Meninggalkan Zali sejenak di Rumah Sakit. Kini Dira sedang fokus terhadap sekolahnya. Sengaja, bahkan Dira selum sempat meminta maaf pada Zali karena tugas sekolah yang sangat menumpuk memaksa Dira untuk berada di meja belajar setiap pulang sekolah. Ditambah lagi, semenjak mendapatkan map yang berisi anjuran mengikuti Program sekolah, membuat Dira semakin menjadi seorang wanita kutu buku.
Sekalipun di dalam kelas dan pada saat jam istirahat. Karena saat ini, Dira harus mengejar keinginannya. Soal teman, palingan Dira hanya sering mengobrol dengan Lia, itupun hanya saat berangkat atau pulang sekolah jika bertemu. Dan yang lebih parahnya lagi, kini anak satu kelas malah membicarakan jika Dira adalah anak pintar yang sombong, pelit ilmu dan sebagainya. Padahal, tidak sama sekali. Jika mereka meminta penjelasan pada Dira, sungguh akan Dira jelaskan.
Tempat Dira saat ini adalah di koridor kelas 11, baru saja Dira dihukum akibat lupa membawa buku PR yang sudah ia kerjakan di rumah, tapi ia lupa untuk membawanya ke sekolah.
“Nilai praktek Musik kamu masih kosong, ikut ibu ke Ruang musik” Bu Saras keluar dari dalam Kelas dan langsung manyuruh Dira untuk segera ikut ke dalam Ruang musik.
Sekarang saatnya berbicara soal musik. Dira bukanlah Adit atau Zali yang sangat pandai dan menyukai musik. Dira hanya bisa menyanyi sedikit, itupun suaranya tak bagus sama sekali.
Sampai di Ruang musik, Dira mengikuti langkah Bu Saras sampai tepat di depan piano besar. Praktek kali ini akan menggunakan alat musik atau bernyanyi? Tapi yang jelas Dira hanya bisa menyanyi, tak sama sekali bisa bermain alat musik.
“Karena saat pengambilan nilai bernyanyi kemarin kamu nggak masuk, jadi minggu ini adalah gantinya”
“Nyanyi bu?”
“Lagu daerah”
Dira menghela nafas, apa lagu daerah yang Dira hapal? Hanya Manuk dadali, itupun hapal karena almarhum ayahnya sering bernyanyi lagu itu dulu.
“Manuk dadali ya bu?”
Bu Saras hanya mengangguk. Setelah itu Dira bernyanyi dan mengalunkan suaranya yang sebanrnya tidak terlalu bagus. Dira sadar itu.
“Kamu ikut Program Sekolah yang diadakan setiap 5 tahun sekali?”Tanya Bu Saras saat Dira sudah selesai menyanyikan lagu daerah yang baru saja ia nyanyikan.
“Iya bu, Dira ikut seleksinya”
“Semoga berhasil ya, kamu gagal di olimpiade, dan di program ini, kamu harus berhasil. Oke?”
Tidak seperti biasanya, Bu Saras biasanya tidak sebaik ini. Dan ini adalah salah satu kejadian yang langka bagi Dira.
Hari sudah bergulir menjadi sore, Dira terlalu asik bercanda bersama dengan Bu Saras sampai lupa waktu jika waktu sudah bergulir cukup lama.
Dira melangkahkan kakinya menuju keluar gerbang, sengaja hari ini Dira tidak menggunakan sepedah, Dira menggunakan jasa Pak Mulyana untuk mengantarnya ke Rumah Sakit untuk mengunjungi Zali, karena sudah 2 hari Dira tidak bertemu dengan Zali. Bagaimana kondisi anak itu ya? Apakah Adriannya sudah bangun? Atau hanya Zalinya saja yang bangun? Ah itu tidak penting yang penting saat ini, Dira harus bertemu Zali. Karena rindu.
Sebelum ke Rumah Sakit, tak lupa Dira berkunjung ke toko bunga Pak Cecep untuk membeli bunga aster, bunga kesukaan Zali yang kini Dira sukai juga. Ternyata, benar apa kata Zali. Dira akan terbiasa dengan bunga aster dan bisa menyukainya. Dira lupa pada Edelweiss yang abadi.
“Pak, mau setangkai asternya ya” Pinta Dira pada Pak Cecep yang kebetulan sedang berjaga di toko.
“Eh, ini neng Dira kan? Waduh neng”
“Kenapa pak?”
“Bunga asternya sudah habis, tadi sudah diborong semuanya habis tanpa sisa satu tangkaipun”
Jarang sekali ada orang yan menyukai bunga aster, Banyaknya orang menyukai bunga mawar ataupun anggrek. Tapi kini, Asternya habis.
“Padahal saya mau satu tangkai saja pak, untuk anak laki-laki yang saat itu memesan bunga aster untuk saya”
“Maaf sekali neng, sama sekali tidak ada. Besok deh, saya sediain untuk neng”
“Makasih banyak ya pak, yasudah. Kalau gitu, saya duluan pergi ya pak. Nuhun pisan pak”
Setelah dari toko Pak Cecep, Dira segera melangkahkan kakinya menuju ke rumah sakit. Lantai 7 tempat dimana Zali sedang dirawat.
Tangan Dira kosong, tak membawa sesuatu yang akan membuat Zali sembuh, karena Dira tahu, hanya dengan kedatangan Dira ke depan wajah Zali, Laki-laki itu akan tampak baik-baik saja.
Tapi sebentar, Dira sudah membuka pintu kamar yang kemarin ditempati oleh Zali, tapi segera ia tutup kembali. Pemandangannya berbeda. Dira kembali melihat nomor ruangan yang terletak di atas pintu, nomor ruangannya benar 756 tapi, isinya kenapa bukan Zali?
“Hay” Dira menoleh ke arah suara itu berasal.
Laki-laki berambut hitam dengan ujung poni yang tampak pirang, jaket parka yang biasanya dipakai di tempat-tempat dingin, kini terpakai di dalam Rumah Sakit, sepatu Adidas berwarna hitam yang tampak masih baru, celana jeans hitam yang panjang hingga mata kaki. Penampilannya tampak beda. Berbeda sekali.
“Zali, sudah sembuh?”
“Kamu nggak senang kalau aku sembuh?”
“Kenapa nggak bilang?”
“Handphone mu?”
“Aku terlalu fokus untuk ngejar pelajaran dan program sekolah”
“Jadi salah?” ya tuhan, senyuman Zali.
Dira merindukan itu.
“Aku, Zali maaf. Maafin aku”
“Nggak jadi masalah”
“Yang jadi masalah rindu Zal”
“Rindunya sudah tidak jadi masalah lagi, Rindunya kini datang beserta dengan pemiliknya”
Zali menggenggam pergelangan tangan Dira, ia menarik tangan Dira keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju ke sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Tepat di depan toko Pak Cecep.
Lewat genggaman itu, Dira merasakan sebuah kehagatan. Kebetulan ini dingin dan genggaman tangan Zali jadi penghangat tersendiri untuk Dira.
“Mau ke Subang?”
Apa? Subang? Sudah menginjak jam setengah lima sore dan Zali mengajak Dira pergi ke Subang.
“Ngapain?”
“Mau makan di saung yang saat itu kita kunjungi”
“Bisa nggak kalau nggak usah di Subang?”
Zali menggeleng, tapi sepertinya untuk kali ini Dira terpaksa tidak mengikuti keinginan Zali. Subang itu lumayan jauh dan jalan yang saat itu dilalui sangat gelap dan sepi. Mana mungkin Dira bisa menuruti apa keinginan Zali, sementara Dira adalah wanita yang penakut.
“Aku nggak mau ikut ya, maaf Zal. Maaf banget aku harus kerja” Dira tidak tahu, ini jawaban yang lembut atau kasar, yang pasti. Ini adalah jawaban yang membuat Zali kecewa.
“Yasudah, kalau gitu aku temani kamu kerja”
Kenapa sangat memaksa? Percaya atau tidak, Zali benar-benar ingin bersama Dira hari ini. Itu yang bisa Dira lihat dari pandangan matanya dan dari seluruh gelagat ucapan yang keluar dari mulutnya.
“Yasudah”
***
Ulangan akhir semester akan segera dilaksanakan, satu minggu lagi lebih tepatnya. Dan itu juga berarti jika sebentar lagi, Adit akan berpisah dengan Dira.
Senyuman yang hilang beberapa minggu terakhir ini hilang dari pandangan Adit, kini hadir lagi. Tapi bukanlah Adit penyebabnya. Tapi Zali.
Laki-laki yang penuh dengan kata halus, sikap yang juga halus, otak yang mulus-mulus saja dan dengan itu semua mudah sekali membuat wanita jatuh hati padanya. Termasuk Dira.
Memang benar, cerita ini harus berakhir dengan Zali dan Dira. Bukan Adit dan Dira sesuai dengan judulnya. Karena, Adit sudah lelah untuk berjuang. Lelah untuk mempertahankan apa yang tidak perlu ia pertahankan. Lelah untuk terus menerus berbohong pada sebuah perasaan yang hanya berujung pada sebuah ketidakpastian yang menyakitkan.
Sudahlah, ceritanya diselesaikan saja. Tak usah banyak drama yang tercipta. Toh endingnya sudah bisa terlihat, Zali dan Dira sudah bahagia. Teka-tekinya sudah mulai terbuka. Dan untuk apa lagi kalian membaca buku ini? Untuk mengetahui bagaimana kisah menyedihkannya Adit?
Dengan langkah yang ia lajukan lumayan kencang, Adit berlari menuju ke ujung daratan pantai. Berteriak di sini. Melepaskan semua penat di kepalanya, menyatukan suaranya dengan deburan ombak dan membiarkan air matanya mengalir seiring senja pergi.
Tunggu sebentar, menangis? Untuk apa Adit menangis? Dia kan laki-laki dan tak sepantasnya seorang laki-laki menangis.
Tapi untuk kali ini, tolong jangan protes! Kali ini Adit ingin berbicara tanpa mengeluarkan kata dengan semesta karena semuanya tak sesuai dengan keinginannya. Ketika kata tak dapat lagi terangkai dengan jelas, kini hanya air mata yang memperjelas semuanya. Kelelahan dengan semua kebohongan yang ia tutupi pada Zali dan juga kemunafikan yang ia sudah ciptakan pada Dira. Adit munafik, Adit bodoh, Adit yang tidak mempunyai otak dan hati! Pantas.
“Jingga, jangan gampang bilang nggak suka. Kalau ketagihan nanti kamu malu sendiri”
Suara itu?
Adit melihat ada bayangan manusia yang berdiri di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita yang menggunakan jaket Hoodie hitam, rambut yang dikuncir kuda lalu ia tutupi menggunakan topi yang berwarna putih. Sepatu Converse berwarna putih itu sudah tertutupi oleh kotornya pasir pantai.
“Lo kenapa ada di sini?”
“Gue kira seorang Aditya Rhazes nggak akan bisa nangis. Gue kira hanya wanita yang boleh menangis, tapi ternyata laki-laki kaya lo juga bisa nangis ya?”
“Lo ngapain ada di sini?”
“Tanya sama Rancabuaya, siapa orang yang jatuh cinta duluan sama tempat ini”
Air mata yang semula mengalir perlahan mulai terhenti. Rasanya juga perlahan semakin hilang karena saat ini ada Dita di sampingnya.
“Lo ke sini sendiri?”
Dita mengangguk. Banyak yang Adit lihat dari wajah wanita ini. Wajahnya tampak seperti kelelahan. Bukan kelelahan karena melakukan aktivitas berat, tapi kelelahan karena memikirkan suatu masalah yang sama beratnya dengan masalah yang kini menyelimuti Adit.
“Udah gue bilang. Jangan gampang bilang nggak suka, kalau ketagihan nanti malu sendiri”
“Maksud lo?”
“Inget nggak saat awal-awal lo bilang kalau lo nggak suka sama Dira. Padahal lo udah nyimpen rasa itu sejak kecil.” Dita tertawa pelan “Kalau gini, lo pantes sih buat disebut munafik. Lo emang gitu. Percaya atau nggak,tapi ini yang terjadi. Dira jalan sama Zali, Lo bilang kalau lo suka sama Zila, padahal jelas banget kalau Zila itu pacaran sama Reind”
“Lo tahu dari mana?”
Kenapa Dita tahu sedetail itu, padahal Dita tidak pernah ikut mengobrol dengan Adit di sekolah. Tahu dari mana dia?
“Angin yang diutus sama semesta, dia bisikin gue kayak gitu”
“Lo kenal Zila darimana?”
“Gue baru tahu, Zila yang kalian maksud itu adalah Zila temen satu akademi gue. Gue tahu kalau mereka pacaran. Dan gue juga tahu kalau sekarang dia koma” Jadi begitu?
Adit tidak menjawab. Ia menatap ke arah laut lepas. Melihat sunset yang sedang tampil di depan matanya. Jingga sudah mulai pergi, sedikit demi sedikit dan nanti akan datang gelap.
Keberadaan Dita di sampingnya kini membuat Adit sedikit tak bisa bergerak bebas. Ditambah lagi dengan suasana malam yang perlahan mulai datang dan mengawali kegelapan di Indonsia bagian barat ini.
“Gue mau minta maaf sama Dira Dit, gue salah banget sama Dira” Adit menatap Dita yang kini sedang menundukkan kepalanya mengarah ke tanah. Topi yang semula menempel kepalanya ia biarkan terjatuh di pasir. Sepatunya juga ia lepas dan dibuatkan tergeletak bersama dengan topinya.
“Bagus kalau lo sadar”
“Bantu gue ya Dit, bantu gue buat minta maaf sama Dira”
Adit tersenyum miring, bagaimana caranya ia bisa membatu Dita, sementara Adit sendiri tak berani untuk berbicara banyak pada Dira.
“Nggak lama lagi, gue akan pindah ke Sumedang. Dan setelah itu, lo tahu lah apa yang terjadi”
“Yang gue tahu, lo itu Aditya, orang yang nggak gampang nyerah”
Semua orang bilang seperti itu. Tapi kini keadaanya sudah berbeda. Adit bukanlagi orang yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan hati seseorang. Saat sang tuan rumah sudah mengusir, kini tak ada lagi alasan untuk tetap bertahan di Rumah itu. Jangankan untuk kembali menetap, untuk datang ke depan pintunya saja, Rasanya sudah tak lagi pantas.
“Senja, jangan cepat pergi. Penggemarmu kini sedang murung. Jangan ditambah lagi dengan kegelapan. Nanti dia bisa menangis”
Dita berbicara dengan siapa? Dengan senja yang sebentar lagi akan hilang?
“Senja, silahkan pergi. Aku bukanlah penggemarmu. Aku tak akan menangis. Sudah waktunya kamu pulang kerumahmu. Begitupun aku, Hanya saja aku tidak tahu di mana Rumahku. Senja, pergi saja. Jangan dengarkan aku berbicara lagi. Tapi janji, besok kamu datang lagi ya”
“Senja, tolong jangan pergi dengan cepat. Kali ini bukan dia yang bercerita kali ini aku.” Dita menarik nafasnya. Adit terus memperhatikan Dita yang terus menatap lurus ke arah laut lepas. “Senja, bagaimana ya rasanya menginginkan sebuah Rumah, tapi Rumah itu sudah dimiliki oleh orang lain. Padahal Rumah itu dekat sekali dan aku sering berkunjung ke Rumah itu, tapi sayangnya sang tuan Rumah tak pernah menyuruhku untuk menetap. Sang tuan Rumah selalu menyuruh aku untuk pulang. Karena, aku bukan pemiliknya. Aku hanya pengunjung. Tapi, aku ingin menjadi pemiliknya. Senja, bisa tidak?”
Adit tersenyum saat mendengar ucapan Dita barusan. Jadi, dia menginginkan hati yang sudah dimiliki oleh orang lain?
“Ta, berhenti berbicara sama senja ya. Dia nggak akan pernah jawab pertanyaan kita”
“Lalu?”
“Bicara sama gue, karena gue nggak kaya senja yang selalu menggantungkan jawaban dari setiap pertanyaan lo”
Entahlah sudah berapa lama Dita dan Adit tidak berbicara seperti ini. Semenjak permasalahan olimpiade itu, dan setelah pertengkaran Adit dan Dira. Hingga kini, Baru ada percakapan panjang seperti ini lagi.
Sebenarnya, bertengkar dengan Dita dan Dira itu bukanlah hal yang menyenangkan. Karena itu, Adit kehilangan salah satu hal yang hampir menjadi rutinitasnya, yaitu menganggu Dira, Main bareng game mobile legends bersama Dita dan Mengajak Dira pergi dari kejaran Dita.
“Tapi gue nggak pernah yakin kalau lo bisa jawab pertanyaan gue”
“Belum dicoba ya belum tahu. Jadi coba aja dulu”
“Nggak mau. Males banget gue”
Dita tetap sama, masih tetap menyebalkan. Dia memang laki-laki yang sepertinya kehabisan stok otak baik, jadi semua yang ada di otaknya adalah rencana yang menyebalkan dan membuat orang lain susah.
“Jadi pacar gue, mau nggak Ta?”
***
“Jadi, ini tuh club Barcelona. Di sini tuh ada pemain bola paling terkenal di dunia. Namanya Lionel Messi. Mainnya bagus banget, yah pokoknya aku suka banget kalau dia main. Walaupun mainnya tengah malem, Aku akan tetep tonton dia”
Ini adalah hari sabtu, dan ini adalah hari di mana Dira berjanji akan menemani Zali kemanapun ia akan pergi.
Tapi pilihan Zali jatuh pada Rumahnya, Rumah besar dengan arsetektur sangat indah. Di dalam Rumah ini juga banyak sekali pemandangan foto para pemusik legendaris dunia.
“Kalau kamu paginya sekolah, bakalan tetep nonton?”
“Iya, walaupun kadang diomelin ayah”
Zali masih tetap berkutik pada stik game miliknya. Katanya, ini adalah pertama kalinya ia memainkan game setelah sekian lama berkutik pada sibuknya membuat teka-teki untuk Dira.
“Oh iya, bunda kamu mana? Aku mau cerita sama dia lagi. Dia seru banget Zal”
“Bunda nggak tinggal di sini”
“Kamu sendiri di sini?”
“Sebenarnya sih nggak, Cuma lebih sering sendiri, tapi lebih sering sama Zila di Rumah Sakit”
Jika di sini Zali tinggal sendiri, lalu di mana Rumah tempat bundanya tinggal. Kenapa ucapan Zali menimbulkan banyak pertanyaan baru yang lebih membingungkan.
“Zali”
“Hmm-“ masih tetap mengarah ke layar yang ada di depannya.
Manusia ini Sedang bersama dengan Dira, tapi kenapa Zali sepertinya sedang sendiri. Ia asik pada games yang ada di layar itu.
Seperti tidak sadar jika di Ruangan ini juga ada Dira.
“Mau tidur ngantuk”
“Sini” Zali memberikan bahunya, dan memberi kode agar Dira menyandarkan kepalanya diatas bahu Zali. Tapi, pandangannya masih tetap mengarah pada layar televisi yang ada di depannya.
“Nggak mau, bahu kamu isinya tulang semua. Sakit tahu”
“Mau tidur beneran?”
Dira mengangguk. Sebenarnya lebih baik tidur daripada menunggu Zali selesai main games
“Mbok May” Zali berteriak tepat di telinga Dira. Dan nyeri, perih. Teriakannya cukup kencang dan Mbok May yang ia maksud dengan segera datang “Dia mau tidur, anterin ke kamar tamu di samping tangga”
“Nggak apa-apa?”
“Nggak, nanti selesai main game aku bangunin. Kita jalan-jalan naik sepedah”
Dira mengangguk, belum genap setengah hari saja Dira sudah dibuat nyaman dengan ceritanya tentang club bola favoritnya itu. Sayangnya, Dira mengantuk dan memilih untuk tidur.
Ceritanya tidak terlalu penting, tapi jika itu hilang. Rasanya akan lebih sakit daripada kehilangan emas berlian harta dan semua barang berharga.
***
Ini grup!!
Reind ; Ngeban yuk boss!
Gazza; Ngeban?
Reind ; Ngeband bos!
Kenzo ; Jam 4 ya bos. Yang punya pacar mau nonton dulu
Adit ; So and Ngong. An and Jir.
Gazza ; Ngomong opo toh mas.
Reind ; Aka ipar mana ya. Kok minyak doang sah.
Kenzo ; Minyak terus dia kak, abis beli minyak
Gazza ;Biar apa sah?
Adit ;Renangaja sah. Jangan ngeband. Bo and san.
Reind ; Kasian kakak ipar baru sembuh.
Gazza ; Kakak ipar? Kaya diakuin aje lu bos.
Adit ; Ayolah, Ngopi aja.
Reind ; Ke Ciwalk yuk. Nonton band.
Adit ; Rumah gue aja sini ngeband bareng.
Kenzo ; Jomblo harap tenang! Gandeng teing sih.
Reind ; Gandeng apaan sih? Gandengan?
Adit ; Berisik tulul.
Reind ; Siapa yang berisik Dit?
Adit ; Lu Reindang basi!
Zali ; Bubar!!!! Nggak bubar nggak jajan.
Gazza ; Nggak COD nggak Jajan.
Zali ; Jam 7 malem. Ciwalk kita ngopi.
Reind ; Kakak ipar paling ngerti dah.
Adit melemparkan handphonenya ke sembarang arah, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur yang ada di kamarnya.
“Dita,” Adit tersenyum miring di atas kasurnya. Memikirkan Dita kini tak akan ada habisnya.
Setelah kejadiaan kemarin Adit lebih mudah untuk tersenyum dan tertawa sendiri. Setelah ucapan Dita yang singkat dan sukses merubah hidup Adit.
“Jadi pacar gue, mau ya Ta?”
“Nggak akan pernah”
“Gue juga nggak akan pernah mau”
“Kenapa nanya?”
“Gue Cuma bercanda”
“Emmm, padahal kalau beneran gue mau”
“Oh yaudah kalau gitu Gue nggak jadi bercanda”
“Yaudah, kalau gitu gue yang bercanda”
Kalau ingat itu, rasanya ingin terus tertawa. Adit yang menyatakan dengan perasaan terpaksa harus mengaku jika ia bercanda.
Dita ya? Tidak ada rasa apa-apa. Hanya saja Adit tahu, Dita menyukai dirinya dan Dita tak berani untuk berkata jujur.
Dan lupa! Adit lupa dan benar-benar lupa!
Dengan segera Adit mengambil jaket yang tergantung di depan lemari bajunya, ia berlari menuju ke garasi dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Dita.
“Lama banget sih!”
Sudah bisa ditebak. Dita akan marah jika dijemput terlambat.
“Lo mau ngapain sih Ta?”
“Latihan”
Bencana, Adit harus mengantarkan Dita ke tempat akademi taekwondonya. Dan itu artinya, Adit harus menungu sampai Dita selesai latihan.
“Gc, sebentar lagi jam 4 nanti gue diomelin Sabeum.”
“Sabeum lo suruh lawan gue”
“Punya nyawa banyak lo Dit?”
“Ratusan”
“Lo kira iklan wafer apa”
Dita tertawa. Adit melajukan motornya ke kawasan dekat Cihampelas.
Tempat akademi Dita memang berpindah-pindah. Kadang di Dago, kadang di kawasan Cihampelas, dan kadang juga Di dekat Centrum. Tidak menentu.
“Lo pulang jam berapa?”
“Sekitar jam 7”
“Temenin gue ya”
“Kemana?”
“Nanti juga lo tahu”
***
Zali melangkahkan kakinya menuju ke Garasi, untuk mengambil sepedah yang sudah lama sekali tidak ia gunakan. Sepedah gunung yang biasa digunakan oleh ayahnya untuk berkeliling komplek. Tapi kini, lupakan saja. Semuanya kini telah berubah.
“Kita mau main kemana?” Zali hanya menoleh ke arah Dira yang berada di luar Garasi.
Anak itu baru saja bangun dari tidurnya dan katanya hari ini ia masih mengantuk dan ingin tertidur lagi.
“Mau ke Cihapit. Main sepedah di sana”
“Jauh”
“Aku pembalap”
Dira masih setia berdiri di depan Garasi, padahal sepedahnya sudah keluar dari Garasi.
Zali senang bisa melihat Dira, bisa menghabiskan seharian bersama dengan Dira. Dia itu, ya seperti Candu. Jika sudah sekali bersamanya, akan kecanduan. Benar kata Adit, Dira itu spesial dan hanya untuk orang yang spesial.
Tapi, Zali belum merasa jika sudah menjadi orang yang spesial untuk Dira.
“Ayo naik, diem aja”
“Berdiri?”
“Iya”
Setelah Dira naik di belakang sepedah, Zali melajukan sepedahnya ke Cihapit. Tempat bersepedah sore hari dengan aman dan nyaman.
Sebenarnya, Kota Bandung ini adalah kota yang paling baik, itu sih menurut Zali, karena Bandung sudah berikan Zali seorang wanita manis yang ramah, seramah Kota Bandung.
“Apa arti Bandung untuk kamu Zal?” Suara Dira yang terdengar ragu itu tertangkap oleh telinga Zali.
“Bandung nggak akan berarti apa-apa kalau nggak ada kamu. Bandung terasa sempurna karena ada kamu. Suatu tempat akan sangat berarti jika dilalui bersama dengan orang-orang tertentu. Tentang Cihapit, aku punya banyak cerita indah bersama orang tuaku di sini.”
“Jangan tinggalin Bandung ya Zal”
“Kalau aku pergi?”
“Kalau kamu pergi, Aku juga akan pergi”
Satu kilo meter lagi untuk sampai di Cihapit, ternyata perjalanan dari rumah Zali ke Cihapit lumayan jauh. Dan lelah.
Kenapa Dira senang naik sepedah ya? Padahal naik sepedah itu melelahkan. Benar sih, sehat dan berkeringat ya tapi, tetap Saja lelah.
Sampai di Cihapit, Zali mengajak Dira makan di tempat makan Ibu Uwi yang berada di deretan Cihapit. Sejak kecil, Zali senang main di deretan Cihapit bersama dengan ayah, bunda dan Zila. Tapi dulu, Cihapit belum menjadi tempat bersepedah seperti ini. Tapi, beberapa tahun yang lalu Zali mendengar jika Cihapit sekarang sudah menjadi tempat bersepedah. Ini semua, berkat Kang Emil yang sudah membuat kota Paris Van Java kini menjadi kota Paris sungguhan.
“Bandung semakin indah sekarang” Ucap Zali pada saat menunggu makanan di tempat makan Ibu Uwi.
“Tapi kata ayah, Bandung itu lebih indah dulu, dari pada sekarang”
“Inikan masanya kita, bukan masanya ayah sama ibu kamu atau masanya ayah sama bunda aku”
“Iya, aku tahu.”
“Dir, apa pendapat kamu kalau ibu kota Indonesia dipindahkan ke Bandung?”
“Aku nggak setuju, Jakarta juga dulu indah, seperti Bandung. Tapi sekarang kamu tahu bagaimana kondisi Jakarta kan? Banjir, macet, polusi di mana-mana, dan aku nggak mau Bandung tempat tinggalku menjadi seburuk Jakarta”
“Bandung juga macet, dan kadang banjir—“
“Tapi aku masih bisa menghirup udara segar di halaman rumahku, dan di taman-taman di Bandung”
“Kamu perduli sama kota ini?”
“Aku lahir di Bandung, besar di Bandung, dan aku bertemu dengan orang yang sangat baik dalam hidupku juga di Bandung, mungkin selanjutnya, aku tidak tahu apa yang Bandung berikan lagi padaku, sebuah kebahagiaan atau sebuah kesedihan, yang terpenting Bandung itu adalah kotaku”
Zali terdiam mendengar jawaban Dira, anak lugu ini memiliki teori khas miliknya, tentang Bandung menurut pandangannya.
“Aku bawa jus tomat. Kamu mau?” Dira mengambil botol minumnya yang ada di dalam tas kecil miliknya.
“Aku juga bawa jus alpukat, kamu mau?”
“Mana?”
“Masih di toko. Nanti aku beli dulu”
Dira tertawa. Zali rela jadi orang bodoh hanya untuk membuat Dira senang. Dira yang biasanya murung, kini tertawa. Zali senang.
Bersamaan dengan itu, Makanan yang ia pesan datang dan Zali dengan segera menyantap sepiring lontong sayur itu.
Selama makan, Zali tak akan pernah berani untuk mengeluarkan suara. Karena dua alasan, yaitu memakan banyak waktu juga tidak baik untuk kesehatan.
“Zali aku kenyang” Dira menyingkirkan piring yang semula ada di hadapannya.
“Sini aku yang abisin”
“Nggak kenyang?”
“Kamu kenyang, aku sayang”
“Ketawa jangan?”
“Jangan”
“Kenapa?”
“Ketawa kamu bikin aku nggak bisa tidur”
Zali terlalu banyak menggombal, memang memuji seorang Dira tak akan pernah ada habisnya, terlebih lagi karena perasaannya untuk Dira dan keinginannya untuk terus membuat Dira senang. Itu adalah tujuan Zali saat ini. .
“Mau tahu teka-teki selanjutnya?”
“Mau”
“Mitologi yunani dan matahari”
Dan pasti, Dira akan bingung dengan kalimat yang baru saja Zali ucapkan.
Dira terdiam, ia tak menjawab dan hanya melamun. Dira sejak tadi hanya memutar ujung sedotan untuk mengaduk tehnya yang sebenarnya sudah tercampur rata.
Jawabannya benar, Dira sedang berpikir.
***
Dari tribun paling atas, Adit memperhatikan Dita yang kini sedang berlatih. Wanita itu sangat meminati bidang pergulatan. Tapi pergulatan kali ini adalah pergulatan yang bertujuan baik. Tapi tujuan Dita untuk mengikuti akademi ini adalah untuk mengikuti kejuaraan dan membuat orang tuanya bangga. Itu yang dibilang Dita dulu.
Entahlah sudah berapa botol air mineral yang ia tenggak selama 3 jam yang lalu. Tapi yang jelas, Dita belum kunjung menemuinya dan Adit sedikit jenuh berada di atas sini sendirian.
Salahnya, Adit berjanji jika akan menemani Dita pergi kemanapun keinginannya. Tapi, seperti ini malah menjenuhkan. Ingin pulang!
Tapi sepertinya, Ada satu acara malam ini, ajakan Zali untuk sekedar kumpul dan ngopi bareng di Ciwalk. Dan, saat ini sudah jam setengah tujuh malam Adit masih bersama dengan Dita di akademi ini. Tapi, jika mengajak Dita nanti ia bisa bertemu dengan Zali dan Dira.
Sebenarnya, bukan masalah Dita saja. Tapi ini adalah masalah Adit juga. Karena Adit tak akan siap melihat Zali dan Dira jalan berdua. Walaupun ia sudah sering mendengar sendiri dari mulut Zali tentang perjalanannya ke suatu tempat bersama dengan Dira.
“Dit!” Suara Dita membuat Adit menghentikan lamunannya dan menatap ke arah Dita.
“Udah selesai?” Dita duduk di samping Adit, dia masih menenteng tas di tangannya.
“Udah. Lo bosen ya nunggu gue?”
Adit menggelengkan kepalanya, berusaha menghindari pembicaraan yang membuat Dita menjadi tidak enak.
Dita masih setia dengan kaos panjang dan celana training miliknya, keringat di keningnya mengalir deras seperti tak ada hambatan.
“Lo cape nggak sih kaya gini?”
“Nggak, biasa aja”
Adit terdiam ia masih bergulat pada pikirannya, mengajak Dita, atau tidak?
“Jadi cewe nggak enak ya, kalau suka sama cowo nggak bisa langsung bilang, bisanya diem, nunggu dan berharap kalau cowo itu juga suka sama kita. Dan jadi cewe kaya gue lebih nggak enak. Selalu dipenuhi rasa takut untuk nunjukin kalau gue suka. Gue Cuma bisa diem dan diem. Gue Cuma jadi penonton sekaligus pemeran pengganti. Rasanya nggak enak Dan—“
Seketika itu juga Adit memotong ucapan Dita. Adit tahu apa maksud Dita. Adit tahu, siapa laki-laki yang Dita maksud. Adit mengenal jelas semua perlakuan yang Dita lakukan pada orang yang ia cintai.
“Gue kasih tahu satu hal ya Ta, kalau lo suka sama seseorang itu, lo bilang aja. Jangan buat orang yang lo suka itu nunggu peka kode yang lo kasih. Ta, lo sering loh kaya gini. Ya, emang salah ya kalau cewe ngomong duluan? Terus, lo kira cowo itu cenanyang yang bisa baca pikiran lo? Kode nggak berlaku di dunia ini, apalagi di dunia gue, Karena apa? Kode itu nggak bisa diartiin sama orang yang bodoh seperti gue”
“Ya tapi, gue gengsi kali kalau ngomong langsung”
“Terus lo korbanin perasaan lu karena gengsi. Diantara banyaknya wanita di Kota Ini, Cuma ada tiga cewe yang gue anggap beda, yang pertama Dira, yang kedua Zila, dan yang terakhir itu lo. Tapi sekarang, Setelah gue tahu kalau lo itu cewe yang ngengsian, ternyata gue Cuma simpulin ada dua cewe yang gue anggap beda.”
“Oh, lagian pula gue nggak pernah berminat untuk masuk ke dalam daftar cewe yang lo anggap beda itu”
Adit tersenyum, ia menatap Dita yang kini sudah menekuk bibirnya. Dia manis, hanya saja Dia galak. Dan Adit tidak Pernah menyukai wanita galak.
“Jangan baper dong. Ganti baju sana. Ikut gue ngopi ya”
Dita hanya memutarkan bola matanya menatap Adit dan berjalan pergi meninggalkan Adit. Tapi tak berhenti sampai di sana. Adit mengejar Dita dan berteriak di hadapan banyak orang.
“MEYSISKA FARADITA! GUE CINTA LO”
Adit tahu, kelakuannya sudah sangat gila dan benar-benar gila.
“Lo gila! Gila banget!” ucap Dita yang langsung berlari menuju ke ruang ganti.
***
Tadi sore, Dira sudah bersepedah di kawasan Cihapit, dan malam ini, Zali mengajak Dira untuk beristirahat dan merilekskan tubuhnya bersama dengan kopi di deretan Ciwalk.
Tapi, kali ini tidak berdua, Zali bilang jika kali ini akan ada temannya, termasuk Adit. Malu sebenarnya jika bertemu dengan Adit saat bersama dengan Zali. Tapi mau bagaimana lagi, Dira yang berjanji akan menemani Zali kemanapun ia akan pergi sebagai tanda maaf karena kemarin Dira tidak mau diajak pergi ke Subang.
“Mau kopi yang kayak kemarin aja” Ucap Dira pada Zali yang sedang memegang kertas daftar menu.
“Dira, kenalin ini Kayla, Pacar gue” Ucap Kenzo yang menatap Kayla dan Dira secara bergantian.
“Kayla”
“Dira”
Dengan jabatan tangan dan juga senyuman, akhirnya Dira memiliki teman baru.
Di sini sangat ramai, ada Kenzo dan Kayla, Reind, Gazza, Marvin dan Lia. Tapi tidak ada Adit, Dia kemana?
“Sorry gue telat” Suara Adit seketika mulai terdengar, Dira melihat Adit yang duduk di hadapannya, tapi hanya sekilas dan kemudian Dira kembali asik dengan Zali.
“Oh iya Dit, tadi lo bilang lo bawa cewe baru, bener?” Tanya Kenzo.
Cewe baru? Siapa?
Zali kini menatap ke arah ponselnya, ia sedang berkomunikasi lewat mesangger dengan perawat yang merawat Zila di Rumah Sakit. Dan jika sudah menyangkut tentang Zila, Dira tak akan berani untuk menganggu.
“Bener lah, Dia lagi di toilet. Palingan nggak sampe lima menit lagi dia dateng” Jawab Adit yang kemudian menenggak kopi yang ada di hadapannya, padahal itu adalah kopi milik Dira yang baru saja datang.
“Bos, itu punya Dira. Asal minum aja lo” Ucapan Gazza membuat Adit tersendak.
“Oh, maaf ya Ra, gue kira punya siapa gitu”
Tuhan, cara bicara Adit pada Dira kini sangatlah berbeda. Sangat jauh dari kata baik. Dan perasaan ini aneh, kenapa tiba-tiba merindukan Adit berbicara dengannya.
“Nggak apa-apa”
Dira kembali melirik ke arah Zali yang masih membalas chat perawat Zila. Tampaknya dia menulis kata yang sangat panjang, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Maaf, lama”
Lah? Kenapa ada Dita di sini?
“Zal?” Dira menyenggol bahu Zali dan membuat Zali langsung tersadar lalu menatap Dira.
“Kenapa?”
“Kok ada Dita?” Ucap Dira dengan suara yang pelan dan persis berbisik.
Zali tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahunya sebagai arti jika ia tidak tahu.
“Oh iya, kalian udah kenal Dita kan? Kalau dulu yang kalian kenal, Dita adalah temen gue. Sekarang kalian harus kenali Dita sebagai” Adit menjeda ucapannya “Pacar gue”
Seberti disambar petir pada saat cuaca panas. Dira yang semula baik-baik saja, bahkan masih bisa tersenyum kini harus dikejutkan dengan berita yang jauh dari kata baik untuk hatinya.
Sahabatnya sudah mengambil dua hal yang berarti. Tapi Dira mencoba untuk tidak bersikap egois, Dira mencoba untuk menahan kondisi hatinya agar tetap baik-baik saja.
Dira bingung, apa yang harus ia lakukan saat ini, Dira bingung ingin melakukan apa? Tetap bertahan di tempat ini? Sama saja, membuat hatinya semakin berantakan.
Padahal ya, sekarang Dira sudah bersama dengan Zali, tapi kenapa saat melihat Adit dan Dita, hatinya ikut sakit?
“Kok bisa sama Dita? Ternyata Adit suka sama yang galak ya?” Gazza geleng-geleng kepala.
“Dia tuh bukan malaikat tak bersayap. Tapi iblis tak bersayap, Iya nggak Ta?” Adit menyenggol bahu Dita.
“Lo tuh, dedemit hidup” Jawab Dita.
“Dedemit apaan Ken?” Tanya Reind.
Reind adalah orang yang tidak bisa menggunakan bahasa sunda ataupun mengartikan apa yang teman-temannya ucapkan, walaupun sebenarnya teman-temannya mayoritas tinggal di Bandung sejak kecil dan mengerti sedikit-sedikit tentang bahasa sunda, berbeda dengan Reind, Reind berasal dari panti asuhan di Jakarta dan diangkat oleh orang tua angkatnya saat ini lalu Tinggal di Jakarta sejak kecil hingga ia menamatkan study SMPnya, baru satu tahun yang lalu, Reind pindah ke Bandung.
“Dedemit itu setan” Jawab Zali yang masih tak beralih dai handphonenya.
“Oh, Jagain Dita ya boss. Jangan gampang bosen” Ucap Reind.
“Adit gerak cepet ya, gue baru tahu” Gazza mengangkat suaranya .
Dira malas ada di sini. Dira ingin pulang, tak mau mendengar ucapan selanjutnya yang akan lebih menyakitkan.
Saat ini Dira hanya sebagai penonton, penonton pertunjukan Dita dan Adit yang tak tahu apa maksudnya. Ingin menangis, Dita tega. Itu yang ingin Dira teriakkan di depan wajah Dita.
“Terlalu peka nggak boleh, nggak peka juga nggak boleh. Sekarang ya realistis aja. Pertahanin apa yang seharusnya dipertahanin, tinggalin apa yang harus di tinggalin. Dan satu lagi, pikirin apa yang harusnya dipikirin, bukan mikirin orang yang nggak sama sekali mikirin lo”
Ucapan Adit tepat mengenai hati Dira. Dira mengambil handphonenya dan menulisakan pesan untuk Zali.
Dira
Aku mau pulang. Sekarang!
Tak butuh waktu lama, Zali menarik tangan Dira dan ia berpamitan pada teman-temannya. Saat berjalan, Air mata Dira tak bisa lagi ia tahan. Ia keluarkan semuanya di depan Zali. Tangis air mata dan juga hidungnya yang sudah dilanda pilek, menambah penderitaan Dira.
Di dalam mobil adalah puncaknya, Dira menagis sekencang-kencangnya. Frekwensi air mata yang seharusnya di keluar malah melewati batas. Tangis yang keluar terlalu deras hingga nyeri di kantung mata itu terasa sangat jelas.
“Zal, Dita sahabat aku bukan sih Zal? Zali, kenapa Dita jahat?”
“Sini” Zali menarik kepala Dira ke bahunya, membiarkan Dira bersandar di bahunya. “Keluarin semua air mata kamu, walaupun orang kayak dia nggak pantes kamu tangisin”
Dira meredakan sedikit tangisnya, ia menyekat air mata yang semula membanjiri pipinya.
“Aku kira, Dita itu sahabat aku. Zal, Aku salah apa sama Dita? Sampe-sampe dia nyingkirin aku dari olimpiade dan sekarang—”
“Cukup! Kamu tangisin mereka, kamu pergi dari kumpulan itu, kamu tahu? Dengan cara itu secara nggak langsung kamu nunjukin kalau kamu cemburu”
Dira terdiam. Ia menatap Zali, Ada benarnya juga ucapan Zali baru saja.
Tidak boleh menangis lagi, Dira punya Zali. Dan ikhlas, Dira coba untuk ikhlas dan membiarkan semua yang terjadi hari ini berjalan sesuai dengan keinginan semesta.
“Zali, Jangan pernah pergi”
Masih di sandaran bahu Zali, Dira menyekat air matanya, membiarkan hatinya ikut tenang di dalam keheningan mobil ini.
“Zali, maaf” Entah kenapa, ucapan maaf itu keluar begitu saja dari bibir Dira.
“Untuk apa?”
“Aku nggak sadar kalau ada kamu, aku lupa kalau kamu itu ada untuk aku. Zal, I’m Afraid of lossing you”
“Jangan nangis lagi, kalau kamu nangis lagi, aku akan pergi. Bener-bener pergi dan nggak mau kembali”
Zali mengelus halus rambut Dira, tentunya dengan sebuah senyuman manis khas miliknya.
“Kalau aku pergi?” Tanya Zali
“Aku juga akan pergi”