Read More >>"> ADITYA DAN RA (chapter 18) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADITYA DAN RA
MENU
About Us  

“Diraaaaa”

Ah masih pagi, Marvin sudah membuat telinga Dira sakit akibat teriakannya.

Marvin duduk di samping Dira, lebih tepatnya duduk di kursi milik Adit.

“Yang ulang tahun bisa kali traktir seblak Ceu Vivin”

“Kadonya?”

“Ambil di loker, udah gue taro di sana”

Dira tersenyum, Marvin masih ingat tanggal ulang tahun Dira dan ini adalah harinya. Ini adalah hari dimana Dira dilahirkan ke muka bumi ini.

Tadi pagi Dira sudah diberikan kejutan oleh kakaknya dan Zali juga tadi pagi sudah menjanjikan sesuatu yang katanya akan membuat Dira terkejut. Zali memang selalu seperti itu, hidupnya penuh kejutan.

“Pagi Ta,” Suara Adit yang menyapa Dita begitu saja tertangkap oleh telinga Dira.

Okelah, Dira harus terbiasa melihat Adit bersama dengan Dita  karena ini adalah rencana semesta.

“Gue duduk di sebelah lo ya, boleh nggak?” Tanya Marvin yang membuat lamunan Dira buyar.

“Eumm- iya boleh”

Marvin mengambil tasnya yang ada di kursi belakang dan kemudian meletakkannya di atas meja.

“Ada yang berubah akhir-akhir ini, merasa nggak? Kita renggang banget. Gue kaya nggak punya sahabat, lo kelihatan lebih diem, Dita selalu main sama orang lain, dan Adit, gue nggak ngerti kenapa ini bisa terjadi. Persahabatan kita kaya kehabisan bahan pengawet, atau kehabisan bahan perekat” Ucapan Marvin membuat Dira tersenyum miring.

“Mau gimana lagi? Udah terjadi, setiap hubungan itu ada pasang surutnya, apalagi kita itu remaja. Anak yang tingkat emosinya lagi nggak stabil banget”

“Sekarang pasrah sama keadaan. Nunggu hancur jadi arang dan bener-bener hilang aja ini mah ya Ra”

Dira hanya tersenyum, ia kemudian mengarahkan pandangannya kearah buku yang pernah dibelikan oleh Revan beberapa minggu yang lalu. Buku yang bergenre sejarah dan Dira sangat menyukai buku ini. Tapi sayangnya, Dira belum memiliki waktu luang untuk melanjutkan bacaannya.

“Heran, punya muka berapa sih? Bekas temen sendiri diembat? Nggak kebagian stok rasa malu ya? Sampe-sampe nggak punya malu” Dira kenal suara itu, itu adalah suara Syereen. Dan Dira tahu, siapa orang yang Syereen sindir.

Dan kurang dari lima menit lagi, Dita dan Syereen kini sudah berhadapan.

“Apa maksud lo?”

“Hati lo terbuat dari apa sih Ta, Dira tuh baik sama lo, tapi lo malah terus-terusan buat Dira sakit hati karena kelakuan lo yang nggak memiliki hati itu”

“Lo tahu apa? Hah? Jangan sok tahu deh jadi orang. Lo itu Cuma penonton. Lo bukan sutradara yang tau segalanya”

“Sok banget lo jadi orang! Lo itu pemeran antagonis dan lo justru malah dibenci sama semua orang yang lihat lo”          

“Terus? Gue harus jadi pemeran baik untuk dicintai sama penonton? Sory, gue bukan lo yang munafik”

“Munafik? Terus apa bedanya sama lo?”

“Adit yang mau sama gue, bukan gue yang maksa”

“Maksud lo, lo merasa kalau lo cantik gitu? Ya harusnya lo tahu diri lah, otak lo di mana?”

“Heh! Orang yang merasa tersakiti aja diem. Lo yang nggak tahu apa-apa malah berkoar terus. Nggak malu apa?”

Dira tidak suka mendengar ini semua. Dira mengambil buku dan semua perlengkapan sekolah yang ia keluarkan dan berada di atas meja. Ia masukkan semuanya kedalam tas dan menggendong tas itu lalu berjalan ke luar kelas.

Dira berjalan menuju ke kelas pelatihan program sekolah, seharusnya ia datang ke sini saat jam pelajaran kedua. Tapi karena suara yang membuatnya sakit telinga di dalam kelas itu, Dira lebih memilih untuk pergi ke sini dan menenangkan dirinya yang belum terlalu baik semenjak kejadian dua hari yang lalu saat di kedai kopi.

Dira adalah orang yang mudah tersinggung, wajar saja kalau Dira lebih sering baper karena ucapan orang-orang yang seperti mengarah pada dirinya. Walaupun ucapannya hanya tersurah bukan tersirat, tapi Dira merasa jika ucapan itu untuk dirinya.

“Hai” Dira menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya seseorang yang tak pernah berubah, dia datang lagi.

“Ngapain lo di sini?”

“Lo lupa kalau gue juga peserta seleksi ini”

“Ini perasaan gue doang, atau emang lo yang selalu ngikutin gue sih?”

“Bener kok, gue yang selalu ngikutin lo Ra”

Ingin rasanya berteriak di telinga Davin dan mengatakan jika Dira tidak suka diikuti oleh iblis yang satu ini.

“Ra, hari ini lo ulang tahun ya?” Ucap Davin yang hanya di balas anggukan kepala oleh Dira.

“Lo lupa ya Ra?”

Dira masih tetap berfokus pada bukunya. Dira tak sama sekali memiliki niatan untuk menjawab ucapan Davin.

“Selama tiga tahun, kita biasa ngerayain ulang tahun berdua. Tanggal ini selalu jadi tanggal yang kita tunggu-tunggu. Tiup lilin bareng, ketawa bareng, dan bergadang untuk nunggu jam 12 malem. Kita bareng-bareng Ra, lo lupa? Sekarang tanggal ulang tahun gue dan lo. Sekarang kita udah 17 tahun”

Iya, Dira tahu itu. Tapi Dira akan tetap diam. Dira tidak suka lahir bersamaan dengan manusia ini. Dira menyesal pernah merayakan semuanya bersama dengan Davin.

Semuanya bisa Dira lupakan, tapi kenapa Davin tidak bisa melupakan semuanya?

“Lo nggak bisa menghindari kenyataan kalau lo dan gue lahir pada hari yang sama dan pada jam yang sama, hanya beda detik”

“Terus?” Hanya satu kata yang keluar dari mulut Dira. Malas juga berbicara panjang lebar dengan manusia seperti ini.

“Ya kali aja kita jodoh. Ibu sama ayah gue tanggal lahirnya juga sama. Mereka nikah, tapi akhirnya ibu gue meninggal gara-gara—”

Sebelum Davin melanjutkan ucapannya, Dira terlebih dulu memotong ucapan Davin.

“Gue udah denger cerita ini 100 kali. Udah ya gue mau baca buku. Lo berisik”

Bukan maksudnya tak mau mendengar cerita Davin tentang ibunya, tapi demi tuhan. Dira malas untuk berbicara panjang kali lebar dengan Davin. Sudah dibilang berjuta-juta kali, Dira tak suka berada berdampingan dengan Davin.

Seketika itu juga, suara handphone Dira memecahkan keheningan yang sudah hampir tercipta.

           

Zali send a picture

 

Apa ini? Foto Dira dan Davin yang sedang berdua di Ruangan ini? Siapa yang memberikan foto ini pada Zali?

           

Zali

Jangan kedeketan ya. Aku ulang tahunnya nggak sama kaya kamu. Jadi aku takut kamu sama dia nanti bisa jadian lagi karena ulang tahun kalian ternyata sama. Dira, aku lagi belajar tapi tadi ada orang yang ngirim foto ini, jadi sekarang aku nggak belajar lagi. Aku lagi di depan kelas.

 

Dira

Lah? Ngapain ada di depan kelas? Kamu di hukum?

 

Zali

Aku liatin kamu

 

Dira

Kamu?

 

Zali

Iya.

 

Dira langsung berlari keluar kelas. Dan benar Zali sedang berdiri di depan pintu. Seragamnya ia biarkan terbuka tanpa balutan jaket atau apapun. Ia tampil dengan seragam berwarna  biru miliknya.

“Kok di sini?”Tanya Dira dengan nada penuh selidik.

“Iya. Tadi kan udah dijelasin”

“Zali, kamu harus sekolah”

“Kamu juga, kenapa berduaan di sana?”

“Itu kelas program—”

“Aku tahu, aku juga tahu kalau kamu masuk kelas itu satu jam lagi”

Dira menghela nafas. Ia membiarkan Zali terdiam menunggu kejelasan dari Dira.

“Heran, itu setan gerbang ngikutin kamu terus”

Dira tersenyum menatap Zali yang sudah sedikit meredupkan emosinya. Jangan sampai saja Zali dan Davin bertengkar di sini.

“Biarin aja, nanti juga cape sendiri”

“Dira, setan itu nggak ada capenya. Kamu mah aku saingannya sekarang bukan sama manusia lagi. Dia kan setan Dir”

“Nggak usah khawatir, nggak usah takut kalah. Kamu kan malaikat”

Dira menarik tangan Zali untuk duduk di kursi koridor.

“Pulang sana”

Zali menggeleng ia menatap Dira dalam tatapan yang dalam. Tapi Dira hanya menatap Zali sekadarnya. Beruntung, suasana koridor kali ini lumayan sepi dan tak ada manusia yang melintas di area ini.

You say that I’m afraid of lossing you, tapi sekarang nyuruh pergi”

“Bukan gitu ih. Kamu kan harus sekolah. Banyak pelajaran yang harus kamu kejar karena seminggu lagi kan ada ulangan akhir semester.”

“Aku nggak takut sama ulangan”

“Kok?”

“Karena aku pandai”

Zali bangkit, ia berdiri dan tubuhnya terasa sekali lebih tinggi daripada tinggi Dira.

“Jangan deket-deket Davin. Kalau iya, kejadian yang saat itu akan terjadi lagi”

“Nggak janji” Dira tersenyum sambil menatap Zali yang sudah berjalan satu langkah menjauh darinya.

“Oke, kalau gitu aku juga nggak janji kalau aku nggak akan pergi”

Zali selalu bisa membuat Dira kalah dalam  perdebatannya.

Tapi ini adalah hal yang Dira sukai. Laki-laki yang penuh dengan kejutan hingga kejutannya tak bisa Dira tebak.

Sekalinya bisa Dira tebak, pasti tebakannya selalu salah. Kenapa Zali selalu bisa membuat kejutan yang jauh dari jangkauan pikiran Dira?

Apa Zali itu dewa? Bukan  Zali itu malaikat. Bukan Davin yang seperti iblis.

***

Dita menghempaskan genggaman tangan Adit. Saat ini mereka sedang berada di bagian pojok gedung sekolah.

“Udah ya. Nggak usah drama lagi. Gue Cuma bilang gue mau bantu lo di depan Zali. Bukan di depan anak-anak satu sekolah” Dita menatap Adit yang sama sekali tak memiliki rasa bersalah.

“Udah terlanjur” Ucap Adit singkat.

Kenyataannya Dita masih belum mengerti apa maksud Adit kemarin.

“Kemarin, perjanjian kita itu pura-pura pacaran di depan Dira dan Zali. Ya wajar aja kalau di depan Dira, gue kayak gini”

“Udah deh ya, udah!! Gue nggak mau pura-pura pacaran lagi. Awalnya gue mau minta maaf sama Dira, tapi sekarang lo malah bikin semuanya jadi tambah ribet. Gila banget”

“Yaudah. Oke. Makasih udah mau diribetin. Sekarang lo bebas”

Entah kenapa, tapi yang jelas Adit tidak suka membebani seseorang. Apalagi, orang yang ia bebani merasa terbebani.

Persis seperti  Dita. Tapi beruntungnya, Dita tidak marah terlalu parah, ia tidak sampai mengeluarkan jurus kuda-kudanya.

“Kalau untuk masalah Zali, lo bisa minta bantuan gue. Tapi kalau masalah di sekolah, gue angkat tangan”

“Makasih banyak”

Adit melangkahkan kakinya menuju ke koridor. Tapi baru satu langkah ia menginjakkan kakinya di lantai koridor, Mata Adit  langsung menagkap sosok Livi dan Davin yang sedang bergandengan tangan berdua.

 

Ini sekolah kali bos. Bukan tempat pacaran-Batin Adit

           

Tak mau mendahuli sepasang kekasih yang sedang bermesraan itu, Adit lebih memilih untuk jalan di belakang mereka, Adit ikuti cara berjalannya yang pelan sekali bagaikan dua pengantin yang baru saja menikah.

Sayangnya, Adit berjalan sendiri, andai saja bersama Marvin atau dengan Rio. Sudah pasti, Adit akan tertawa puas karena cara berjalan pasangan ini yang bisa dibilang alay.

Padahal, anak laki-lakinya adalah panglima tempur dan perempuannya adalah pentolan di sekolah. Kepribadiannya hampir serupa, cocok?

“Sana sini mau, itu diri atau barang obralan. Sana sini di jual”

Kenapa ya? Mulut Adit kini sama seperti seorang wanita, senang berbicara yang ngawur dan tak masuk akal bahkan bisa membuat panglima tempur itu.

Tapi untung saja suara Adit yang pelan itu sepertinya tidak dapat didengar oleh Davin dan Livi. Karena dua orang itu langsung berjalan saja tanpa mendengar ucapan Adit barusan.

Kenapa semua orang bisa berpasang-pasangan? Kenapa Adit tidak bisa? Tapi sebentar, jangan membahas ini terlebih dahulu, Adit ingat satu hal, satu hal yang hampir saja terlupakan.

“Dira ulang tahun”

 

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dan  ini adalah waktunya Dira keluar kelas olimpiade. Tapi, sebelum melangkahkan kakinya ke luar gerbang, Dira berjalan ke Ruang kelasnya terlebih dulu untuk mengambil kado yang diberikan oleh Marvin.

Saat Dira membuka  lokernya, ternyata bukan hanya kado dari Marvin yang ada di dalam sana, tapi ada kado dari seseorang yang Dira tidak tahu. Kado dari Marvin berwarna Pink dengan penutup kotak yang berwarna biru. Ini yang Dira sukai. Warna favoritnya yang cerah. Dan kotak yang satunya, berwarna hijau muda, ukurannya lebih kecil daripada kotak milik Marvin.

Dira memasukkan kotak yang ukurannya kecil itu ke dalam tas dan membawa kotak yang diberikan oleh Marvin dengan tangannya sendiri.

Sampai di depan gerbang Dira langsung bisa menangkap wajah orang yang ia cari. Siapa lagi kalau bukan Zali, anak laki-laki yang kini pengisi harinya.

“Mau kemana?” Tanya Zali pada saat Dira sudah duduk di atas jok motor miliknya.

“Kayak tukang ojek kamu tuh” Dira tersenyum melihat Zali yang kini sedang menatapnya.

“Iyaudah, kamu mau kemana sayangku?”

“Hah? Sayangmu?”

“Membuatmu senang seharian ini tidak masalah kan?”

“Nggak” Ucap Dira sambil tersenyum.

“Jadinya mau kemana?”

“Kenapa kamu ngomong pake bahasa baku sih? Suka jadi kebawa kan”

“Lebih baik membawamu ke suatu hal yang positif, dari pada yang negative. Kamu wanita yang istimewa jadi memperlakukanmu harus berbeda. Kayak martabak, kalau Istimewa itu telurnya 5, tapi kalau kamu nggak perlu pakai telur, cukup kuperlakukan saja dengan baik.  Kata-kata kasar tidak cocok ditunjukan untuk wanita selembut dan selugu kamu” Ucapan Zali sebenarnya tepat menenai hati Dira, tapi yang bisa Dira lakukan hanya senyum sambil geleng-geleng kepala.

Terlihat Zali menghembuskan nafasnya, ia langsung menatap Dira dan wajahnya Zali tampak begitu lelah.

“Pulang aja” Ucap Dira,  tak akan pernah juga Dira membiarkan Zali kelelahan akibat keinginan Dira.

“Oke taman komplek”

Hah? Zali gila!

Tadi sepertinya Dira tidak salah bicara kan? Dira benar-benar menyuruh Zali untuk pulang, bukan untuk pergi ke taman.

Sepanjang jalan, Zali hanya terdiam, padahal Dira terus-terusan mengoceh berbicara layaknya burung beo. Tapi, Zali sama sekali tak menghiraukan itu.

Pandangan Zali juga selalu mengarah ke jalanan, sesekali ia mengerem mendadak, tapi ia tidak meminta maaf. Zali tetap terdiam dan terus melajukan motornya secara fokus sampai-sampai seperti terasa jika Zali lupa sedang membonceng Dira.

Kenapa Zali tiba-tiba berubah? Padahal tadi pagi Zali baik-baik saja. Dan pagi tadi juga Zali datang ke sekolah karena Dira yang berduaan di dalam sebuah kelas program. Zali ya, dia marah karena itu? Masa sih?  Mana mungkin Zali marah karena itu, kelas program itu adalah kelas yang sangat penting untuk Dira, karena melalui kelas itu Dira akan mungkin memiliki kesempatan emas untuk menyambung mimpi Dira yang sudah pupus pada Olimpiade kemarin.

Sampai di taman, Dira langsung menimpuki Zali dengan beragam pertanyaan.

“Zali kamu kenapa?”

“Zali, Kamu marah sama aku?”

“Zali, kamu kesel sama aku?”

“Ih, kamu kenapa sih? Diem terus. Aku bilang apa sih sampe-sampe kamu marah gitu?”

Masih tak ada jawaban, Dira mengikuti langkah kaki Zali yang tak tahu akan pergi kemana, yang jelas, Zali berhenti tepat di kumpulan anak-anak kecil. Dira masih bisa mengenal siapa anak-anak itu, mereka adalah anak-anak yang dulu pernah bermain bersama dengan Dira dan Zali. Perlahan, Dira mengikuti jejak langkah kaki Zali yang sudah lebih dulu berhenti, dan saat Dira berada sekitar 1 meter dari kumpulan itu Dira mendengar sesuatu.

“SELAMAT ULANG TAHUN KAKAK!!”

Teriakan  anak kecil itu membuat semuanya kembali indah, Zali juga tersenyum bersama dengan anak-anak yang pasti sudah ia sogok menggunakan es krim.

Zali menghampiri Dira yang kini sedang senyum-senyum sendiri, Dira malu, dan Zali benar-benar sulit untuk ditebak. Benar-benar anak ini tidak terduga, dan kini parahnya Zali menghampiri Dira dengan senyuman manis miliknya, lebih tepatnya seperti senyuman mengejek, entalah kenapa Zali melakukan hal yang biasa tapi sukses membuat Dira tersenyum malu.

“Aku ke depan sebentar ya. Tunggu” Ucap Zali yang kemudian berlari menuju ke gerbang taman tempat ia memarkirkan motor kesayangannya itu.

Dira menghampiri salah satu anak yang sepertinya adalah anak yang dulu bercerita jika ia menyukai majalah bobo.

“Kamu dikasih apa sama Kak Zali?”  Tanya Dira pada anak laki-laki itu.

“Es krim”

“Berapa?”       

“Hanya satu” Jawabnya dengan nada sedih.

“Kamu minta lagi sama Kak Zali ya, karena—“ belum sempat Dira melanjutkan capannya, tapi tepat di belakang tubuh Dira suara petikan gitar dan Dira sontak menoleh, orangnya sama.

Happy Birthday my best

Happy  for you my friend

Make a wish and I will give you a kiss

Happy Birthday my best,

Happy for you my friend

I wish you all the best.

 

Kamu yang special di hari ini

Kamu yang sangatlah istimewa

You are the only one all that can make me smile

You are so special.

 

Kamu yang senang di hari ini

Kamu yang sangatlah sejahtera

You are the lovely one, all that can make me laugh

You are so special.

 

Happy Birthday my best

Happy  for you my friend

Make a wish and I will give you a kiss

Happy Birthday my best,

Happy for you my friend

I wish you all the best.

 

Sedikit ada tawa pelan yang tercipta, Zali datang dengan gitar di tangannya, dengan lagu Cherrybelle yang membuat Dira ingin tertawa, lagu yang identik dinyanyikan oleh perempuan, kini dinyanyikan oleh Zali, anak yang nakal dan benar-benar terlihat sebagai seorang laki-laki jantan. Zali mengcover lagu ini sangat bagus dan lagunya terdengar bukan seperti lagu perempuan, ini lagunya, suara Zali yang mewarnai lagu ini Dira suka.

“Nggak ada yang bisa aku kasih Dir, aku bukan laki-laki yang bisa kasih kamu bunga, boneka, atau kue ulang tahun saat hari terbahagia kamu. Membuat kamu tersenyum pada hari lahirmu bukan dengan cara memberi bunga ataupun kue ulang tahun kan Dir? Kamu bilang, semuanya nggak perlu dibeli pakai uang, dan aku membuktikannya hari ini, senyumanmu kini bisa kubeli dengan suaraku yang sebenarnya tidak ada bagusnya sama sekali. Tidak perlu membeli bunga, ataupun kue dan boneka, ternyata suaraku juga bisa”

“Terima kasih sudah coba untuk jadi anak yang sederhana, aku senang kalau kamu bisa lakuin itu dikehidupan kamu Zal”

“Terima kasih juga sudah mengajarkan”

  Setelah itu Zali kembali duduk ke kerumungan anak-anak itu, Dira dengan langkah pelan menghampiri Zali dan duduk di sampingnya. Zali hanya melirik Dira, tapi saat Dira menaruh kotak pemberian dari Marvin, seketika itu juga Zali langsung mengalihkan pandangannya kepada kotak itu.

“Kenapa ngeliatin?” Tanya Dira sambil menatap Zali sinis.

“Ya mau tahu”

“Kepo!”

Dira kemudian membuka kotak itu, tapi alangkah terkejutnya, isi kotak itu bukanlah sebuah kotak, tapi sebuah Scrapbook yang dibentuk seperti kotak kado. Isinya bukanlah sebuah barang, tapi hanya sebuah lembaran dan foto-foto Adit, Dita, Marvin dan Dira.

Dira membukan bagian atas dari kotak itu.

 

Happy Sweet Seventeen Raraaa.

Foto ini diambil saat tahun lalu, ulang tahun lo yang ke 16 tahun. Saat itu kita ngerayainnya di rumah lo, makan kue coklat bareng, berempat. Dan sekarang, entah kenapa gue rindu Ra, saat kita selalu ber empat kemana-mana. Sekarang keadaanya beda ya, kenapa jadi beda? Semua sebab gue, iya kan Ra? Bener kan?

Gue sadar, bahkan paham. Keadaan ini sama sekali bukan yang kita mau. Dan gue rindu Ra, gue rindu candaan garingnya Adit yang selalu bikin gue marah. Gue juga rindu saat lo ngerengek minta es krim, atau minta beliin seblak Ceu Vivin. Ra, tuhan adil ya, tuhan kasih kita kebahagiaan, tapi kita lupa untuk bersyukur, jadi tuhan ambil lagi kebahagiaan itu.

Gue mau kita ber empat lagi, gue mimpi boleh kan ya? Walaupun gue tahu, mimpinya belum tentu jadi kenyataan. Tapi nggak apa kan, setidaknya gue udah bermimpi dan pasti langit nggak akan nolak mimpi gue yang mungkin udah nyangkut di sana.

                                        

Dira membuka bagian bawah kotak itu, dan isinya tetap sama, ada sebuah foto bersama dengan kata-kata yang ditulis sendiri menggunakan pena.

 

Ini beberapa bulan yang lalu, saat kita masih kelas 10 dan baru mau naik ke kelas 11. Waktu Adit pacaran sama Livi dan gue pacaran sama Lia, Dita pacaran sama temen taekwondonya, dan lo sendiri ngejomblo karena ditinggalin Davin keluar kota.

Kangen nggak Ra?

Duduk selalu berderet, dan nggak pernah terpisahkan. Itu kita kan? Ketawa bareng saat jam pelajaran sampe kena hukuman, terus juga ngerjain tugas kelompok bareng, tapi Cuma lo yang ngerjain. Walaupun lo sendiri yang ngerjain, tapi kita bisa dapet predikat kelompok terbaik pelajaran Kimia, Biologi, Fisika, Ilmu sosial, Bahasa indonesia, Kewarganegaraan, Dan seni budaya sepanjang semester genap.

Kalau di kelas, Dira selalu nyubit lengan Adit yang tidur, terus juga Dita selalu bikin gue bangun dengan suara mobile legends punyanya sendiri.

Kalau gue minta sama semesta untuk balikin semuanya, semesta akan kasih nggak ya Ra?

                                                                                         

Air mata Dira masih ia tahan, Dira mengumpulkan nyalinya untuk membuka sisi kanan dari kotak ini. Sebelumnya, Dira menatap Zali, ia melihat Zali juga meemperhatikan isi dari kotak ini, bahkan mungkin Zali juga membaca isi kotak ini.

“Zal, ini semua curahan hati Marvin, ada benernya Zal, aku kangen semuanya, kangen Dita, Adit, dan semua kebahagiaan yang aku punya satu tahun belakangan ini” Dira menatap Zali, Ia hanya melihat Dira dan Zali mengambil alih kotak itu dari tangan Dira.

“Kalau kamu nggak kuat baca, Biar aku yang baca. Kamu dengerin”

Ini foto saat di Taman Centrum bareng temen-temennya Adit yang sekarang jadi temen kita juga. Saat itu kita lagi nemenin Adit yang lagi latihan Band sama temen-temennya, dan tumben banget, lo dateng.

Kenzo, Reind, Gazza, Dan Zali. Dulu, lo nggak suka dideketin Zali, karena katanya Zali itu anak bandel, suka tawuran, suka ngerokok, terus juga bad boy banget. Pokoknya lo bilang kalau lo nggak suka sama Zali. Tapi, Sekarang beda ya Ra, perasaan lo udah mulai luluh karena Zali baik banget sama lo, bahkan semua keburukannya itu ketutupan sama kebaikannya. Iya kan Ra?

Tapi tenang aja, gue suka kok kalau lo sekarang deket sama Zali, karena setelah Adit mutusin untuk jauh dari lo, lo lebih sering murung, gampang pucet karena nggak pernah senyum atau nggak ketawa. Tapi gue seneng, saat Revan bilang lo bisa ketawa lagi di tempat kerja, semua karena Zali. Kalau ada Zali di samping lo, bilang makasih. Sahabat gue udah bisa ketawa.

 

Zali tertawa. “Sama-sama Vin,” Zali menatap Dira, mata Dira dan mata Zali kini bertemu. Tatapannya mengarah kepada sebuah tatapan kagum.

“Kamu disayang banyak orang Dir, sekarang hal apa lagi yang kamu takutin? Kamu kan nggak sendiri”

Dira tersadar, ia mengangguk, Disekatnya air mata yang hampir jatuh. Bersama Zali, Dira bahagia. Bahagia dan lupa pada semua masalah yang sekarang terasa hilang.

“Zali, Selanjutnya”

Zali membuka bagian kiri dari kotak itu, Dira melihat ini bukanlah sebuah foto, tetapi sebuah kelopak bunga mawar yang sudah kering. Zali menatap Dira dengan tatapan bingung, Dira hanya menganggkat kedua bahunya karena Dira juga bingung apa maksudnya.

Lo pasti bingung kenapa ada kelopak bunga mawar yang udah kering. Sebenernya gue nggak sengaja, itu bunganya Lia, dia bilang ‘Nggak apa, bilang aja ini dari gue’ katanya gitu, tapi sumpah deh, dia itu emang rada stress gitu kalau lagi sama gue, untung aja sih, dia stressnya di depan gue doang, bukan di depan orang lain. Kalau di depan orang lain, gue bisa malu setengah mati.

Ra, gue kangen cerita-cerita tentang Lia. Sekarang kalau Lia marah, gue bisanya diem aja, biasanya kan gue minta pendapat lo, sekarang enggak. Sedih ya Ra.

Okelah, gue terkesan melakonis banget. Tapi nyata kok, gue itu orang yang solidaritasnya tinggi. Mankanya gue cepet kangen kalau pisah lama-lama sama sahabat.

Udah ya Ra, gue Cuma mau ngucapin ulang tahun tapi kok malah nyerempet kemana-mana ya. Maaf sekalii yaaa RaraaaDidi. Diraa

 

 

Kemudian Zali membuka bagian alas kotak itu, ada pita yang terukir indah, Dira yang Membuka pita itu, Saat Terbuka, semua keindahan itu mulai terlihat, dan latar foto Dira yang dilukis menggunakan pensil itu terlihat sangat jelas. Kertas alas itu membentuk sebuah tangga dan di setiap tangga ada nama-nama orang yang Dira sayang. Mulai dari Adit, Dita, Marvin, Revan, Ravin, Anni, Gresilda, Zali, ibu, Kak Diana, dan ayah!

“Zali anterin aku ke makam ayah!”

***

Melihat Dira menangis, itu adalah suatu kesalahan tersendiri bagi Zali. Air mata Dira seakan turun begitu saja tanpa penghambat.

Wajar saja, Zali tahu. Bagi Dira,  ayahnya adalah sesuatu yang sangat berharga, lebih berharga dari apapun. Dan hari ini, adalah hari ulang tahunnya. Tahun-tahun sebelumnya pasti Dira selalu melewati hari ini bersama dengan ayahnya, tapi berbeda dengan hari ini dan beberapa tahun yang lalu.

“Doa dulu ya Dir” Ucap Zali, yang tujuannya adalah membuat Dira sedikit tenang dan menghentikan tangisannya.

Zali memimpin doanya, jangan pandang Zali sebelah mata. Walaupun sering tawuran, perokok, dan semacamnya, tapi Zali adalah orang yang lumayan mengerti agama, karena hakikatnya Zali bukanlah orang yang seanarkis itu.

“Nggak baik kalau nangis terlalu lama di depan sini. Ayo pulang”

Dira mengangguk, Zali menarik tangan Dira dan membiarkan Dira berjalan berdampingan di sebelahnya.

“Ke kedai Mas Dere mau nggak? Tadi kamu belum kebagian es krim”

“Sebentar aja”

“Iya, tergantung kamu”

Zali melajukan motornya menuju ke kedai Mas Dere yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Taman Fotografi.

“Zali kenapa harus beli es krim, padahal kemarin aku sudah jatuh cinta sama kopi”

Zali hanya terdiam. Sebenarnya Zali tak pernah mau Dira jatuh cinta pada kopi, karena dengan itu secara tidak langsung Dira juga akan mencintai Zali. Karena Zali yang sudah mengenalkannya kepada cairan berwarna hitam pekat itu. Zali ingin membawa Dira kepada pemilik seutuhnya, yaiu es krim, karena secara tidak langsung Dira juga akan jatuh cinta lagi pada Adit. Karena Adit yang mengenalkannya pada sebuah krim yang dingin dan berasa manis itu.

“Kan nggak boleh terlalu sering minum kopi, kata kamu Kopi itu memicu kanker” bohong, Zali menjadikan teori itu sebagai alasannya agar Dira tidak pernah mencurigai apa maksud dari teka-teki yang ia buat.

Sampai di kedai Mas Dere, Zali langsung menyuruh Dira masuk terlebih dulu. Sendiri.

Zali berdiri tepat di depan pintu. Ia melihat Dira keluar lagi dari kedai itu. Sebenarnya, Zali sudah tahu bagaimana ekspresi Dira saat melihat kedai es krim yang biasanya terlihat biasa saja, dan terkesan sederhana kini sudah didekor dengan menggunakan berbagai ornamen khas untuk hari ulang tahun. Tidak begitu ramaidan mewah, klasik tetapi tetap elegan.

Kini Dira berhadapan dengan Zali, sedangkan Zali hanya tersenyum, senyuman kemenangan di dalam dirinya, rasa senang karena Dira berhasil tersenyum lagi.

“Kerjaan kamu?”

“Kerjaannya Mas Dere”

Nyatanya memang begitu, Zali hanya membantu Mas Dere sedikit, kemudian selebihnya Mas Dere yang menyelesaikannya.

“Ayo pulang” Ajak Zali.

“Masa pulang”

“Lah, tadi katanya sebentar aja. Sekarang udah lebih dari lima menit loh”

“Satu jam lagi”

“Lebih juga nggak masalah”

Zali dan Dira masuk ke dalam kedai es krim itu, sudah ada meja spesial yang dikhususkan untuk Dira dan Zali. Sebenarnya, Kedai ini tidak harus dikhususkan untuk Dira. Tapi Mas Dere sendiri yang memintanya, karena Mas Dere sudah lama kenal dengan Dira.

Sambil menikmati hidangan es krim yang terasa sangat spesial untuk hari ini, Zali melihat Dira membongkar isi tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran kecil. Tidak terlalu besar sehingga cukup berada di dalam tas Dira.

“Dari siapa?”

“Nggak tahu, tadi nemu di loker”

“Buka aja”

“Iya”

Sebuah kotak berwarna hijau muda itu membuat Zali semakin penasaran, dan sepertinya itu adalah kado yang diberikan Davin. Sepertinya!

“Majalah Bobo dan Buku sketsa?” Dira tampak terkejut dengan isi kotak itu.

Diangkatnya sebuah lembaran kertas yang tak tahu apa isinya, tapi sukses membuat Zali penasaran karena Dira sampai mengalirkan air matanya.

Siapa pengirim kado itu? Zali sudah berusaha susah payah untuk membuat Dira tersenyum, tapi kenapa sekarang Dira menangis lagi?

Dira menatap Zali, sepertinya ia sudah selelsai membaca surat itu, disekatnya air mata yang semula mengalir deras melalui pipi. Kini sedikit kering, walaupun hanya sedikit.

Dira memberikan secarik kertas putih itu pada Zali, sementara Zali melihat Dira menangis dengan kepala yang tertunduk.

Dira, kenapa gampang banget nangis sih,

 

Lo tahu kan? Nggak lama lagi gue akan pindah. Kadonya ini aja ya, gue nggak mau ngasih banyak barang yang bakal bikin lo sulit untuk ngelepas gue.

Majalah bobo sama buku sketsa punya lo. Selama ini buku itu ada di gue, heran ya? Nggak usah heran, gue emang senang bikin lo nangis dan kesel. Walaupun gue sendiri benci banget lo ngeluarin air mata lo.

Ra, jangan pernah anggap kalau gue ini jahat atau nggak peduli sama lo. Selama kita jauh, lo tahu sendiri kalau gue nggak sebahagia saat sama lo. Kalau gue berani kehilangan lo, berarti gue harus berani untuk kehilangan tawa gue, sahabat gue, dan segalanya. Tapi gue udah berani ngelakuin satu hal berarti gue harus tanggung resikonya ya Ra?

Kadonya Cuma itu, maaf ya. Lo tahu, gue selalu lupa sama tanggal ulang tahun lo, itu selalu terjadi setiap tahun. Dan lo selalu marah, karena kata lo, gue itu harus jadi orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun. Tapi gue selalu gagal Ra..

Gue laki-laki yang selalu lupa tanggal ulang tahun lo, gue selalu lupa kalau lo nggak ingetin gue, hari ini juga sebenernya gue lupa, Cuma gara-gara gue liat iblis yang ulang tahunnya sama kayak lo, gue jadi inget gitu aja. Setelah gue inget, gue langsung pulang ke rumah dan ngambil majalah sama buku sketsa ini. Gue nggak pernah berani ngasih langsung buku ini sana lo, karena gue tahu segimana cintanya lo sama majalah bobo, dan sebagaimana berartinya buku sketsa ini untuk lo.

Karena gue laki-laki dan laki-laki kaya gue, gampang banget lupa.

Sama benda yang gue pegang aja  kadang sering lupa, bahkan gampang banget lupa, tapi kenapa kalau kenangan  Kita, gue nggak pernah bisa lupa?

Kalau lo tahu jawabannya, kasih tahu gue ya, biar gue lupain lo sendiri.

Oke. Ini hari ulang tahun lo. Yang ke 17. Udah 17 tahun nih Ra, besok ke kantor kelurahan ya, bikin KTP. Udah gede. Jangan sering nangis, jangan sering kabur-kaburan kalau ada masalah. Dan jangan suka main di Rooftop, lo itu dianggap setan Rooftop tau sama anak anak IPS. Karena katanya, mereka selalu denger suara orang nangis di atas Rooftop.

 

Aditya Rhazes.

 

 

Zali membulatkan matanya, saat membaca nama Adit di ujung kertas. Jadi, ini adalah kado dari Adit.

“Tempat ini bukan untuk nangis, tapi untuk kamu senyum.” Dira tidak menjawab.

“Aku kasih teka-teki selanjutnya. Gampang, yaitu” Zali menjeda ucapannya “Hati kamu”

***

“Makasih ya Zal, kamu banyak banget kasih aku kesenangan hari ini”  Ucap Dira pada Zali yang kini sedang terdiam dan menatap lurus ke arah jalanan.

“Sama-sama” Hanya sesingkat itu?

Kenapa sejak tadi Zali hanya terdiam? Setelah memberi lanjutan teka-tekinya, Zali lebih banyak terdiam dan bahkan hanya menjawab ucapan Dira dengan kalimat yang singkat.

“Aku masuk ya”

“Iya”

“Langsung Pulang?” Tanya Dira, karena kelihatannya wajah Zali terlihat sangat lelah. Sedikit pucat juga.

“Iya, tapi mampir sebentar ke Rumah Gazza”

“Ngapain?”

“Kamu perlu tahu aku ngapain?” ucapan Zali membuat Dira terdiam, apa yang salah? Dira hanya bertanya tapi kenapa jawabannya terdengar seperti Zali sedang marah.

“Maaf”

“Aku pamit”

Zali melanjukan motornya pergi dari halaman Rumah Dira padahal Dira masih berdiri di sini. Belum masuk ke dalam Rumah, Dira masih melihat Zali yang mulai hilang dari pandangan mata Dira, Zali yang kini ditelan oleh jarak.

Dira masuk ke dalam kamarnya dan saat masuk ke dalam kamar, Dira terkejut bukan main saat melihat ada sebuah boneka Doraemon yang ukuranya sangat besar.

“Kak” Dira berjalan keluar kamar sambil terus memanggil kakaknya.

“Stt- jangan teriak-teriak. Di luar lagi rame” Ucap Kak Diana yang sedang mempersiapkan sekotak kue coklat yang sepertinya akan dikirim.

“Boneka di kamar, dari siapa? Zali?”

Entah kenapa juga Dira berpikir jika boneka itu dari Zali. Padahal, Zali sudah memberikannya banyak kejutan dan tak perlu untuk memberi kado lagi seperti ini.

“Bukan, itu dari Davin. Ke halaman belakang sana”

“Ngapain? Males aku ke sana. Takut ada kecoa terbang”

“Ambil sayuran, ibu katanya mau masak sayur sop”

“Kak, tapi aku takut”

           

Benar, sejak ayahnya meninggal Dira tak pernah lagi bermain ke halaman belakang rumahnya yang lumayan luas, yang sejak dulu ditanami oleh beragam sayuran yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Sejak dulu, Dira memang jarang sekali bermain  ke halaman belakang, karena dulu ia pernah menemui kecoa terbang yang hinggap tepat di kepalanya.

“Yasudah, istirahat sana”

“Makasih kakak”

Tumben sekali Kak Diana baik sekali. Biasanya dia adalah orang yang selalu memaksa Dira. Walaupun Dira takut, Kak Diana akan terus memaksa Dira, Jika Dira tidak mau, Kak Diana akan marah pada Dira. Jenis kakak yang seperti ini memang yang paling menyebalkan.

Sampai di kamar, Dira memperhatikan boneka berukuran besar itu, diraihnya sebuah surat yang menempel bersama dengan pita di bagian kantungnya.

Saat Dira mengambil surat itu, ternyata isinya bukan hanya surat, tapi ada juga sebuah coklat yang ukurannya lumayan panjang. Coklat itu juga dibungkus menggunakan koran. Tapi, bagaimana Dira bisa tahu jika isinya coklat? Padahal balutan kertas koran itu belum ia buka. Ya, Dira tahu aja. Davin kan orang yang mudah sekali untuk ditebak.

Dira meletakkan coklat itu di atas kasurnya, ia mulai membaca surat yang terdapat di boneka itu.

Isinya adalah curahan hati seorang panglima tempur. Dira tahu itu.

Hai.

Gue tahu, lo pasti nggak akan pernah jawab sapaan gue.  Karena gue emang nggak pernah baik lagi di mata lo semenjak hari itu.

Di sini gue jelasin Ra, gue pergi ke luar kota saat itu karena ikut bokap gue. Gue nggak pamit? Iya. Maaf. Karena gue nggak mau bikin lo sedih, gue mau lo bahagia saat gue pergi, dan tetep bahagia saat gue dateng lagi.

Tapi gue salah Ra, Saat gue  dateng lagi, lo malah menganggap gue cowo brengsek yang ninggalin lo saat lo masih sayang, gue cowo brengsek yang ninggalin lo tanpa kejelasan dan tanpa pamit. Gue akuin itu bener. Gue Cuma takut Ra, gue takut kalau  saat sebelum pergi kita ketemu, gue akan lebih sulit pergi, dan lo juga akan lebih sulit untuk ngelepas gue pergi.

Adira Azzahra. Nama lo cukup indah saat gue tulis di buku harian gue, atau gue denger dari mulut lo saat pertama kali kita ketemu. Lo tahu, kesalahan nama lo itu apa? Nama lo itu kayak punya pemikat tersendiri untuk gue. Nama yang udah bikin gue jatuh cinta sampai detik ini. Tapi satu hal yang harus gue sadarin, lo udah nggak cinta lagi, bahkan lo udah benci sama gue.

Hay Ra, masih tetep di sini? Masih setia baca surat ini? Gue harap gitu.

Semua yang diawali, harus diakhiri. Iya kan? Tapi kita punya pilihan untuk mengakhiri iyu dengan cara yang baik, atau dengan cara yang jauh dari kata baik bahkan menimbulkan sebuah kebencian. Gue rasa, semua udah berakhir dan lo yang udah ngakhirin semuanya. Betulkan?

Penjelasan gue udah cukup jelas belum Ra? Kalau belum, gue jelasin lagi.

Kenapa gue dateng lagi ke Bandung dan berani nampakin muka gue di depan lo? Padahal gue tahu, lo udah benci banget sama gue. Itu pertanyaan yang ada di kepala lo saat pertama kali gue muncul di depan kelas lo, iya kan?

Setelah satu tahun gue tinggal di Jakarta dan berhasil lulus dengan nilai terbaik di salah satu sekolah di Jakarta akhirnya bokap gue mutusin untuk pindah lagi ke Bandung, karena ibu gue yang lebih suka tinggal di Bandung dibandingkan dengan di Jakarta.

Kenapa gue pilih sekolah ini? Karena gue tahu, di sana ada lo. Walaupun sebenarnya gue juga tahu, kalau lo nggak akan sama seperti dulu. Gue coba terima, gue nggak pernah mau putus asa sebelum lo maafin gue, sebelum kita jadi temen, dan sebelum lo bisa senyum lagi sama gue dan ngilangin sifat jutek lo.

Sekarang, gue ulang tahun Ra, dan lo juga ulang tahun. Kita udah 17 tahun. Besok  kita bikin KTP bareng ya, mau nggak? Kalau nggak mau juga nggak masalah.

Sekarang, gue Cuma minta lo maafin gue. Itu aja. Dan bonekanya, jangan dibuang. Kalau lo nggak suka, lo taro boneka itu di pojokan kamar aja. Jangan pernah dibuang Ra.

Untuk seleksinya, gue ikut seleksi itu Cuma buat modus biar bisa ketemu lo setiap hari. Liat lo ketawa karena hiburan di kelas program. Dan itu, cukup buat gue seneng Ra. Gue nggak akan jadi saingan lo Ra, gue selalu doa, biar lo lolos diseleksi ini dan  bisa ngejar impian lo. Mimpi lo harus terwujud, nggak boleh Cuma jadi angan-angan. Ra, inget ya. Nggak pernah ada usaha yang mengkhianati hasil.

Maaf kalau misalnya isi surat ini panjang banget, karena lo nggak pernah mau denger ucapan gue yang panjang kali lebar dan kali tinggi ini. Tapi gue tulis, seenggaknya lewat tulisan, lo bisa sudi untuk baca penjelasan gue. Terserah kalau suratnya mau dibuang atau dibakar yang penting, lo udah baca dan semoga aja lo juga udah maafin gue.

 

DAVIN CHANDRA.

 

 

 

“Astagfirullah, ini surat apa contekan pidato?” Dira melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam laci lemarinya.

Dira mengambil buku sketsa yang baru saja ia dapatkan. Dira mencatat sesuatu di dalam kertas itu.

 

Kamar 576 (Zila) + kedai kopi+ Adit+SMA Pribadi utama+ Mitologi yunani dan matahari+ Hati Dira+…..

 

Dira menatap tulisan yang ia buat sendiri itu dengan tatapan bingung. Mitologi yunani, lalu dan hati Dira, maksudnya apa? Mengganjal sekali rasanya.

Ada berapa banyak lagi teka-teki yang Zali miliki? Kapan Dira akan mengerti dari itu semua?

***

Saat ini Adit sedang berada di depan kamar perawatan Zila, di dalam ruangan itu ada orang tua Zali yang sedang berdebat tentang pemindahan Zila ke luar negeri.

Bagaimana perasaan Zali nanti?Hanya itu yang sejak tadi ada dipikirannya.

“Lo udah lama di sini?” Suara dari ujung koridor membuat Adit menoleh, ada Zali yang sedang berjalan ke arahnya.

Adit hanya mengangguk, ia tak berani berbicara lebih banyak. Ia takut jika salah berbicara. Lebih baik diam daripada harus berbicara yang akan membuat orang itu sakit hati.

“Kenapa nggak di dalam?”

Tapi baru saja Adit membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Zali, orang tua Zali keluar dari ruangan Zila dan Zali langsung berdiri lalu berlari meninggalkan ruangan ini. Tapi Zali gagal, langkah ayahnya lebih cepat daripada kecepatan Zali berlari.

Dan di sana, di ujung koridor tangan ayahnya berhasil  menggenggam tangan Zali. Bunda yang ada di samping Adit hanya menyaksikan itu dengan butiran kecil air mata yang masih tersisa di ujung matanya.

“Lepas!” walaupun dari jarak jauh, tapi Adit masih bisa mendengar jelas ucapan yang keluar dari mulut Zali.

“Boleh ayah dan bunda bicara senbentar?”

“Bicara apa? Ayah mau pindahin Zila ke luar negeri? Iya? Ayah mau minta Zali setujuin kemauan ayah? Iya?”

“Kita bicara dulu sebentar nak”

“Nggak perlu, Zali nggak akan pernah setuju Zila dipindahin ke sana”

“Ini demi Zila, kamu rela Zila kayak gini terus? Zali, jangan egois—”         

“Ayah sama bunda yang egois. Ayah sama bunda yang udah bikin Zila kayak gini—”

“Cukup Zali!!”

Satu tamparan tepat mengenai pipi Zali. Bunda yang melihat itu langsung menangis dan tubuhnya terjatuh ke kursi.

Tak ada yang bisa Adit lakukan selain menenangkan bunda yang kini sedang terisak.

“Pukul Zali yah, pukul!! Jangan Cuma tampar. Ayah nggak akan puas”

Ayahnya terdiam membisu. Tak ada kata yang diucapkan oleh ayahnya. Yang ada hanya Zali yang terus mengoceh sambil menitihkan air matanya.

“Zali pikir, saat Zila koma dan Zali sakit. Ayah dan bunda akan berubah. Tapi, ternyata Zali salah. Zali salah berpikiran seperti itu. Yah, apa perlu Zali dan Zila mati dulu, baru ayah bisa sadar? Baru ayah dan bunda bisa baikan? Baru ayah bisa—”

Satu tamparan lagi tepat mengenai pipi Zali. Tak perlu menunggu waktu lagi, Zali langsung berlari  meninggalkan ayahnya yang kini terdiam membisu di tempat.

“Bunda, izinin Adit kejar Zali ya” Setelah mendapatkan anggukan bunda Zali, Adit segera berlari mengejar Zali, walaupun Adit sendiri tidak tahu kemana Zali pergi.

Sampai di parkiran, Adit melihat Zali sudah mengeluarkan motornya dan sebentar lagi akan melajukan motornya ke jalanan. Dengan segera, Adit mengikuti Zali yang tak tahu mau pergi kemana, yang jelas, Adit hanya mengikuti, tak menjegat. Adit hanya ingin tahu kemana anak itu akan pergi.

Zali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sehingga beberapa kali Adit hampir kehilangan jejak. Wajar saja, Zali sedang frustasi dan hati nya sedang kacau berantakan.

Adit tahu bagaimana rasanya Zali, Adit juga mengerti bagaimana sakitnya Zali, karena Adit pernah berada di titik yang saat ini Zali berada.

Penerangan yang minim membuat Adit sedikit kesulitan untuk mengikuti Zali sampai ke tempat tujuannya, tempat saat ini seperti sebuah perkampungan yang berada di sudut kota Bandung. Adit tidak begitu tahu tempat ini, bahkan ini sudah bisa Adit bilang jauh. Karena sudah hampir satu jam juga Adit mengikuti Zali.

Jarak yang ditempuh sepertinya sudah semakin jauh, jalanan juga sudah  semakin sepi dan pepohonan juga mulai terlihat banyak dan lebat. Tempat ini mirip seperti hutan.

Dan pada akhirnya, sekitar satu jam setengah Adit mengikuti Zali diam-diam. Kini Zali berhenti. Dari kejauhan Adit melihat Zali masuk ke dalam bangunan yang di depannya tertulis nama.

“PONDOK PESANTREN AT TAQWA CIMAHI-JAWA BARAT”

“Ngapain Zali ke sini?”

Adit terdiam di tempat, ia melirik jam yang menempel di pergelangan tangannya, terlihat sudah jam setengah 11 malam. Dan, mana mungkin Adit pulang ke Bandung saat ini. Terlebih lagi, jalanan yang tadi dilalui sangat gelap, banyak pepohonan dan Adit memikirkan resikonya jika Adit pulang sendirian ke Bandung.

“Masa gue masuk ke dalam, ini kan pesantren. Gue belum pernah main ke sini. Mana ada juga orang yang kenal sama gue”

Adit mengambil handphonenya yang ada di dalam saku celana. Ia teringat akan satu hal, Pamannya Gazza tinggal di sekitaran Cimahi.

“Ya, tapi Om Arifin mau nolong gue nggak ya?”

Adit kembali mengurungkan niatnya untuk menelpon Om Arifin, ia kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celana.

“Ah, gue di sini aja sampe pagi. Palingan, anak pesantren jam 3 udah bangun”

Adit melajukan motornya ke sebuah warung kecil yang berjarak sekitar 100 meter dari tempatnya bersinggah, di warung itu juga sedikit ramai dan sepertinya orang-orang di sana bukanlah orang jahat.

“Punten bu,” Ucap Adit yang langsung dibalas oleh seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah pemilik warung itu.

“Mangga calik heula,”

“Nuhun pisan bu”

Adit duduk di kursi panjang bersama dengan beberapa bapak-bapak yang tampak sedang meronda. 

“Punten kang, ini teh di daerah mana ya?” Tanya Adit pada salah satu warga yang tengah menikmati kopinya.

“Ini di desa sukamakmur, Cimahi”

“Kalau ke Bandung, lewat jalan mana ya?”

“Lamun ka jalan Raya jauh pisan, tapi Lamun liwat kampungan lewih deket. Ya tapi kitu, Sepi pisan nteu berang, nteu peting sarua”

Adit sedikit kurang paham dengan bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak ini, yang Adit tahu bapak ini bilang jika ke Bandung lewat jalan raya itu jaraknya lumayan jauh, tapi kalau lewat perkampungan itu jaraknya lebih dekat.

Jalannya hanya satu, jalan yang tadi Adit lewati.

“Di sini ada tempat penginapan nggak pak? Untuk malam ini aja”

“Hees di diye bae atuh,  biasana mah jam 12 peuting, barudak pondok   keluar ndek ngabantuan ngaronda”

Perkampungan ini benar-benar sangat terasa kekeluargaannya. Pantas,  Zali memilih tempat ini untuk menenangkan jiwanya, selain untuk mencari ketenangan, di sini juga Zali dapat terkontrol.

Tapi, Dari mana Zali tahu tempat ini?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Be My Girlfriend?
15037      2369     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
JEANI YOONA?
378      268     0     
Romance
Seorang pria bernama Nicholas Samada. Dia selalu menjadi korban bully teman-temannya di kampus. Ia memang memiliki tampang polos dan bloon. Jeani seorang perempuan yang terjebak di dalam nostalgia. Ia sangat merindukan seorang mantan kekasihnya yang tewas di bunuh. Ia susah move on dari mantan kekasihnya hingga ia selalu meminum sebuah obat penenang, karena sangat depresi. Nicholas tergabung d...
My world is full wounds
447      313     1     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...
Dinding Kardus
8945      2406     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
225      182     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Garden
4752      1551     5     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?
Special
1367      743     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
I'll Be There For You
1149      553     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Embun dan Bulan Dalam Hidupku
1231      736     4     
Short Story
Pa, aku kangen papa
Ghea
433      280     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...