Semenjak pulang dari Bromo, Dira tak pernah mau jika dikunjungi atau diajak pergi keluar rumah. Ia mengambil cuti kerja hingga Adit benar-benar tak menemukan cara untuk menemui Dira, bahkan mereka hanya berbicara melalui telepon atau mengobrol sekedarnya melalui pesan whatsapp.
Sampai Adit jemput Dira untuk pergi ke sekolah pun, Dira masih tetap terdiam. Tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Dira yang pasti, satu hal yang mengganjal dipikiran Dira membuat Adit bingung hingga sampai ke sekolah juga.
Setelah mengantar Dira masuk ke dalam kelas, Adit berjalan menuju ke kelas Davin. Tak tahu kenapa langkah kakinya menuju ke sana. Kejelasan masih belum ditemukan. Walaupun Adit berpikir, tak usah mencari tahu lebih jelas bagaimana kehidupan baru ibunya, tapi menurut hati Adit, itu sangatlah perlu. Rindu hangatnya kasih ibu, Adit ingin merasakan itu lagi.
Bersama dengan langkah yang ia percepat, melewati ramainya koridor sekolah yang dipenuhi oleh banyaknya siswa yang sedang berlalu lalang atau sekedar berhenti untuk mengobrol sejenak dengan temannya.
Sampai di depan kelas, langkahnya justru malah semakin berat. Bukan takut, tapi kenapa rasa bimbang itu kian menjadi saat ternyata Davin sudah ada dihadapannya.
“Ngapain lo?”
Kalau bukan ada perlu, Adit tidak ingin datang ke tempat ini. Tempat yang terdapat iblis di dalamnya.
“Kasih alamat rumah lo ke gue”
“Buat apa?”
“Gue mau ketemu sama ibu gue”
Davin tersenyum miring, ia menatap Adit dengan tatapan mengejek. Dan itu cukup membuat emosi Adit terasah. Tapi tidak bisa ia ledakkan, Kini Davin adalah anak ibunya juga, walaupun hanya anak tiri.
“Perumahan Sari Citra Jaya Jl Sanayang Blok F No.22”
“Thanks”
Tak mau lagi berdebat dengan Davin, Adit langsung memutar balikkan langkahnya menuju ke kelas.
Sepanjang Koridor, telinga Adit menangkap pembicaraan para adik kelas yang membicarakan Adit dan Dira yang sudah jadian. Wajar saja, Adit dan Dira sudah dekat sejak dulu, tapi belum pernah terdengar ada kabar jika Adit dan Dira resmi berpacaran. Dan ini adalah pertama kalinya nama Aditya dan Dira menyatu di penjuru SMA Pandu Sejahtera dengan status berpacaran.
Tidaklah bangga, justru ini adalah bencana. Jika terdengar oleh telinga Davin dan Livi semuanya akan kacau. Dira akan menjadi targetnya lagi. Dan artinya Adit harus ekstra menjaga Dira dari Livi.
Sampai di dalam kelas, Adit langsung menghampiri Dira dan Dita yang sedang mengobrol. Itu adalah pemandangan yang sudah lama tidak Adit temukan. Dua sahabat itu kini bersatu lagi.
“Ra” Adit duduk di sebelah Dira. Dira hanya menoleh dan melanjutkan kembali obrolannya dengan Dita. “Davin nyari kamu”
“Ngapain?”
“Tapi boong”
“Dasar”
“Masa iya harus bawa nama Davin dulu baru kamu mau ngobrol”
Belum sempat Adit berkata lagi, tapi Bu Rere sudah datang. Tentu saja, hari pertama sekolah langsung diawali dengan kegiatan KBM, karena ini adalah sekolah unggul Pandu Sejahtera.
***
Sudah lama sekali Dira tidak berkunjung ke Rooftop, biasanya, sejak dulu setiap ada masalah yang ia rasa berat, Dira akan merenung di sini atau hanya sekedar menyembunyikan dirinya dan mencari ketenangan di atas atap yang tinggi juga sepi ini.
Dan kini adalah saatnya, Dira duduk di atas atap ini. Sendiri. Tanpa Adit yang kini berstatus sebagai pacarnya. Jika boleh jujur, Dira tidak pernah menginginkan hal ini bisa terjadi. Menjalin hubungan cinta dengan sahabatanya sejak kecil, dan jika hubungan itu berakhir, Dira bukan hanya kehilangan pacarnya, tapi akan kehilangan sahabatnya juga. Sahabat yang sudah tahu baik buruknya seorang DIRA.
Ipod Zali masih tetap setia berada di tangan Dira. Sejak kemarin Ipod itu hanya memutar dua playlist, yang pertama adalah lagu yang diciptakan oleh Zali, dan yang satunya lagi adalah sebuah puisi yang dibacakan oleh Zali dengan diiringi sebuah alunan gitar.
Kadang sesak saat mendengar itu, semuanya dipersembahkan untuk Dira. Semuanya Zali rekam sebelum ia benar-benar pergi. Dan kini, rasanya ingin bertemu Zali. Sampai kapanpun, Jika Ipod ini masih dapat didengar oleh telinga Dira, semua kenangan tentang Zali akan terputar seiring lagu ini juga terputar.
Kini puisi itu Dira putar, bersama dengan keheningan Rooftop dan suasana awan mendung yang ada di atas kepala Dira saat ini.
Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam.
Selamat bersenang senang, selamat bersedih sedihan.
Dan, selamat mendengarkan.
Hujan? Aku rasa jangan dulu hujan.
Panas? Jangan juga, kamu tidak akan nyaman.
Sejuk? Kuharap seperti itu.
Hati? Jangan sedih. Jangan menangis.
Mata? Jangan mengeluarkan hujanmu.
Telinga? Tutup saja, jangan sampai dengar namaku.
Hidung? Aroma parfumku sudah kusembunyikan hingga ke dasar laut agar kau tak bisa lagi menciumnya.
Dan, Mata.
Kubilang, Mata? Lihatlah pelangimu.
Jangan pejamkan matamu.
Aster ada di rumahmu.
Matahari juga ada di rumahmu.
Edelweiss, Ada di gunung.
Sulit diraih. Jangan suka dia, jangan suka yang menyusahkan.
Suka pada yang membuatmu senang tapi tidak perlu menyusahkan.
Sesekali, nikmati yang ada.
Jangan pikirkan yang tidak ada.
Manfaatkan dengan baik.
Jangan di sia-siakan.
Jika hilang, kamu tahu rasa.
Aku hilang, kamu senang.
Kamu senang, aku hilang.
Takdirnya memang seperti itu.
Jangan ditentang.
Nanti tuhan marah.
Aku ada, tapi jauh. Jadi jangan mencari. Nikmati yang dekat. Lupakan jauh yang.
Kemudian puisi itu berganti lagu yang sebenarnya ada di dalam catatan harian Dira, Sengaja, Dira memisahkan lagu itu agar Dira mudah untuk mendengarkannya ketika Dira rindu pada Zali.
Ketika ku dengar namamu di dalam hariku
Teringat di saat itu pula Rindu datang kepada ku
Tuhan berikan jarak agar kita bersama, rasakan pahitnya rindu.
Kupilih Dia, bukan kamu. Tapi kamu yang kurindu.
Kamu yang paling kurindu, tetap kamu yang kurindu.
Bukan dia, tapi kamu. Bukan mereka, tapi kamu..
Berikan kesempatan aku untuk bertemu denganmu
Berikan aku kesempatan untuk berdua denganmu.
Kan kuulangi semua kisah yang pernah terukir indah
Dulu kamu harmoniku, dulu kamu pemusikku, dan kini kamu….
Pemberi rindu….
Walaupun sederhana, tapi selalu akan jadi sempurna jika Zali yang menyanyikannya. Semuanya, Zali akan tetap mendominasi setiap hari yang Dira jalani. Dira akan memenangkan olimpiade itu dan akan membuka isi buku biru milik Zali yang sepertinya menjadi sumber rahasianya selama ini, dan selama menghilang dari pandangan mata Dira.
“Hey” Suara itu membuat Dira menoleh.
Dari belakang, Adit sedang berdiri dengan tas yang ia gendong di belakang punggungnya.
“Udah pulang?”
Sepertinya ini adalah jam istirahat, tapi kenapa Adit sudah membawa tasnya.
“Terlalu kangen sama Rooftop, sampe lo nggak denger suara bel pulang udah bunyi”
Adit duduk tepat di samping Dira, ia melemparkan tas Dira. sepertinya benar, sudah bel pulang.
“Tapi ini jam istirahat”
“Lo tuh ya, mikirin apa sih? Sekarang hari pertama sekolah, jadi kbm Cuma setengah hari”
Iya, Dira baru ingat. Terlalu assik mendengarkan suara Zali, Dira sampai lupa jika sekarang ia berada di sekolah. Dan ada Adit, Dira tak akan bisa puas menangis jika ada manusia yang satu ini di sampingnya.
“Kok lo tahu gue di sini?” Dira mengambil tasnya yang ada di depannya. Adit memang begitu, ia selalu melemparkan barang ke sembarang tempat, walaupun itu milik Dira yang kini adalah pacarnya.
“Lo itu kan gadis gue, jadi gue tahu lah”
“Tapi gue nggak pernah tahu lo ada di mana”
“Masih perlu waktu”
Dira mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Buku sketsa yang dulu pernah diberikan Adit pada saat ulang tahun Dira.
“Kenapa buku ini berarti buat lo sih Ra? Padahal ya, beli buku ini bisa di fotokopian, terus juga di toko buku juga banyak”
Dira tersenyum miring, Adit sekarang lebih mudah menyepelekan sesuatu. Dia lebih menyebalkan saat menjadi pacar Dira. Sisi baiknya malah semakin tertutup. Sifat jailnya malah makin menjadi-jadi. Ih pokonya dia itu sekarang makin menyebalkan.
“Dari kecil gue suka gambar, gue suka nulis cerita. Dan ayah gue selalu dukung. Sampe beli buku ini”
Adit terdiam. Ia seperti sibuk memainkan handphonenya dan sepertinya Dira bisa menembak Adit sedang bermain Game.
“Dit, kenapa lo jadiin gue pacar lo? Padahal lo tahu kalau Zali itu suka samague. Dan parahnya, Zali itu sahabat lo.”
Tak mendapat respon dari Adit, Dira mengambil handphonenya dan seketika itu juga Adit langsung menatap Dira. Wajahnya menyebalkan!
“Balikin”
“Jawab dulu”
“Karena Zali pergi. Itu jawabannya”
Apa? Nggak jelas. Ada hubungannya dengan kepergian Zali? Dira belum sempat menjawab, pikiran Dira masih bergulat dengan kebingungannya.
“Sini balikin”
“Nggak mau, jawabannya belum jelas”
“Aku suka sama kamu sejak pertama kali ayah kamu marahin aku karena aku nakal sama kamu”
“Terus?”
“Livi, dan nggak mungkin aku nyakitin hati sahabat yang udah kayak bayangan aku sendiri”
Tapi sekarang Adit nyakitin Zali, sampai Zali pergi sangat jauh entah kemana.
“Kadang kita harus menentukan pilihan Ra, meskipun kedua pilihan itu menyakitkan orang lain”
“Nih” Dira memberikan handphone Adit pada pemiliknya. “Ayo pulang”
Iya, 75 pot di halaman rumah Dira belum seluruhnya Dira baca isi suratnya.
***
Setelah mengantarkan Dira pulang ke Rumah, Adit langsung melajukan motornya ke alamat rumah yang tadi diberikan oleh Davin. Ternyata, tidak terlalu jauh, dan artinya ibunya juga selama ini tinggal tidak begitu jauh dari Adit.
Perlu nyali yang besar untuk pergi ke tempat ini, kesehatan mental dan fisik juga harus sangat distabilkan. Bertemu dangan ibunya dan juga bertemu dengan Davin. Itu sangat menguras seluruh pikiran Adit. Musuh yang kini menjadi saudara tirinya, ini seperti mimpi, tapi nyata. Davin kini adalah saudara tirinya.
Dan kini, Adit sudah sampai di tempat tinggal ibunya. Rumahnya tampak sederhana dari luar. Bahkan ini adalah Rumah klasik khas Bandung sekitar tahun 90’an. Sederhana sekali, tapi indah dan nyaman karena terdapat tiga pohon besar yang tumbuh di Halaman Rumah. Sejuk, Pohon itu semua menjadi tempat angin itu bersarang. Ada bunga matahari yang tertanam rapih di sela-sela pohon yang satu dengan pohon yang lainnya. Sepertinya, ini adalah pekerjaan tangan ibunya, karena nama Aditya adalah pemberian dari ibunya yang berarti matahari.
Langkah kakinya semakin berat saat melihat motor Davin terparkir rapih di depan Rumah. Tapi bagaimanapun, Adit tetap harus masuk ke dalam. Ia harus bicara pada ibunya untuk melepas rindu yang dulu ia tahan sejak 8 tahun yang lalu.
Pintu Rumahnya tertutup rapat, sangat sepi. Tapi rasanya Adit sangat nyaman saat menginjakkan kakinya ke tempat ini. Mungkin, karena di dalam rumah ini terdapat sumber kebahagiaan milik Adit. Ibunya ada di dalam sana.
Baru saja Adit ingin mengetuk pintu rumah itu, tapi pintu itu langsung terbuka. Kini di hadapannya ada Davin. Dengan baju seragam yang ia balut menggunakan jaket jeans, sepertinya Davin akan pergi.
“Ibu, ada yang datang nih” Davin begitu saja melewati Adit, ia berjalan menuju ke arah motornya diparkirkan.
Kalau ini bukan Rumah Davin, Adit akan memukili anak itu habis-habisan. Tidak sopan sekali, menyapa tidak, yang ada hanya tatapan tajam yang malah mengasah emosi Adit.
“Adit?” Suara itu membuat Adit tersadar akan tujuannya datang ke tempat ini.
Kini ibunya, orang yang sudah hampir 8 tahun tidak ia temui. Kini ada di hadapannya. Mungkin Adit kadang lupa, sudah berapa tahun mereka berpisah, entah 8 tahun atau 9 tahun, yang jelas sangat lama. Adit dibesarkan oleh ayahnya sendiri, Adit tumbuh besar tanpa ibunya.
“Sini masuk nak,”
Seorang ibu yang memang Adit benci, tapi hanya sekadarnya. Adit mengakui kodratnya sebagai seorang anak yang dilahirkan oleh ibu, Adit mengakui teori jika ibu adalah seseorang yang mengandung selama 9 bulan. Tidak ada teori yang meyakinkan untuk membenci seorang ibu, walaupun ibunya sudah melakukan sesuatu hal yang sangat Adit benci. Tapi, ibu tetaplah sumber kehangatan, sumber kebahagiaan, dan sumber keridhoan seorang anak.
Benci? Tidak. Yang ada hanya Rindu.
“Sini duduk”
Oke, Adit terlalu asik melamun sampai ia tidak sadar jika sudah sampai di Ruang Tamu. Rumah ini,tampak dari luar sangatlah sederhana, bahkan sangat biasa saja. Tapi dalamnya, luar biasa. Ornamen matahari di setiap sudut terlihat jelas. Semuanya, berlatar matahari.
“Ibu, maafin Adit. Adit kira ibu adalah ibu yang nggak bertanggung jawab, ibu adalah orang tua yang tega ninggalin Adit, kakak dan Adik. Ternyata Adit salah, maaf bu”
Tak henti, rasa penyesalan karena saat beberapa minggu yang lalu Adit mengabaikan permintaan ibunya untuk bicara. Adit malah pergi, meninggalkan ibunya dan Davin dengan rasa kebencian. Tapi, saat itu juga, Ayahnya memberikan penjelas.
Benar, hakikatnya tak pernah ada ibu yang membenci anaknya sendiri. Semuanya benar. Dari sana Adit mengerti, saat bercerai, hak asuh jatuh pada ayah, jadi ibu tak membawa salah satu dari anaknya.
“Ibu memang salah, salahnya ibu, ibu selalu menghilang dan tidak pernah berani untuk menunjukan wajah ibu di depan kamu. Itu adalah salahnya ibu nak, ibu membiarkan kamu tumbuh besar tanpa kasih sayang ibu, tanpa nasihat ibu. Dan ibu menikah dengan orang lain”
“Ibu, Adit datang karena rindu, ayah bilang kalau Adit harus pergi ke sini. Datang menemui ibu agar ibu tahu, Adit tidak membenci ibu”
Iya, karena Dira juga, Dira bahkan memaksa Adit untuk menemui ibunya saat ia tahu jika Adit sudah bertemu dengan ibunya. Dira memang selalu bisa mengubah pikiran Adit.
“Lain kali, ibu akan datang ke Rumah kalian. Bertemu dengan Kakakmu dan Adikmu. Itu harus ibu lakukan”
Iya, Adit ingat surat yang saat itu diberikan oleh bundanya Zali. Surat yang menerangkan jika ibunya pindah ke Jakarta.
“Di surat itu, ibu bilang kalau ibu pindah ke Jakarta, tapi kenapa sekarang ada di Bandung?”
“Karena anak ibu, semuanya. Ada di Bandung”
Dulu, menghabiskan waktu bersama ibu sangatlah panjang, mudah tak usah diminta, ibu akan tetap menemani. Tapi kini, menghabiskan waktu bersama dengan ibu, hanya beberapa menit tidak sampai satu jam, rasanya lebih sulit dan parahnya lagi, waktu berjalan begitu cepat dan membuat semuanya terasa lebih singkat.
Walaupun singkat, tapi seperti berlian. Sangat berharga. Pertemuan dengan ibu akan tetap menjadi sebuah pengharapan yang paling utama. Dan jika nanti bertemu lagi, Adit akan meminta kepada semesta agar memperlambat laju jarum jam. Agar semuanya terasa lebih lama.
***
Bersama dengan hujan, Dira menggunakan payungnya untuk menuju ke halaman belakang rumah. Tujuannya adalah untuk mengambil satu botol yang berisi surat dari Zali.
Bersama surat itu, Dira selalu merasa jika Zali ada di sampingnya. Zali selalu menemani hari-hari Dira, sehingga tak pernah ada hari yang sepi. Air mata juga kini perlahan mulai mengerti, ia tidak terlalu turun terlalu sering lagi. Ia lebih tenang, dan senyuman justru kini lebih sering mendominasi saat Dira membaca surat botol yang ada di pot yang Zali berikan.
“Ini aja kali ya. Hujan deres banget lagi”
Akhirnya Dira mengambil botol yang berada di bawah tanaman bunga aster berwarna ungu. Bunga aster di halaman ini sangatlah beragam. Semuanya cantik dan Dira juga tidak memiliki alasan untuk tidak merawat semua titipan Zali ini.
Sampai di kamar, Dira membuka botol itu dan mengambil suratnya. Sedikit basah, tapi masih dapat di baca dengan jelas.
Masih setia membaca? Masih setia merawat? Terimakasih! Kamu baik. Jadi makin say-
Oh iya, gak boleh gombal. Lupa saya!
Salam abadi. Bunga aster.
Memang sih, dia tidak abadi. Tapi aku titipkan pada kamu agar dia berubah jadi bunga abadi seperti edelweiss.
“Kapan aku boleh buka buku catatan harianmu sih Zal?”
Sekarang, Dira masih sibuk-sibuknya untuk belajar mengejar program yang diadakan oleh sekolah. Dira harus bisa memenangkan seleksi itu, bagaimanapun caranya. Dira harus bisa.
Pembekalan itu akan berlangsung beberapa bulan lagi, kelas program juga akan berakhir dalam akhir semester ini, jadi pemenangnya akan segera ditemukan. Nanti, sekitar lima bulan lagi.
Handphone Dira bersuara, nama Adit bersinar di layar itu. Malas sekali berbicara dengan manusia yang kini sepertinya sedang bete. Sejak berpacaran dengan Adit, kini Dira jadi hapal jam-jam anak itu bete dan mencari hiburan. Termasuk mengganggu Dira.
“Ngapain sih?”
“Keluar deh”
“Ngapain sih, hujan”
“Ya karena hujan, mankanya keluar. Gue kehujanan Dira. Lemot amat sih heran”
Tanpa menunggu apa-apa lagi, Dira langsung berlari dari tempat tidurnya, ia berjalan menuju ke luar kamar, tapi saat membuka pintu kamar, Dira terkejut dengan kehadian Adit dengan baju yang tampak kering-kering saja. Dia membawa?
Tidak membawa apa-apa. Ini kan Adit, bukan Zali yang penuh dengan kejutan. Dia hanya datang, pasti hanya untuk menganggu.
“Bikin panik aja heran”
“Lo panikin gue? Lo khawatirin gue? Semesta, terimakasih banyakakhirnya Dira terbuka juga hatinya”
“Melakonis banget lo beneran!”
Dira duduk di kursi Ruang Tamu, di luar sedang hujan dan Toko ini juga sedang lumayan ramai. Karena, semakin dingin suhu, makan akan semakin banyak orang yang berdatangan ke tempat ini hanya untuk sekedar mengahangatkan diri dengan secangkir coklat panas.
“Habis dari mana?” Tanya Dira pada Adit yang kini sudah duduk di sampingnya juga.
“Rumah mantan lo”
Sudah diperlakukan dengan baik, malah membuat tensi naik. Ini anak, tidak tahu terimakasih!
“Sekali lagi lo bilang dia mantan gue, beneran, gue putusin lo, gue suruh lo balik sekarang juga! Yang ada lo jadi mantan gue detik ini juga”
“Yailah, baper bener neng”
“Gue nggak suka!”
“Sama Zali?”
“Bisa nggak sih kalau lagi sama gue nggak usah bahas orang lain? Lo sendiri yang nyuruh gue lupain dia, tapi lo sendiri yang sering nyebut nama dia dan selalu bikin telinga gue akhirnya nangkep nama dia. Semuanya langsung menjalar ke otak asal lo tahu”
“Ya maaf, baper banget sih Ra”
Permintaan maaf yang tidak tulus, karena disertai dengan kata BAPER. Apa sih BAPER itu? Itu kata-kata yang membuat seseorang selalu benar dan akhirnya lupa meminta maaf jika telah menyakiti perasaan orang lain? Iya?
Semakin ke sini, Adit malah semakin menyebalkan, tapi tingkat menyebalkannya lebih tinggi dibandingkan dengan kemarin. Dan itu malah selalu membuat Dira justru kesal, dan kadang air mata selalu mendominasi semua tingkah laku Adit yang selalu ia bilang bercanda.
“Kalau mau bertahan dengan hubungan ini, jangan pernah ungkit-ungkit Zali, Davin, atau orang lain. Gue nggak akan mau ngelanjutin semuanya kalau lo terus-terusan kayak gini”
“Diusahakan, semoga gue bisa. Gue mau ini kisah Aditya dan Ra. Dan akhirnya pun akan selalu begitu”
***