Rintikan air hujan kini semakin melebat. Untung saja, Dira sudah sampai di sekolah sebelum hujan datang dan kini Dira sudah terbebas dari basahnya hujan.
Kini Dira kembali ke rutinitasnya seperti dulu, berangkat ke sekolah menggunakan sepedah.
Sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu sepedah Dira sudah kembali, tapi beberapa hari yang lalu juga Dira selalu diantar jemput oleh Zali.
Koridor sekolah masih sepi, jam masih menunjukan pukul 06.30 dan itu artinya masih terlalu pagi untuk kategori siswa perusuh datang. Tapi pandangan mata Dira menatap lurus ke arah perusuh yang satu ini. Berbeda, perusuh yang rajin dan terbilang sangat mencolok di bidang akademik. Davin.
Langkah kaki Dira spontan terhenti saat dilihatnya ada Davin yang hanya berjarak kurang dari 5 meter dari tempat Dira berdiri. Rasa takut seketika itu juga seakan menyelimuti tubuh Dira saat dilihatnya Davin berjalan mendekati Dira.
Rasanya ingin berlari, tapi percuma. Ujung-ujungnya juga Dira akan berhadapan dengan Davin. Berlari dari hadapan laki-laki ini sama seperti membuang-buang tenaga dan waktu. Sebisa apapun Dira berlari, tetap saja akan terkepung oleh Davin.
“Gimana? Udah tahu gimana akhir ceritanya?” Davin kini berada tepat di hadapan Dira. Laki-laki berkulit putih dan berambut sedikit pirang itu menunjukan kesombongan dirinya dihadapan Dira.
Untuk apa?
Agar Dira kembali lagi ke pangkuannya? Tapi sayangnya tidak akan mungkin pernah. Bagaimanapun keadaannya. Walaupun BTS, Exo, Wanna One udah punah, dan Dia adalah spesies laki-laki terakhir di muka bumi ini, Dira tetap tidak akan mau.
“Lo tahu kan apa yang gue lakuin itu nggak sepenuhnya sepihak keinginan gue? Lo tahu, perjanjian yang terucap itu adalah satu jam setengah. Tapi pertandingan yang dilakuin Cuma 56 menit. Tapi untung itu permintaan lo, jadi gue turutin. Karena apa? Because I Love you.”
Satu jam setengah? Kenapa Zali bisa segila itu? Di mana letak otak Zali saat melakukan perjanjian itu?
“Kali ini gue nggak mau nahan lo terlalu lama. Silahkan pergi”
Tanpa mengeluarkan sedikitpun kata. Dira langsung berlari menaiki tangga dan berjalan menuju ke kelasnya.
Tepat di pintu kelas, Dira berpapasan dengan Adit. Mata Dira dan mata Adit juga berjumpa. Dan rindu itu hadir lagi, rasa kehilangan itu datang lagi.
Harusnya Dira senang karena tidak ada lagi orang yang menganggunya belajar dengan cara bermain gitar dengan suara yang kencang. Kini tidak ada lagi orang yang menganggunya saat sedang memperhatikan pelajaran dengan sebuah pertanyaan konyol yang tak perlu dijawab.
Dira Rindu lelucon Adit. Dira juga rindu dengan semua kejailannya yang membuat Dira kesal namun akhirnya tertawa.
Jika dipikirkan, hari-harinya kini dan hari-harinya dulu sangatlah berbeda. Dulu ada Adit, Marvin, Dita. Tapi kini hanya ada Zali. Dan semoga saja semesta tidak akan pernah merebut Zali seperti semesta merebut Adit.
Semesta, apakah yang rindu hanya Dira? Adit tidak? Rindu kenapa kau jahat? Kenapa kau datang sendiri? Kenapa sang pemilik rindu tidak ikut datang?
Benar apa kata orang, sesuatu yang sederhana akan terasa lebih berharga saat ia hilang. Mungkin dulu memang, Dira menganggap semua lelucon, atau semua pertanyaan konyol Adit itu adalah sesuatu yang tidaklah penting. Itu adalah satu hal sederhana, tapi kini hilang. Dan rasanya lebih sakit dibandingkan dengan kehilangan ribuan keping emas.
Dira menatap ke arah kursi Adit, penghuninya masih setia berdiri di ambang pintu bersama dengan Rio dan Marvin. Mereka bercanda dan tertawa, Adit terlihat senang-senang saja. Dan artinya rindu tidak menghampiri dirinya.
“Ra, bayar uang kas” Panggil Syereen saat Dira baru saja duduk di kursi.
Kebiasaan Syereen memang seperti itu. Menagih uang kas sebelum bel masuk pagi karena ia khawatir jika memintanya pada jam kosong setelah istirahat, semua siswa tidak ingin membayar. Apalagi Rio yang terkenal pengerusuh dan badboy kelas kakap itu selalu mempunyai alasan untuk lolos dari tagihan Syereen.
“Berapa?”
“Cuma satu minggu”
Dira mengambil selembar uang lima ribu yang ada di saku bajunya dan memberikan itu pada Syereen.
“Oke makasih”
Dira masih memperhatikan Syereen. Kali ini ia menghampiri tiga orang yang ada di ambang pintu. Marvin, Rio, dan Adit.
Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi? Sepertinya Tidak.
“Heh, punya lo itu 30 ribu, enak aja bayar Cuma goceng” Ucap Syereen sambil memukul kepala Rio menggunakan buku kas.
“Kaga ada lagi, Cuma segitu, ini buat pacaran nanti balik sekolah” Ucap Rio sambil menujukan uang 50 ribuan dari saku bajunya.
“Pacaran mulu yang lo urusin, awas aja ya kalau lo sakit gue gak mau ngeluarin uang kas untuk jenguk lo”
“Udah goceng dulu, besok lagi, kalau gue inget itu juga”
Adit dan Marvin yang menyaksikan itu terlihat geleng-geleng kepala sambil sedikit menyebarkan senyuman.
“Permisi” Dita mencoba untuk masuk ke dalam kelas. Tapi tubuh Syereen menghalanginya.
“Budeg apa culean sih? Gue bilang permisi. Gue mau masuk” Karena tak dapat respon apa-apa dari Syereen dan ketiga orang itu Akhirnya Dita menerobos masuk dan membuat Syereen terjatuh ke lantai.
Syereen bangkit dari ketersungkurannya tadi, ia berjalan dan meraih puncak baju Dita.
“Lo punya etika nggak sih? Lo diajarin caranya bilang permisi nggak sama bokap nyokap lo?” Syereen langsung menjambak rambut Dita.
Sementara ketiga orang yang berada di ambang pintu kini hanya menonton dan sepertinya belum mempunyai niatan untuk memisahkan pertengkaran yang sebentar lagi akan dimulai.
“Gue udah bilang permisi. Lo yang budeg!” Jawab Dita.
“Memang lo kira Cuma lo yang ada urusan di jalan itu? Lo pikir gue nggak denger? Lo kira gue berdiri di depan sana sengaja untuk main-main?”
“Iya!”
Syereen melepaskan genggaman tangannya di rambut Dita. Ia tersenyum miring dan menatap Dira.
“Lo egois, pantes sekarang Dira nggak mau temenan sama lo. Lo mentingin diri lo sendiri dan nggak mikirin perasaan orang lain”
“Apa lo bilang?” Kini Dita menarik rambut Syereen.
“Lo budeg? Lo tuh egois! Denger nggak? Sadar dong ta, lo di sini nggak akan jadi apa-apa kalau tanpa nama bokap lo”
Dita melepaskan tangannya yaang semula menempel di rambut Syereen. Ia terdiam membisu. Tak ada kata yang Dira dengar. Selanjutnya Dita pergi dari hadapan Syereen, ia pergi keluar kelas dengan tas yang masih menempel di punggungnya.
Dira hanya bisa menyaksikan, ia tidak mempunyai kuasa untuk ikut campur urusan Dita saat ini.
***
Adit melangkahkan kakinya menuju ke Rooftop gedung lama, tempat yang biasanya dikunjungi oleh Dira. Kini dikunjungi oleh seseorang yang nama panggilanya hampir sama dengan Dira, Yaitu Dita.
Wanita itu tampak terkejut dengan kedatangan Adit yang tiba-tiba.
“Lo tahu kalau lo salah?” Ucap Adit yang hanya dibalas anggukan oleh Dita.
Wanita itu kini menangis dalam wajahnya yang ia biarkan terlungkup.
“Ta, kadang hidup nggak pernah sesuai sama yang kita inginkan. Dan lo juga tahu, nggak semua di hidup ini bisa dibeli pake uang. Apalagi ini Dira Ta, dia itu temen lo. Bahkan sahabat lo.”
Masih tak ada jawaban dari Dita, wanita itu masih menangis dengan kepala yang ia telungkupkan.
“Apa yang harusnya lo tangisin sih Ta?semua terjadi karena keegoisan lo, semua terjadi juga karena keinginan lo, tapi lo justru nangis karena ini?”
“Gue Cuma mau kayak Dira, itu salah?” Dita menganggkat kepalanya. Suara isak tangis itu begitu terasa saat Dita berbicara.
“Lo emang salah. Lo kenapa harus jadi orang lain? Lo jadiin Dira panutan, tapi ketika lo nggak bisa ngikutin panutan lo, justru lo malah ngejatuhin dia. Lo emang pantes disebut bego.”
Adit tahu ucapannya terdengar kasar. Tapi sebenarnya tujuan Adit berbicara sekasar ini adalah membuat Dita sakit hati dan akhirnya hati Dita terbuka dan menyadari kesalahannya.
“Lo tahu nggak Dit? Bokap nyokap gue selalu bangga-banggain Dira di depan gue, mereka mau kalau gue itu kayak Dira karena bisa banggain nama orang tua. Padahal gue juga bisa Dit, gue bisa bikin nyokap bokap gue bangga. Tapi caranya beda sama cara Dira”
Kini Dita menatap Adit. Adit masih terdiam untuk mendengarkan kelanjutan cerita Dita.
“Lo juga sadar nggak sih? Setiap kali kita kumpul ber empat. Lo dan Marvin selalu mihak Dira. Lo selaku perhatian sama Dira dibandingkan sama gue. Padahal kami berdua. Lo bilang ini persahabatan. Tapi kenapa ada aksi saling mihak gini sih?”
“Tapi ini bukan alasan satu-satunya kan? Ada alasan lain kan?”
“Iya. Cinta”
Adit sadar. Dita juga mencintainya. Kenapa Adit tahu? Perlakuan Dira pada Adit sangatlah berbeda. Saat Adit menganggunya, Dita Tidak seperti Dira yang selalu memukuli Adit menggunakan tenanganya sehingga Adit kadang meringis kesakitan. Tapi Dita selalu marah dan akhirnya bersikap manja pada Adit. Jelas, dilihat dari sana menurut Adit sudah bisa disimpulkan jika Dita menyukai Adit.
Tapi ada hal yang disayangkan, Adit tidak biaa membalas perasaan Dita. Karena perasaannya sudah terlajur untuk Dira.
“Apa jadinya cinta dengan paksaan? Kalau lo berharap akhirnya akan berujung bahagia dan menyenangkan, lo akan salah. Karena sesuatu yang dipaksaka itu, nggak akan pernah berujung baik”
“Tapi apa gue harus nyerah sama apa yang udah terjadi sekarang? Gue harus diem aja? Gue harus nyerah sama takdir? Gue nggak boleh berusaha buat dapetin cinta gue, iya?”
Air mata Dita mengalir begitu saja melalui pipinya. Kenapa wanita lebih senang menangis ketika sedang diruntuki oleh masalah? Apa tidak ada cara lain selain menangis?
Kenapa tidak berusaha untuk tegar? Kenapa tidak berusaha untuk menjadi wanita kuat yang tidak akan mengeluarkan air mata? Padahal Air mata itu sangat berharga, dan mahal harganya.
“Tapi bukan dengan cara memaksa takdir. Semua orang di bumi ini pasti benci dengan paksaan. Apalagi cinta. Cinta itu sudah ditakdirkan datang tanpa ada paksaan. Sekarang apa jadinya kalau cinta dengan paksaan?”
***
Siang yang terik. Padahal tadi pagi hujan lebat.
Dira mendorong sepedahnya menuju ke rumah. Karena rantai sepedahnya copot tidak tahu kenapa dan apa sebabnya.
Jika terus-terusan seperti ini, Dira jadi malas untuk menbawa sepedah lagi ke sekolah pasti selalu ada tangan kreativ yang menjaili sepedah Dira.
“Dira,” panggilan itu membuat Dira menoleh. Suara seorang laki-laki. Tapi dimana letak suars itu berada?
Mata Dira mengelilingi setiap sudut jalanan yang sedang ramai lancar. Pandangan mata Dira berhenti tepat di depan sebuah bengkel motor. Orang itu melambaikan tangannya dan sedang tersenyum ke arah Dira.
Saat lampu merah menyala, orang itu langsung berlari sekencang-kencangnya dari seberang jalan ke arah Dira berhenti.
“Kepingan kedua, kamu siap?” Zali kini sudah berada tepat di depan Dira. Dengan pakaian lengkap seragam sekolahnya, tanpa di balut oleh sehelaipun kain yang menutupi seragamnya.
Walaupun katanya urusan Zali dan Davin sudah selsai, tapi jika Zali ke sekolah seperti ini, Dira masih risau.
“Kamu sudah minum obat?”
Zali mengangguk, dan Dira bisa menghela nafas lega. Zali pernah bercerita jika dirinya sangat sulit untuk menelan obat, terlebih lagi jika obat itu besar. Zali akan menggerusnya baru bisa meminum obat itu.
“Nih,” Zali memberikan sebuah gulungan kertas yang digulung menggunakan pita putih yang diikat.
“Kamu temenin aku?” Tanya Dira pada Zali yang kini berdiri di hadapannya.
“Selalu.”
Perlahan Dira membuka isi kertas itu. Tinta hitam tergores sempurna di atas kertas putih.
Kedai kopi,
Ciwalk.
ZZA
“Hanya itu?” Dira terkejut dengan isi yang ada di dalam kertas itu.
“Walaupun hanya itu, tapi kamu sukses bingung kan?”
“Ayo berangkat. Naik sepedah ya”
“Motor kamu?”
“Di bengkel. Lagi di acak-acak sama Reind, Kita ke sana naik sepedah. Kamu bonceng aku. Jangan aku terus yang bonceng kamu”
“Yasudah. Ayo”
Pada saat Zali menaiki sepedahnya, Dira teringat sesuatu yang akhirnya memperlambat waktunya untuk berangkat ke Ciwalk.
“Rantainya copot. Aku lupa”
“Oh, tunggu deh”
Zali melihat ke arah rantai sepedah. Terlihat ia sedikit memperhatikan rantai yang copot itu, dan sesegera mungkin memperbaikinya dengan tangan kosong. Tak ada perkakas yang membantunya menyelesaikan perbaikan rantai itu.
Setelah dirasa cukup, Zali mengambil alih kemudi sepedah yang semula ingin dikemudi oleh Dira.
“Katanya aku yang bonceng kamu”
“Mana bisa aku biarin kamu kelelahan karena bonceng aku”
“Gombal”
Zali hanya tertawa kemudian fokus mengemudikan sepedah.
Sepanjang jalan Dira hanya terdiam. Tak ada yang mau ia tanyakan, dan tak ada juga seseuatu yang harus ia jawab. Zali juga terdiam tak ada kata yang ia ucapkan.
Hiruk piruk kota Bandung yang menemani jalan Dira dan Zali kali ini. Kedua manusia ini sama sama terdiam dalam pikirannya masing-masing.
Sudah sampai di Ciwalk. Keringat juga sudah membasahi seluruh tubuh Zali. Saat Zali sedang sibuk menstandarkan sepedah Dira yang nampaknya gagal berulangkali.
Dira berlari menuju ke tempat penjual minuman dingin yang ada di sekitaran Ciwalk. Sebotol air mineral dan sebotol teh manis dingin yang sangat disukai oleh Zali kini sudah ada di tangan Dira.
Dari kejauhan, Dira melihat Zali sedang sibuk mencari keberadaan Dira. Dira segera berlari dan berdiri tepat di belakang tubuh tinggi Zali. Dira menempelkan botol yang berisi Teh manis dingin itu si pipi Zali. Dan sontak laki-laki itu langsung menoleh.
“Kamu tuh ya. Bikin panik aja” Zali tersenyum dan kemudian mencubit pipi Dira.
“Minum tuh”
“Makasih Say-“ Zali menghentikan ucapannya dan kemudian menatap Dira. “Ayo masuk”
Belum sempat mendengar kelanjutan dari sepenggal kata ‘Say’ Zali langsung menarik tangan Dira masuk ke dalam kedai kopi itu.
Orang-orang di kedai kopi sangat berbeda dengan orang-orang yang ada di toko es krim. Bisa dilihat dari wajah para pengunjungnya dan pelayannya. Sangat berbeda. Dan ini adalah pertama kalinya Dira berkunjung ke kedai kopi. Karena sejak dulu, Dira tidak pernah menyukai kopi.
“Kamu mau kopi apa?” Zali menawarkan menu yang terdapat pada kedai kopi ini.
Dira menggeleng. Sejak dulu ia tidak menyukai segala bentuk kopi. Bahkan Dira juga belum pernah sama sekali menyentuh cairan pekat yang bernama kopi itu.
“Aku mau ngenalin cairan hitam yang kata kamu pahit ini sama kamu. Semoga sih, kamu suka dan bisa berteman baik sama dia. Sama kaya aku bersahabat sama cairan itu”
Masih tak ada jawaban dari Dira. Rasanya Dira ingin pergi ke kedai eskrim saja. Di sini bukan tempat Dira. Ini adalah tempatnya Zali danDira tidak harus ada di sini.
“Untuk pemula seperti kamu, aku kasih kopi yang paling pahit. Tapi ada rasa nikmat yang terselubung. Aku harap kamu suka”
“Apa ini?”
“Cobain aja”
Dengan rasa ragu, Dira menengguk cairan berwarna hitam pekat itu. Rasanya. Sangat pahit. Tapi enak.
Dengan rasa pahit, ternyata Dira bisa menikmati kopi ini dengan baik. Ini adalah kopi pertama yang Dira minum seumur hidupnya. Sejak kecil, Dira menganggap jika kopi adalah minuman seorang laki-laki dewasa yang sedang stress ataupun anak berandalan yang sedang bergadang.
“Hidup itu kaya secangkir kopi Dir, meskipun pahit, harus tetep dinikmati”
“Tapi aku lebih suka es krim. Aku nggak suka nikmati hidup yang pahit ini. Aku lebih suka mengelak, dan membuat kebahagiaan sendiri. Yang bahagia, yang manis”
“Eskrim nggak baik untuk kesehatan kamu, apalagi untuk otak kamu”
“Dan ini espresso, minuman yang katanya bisa memicu kanker”
“Dan ada eskrim, eskrim kan bisa bisa mencegah kanker”
“Zali, tapi mencegah itu lebih baik daripada mengobati”
“Kamu kira aku secandu itu sama kopi? Nggak Dir, sebulan sekali. Paling sering ya dua minggu sekali. Dan paling lama dua bulan sekali”
“Nggak secandu aku sama eskrim?”
Zali menggelengkan kepalanya. Tak lama dia tersenyum.
“Aku lebih kecanduan sama kamu, setiap hari kayaknya harus liat kamu. Kalau nggak lihat, aku bisa sakau rasanya”
“Alah, kamu mah-“ Belum sempat Dira melanjutkan ucapannya, Zali sudah memotong ucapannya terlebih dulu.
Dira tidak suka jika ucapannya di potong. Menurut etika yang berlaku, memotong pembicaraan orang lain itu tidak baik.
“Gombal, iya kan? Aku mau tanya sana kamu deh Dir” Zali menyingkirkan cangkir kopi yang semula berada di hadapan Dira. Cangkir miliknya dan cangkir milik Dira dibiarkan berada di penghujung meja.
“Memang salah ya kalau aku bicara jujur? Kenapa sekarang sebuah ungkapan laki-laki itu disebut ‘Gombal’ padahal nggak seluruhnya ucapan itu Cuma rayuan tipu muslihat yang bikin para wanita meleleh. Kalau para laki-laki itu berkata jujur sesuai dengan apa yang dirasakan oleh hatinya, lalu wanita berbicara dan membalas perkataan itu dengan kata ‘Gombal’ pasti laki-laki itu sakit. Karena itu sama saja seperti disamakan oleh laki-laki yang tidak memiliki hati”
Saat ini Dira seperti mendengarkan materi pelajaran dari dosen ahli perasaan. Zalinya ini sangat sensitif pada perasaan, pada perkataan. Tapi untung saja, Zali tidak pernah mengikuti tren zaman sekarang ‘BAPER’ kalau kata Zali, dia itu adalah manusia yang anti baper-baper club. Mau disleding? Ayo. Mau dicaci? Ayo. Mau dimaki? Ayo. Mau dihajar sampe koma? Ayo. Nggak mau kenal sama balas dendam. Tapi kalau terpaksa, ya harus kenalan sama yang namanya ‘Balas dendam’ bahkan balas dendamnya Zali akan lebih parah. Kalau ia dihajar sampai koma, ia akan balas dendam kepada orang itu hingga mati.
“Ya maaf, lagian kan cowo jaman sekarang sama aja”
“Berarti aku sama kaya Al-ghazali ya?”
“Beda atuh”
“Tadi katanya sama.”
“Terserah”
Zali tidak pernah baper, tapi selalu Dira yang baper. Zali hanya bercanda. Tapi Dira menganggapnya serius.
“Tau nggak Dir, kenapa aku suka jalan berdua sama kamu gini?”
“Ya karena kamu suka sama aku”
“Oh, berani ya sekarang. Mulai PD nih sekarang?”
Dira hanya tersenyum, tapi Zali langsung mencubit dagu Dira kemudian mencolek leher Dira yang menjadi pusat rasa geli itu muncul. Dan di sana adalah kelemahan Dira. Semua perlakuan Zali itu sukses membuat tawa Dira semakin kencang.
Andai saja jika tidak dihentikan oleh Zali, Mungkin Dira akan terus tertawa tanpa henti. Karena Dira adalah orang yang sangat sensitif pada geli.
“Ini kedai kopi, harus tenang. Nggak boleh berisik” Ucap Zali yang membuat Dira akhirnya mencoba mengontrol suara tawanya.
“Kamu itu Respect Dir, itu yang bikin aku betah ada di samping kamu, sepanjang hari sama kamu juga nggak masalah. Walaupun kamu nyebelin”
“Respect?”
“Kamu selalu meletakkan handphone kamu di dalam tas dan memperhatikan apa yang aku bicarakan. Sederhana kan? Tapi itu adalah hal kecil yang disebut Respect. Jaman sekarang tuh, jarang ada cewe Respect, kebanyakan cewe itu nggak pernah jauh dari Handphone. Dan kamu cewe yang beda. Kamu aneh mankanya aku suka”
“Apa sih yang kamu suka dari cewe aneh?”
“Ya suka aja, aneh itu limited edition. Jadi aku suka.”
“Jadi kamu suka aku karena aku aneh dan limited edition?”
Zali tersenyum.
“Cinta kan datang sendiri, rasa suka hadir tanpa ada yang memaksa, kagum juga datang tanpa perasaan lain. Jadi nggak ada teori yang sangat meyakinkan untuk dijadikan alasan kenapa aku jatuh cinta sama kamu”
“Oh iya, Apa arti kepingan ini?”
“Masa harus aku kasih tahu? Yang main teka-teki itu kamu. Dan aku Cuma nemenin. Nggak bantuin”
Dira terdiam, ditatapnya kertas yang tadi diberikan oleh Zali.
Kedai kopi,
Ciwalk.
ZZA
Jadi pertanyaan? Apa maksud dari tiga kata yang penuh tanya ini?
***
Kesunyian malam kini menemani Adit di balkon rumahnya. Sepi, sunyi. Jika ia tahu rumah yang besar akan menimbulkan kesunyian, Adit akan memilih untuk memiliki rumah kecil. Tapi selalu diselimuti oleh keramaian.
“Dit,” panggilan berat seseorang membuat Adit menoleh ke sumber suara.
Ada ayahnya yang kini sedang berjalan menuju ke arahnya. Dan akhirnya, kini berdiri tepat di samping Adit.
“Sebentar lagi hujan, kenapa masih di luar”
“Di dalam sepi. Dan setidaknya di luar ada puluhan bintang yang mengelilingi satu bulan”
“Rencana ayah untuk pindah ke Sumedang, sepertinya akan dipercepat. Kita harus secepatnya pindah ke sana karena ayah nggak mungkin untuk pulang balik Bandung-Sumedang”
Pandangan Adit beralih menatap Ayahnya.
“Harus ya kita pindah ke sana. Ayah, ini rumah yang banyak kenangannya, terutama tentang ibu”
“Ibumu sudah nggak tahu ada dimana Dit, hampir 6 tahun dia ninggalin kamu,kakakmu, dan adikmu.”
“Ayah nggak berusaha cari ibu?”
“Cintanya sudah hilang, untuk apa dicari lagi? Katanya, cinta tahu kemana ia harus pulang. Dan sampai detik ini ia tidak kunjung pulang. Itu artinya ayah bukanlah rumah ibumu.”
Adit bisa mendengar ada nada berat yang terdengar di suara ayahnya.
Ibunya pergi, tak tahu kemana, tak tahu sekarang ada di mana dan bersama dengan siapa. Hampir 6 tahun, Adit tidak bertemu dengan seorang wanita yang sudah melahirkannya ke bumi ini.
Kalau bisa ia cari, Adit akan mencari kemanapun. Dunia akan ia kelilingi, Samudra akan ia sebrangi apapun. Asalkan Adit bisa bertemu dengan ibunya.
“Kita mulai semua yang baru di sana. Lupain rasa sedihnya. Kita mulai awal yang bahagia”
Sepertinya tidak bisa, Adit tidak bisa meninggalkan Bandung dan seluruh isi dari Bandung. Apa di Sumedang akan ada wanita seperti Dira? Yang aneh seperti Dira? Yang selalu menangis? Yang selalu bergantung pada satu orang? Yang mandiri? Apa ada?
“Ayah tahu, pasti sangat berat untuk pergi. Tapi kakakmu sudah bisa setuju, kenapa kamu masih bimbang?”
Adit menghela nafasnya berkali-kali, dihembuskannya secara kasar. Ini saatnya untuk setuju? Atau ini saatnya untuk menolak?
“Satu minggu lagi, Adit akan jawab pertanyaan ayah”
***
Restoran sudah sepi, kini hanya tinggal waktunya membereskan isi restoran, dan Selanjutnya pulang ke rumah.
“Pulang sama kakak ya Ra,”Ucap Revan dari meja kasir.
“Modus tuh Ra, jangan mau” Balas Ravin yang berada di dapur.
“Berisik lo, urusin tuh wajan minyak”
Dira yang sedang membersihkan meja pengunjung sontak tertawa pelan. Ia menatap Revan yang sedang membereskan meja kasir. Revan orang yang cukup baik, Revan yang bagaikan seorang kakak laki-laki yang menjaga adiknya bekerja, dia membuat Dira merasa nyaman selama berada di lingkungan Restoran. Karena Revan yang selalu menjaganya.
Setelah selesai membersihkan meja pengunjung, Dira berjalan menuju ke meja kasir san menghampiri Revan.
“Aku tunggu di depan ya kak, cepetan kerjanya jangan lama. Aku mau ngerjain PR”
“Oke bosku” Balas Revan yang disertai tawa.
Rencana awalnya, tadi Zali ingin menjemput Dira, tapi ia urungkan sendiri, katanya ia akan menjaga wanita itu di rumah sakit. Dira tidak bisa mencegahnya, karena wanita itu adalah separuh jiwanya Zali, dan itu artinya wanita itu masih yang paling utama. Dan Dira siapa?
Dira bingung dengan kata-kata Zali tadi siang, dia berbicara dari hati, atau hanya merayu? Tapi katanya dia berbicara mewakili perasaannya. Tapi apa benar? Lalu siapa wanita itu? Dan apa maksud tulisan kedai kopi, Ciwalk. ZZA. Apa sih? Ada apa di kedai kopi Ciwalk? Dan ZZA itu apa?
“Hey, Dek” panggilan Revan tepat dihadapan wajah Dira membuat Dira terkejut sekaligus menghentikan lamunannya soal teka-teki itu.
“Ayo naik. Kamu dari tadi ngelamun kenapa?”
Dira menenggak ludah. Ia harus cerita ini pada Revan atau tidak? Tapi untuk apa cerita. Belum tentu juga Revan mau membantu Dira untuk menyelesaikan teka-teki ini.
“Nggak pa-pa”
Motor itu melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota Bandung pada malam hari yang ramai lancar.
Seperti kodratnya kota Bandung, suasana dingin menyelimuti tubuh Dira. Ia memakai jaket milik Zali. Entahlah sudah ada berapa jaket milik Zali yang berada di rumahnya, yang jelas lebih dari dua.
Oke, Stop dulu untuk membicarakan Zali. Saat ini Dira sedang bersama Revan, jadi harus membicarakan Revan. Karena Revan itu spesies manusia yang tingkat kebaperannya ada di tingkat teratas. Beda dengan Zali.
“Kak Revan suka main teka-teki nggak?” Akhirnya setelah beberapa lama terjadi keheningan, Kini Dira angkat suara.
“Nggak, karena main teka-teki Cuma bikin kita bingung” Jawabnya dengan suara yang sedikit dikeraskan. Karena ini adalah jalanan. Dan jika Revan berbicara pelan, Dira tidak mungkin bisa mendengarnya.
“Oh jadi gitu”
“Iya”
Sudah? Tak ada lagi penjelasan tentang kebenciannya pada teka-teki?
Benar. Laki-laki di dunia ini sama saja. 1 : 1000 hanya 1 orang yang berbeda, tapi 1000 orang lainnya sama.
Sesampainya di rumah, Dira kembali merenungkan teka-teki ini. Bukannya mengerjakan PR, tapi Dira malah menyatukan teka-teki yang kemarin dan hari ini.
“Pertama; Kamar 576 dan isinya adalah seorang wanita koma yang katanya adalah separuh jiwa Zali. Kedua ; Kedai kopi, Ciwalk, ZZA. Di dalamnya adalah secangkir kopi hitam yang pahit beserta orang-orang yang pasti menyukai kopi. Apa sih maksudnya?”
“Apa ZZA itu singkatan nama seseorang?”
“Dan kedai kopi adalah tempat kesukaan ZZA itu?”
“Tapi siapa ZZA? Dan ada hubungan apa Zali, ZZA dan Dira?”
Dira menatap jam di kamarnya, sudah jam 11 malam dan Dira belum menyelesaikan PR yang harusnya ia kerjakan. Sejak tadi waktunya habis dengan berbicara sendiri di kamar ini. Gunanya apa sih Dira berbicara sendirian? Membuang-buang waktumu saja.