Dira sudah berdiri di halaman depan rumahnya sejak 15 menit yang lalu, Zali belum juga datang. Biasanya jam 06.15 Zali sudah bertengger didepan Rumah Dira dengan motor ninja hitam dengan bercak merah yang indah itu.
Tidak biasanya, sekarang sudah jam 06.30 tapi Zali masih belum juga memunculkan batang hidungnya.
“Bareng kakak aja ya, takutnya Zali langsung ke sekolahnya dan lupa nggak ngabarin kamu” Ucap Kak Diana yang muncul di belakang Dira dengan mendorong motor matic berwarna putih merah.
“Lima menit lagi ya kak, Takutnya Zali kejebak macet di jalan”
Tapi lima menit sudah berlalu dan Zali tak datang juga. Dira menghembuskan nafasnya secara kasar.
“Ayo kak”
Untung saja, Dira datang ke sekolah tepat, tidak terlambat. Dengan langkah yang ia percepat,Dira berlari menuju ke kelasnya. Karena pagi ini ada ulangan matematika yang harus dan wajib Dira ikuti.
Sampai di kelas, Dira melihat banyak juga kursi yang belum terisi, itu berarti banyak siswa yang belum datang. Beruntung sekali Dira pagi ini, dan ada satu lagi kabar gembira yang di teriakkan oleh Rio pada saat Dira baru saja duduk di atas kursi miliknya.
“Bu Guru Matematika itu nggak masuk gengs!!”
“Hah? Iya?” sahut beberapa orang dari bagian depan.
Sebenarnya Guru yang mengajar matematika adalah Pak Dama, hanya saja Rio memang tak pernah mengenal siapa guru matematikanya, karena setiap pelajaran berlangsung Rio selalu melakukan rutinitasnya, yaitu tidur.
Dira mengambil handphonenya ia mengetik pesan untuk Zali.
Dira
Kamu marah sama aku? Pulang sekolah ketemu ya, aku Mau minum kopi.
Setelah itu Dira memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas, ia kembali menatap buku sketsa miliknya. Di sana Dira menggambar sketsa wajah Zali, walaupun tidak sepenuhnya. Hanya bagian wajahnya dan rambutnya saja. Di bagian bawah lukisan itu Dira tulis sesuatu.
Zali or Jali Or Adrian? Aku pilih Zali.
Dia Cuma laki-laki anak kelas 11 jurusan robotik. Dia adalah panglima tempur di sekolahnya, tidak pandai merakit robot, tapi dia berhasil merakit sebuah teka-teki dan berhasil membuat aku bingung. Kubilang, kau jangan pergi. Dengar ya?
Dira kembali menutup buku itu, rasanya jenuh sekali. Marvin dan Dita sedang mengikuti kelas olimpiade, Adit sepertinya tidak datang ke sekolah hari ini, dan dengan teman-teman yang lain Dira tidak terlalu mengenal dekat mereka. Bahkan Dira tak pernah mengobrol panjang lebar dengan mereka.
***
Masuk ke dalam pesantren? Atau tetap berdiam diri di sini? Jika tidak masuk, berarti Adit hanya mengantongi informasi jika Zali ada di dalam sana, tapi tidak mengantongi informasi kondisi Zali.
Handphone Adit bergetar, Sudah bisa ia tebak siapa orang yang menghubunginya kali ini.
“Kenapa yah?” Tanya Adit pada ayahnya.
“Kemana kamu? Semalaman nggak pulang, nggak kasih kabar juga”
Adit tersenyum, tumben sekali ayahnya mengkhawatirkan Adit. Biasanya, Adit tidak pulang semalaman juga nggak pernah cari.
“Di Cimahi, sebentar lagi on the way pulang”
“Nggak sekolah kamu?”
“Nggak atuh, kan di Cimahi”
“Ngapain ke sana?”
“Ke pesantren”
“Kamu mau pesantren?”
“Iya mau. Boleh nggak yah?”
“Yakin kamu?”
“Ya nggak tahu juga deh”
“Cepet pulang. Ayah tunggu di rumah”
Adit menutup teleponnya dan melajukan motornya menuju ke jalan Raya, nggak apa jalannya lama atau macet. Daripada lewat jalan sepi dan kayak hutan gitu. Lagian juga, Adit nggak tahu jalan itu secara persis, yang ada bisa nyasar.
Tapi rasanya masih menggajal di pikiran Adit saat menemukan fakta mengejutkan yang ia temukan tadi malam. Saat ia ikut meronda bersama dengan anak-anak pesantren. Dan Adit bertemu dengan seorang anak laki-laki yang wajahnya sekilas sama seperti wajah Reind.
“Di sini ada anak santri yang namanya Anzali Putra Adrian nggak?” Tanya Adit pada anak itu yang seumuran dengannya.
“Oh, ada dia teh keponakannya pemilik pondok ini”
“Keponakan?”
“Iya. Cuma dia teh nggak mondok setiap hari. Palingan setiap sebulan sekali, atau dua minggu sekali. Kebetulan tadi dia baru aja datang”
“Udah berapa lama dia mondok di sini?”
“Ya sekitar 2 tahun lebih, Cuma gitu datangnya jarang-jarang.”
Jadi Zali sering dateng kesini? Lebih dari 2 tahun? Kalau diingat-ingat lagi secara jelas, 2 tahun yang lalu adalah awal keretakkan hubungan keluarga mereka. Dan itu artinya, Zali menjadikan tempat ini sebagai tempatnya menenangkan diri dan bersembunyi dari kehidupan Bandung yang membuatnya sesak.
Kini Adit kembali focus kepada jalanan di depannya, Jika tadi malam waktu yang di tempuh adalah satu setengah jam, tapi kali ini Adit harus menempuh waktu 2 jam lebih untuk sampai ke rumahnya. Bersama dengan pegalnya tangan, mata yang mengantuk, dan tubuh yang mulai kehilangan energinya. Pada Akhirnya Adit sampai di Rumahnya. Dari luar, Adit sudah bisa melihat jika ayahnya benar-benar ada di Rumah.
“Assalamualaikum” Adit membuka pintu Rumahnya, dilihatnya ayah dan adikknya sedang bermain di Ruang Tamu.
“Kakak tumben pulang”
Hah? Tumben pulang? Memangnya selama ini Adit tidak pernah pulang ke Rumah?
“Kakak memangnya nggak pernah pulang?”Tanya Ayah pada Putri.
“Kakak pulang terus, kamu aja yang nggak tahu”
“Sini Dit, ayah mau bicara”
Adit duduk di samping ayahnya, Adit tahu ayahnya pasti akan membicarakan tentang kepindahannya yang hanya tinggal menghitung minggu.
“Kamu janji kasih keputusannya hari ini. Ayo bicara, bagaimana keputusan mu?”
Adit menghela nafasnya, pikirannya masih mengarah pada Dira. Sulit untuk melepas Dira. Hanya itu. Dan jika nanti Adit pergi, Dira dengan siapa? Saat ini Zali sedang dikerumungi oleh banyak permasalahan. Keluarganya, adiknya. Dan mungkin banyak juga permasalahan Zali yang Adit tidak tahu.
“Nggak yah, Adit akan tetap di sini”
Ayahnya menghela nafas. Bisa dilihat oleh Adit ada raut kekecewaan di wajah ayahnya.
“Nak, apa yang Bandung berikan sampai kamu nggak mau ninggalin kota ini?”
“Rumah ini, Kalau Adit kehilangan rumah ini, Adit akan kehilangan tawa, semangat, dan semua kenangan tentang ibu. Kalau ayah tanya apa yang udah Bandung kasih sampai Adit nggak mau pergi dari sini, Adit kasih tahu sama ayah, Bandung udah kasih tawa, air mata, dan satu wanita yang udah bikin keindahan kota ini tambah berada di tingkat paling atas”
Sebenarnya Adit sedikit takut untuk menjawab perkataan ayahnya, tapi Adit harus jujur tentang alasannya pada ayah. Mungkin dengan cara jujur, semuanya bisa berbuah dan pikiran ayahnya bisa berbalik, semoga saja.
“Kamu sudah cukup dewasa untuk menyikapi seperti apa hidup ini, kalau itu keputusanmu, ayah akan tunggu kamu di Sumedang setiap liburan semester ataupun setiap weekend”
Seriously? Ayah setuju jika Adit tetap tinggal di Bandung?
***
Sudah satu jam lebih Dira berdiri di depan gerbang, langkahnya berpindah dari gerbang ke halte, dan dari halte ke gerbang. Sejak satu jam hanya itu-itu saja yang ia lakukan. Mengecek handphone, mungkin sudah puluhan kali Dira mengecek handphonenya, tapi masih belum juga ada kabar dari Zali.
Semesta, Zali kemana?
Ditelepon juga tidak aktif, semuanya tidak ada yang aktif.
Tanpa berpikir panjang, Dira memberhentikan bus yang menjadi lawannya sejak bebrapa tahun terakhir ini. Dira memberanikan diri untuk menaiki bus untuk sampai ke deretan Ciwalk dan bertengger di kedai kopi yang menjadi tempat pertemuan yang dijanjikan oleh Dira kepada Zali.
Sepajang jalan Dira hanya menutup matanya, ia tak berani untuk melihat bus ini berjalan, meskipun Dira merasakan jika bus ini benar-benar berjalan. Dira harus bisa melawan rasa takutnya, semua akan baik-baik saja. Kejadian 3 tahun lalu, sudah luapakan saja. Semua tidak akan terjadi lagi.
Begitu kenek memberitahu Dira jika sudah sampai di Ciwalk, Dira dengan segera turun dan berjalan menuju ke kedai kopi yang saat itu pernah mereka kunjungi.
Dira memperhatikan sekeliling kedai ini. Tak ada Zali di sini. Yang ada hanya orang-orang yang tidak Dira ketahui siapa.
“Mau pesen apa mba?” tanya seorang barista yang sepertinya masih seumuran dengan Revan.
“Esspreso aja mas”
Setelah itu seorang barista itu pergi, Dira kembali menatap jendela yang ternyata dibasahi oleh rintikan air hujan yang baru saja turun.
“Mba, boleh saya duduk di sini” Tanya seorang barista yang tadi menanyakan pesanan Dira, tapi kali ini dia datang bersama dengan secangkir kopi yang Dira pesan.
“Silahkan”
“Mba lagi sendiri atau lagi nunggu orang”
“Sendiri sepertinya”
Dira menenggak segelas espresso itu, tapi sedikit demi sedikit karena itu adalah anjuran dari Zali.
“Mba yang biasa ke sini bareng sama pacarnya ya”
Sebenarnya belum biasa, hanya beberapa kali saja.
“Dia bukan pacar saya. Hanya teman”
“Kopi ini saya gratiskan untuk mba yang lagi galau ini”
Maksudnya meledek atau bagaimana?
“Nggak usah, saya bayar aja ya mas”
“Kenalin, nama saya Riko. Orang bilang, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, kalau tak cinta berarti tak sayang, kalau tak sayang berarti tak kenal”
Dira tertawa, barista ini bicara apa sih?
“Nama saya Dira”
“Beatiful name”
“Thanks”
“Mba tahu nggak, kalau kopi ini melalui banyak sekali proses. Mulai dari biji, sampai bisa berada di dalam cangkir ini. Bukan saja kualitas yang baik yang menjadi bahan pertimbangan kopi itu akan nikmat saat diminum tapi tangan peraciknya juga menjadi pengaruh nomor satu yang menjadi bahan pertimbangan. Kopi itu nggak akan enak kalau bukan seseorang yang ahli menanganinya, begitupula dengan hati”
“Maksud kamu?”
Dira sedikit bingung, ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh barista ini.
“Itu hanya kata-kata yang saya buat di catatan harian. Lanjutan dari kata-kata itu belum saya ketahui karena saya belum menemukan teori yang kuat untuk menjadikan itu sebuah kata-kata yang indah”
Seorang barista ini ternyata asik juga diajak berbicara, padahal Dira baru saja kenal dengan orang ini, tapi kenapa rasanya berbicara dengannya sama seperti berbicara dengan Zali. Seru dan tidak membosankan.
“Saya ada sesuatu untuk kamu, nanti saya ambil sebentar” Barista itu pergi dari hadapan Dira, tapi dia datang lagi.
Tidak dengan tangan kosong, ia datang dengan membawa sebuah amplop berwarna pink.
“Ini untuk kamu”
“Saya? Kenapa?”
“Karena kamu Dira”
Dira menatap Riko dengan tatapan yang aneh.
“Kisah kalian mengingatkan saya dengan masa SMA saya, saya sama seperti kamu dan pasangan kamu, berbeda sekolah dan kami selalu bertemu di sebuah tempat. Dan tempatnya adalah kedai kopi dan kedai eskrim”
“Apa kalian masih bersama?” Dira memutar-mutar cangkir yang ada di depannya sambil memperhatikan sekeliling Caffe ini.
“Karena kami berbeda sekolah, jadi saya nggak pernah selalu ada di samping dia, ada suatu hari dia pulang naik bus kota, saya nggak jemput dia, kami juga nggak bertemu di kedai manapun. Kejadiannya terjadi begitu saja. Bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, dan dia meninggal, kejadiannya sudah sekitar kurang lebih 4-5 tahun yang lalu. Saya lupa”
“Kenapa lupa?”
“Itu yang saya inginkan. Karena mengingat sesuatu yang sedih hanya akan membuat saya terus tertinggal di belakang. Karena kejadian itu saya memutuskan untuk nggak kuliah, saya terpuruk karena orang yang sangat berpengaruh dalam hidup saya tiba-tiba pergi tanpa pamit, bahkan sayapun nggak sempat untuk bicara selamat tinggal. Saya menjadikan diri saya sebagai penyebabnya, karena kalau aja saya jemput dia saat itu , mungkin sekarang saya sudah bahagia sama dia”
Dira sejenak terdiam, kecelakaan bus kota sekitar 4 tahun yang lalu di Bandung hanya satu. Dan,
“Kecelakaan Bus No 032?” Tanya Dira pada Barista yang masih setia duduk di hadapan Dira.
“Iya, kamu tahu?”
“Saya dan ayah saya penumpang bus itu. Dan ayah saya meninggal karena kecelakaan itu juga”
“Maaf saya nggak tahu, tapi kita punya kesedihan yang sama tentang Bus kota itu.”
Dira tersenyum miring, ia menenggak kopi yang sejak tadi sudah ada di hadapannya, tapi belum sama sekali lidahnya menyentuh kopi ini, sampai rasanya kopi ini sudah dingin.
“Kalau gitu saya permisi, kopinya nggak usah dibayar, dan satu lagi, kalau ketemu saya di jalan atau di manapun itu, jangan panggil saya dengan panggilan ‘Mas’ saya bukan orang Jawa, saya asli Bandung. Kalau gitu saya permisi, ada banyak pesanan yang harus saya buat”
Perlahan ia pergi dari hadapan Dira, dan kini tatapan Dira beralih kepada amplop itu. Dira meraih amplop itu dan langsung membukanya. Dira tidak mulai membaca dari awalnya, tapi Dira langsung melihat ujung kanan surat itu. Namanya adalah nama lengkap Zali. Surat ini dari Zali.
Namanya Riko. Panggil Kak Riko aja. Jangan panggil mas. Dia nggak akan suka.
Aku tulis ini saat malam tahun baru. Kebetulan, aku main ke sini dan nggak tahu kenapa mau nulis surat ini untuk kamu. Walaupun aku tahu, kamu nggak akan pernah datang ke sini. Karena kamu akan selalu datang ke kedai es krim. Bukan kedai kopi.
Dira, saat ini aku masih berjuang untuk mendapatkan cintamu. Temanku bilang, tak usah dekati kamu, tapi dekati saja penciptamu. Aku sedang berusaha Dir, aku mau kamu jatuh cinta padaku tanpa kamu melihat jika aku adalah sahabat dari sahabatmu.
Aku sedang berusaha untuk menghilangkan kata ‘Tapi dan Karena’ di dalam kisah perjuanganku dan kisah cinta kita. Kamu tahu tidak, kata-kata yang barusan adalah suatu usaha yang akan berujung pada sebuah kegagalan. Karena faktanya, ‘Tapi dan Karena’ itu selalu ada dalam kamus cinta kita.
Aku bilang pada Riko jika Riko harus memberikan surat ini pada saat kamu datang ke sini sendiri, tak boleh dengan aku ataupun dengan orang lain. Kamu harus datang ke sini sendiri untuk mendapatkan surat ini. Walaupun sepertinya mustahil, aku tak akan pernah berputus asa. Karena putus asa adalah perilaku yang dibenci oleh Allah.
Dira, kamu dapatkan surat ini saat perasaanmu sedang bagaimana? Sedang senang, sedih, atau kecewa? Saat kita masih bersama, atau saat kita sudah berpisah? Saat aku dan kamu sudah berpacaran, saat kamu tetap menjadi penjomblo atau pada saat kamu sudah berpacaran dengan orang lain? Aku berharap, saat kamu membaca surat ini, kamu masih ingat aku. Seorang Anzali yang sering membuatmu Ilfeel setengah mati.
Kalau diingat semua perlakuan dinginmu padaku, kadang aku sering berpikir jika aku akan sia-sia menulis surat ini dan justru suratku ini akan ditertawakan olehmu. Karena aku tahu setetes air atau setetes darah milikmu, tak ada yang diperuntukkan untukku. Bahkan setiap hembusan nafasmu, tak ada yang diperuntukkan untukku. Aku sadar, ini adalah kisah yang diawali dengan tepukan sebelah tangan, dan akan diakhiri dengan tepukan sebelah tangan pula.
Saat bertemu denganmu, aku sudah berjanji jika akan membuatmu menjadi wanita yang paling bahagia dalam hidupku, setelah Zila, tentu saja. Walaupun kadang aku tahu, setiap caraku selalu kau anggap biasa saja. Senyumanmu hanya sekadarnya. Tapi aku yakin, suatu saat kamu akan luluh walaupun aku tidak pernah yakin.
ANZALI PUTRA ADRIAN
31 desember pukul 22.17
“Zal, sebesar ini cintamu?” Dira memasukkan surat itu ke dalam amplopnya, kemudian Dira meninggalkan meja itu dan bergegas menuju ke kasir.
“Saya mau pesen satu kopi lagi” Ucap Dira pada Barista yang tadi bernama Riko itu.
“Tapi kamu sudah minum kopi, kamu nggak boleh banyak minum kopi, saya tahu dari—”
“Zali, kasih saya Moccachino aja”
“Oke sebentar”
Tak perlu waktu lama, sebuah Moccachino kini sudah ada di tangan Dira.
“Kali ini saya bayar, karena saya tahu. Satu gelas aja kamu gratisin untuk saya itu artinya, kamu juga kehilangan 0,25 persen keuntungan kamu”
“Kedai ini punya saya”
“Saya tahu, mankanya nggak baik untuk gratisin ini. Walaupun hanya dua gelas ini dan itu” Dira menunjuk ke arah meja yang tadi ia duduki.
“Pinter juga kamu. Saya harap setelah lulus SMA nanti kamu bisa membuka usaha sendiri. Pandangan saya melihat jika kamu orang yang cocok berada di bidang ini”
“Saya lebih tertarik untuk membuka dinas sosial dan masuk ke fakultas kedokteran”
“Bukankah boleh sambil menyelam minum air?”
“Sekarang Saya pelayan di Swara Resto, kamu bisa datang ke sana untuk sekedar tahu siapa saya” Dira tersenyum, Ia langsung melangkahkan kakinya menju keluar kedai.
Dan saat keluar dari kedai, kini Dira harus bergelut pada rasa takutnya lagi.
Ayo Dira, tadi nggak terjadi apa-apa. Semua akan baik-baik aja- batinnya.
Dira berjalan menuju ke halte, menaiki bus yang akan membawanya ke depan gang perumahan. Baru saja duduk, Dira langsung memejamkan matanya. Kenapa lagi kalau bukan takut. Dira bahkan mencoba melawan rasa takutnya, demi pulang ke rumah.
***
Sudah lebih dari 30 menit Adit berdiri di depan Swara Resto. Sudah lama sekali Adit tak pernah ke tempat ini lagi, sejak Adit memutuskan untuk menjauhi Dira, sejenak.
Faktanya, Adit tak pernah bisa jauh dari Dira, walaupun hanya satu bulan, Adit tak akan pernah sanggup.
Seperti saat ini, belum genap satu bulan cerita ini berjalan, tapi Adit menyerah dan mengalah dengan egonya, kali ini hatinya berteriak lebih kencang dibandingkan dengan egonya.
Zali pergi, dan tidak menutup kemungkinan jika ia akan kembali lagi. Tapi, Sejak awal Zali memang sudah bilang jika ia menyerah. Tapi, bagaimana dengan teka-teki yang Zali simpan untuk Dira? Bukankah Zali bilang jika teka-teki itu tentang perasaannya untuk Dira?
Ah, Adit memutar balikkan motornya, percuma saja Adit berada di sini, ingin bicara apa Adit pada Dira jika ia mengetahui jika Adit dengan terang-terangan menjemput Dira di sini.
“Adit!”
Ah sial! Baru saja Adit ingin menyalakan kontak motornya, tapi sepertinya Dira sudah menangkap keberadaan Adit terlebih dulu.
“Ngapain di sini?” Tanya Dira.
“Itu, Hm- mau jemput lo”
Ah Adit!! Kenapa bisa segrogi ini? Biasa aja, plis, tampakin muka yang biasa aja, jangan tegang.
“Jemput?”
“I-ya”
Dira tersenyum miring, Adit bisa melihat jika Dira tampak lebih lemas, tampak lebih kelihatan lelah, dan Dira seperti habis menangis.
“You’re Fine?”
“Gue baik-baik aja”
Padahal hanya perang es selama tiga minggu, tapi kenapa rasanya lebih cangsung padahal kebersamaan Dira dan Adit lebih lama dibandingkan dengan perpisahan mereka.
“Ayo-naik”
“Kok tiba-tiba dateng?”
“Kamu itu Rumahku Ra, wajar kalau aku pulang ke sini”
“Aku-Kamu?” Dira tertawa pelan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lo pergi saat gue Down, lo pergi saat gue butuh lo di samping gue, dan lo tahu itu” Dira menjeda ucapannya, Adit tak berani untuk menyelang, ia ingin mendengarkan kelanjutan rasa kecewa Dira pada Adit “Lo pergi lama, tapi sekarang lo balik lagi? Tanpa dosa? Lo berani senyum di depan gue atas semua perlakuan lo sama gue?” Ada suara kemirisan, tapi Dira masih tertawa pelan sambil geleng-geleng kepala.
“Maaf Ra, gue terpaksa karena lo tahu, gue harus pergi saat itu. Gue nggak mau lo berat untuk ngelepas gue”
“Lo bilang berat? Terus untuk apa sekarang lo dateng lagi ke hadapan gue, dengan senyum, sampe lo ngajak gue untuk pulang bareng? Lo punya muka berapa sih Dit? Di saat gue udah kubur harapan gue dalem-dalem, gue asingin nama lo ke sebuah tempat gelap di hati gue, gue berusaha bersikap seolah orang yang amnesia, kebersamaan yang udah kita ciptain hampir 11 tahun yang lalu, udah gue buang jauh-jauh. Tapi, lo dateng saat ulang tahun gue kemarin, dengan buku sketsa dan majalah bobo yang paling berarti buat gue. Dit, mana kata-kata lo yang katanya nggak akan jahat sama gue lagi? Mana?”
Adit terdiam, ia melihat Dira yang sudah mengeluarkan air matanya, tapi tidak benar-benar terisak, hanya air matanya saja yang mengalir.
“Gue nggak pernah bisa jauh dari lo, dan lo tahu itu Ra. Sama sekali, nggak ada niat untuk bener-bener menjauh. Gue Cuma mau istirahatin hati ini, gue keliling cari rumah yang tepat, dan ternyata rumah yang tepat emang Cuma ada di lo”
“Lo seperti mempermainkan hati orang lain.” Dira tersenyum miring “ Maaf, rumah yang lo tinggalin, sekarang udah diisi sama penghuni baru”
“Tanya sama hati lo, Kenapa saat baca surat dari gue, lo nangis? Jawab sekarang Ra, gue mau tahu jawabannya sekarang”
Adit tahu jika Dira menangis saat membaca surat darinya, Adit tahu dari Zali saat Zali belum pergi. Kini, Zali akan marah atau tidak ya saat Adit berani mendekati Dira lagi? Ya, semoga saja Zali tak akan mengamuk dan tak akan menghabisi Adit seperti Zali menghabisi Davin.
“Gue minta maaf Ra,”
“Gue maafin, tapi gue peringatin, jangan pernah pergi semau lo, jangan juga dateng sesuka lo. Hati wanita itu bukan baja yang kuat, hati wanita itu kaya kayu, gampang rapuh”
Masih ragu untuk tersenyum bahagia karena Dira memaafkan Adit, karena Dira masih menekuk wajahnya, seperti tidak ikhlas.
“Masih mau untuk jadi penumpang gue?”
“Gue bisa pulang sendiri”
“Ada gue, kenapa harus sendiri?”
“Ada Zali? Kalau ada Zali gue mau pulang bareng lo. Kalau nggak ada yang nggak usah. Gue nggak mau berhutang terlalu banyak sama lo”
“Tapi lo mau berhutang sama Zali. Aneh”
“Gue nggak suka berdebat”
“Karena kalau debat lo selalu kalah”
“Lo bisa diem nggak sih?”
“Nggak” Adit menampilkan senyuman kelicikan miliknya.
***