Sudah satu minggu lebih Zali menghilang, tak tahu kemana. Dira juga belum mempunyai waktu untuk berkunjung ke Rumah Sakit atau berkunjung ke Rumah Zali untuk mengetahui di mana Zali berada.
Bertanya pada Adit? Sudah setiap hari Dira bertanya pada Adit, tapi Adit juga selalu menjawab jika ia tidak tahu.
“Hey, ngapain lo” Adit menggebrakkan meja Livi sehingga pemilik meja itu terkejut.
“Ngapain sih lo di sini?” Ucap Livi sewot.
“Ya kan ini Ruangan ujian gue. Jadi gue harus di sini dong”
“Jauh-jauh sana”
“Bukannya lo senengnya deket-deket gue?”
“Udah ada gantinya”
Adit menampilkan senyuman khas miliknya, kemudian ia duduk di samping kursi Dira.
Akhir-akhir ini hubungan Dira dan Adit sudah sedikit membaik. Kini Adit sering belajar bersama juga dengan Dira untuk ujian ini. Tapi namanya Adit, ia selalu sama dan tak pernah berubah. Sama sekali tak pernah berubah, Dira yang belajar lama dan Adit yang belajar lebih cepat. Waktunya lebih banyak ia pergunakan untuk bermain game. Jadi wajar saja, pelajaran yang ia cerna juga kurang baik.
“Gimana ya nasib dunia ini kalau jalan untuk menyontek semakin mudah?” Tanya Adit.
Dira masih tetap setia dengan bukunya. Pelajaran terakhir adalah seni budaya. Dan itu artinya Dira harus dipaksa untuk menghapal not dalam lagu tertentu.
“ Ya akan terlahir banyak dokter yang nggak bisa apa-apa karena lulus dengan cara curang, banyak juga perusahaan bangkrut karena dipegang oleh akunting yang nggak bisa apa-apa, lalu akan banyak gedung yang runtuh karena diolah sama arsitek gadungan, dan yang paling parah adalah terlahirnya ulama yang nggak bisa bahkan nggak paham agama. Dengan begitu kehancuran umat dengan mudah terjadi”
“Ucapan memang selalu bohong, tapi hati nggak akan pernah bohong”
Apa maksudnya? Dira menutup buku cetaknya, kini ia memperhatikan Adit yang kini sedang menatapnya.
“Tapi lo sering bohongin hati lo sendiri”
“Lo juga bohong sama hati lo sendiri” Adit mendekatkan wajahnya ke telinga Dira. “Hati lo, apa kabar? Nama gue udah bersinar belum?”
“Gue masih nyari Zali. Inget, Zali!” ucap Dira pelan, tapi penuh dengan tekanan.
Seketika itu juga, bel masuk berbunyi. Rasanya, setelah ini Dira bebas dari jeratan belajar malam yang esktra karena ini adalah hari terakhir ujian.
Adit yang duduk di sebrang Dira sudah terlebih dulu mengumpulkan jawabannya. Bukan tanda Adit pintar, tapi kadang Adit mengumpulkan jawabannya terlebih dulu, karena ia sudah frustasi dengan soal itu, dan lebih memilih untuk menyerah dibandingkan dengan menyontek.
Sambil mengisi jawaban, Dira juga sesekali melirik Adit yang memfoto Livi sedang menyontek. Ia tersenyum sendiri dan persis seperti orang gila. Sejak kemarin, Adit memang senang sekali memfoto Livi yang sedang menyontek, atau bahkan ia memvidiokan Livi yang panik saat guru menatap ke arahnya. Adit memang sudah gila. Ia sudah kehilangan akal sehatnya. Mungkin.
Tak lama setelah Dira mengumpulkan kertas jawabannya, bel langsung berbunyi. Dira juga langsung keluar dari kelas, tapi pergelangan tanganya ditahan oleh Adit.
“Pulang bareng ya”
“Gue ada kelas program, terus juga nanti mau ke Rumah Sakit, habis dari Rumah Sakit mau ke Rumah Zali”
“Ngapain?”
“Gue harus selesain teka-teki Zali. Dan teka-tekinya hanya ada di Zali. Jadi, gue harus cari dia”
“Gue temenin”
“Ya, terserah”
Dira beranjak pergi meninggalkan Adit yang terdiam di ujung pintu tempat mereka berbicara.
Sebenarnya, Dira malas sekali untuk datang ke kelas program, kalau bukan Dira ingin menggapai mimpinya, Dira tak akan mau harus sekelas dengan seorang Davin.
Kelas program akan berlangsung selama 5 bulan lebih, dan itu artinya Dira harus berada di kelas ini bersama dengan Davin selama 5 bulan. Lebih.
“Hay Ra!” ah suaranya.
Sekarang, Davin lebih berani untuk menyapa Dira sejak Dira memaafkannya. Tapi tetap saja, Dira tidak pernah mau menjawab dengan kalimat panjang lebar, karena baginya, Davin belum berhak untuk mendapatkan tawa Dira.
***
Halaman belakang sekolah, halaman yang hampir tak pernah dikunjungi oleh banyak orang. Hanya beberapa orang, itupun hanya siswa nakal atau anak-anak sok jagoan.
Seperti saat ini, Adit sedang berada di kursi panjang yang ada di dalam halaman ini, bersama dengan Ipod milik Zali yang ia temukan di kamar perawatan Zila 5 hari yang lalu.
Dan, Zali datang ke sana. Tapi kenapa sekarang ia menghilang lagi? Adit sudah datangi Rumahnya, dan Rumah itu kosong. Bertanya pada orang tuanya, jawabanya bahkan lebih parah. Mereka belum bertemu lagi dengan Zali semenjak pertengkaran Zali dan ayahnya saat itu. Berkunjung ke Rumah Pohon, di sana seperti biasanya diisi oleh Reind, Kenzo, dan Gazza. Bertanya pada Gazza yang satu kelas dengan Zali, Jawabnnya sama, Zali sudah beberapa hari tidak datang ke sekolah.
Menemani Dira datang ke tempat itu, rasanya mustahil juga jika Dira menemukan Zali di sana. Karena Adit sudah terlebih dahulu tahu jawabannya. Pesantren itu juga, Zali seperti sudah tidak ada di sana. Lalu, sekarang Zali ada di mana?
“Oh, jadi lo udah berhasil dapetin maafnya Dira itu? Keren gila”
“Siapa dulu, gue gitu”
“Terus si Dira itu luluh gitu?”
“Iya lah, jadi mana? Mana janji lo semua kalau gue berhasil bikin Dira maafin gue”
“Selaw lah bos, nanti malem lo dateng”
Telinga Adit begitu panas, jadi Davin menjadikan maaf Dira adalah barang taruhan.
Adit melepaskan Ipod yang ada di telinganya, ia meleakkan Ipod itu ke dalam tas. Langkah kakinya bergerak begitu saja dan kepalan tangannya mendarat dengan mulus di pipi Davin.
“Apa maksud lo?” Davin juga menonjok Adit.
“Lo jadiin Dira taruhan bego!!”
Tak henti, Adit terus memukuli Davin, sementara Davin tak mendapatkan kesempatan untuk melawan Adit.
Sampai akhirnya darah keluar dari hidung Davin, wajah yang babak belur. Dan tentu nyeri di sekujur wajah atau bahkan hingga perut. Adit menghentikan aksi gilanya.
Temen-teman Davin yang ada di sana hanya terdiam tak ada yang berani membantu Davin, mereka hanya menonton.
Adit mengambil tasnya dan menghampiri Davin yang tersungkur.
“Lo lahir dari rahim wanita! Dan nggak seharusnya lo jadiin wanita sebagai taruhan.”
Ini adalah pertama kalinya Adit melakukan aksi adu tonjok lagi, setelah sekian lama Adit selalu memendam bara apinya sangat dalam dan sangat jauh, tapi karena ini, karena Davin. Bara api itu meledak lagi.
Adit melangkahkan ka?inya meninggalkan halaman belakang, ia berjalan menuju ke depan kelas program. Sebenarnya, Adit tidak pernah mengetahui dengan jelas program apa yang diikuti oleh Dira, tapi Dira hanya bilang jika ia lolos program ini Dira akan sangat beruntung. Itu saja yang Adit tahu.
Baru sampai di lantai dua, tapi mata Adit sudah menangkap Dira yang sedang berjalan ke arahnya.
“Udah lama selesai?” tanya Adit pada Dira yang kini sudah berada di sampingnya.
“20 menit yang lalu.”
“Mau ke Rumah Sakit dulu atau ke Rumah Zali dulu?”
“Rumah Zali”
Adit langsung melajukan motornya menuju ke Rumah Zali. Rumah Zali berada lumayan jauh dari sini, sekitar 20 menit untuk sampai ke Rumahnya. Karena memang rumah Zali berada di komplek perumahan elite yang memiliki arsitektur yang berbeda pada setiap pintunya.
Sepanjang jalan Dira hanya terdiam tanpa mengeluarkan kata, Dilihat dari kaca spion Dira tampak cemas. Entahlah apa yang ia cemaskan, tapi itu yang bisa mata Adit tangkap. Dira yang cemas dengan pikirannya yang tidak tahu apa isinya.
Tidak usah ikut masuk ke dalam rumah, Adit cukup membiarkan Dira masuk ke dalam pos satpam yang ada di depan Rumahnya.
“Apa hasilnya?” Tanya Adit pada Dia yang baru saja kembali dari pos satpam yang ada di rumah Zali.
“Zali nggak pulang sejak satu minggu lebih ini”
“Sekarang kita ke Rumah Sakit?”
“Iya”
Tujuan ke dua adalah Rumah Sakit, jawaban dari tempat ini juga sudah Adit ketahui. Zali tak akan ada di sini, Adit tahu hal apa yang tidak diketahui oleh Dira. Tapi, mana mungkin Adit memberi tahu Dira secara langsung, itu malah akan membuat Dira semakin down.
Sesampainya di Rumah Sakit, Dira langsung berlari menuju ke Lift dan naik ke lantai lima. Ia lupa jika ada Adit di belakangnya.
Adit dengan cepat menaiki tangga menuju ke lantai lima, ke kamar yang digunakan untuk merawat Zila.
“Pasien yang bernama Anzila sudah dipindahkan ke Australia tiga hari yang lalu mba”
Ya mungkin hanya Dira yang terkejut, Adit tidak. Adit sudah tahu itu sejak tiga hari yang lalu.
“Dit, Zali ikut ke Australia? Iya? Jawab gue Dit, gue tahu lo tahu semua ini, iya kan?” Air mata Dira sudah mengalir. Tak tahu apa lagi yang akan terjadi pada Dira selanjutnya, yang pasti Adit langsung memeluk Dira yang sedang menangis itu, membiarkan air matanya membasahi baju Adit.
“Gue nggak tahu Zali di mana, Cuma itu yang bisa gue bilang. Gue tahu kalau Zila itu pergi sama orang tuanya, tapi nggak sama Zali”
***
Minggu yang membosankan, sejak pagi hingga sore Dira hanya membaringkan tubuhnya di atas kasur. Tak ada niat untuk pergi, tak ada niat untuk beranjak dari atas kasur ini.
Sejak tadi, Kertas teka-teki itu selalu ada di sampingnya.
Kamar 576 (Zila) + kedai kopi+ Adit+ SMA Pribadi utama+ Mitologi yunani dan matahari+ Hati Dira+…..
Mata Dira sangat berat, sepanjang hari ia menangis, menanyakan kabar Zali pada semesta, bertanya pada angin yang hilir mudik tentang keberadaan Zali. Tapi jawabannya tetap sama. Hanya hembusan angin yang sekan menjawab ‘Tidak tahu’. Nomor telepon Zali sudah tidak aktif sejak hampir dua minggu yang lalu.
Teka-teki ini juga tidak berlanjut lagi, Dira tak tahu apa maksudnya dari teka-teki Zali. Terlebih lagi, sekarang Zali hilang. Tak tahu kemana.
Kini setiap detik hanya berisi tentang kamu, kamu yang hilang. Kamu yang tidak tahu ada dimana, dan bagaimana keadaamu. Kamu marah karena aku menangis saat membaca surat dari Adit?
Zali, aku mohon kembali lah, Jika kau berada jauh dari Bandung, tolong kembali lagi ke Bandung. Zal, Bandung adalah tempatmu. Bagaimana bisa kamu pergi sejauh ini?
“Dek, ada yang mau ketemu nih” Dira menutup buku sketsa itu dan menatap Kak Diana dengan tatapan malas.
“Siapa?”
“Liat dulu, pasti kamu seneng deh”
Zali? Iya. Pasti Zali. Kak Diana tahu hanya Zali yang bisa membuat Dira senang saat ini.
Dira segera keluar dari kamar dan berjalan menuju ke pintu utama. Dilihatnya seorang laki-laki menggunakan jaket levis dan dia tampak menunduk.
“Zali?” Panggil Dira, orang itu langsung menaikkan pandangannya dan Dira melihat jelas seperti apa wajah orang yang datang itu.
“Davin?” seketika itu juga tubuh Dira langsung melemas. Bagaimana bisa tubuh Davin bisa semirip Zali? Bagaimana bisa?
Air mata yang Dira tahan sejak tadi, kini tumpah begitu saja. Yang ia harapkan datang, ternyata tidak datang.
“Boleh keluar sebentar?” Tanya Davin pelan.
“Gue males keluar.”
“Taman di depan sana, sebentar aja. 20 menit”
“20 menit”
Dengan piyama berwarna pink yang sejak tadi malam ia gunakan, Dira mengikuti langkah kaki Davin ke sebuah taman yang berada di komplek rumah Dira.
Di taman, Dira ingat satu hal. Zali. Taman ini adalah yang menjadi kisah ulang tahun ke 17 tahun Dira dimulai, bersama dengan anak-anak kecil yang Zali berikan masing-masing satu eskrim.
Davin berhenti di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan taman bermain anak-anak. Di sana, ada anak-anak yang sedang bermain. Dan sepertinya mereka masih mengingat Dira.
“Hey itu Kak Dira” Ucap salah satu anak pada teman-temannya.
Anak kecil yang bernama Riko yang Dira kenal itu langsung berlari ke arah Dira.
“Kak Dira nggak sama Kak Zali? Beberapa hari yang lalu juga Kak Zali ke sini, tapi nggak sama Kak Dira, terus Ada yang nanya kenapa nggak sama Kak Dira, Kak Zali nggak jawab, dia diem aja. Tapi Kak Zali titipin surat untuk Kak Dira”
“Surat?”
“Suratnya ada di tas aku. Sebentar kak”
Anak laki-laki itu langsung berlari ke arah teman-temannya, ia mengambil tasnya dan memberikan surat itu pada Dira.
Aku? Baik-baik aja. Jangan Sedih. Aku pergi untuk menyelesaikan teka-teki ini. Jika kusembunyikan teka-teki ini di puncak gunung, sudikah kamu untuk mendakinya? Walaupun itu jauh dan kamu tidak mampu, lalu aku juga tidak menemanimu?
Hanya itu?
“Terimakasih ya”
“Sama-sama. Aku pergi dulu ya kak”
Dira hanya mengangguk, ia melihat Davin yang masih menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain.
“Apa yang bikin lo dateng ke Rumah gue?” tanya Dira pada Davin.
Orang itu seakan langsung tersadar dan langsung menatap Dira.
“Gue minta maaf Ra”
“Hidup lo kebanyakan minta maaf, Maaf lagi, maaf terus, dan maaf mulu. Kata maaf itu nggak akan berarti kalau sering diucapin”
“Gue tulus minta maaf sama lo atas kejadian dua tahun yang lalu, dan gue jadiin pengampunan lo itu sebagai taruhan”
Dira menghela nafas, ia menatap Davin yang kini menunduk. Pasti, ada rasa bersalah di dalam diri Davin.
“Lo tawuran lagi?” Tanya Dira, pandangan mata dira menangkap wajah Davin yang babak belur dan penuh dengan lebam biru.
“Bukan, ini hukuman karena gue jadiin maaf lo sebagai bahan taruhan”
“Dav, setiap perbuatan ada balesannya. Jangan terlalu jadi manusia yang keras kepala, jangan juga merasa jadi manusia yang paling dihormati. Kehormatan itu memang berarti, tapi kehormatan juga bukan alasan untuk lo berubah jadi laki-laki gila. Untuk taruhan, pelajari bagaimana struktur atau karakteristik hati wanita. Untung, gue nggak cinta sama lo. Jadi nggak ada perasaan nyesek ataupun apalah itu, tapi lo jangan pernah lakuin ini sama wanita lain. Karena hati orang nggak pernah ada yang tahu”
Perlu diketahui, Baru kali ini Dira berbicara panjang lebar dengan Davin. Manusia yang dulu ia anggap sebagai setan, iblis, dedemit, dan seluruh makhluk astral lainnya.
“Jadi lo maafin gue?”
“Asal yang kali ini nggak dijadiin bahan taruhan, kalau iya, gue akan panggil Zali dan lo akan bernasib sama kaya Zali dulu”
Padahal, Zalinya tidak ada. Membawa-bawa nama Zali. Itu adalah reflek, karena kerinduan Dira pada Zali, tentu saja.
***
Sudah menjadi tradisi sekolah, setiap ujian akhir selesai dilaksanakan, pada hari selanjutnya akan diadakan Class meeting.
Menurut Adit, pengadaan Class meeting ini bertujuan agar siswa tetap datang kesekolah meskipun kegiatan belajar mengajar sudah selesai. Ini adalah ajang untuk siswa yang berprestasi di bidang olahraga menampilkan kemampuannya.
“Lo udah ada rencana liburan?” Tanya Adit pada Marvin yang kini sedang berada di sampingnya.
“Belum, habis bagi rapot gue harus ikut olimpiade dulu. Ribet sumpah”
“Kita ke Bromo, setuju nggak?”
“Boleh, tapi tunggu gue selesai olimpiade ya”
“Selow bos”
Adit melangkahkan kakinya menjauh dari lapangan, Menunggu bagian kelasnya bermain, ternyata sangatlah lama. Adit memutuskan untuk menyusul Dira ke Perpustakaan, karena program sekolah itu memaksa Dira untuk tetap berdiam Diri di Perpustakaan dan membaca banyak buku.
Walaupun sebenarnya Perpustakaan bukanlah tempat yang membuat Adit nyaman, tapi percayalah, di tempat ini ada orang yang membuat Adit nyaman.
“Baca buku lagi?” Adit berdiri di samping rak buku, Dira sedang membaca buku sejarah yang sebenarnya tak tahu apa sisinya.
“Sudah tahu, kenapa masih tanya” Pandangan Dira tak beralih dari buku.
Adit memutuskan untuk duduk di depan Rak buku, hadapannya berlawanan dengan hadapan Dira.
“Ra, lo inget nggak? Dulu, saat kita masih SD gue selalu duduk di samping lo, nunggu lo selesai baca, gue tinggal pergi main bola dan saat gue balik lagi, lo masih baca”
“Terus lo pergi lagi buat main bulu tangkis, dan saat balik dari main bulu tangkis lo selalu tanya apa gue udah selesai membaca?” Dira menghela nafas. Ia menutup bukunya dan mengambil buku baru, lalu membukanya lagi. “Lo terlalu sering ganggu gue”
“Karena gue bosen nunggu lo, mankanya gue gangguin lo”
Dira terlihat gelang-gelang kepala. Dira tersenyum dari balik bukunya, Adit bisa melihat itu dengan jelas.
“Lo terlalu keras kepala, sering banget gue suruh lo pulang. Tapi, lo selalu bersikeras untuk tetap menunggu”
“Kalau aku pulang, itu artinya aku pergi. Dan aku nggak mau pergi”
Rasanya Adit ingin menjadi seperti Zali, laki-laki yang bersikap lembut kepada semua orang, bahkan kepada Adit, Reind, Gazza, ataupun Kenzo. Zali yang tak pernah bisa kasar, kecuali pada saat hatinya sedang kacau.
Berbicara dengan gaya bahasa ‘aku-kamu’ pada Dira yang awalnya Dira anggap lelucon, kini justru malah bisa membuat Dira jatuh cinta pada Zali. Karena memang wajar, Zali memang laki-laki yang pantas dicintai oleh seorang wanita sepeti Dira.
“Dira yang dulu lebih tinggi dariku, dia selalu menangis saat buku dongengnya kupinjam, saat sandalnya kusembunyikan di ujung kebun starawbery, Dira yang selalu memaksaku untuk belajar, kini kemana Dia?”
“Semua memang harus berubah saat kita beranjak dewasa”
“Kalau kisah persahabatan itu berubah jadi kisah cinta, apa kamu akan terima itu?”
“Jadi diri lo sendiri Dit, jangan pernah niru sikap, atau cara bicara oang lain hanya untuk mendapatkan perhatian yang lebih atau perasaan yang lebih”
Sindiran yang halus itu membuat Adit tersenyum miring, ia tersadar jika Dira tidak pernah suka orang yang meniru sikap orang lain, Dira lebih suka dengan orang yang apa adanya, orang yang bersikap percaya diri dengan karakteristik yang ada di dalam dirinya.
“Gue pergi dulu ya, lo dicari Dita di bawah. Dia mau bicara”
***
Setelah selasai mengikuti kelas program, Dira melangkahkan kakinya menuju ke lapangan tempat berlangsungnya Class Meeting tujuannya adalah untuk menemui Dita.
Bagaimanapun yang terjadi, Dira harus berani untuk menemui Dita. Tidak boleh takut, positive thinking saja. Dita tak akan mencaci maki Dira seperti Livi mencaci maki Dira. Jadi, untuk apa takut?
Dari lantai dua, Dira bisa melihat keberadaan Dita yang berada di ujung kanan lapangan sendirian, tak ada orang yang menemaninya di samping sana.
Dengan langkah yang ia sedikit percepat, Dira melangkahkan kakinya menuju ke tempat Dita berada. Sampai di sana, Dira langsjng duduk di samping Dita, walaupun sebenarnya tak ada yang menyuruhnya.
“Akhirnya lo dateng Ra” Ucap Dita begitu sadar akan kehadiran Dira.
“Lo nunggu gue?”
“Maafin gue Ra, gue jadiin lo musuh saat lo jadiin gue temen lo”
Dira menghela nafasnya, ia menatap Dita yang sudah berlinang air mata. Diri Dita kini sudah diselimuti oleh rasa bersalah, rasa penyesalan itu kini tersampaikan pada orang yang sudah ia kecewakan.
“Yang berlalu ya biarin aja berlalu. Namanya juga manusia. Gue ngerti kalau lo iri. Karena kodratnya manusia emang nggak pernah jauh dari kata iri dan dengki”
“Soal Adit juga, maaf banget Ra”
“Gue juga tahu kalau lo Cuma bohongan sama Adit. Iya, ngerti paham”
Kini memang semua tak ada lagi yang bisa dijadikan sebuah perdebatan, Dira sudah membuang jauh-jauh rasa bencinya pada Dita. Soal olimpiade itu juga, Dira sudah melupakan olimpiade itu dan kini sedang fokus pada program yang baru.
“Gimana sama Zali? Dia masih sama lo?”
Jantung Dira seakan berhenti berkontraksi untuk beberapa detik. Ingatannya pada Zali seketika hadir lagi, begitu saja.
“Zali nggak tahu ada di mana”
***