kini bukan lagi kesedihan yang menyelimuti dirinya karena putusnya hubungan mereka. Kini Dira senang. Bahkan mungkin sangat senang karena kebahagiaannya akan segera ditemukan dan sudah ya. Kisahnya sudah selesai. Aditya dan Ra sudah selesai. Kini tinggal kisah Zali dan Dira yang mungkin sebentar lagi akan menemukan titik terang.