Tepat jam 10 pagi.
Hari ini Dira gagal untuk bangun pagi karena Zali yang tertidur sejak subuh tadi dan Dira juga yang terlalu pulas tertidur.
Dira membuka matanya secara perlahan, Zali masih tertidur dengan infusan yang masih menempel di puncak tangannya.
“Hujan” Dira menatap ke luar jendela. Rumah sakit ini cukup besar dan saat ini Dira berada di lantai 8 yang lumayan tinggi.
Dira duduk di hadapan jendela, melihat hujan yang terus turun dan rintikannya yang menempel di kaca jendela. Hujan, Kenapa tidak pernah menbenci manusia? Hujan, kenapa kau selalu datang meskipun kau tahu bagaimaana rasanya jatuh berkali-kali? Hujan, kenapa kau tidak bosan untuk mengingatkan manusia? Hujan, apa kau tidak sakit? Apa kau tidak lelah karena selalu diabaikan oleh manusia?
Aku ingin menjadi seperti hujan, sekuat hujan, seharum hujan, dan serajin hujan. Dan aku ingin menjadi teman hujan. Karena sepertinya berteman dengan hujan adalah suatu yang menyenangkan.-Batinnya
Pandangan Dira masih belum beralih dari pemandangan hujan yang berada tepat di matanya. Pikiraannya kini sedang menjalar ke arah hujan. Satu pertanyaan, kenapa hujan disenangi dan dibenci oleh banyak orang? Padahal hujan itu membawa sebuah kebahagiaan. Bukan kesedihan apalagi musibah.
“Dir” Dira sudah bisa tahu siapa orang yang memanggilnya. Tak salah, Di ruangan ini hanya ada Zali.
“Kenapa?”
“Ganti baju. Ada satu kepingan yang harus aku ceritain pagi ini”
“Ini bukan pagi lagi, udah siang”
“Aku nggak tahu.”
“Kamu makan dulu”
“Kamu juga makan dulu”
Untung saja sepertinya tadi pagi Kak Diana datang ke Rumah Sakit ini dan membawakan sepasang baju dan kue coklat yang sangat Dira sukai.
Dengan segera, Dira memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang sudah tidak mandi sejak kemarin pagi.
Setelah selesai mandi, Dira terkejut dengan ketidakhadiran Zali di kamar rawat ini. Pikirannya berarah ke kamar mandi, tapi kamar mandi di ruangan ini hanya ada 1 dan tadi sedang di pakai oleh Dira.
Dira meletakkan bajunya di lemari kecil yang ada di samping tempat tidur Zali, setelah itu ia mengambil handphonenya yang ada di atas narkas. Bersamaan dengan genggaman handphone itu, ada sebuah kertas yang jatuh.
Kamar 576 lantai 5, bawa sarapan kamu. Jangan lupa.
Dira mengambil kotak makan yang ada di atas narkas, kemudian berlari menuju lift untuk turun ke lantai 5. Sudah dibilang sejak tadi malam, Dira tidak pernah suka bermain teka-teki. Dan sekarang Zali mengajaknya bermain teka-teki.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Dira mengitari koridor ruang perawatan dan mencari dimana letak kamar 576 itu. Mulai dari kamar 570 dan akhirnya berhenti di kamar 576, kamar perempuan?
Ragu, tapi ia harus mendapatkan apa jawaban dari kamar 576 ini. Dira membuka kamar itu, dan terlihat jelas.
Zali duduk di kursi roda dan dihadapannya adalah seorang wanita yang sedang tertidur.
“Zal,”
Sudah berkerumung segala pertanyaan di kepala Dira. Siapa wanita itu? Kenapa dia?
“Sini duduk” Zali menyuruh Dira untuk di sampingnya. Kursi kosong yang ada di samping Zali.
Masih dengan kebingungan, Dira melangkahkan kakinya ke arah Zali dan duduk di sampingnya.
“Kenapa berhenti di sini?” Tanya Dira yang kemudian menatap Zali.
“Nggak benar-benar berhenti di sini, akan ada lanjutannya. Tapi setelah aku keluar dari Rumah Sakit ini”
“Harus aku selesain teka-teki ini? Kenapa harus?”
“Harus, supaya kamu tahu apa kebenarannya”
Oke, jangan membahas tentang teka-teki dulu, kita bahas siapa wanita di depan Dira dan Zali.
“Siapa dia?”
“Cinta pertamaku. Dan selamanya dia akan punya Ruang di hati aku Dir.”
Apa? Dira tidak salah dengar? Kenapa, ada orang lain yang dicintai oleh Zali selain Dira? Iya?
“Pertama?”
“Dia separuh jiwa aku Dir. Aku nggak bisa hidup tanpa dia”
“Lalu Aku?”
“Kamu Dira”
Sangat ingin menangis rasanya. Tapi ini sama sekali bukan tempatnya untuk menangis.
Zali, jadi selama ini kebersamaan kita hanya sebuah permainan? Zali, ternyata kamu sama seperti Adit. Kamu dan Adit sama-sama mempunyai cinta yang lain, dan aku bukan orangnya. Zali, apa maksud teka-tekimu? Kamu ingin mengenalkan aku pada wanita yang kamu cintai disaat aku juga sudah mulai mencintaimu. Iya?
“Dia koma Dir, dan nggak tahu kapan akan bangun”
Dira masih terdiam, memutuskan untuk tidak banyak berbicara, mungkin itu yang terbaik. Itu yang terindah daripada harus berbicara yang akan dijawab dengan ucapan yang malah makin menyakitkan hati.
“Aku nggak mau main teka-teki ini Zal. Aku nggak pernah suka main teka-teki” Untuk kesekian kalinya, Dira berbicara perihal kebenciannya pada sebuah teka-teki.
“Itu hak kamu untuk benci sama teka-teki. Tapi aku punya kewajiban untuk kasih kamu teka-teki selanjutnya. Terserah kamu mau ngikutin atau nggak rules yang aku tulis di teka-teki itu. Itu hak kamu”
Dira masih terdiam, rasanya tidak akan pernah suka dengan teka-teki, apalagi teka-teki itu membuat Dira sakit, bukan membuat Dira senang.
“Kamu mau balik ke kamar rawat atau mau tetep di sini? Aku mau pulang sebentar.”
“Di sini aja. Kamu pulang, tapi jangan nangis”
“Terserah gimana aku. Mau aku nangis atau mau aku ketawa terserah aku lah”
Kamu salah bicara Dira! Kenapa harus marah? Terserah Zali dong jika ia mau tetap di sini atau pergi. Mau dia menyukai orang lain atau siapapun itu, terserah Dia. Ingatlah, Dia itu bukan bulan yang hanya milik bumi. Dia itu matahari yang milik seluruh planet.
“Ingat ada teka-teki selanjutnya Dir. Aku bilang nggak berhenti sampai sini”
Dira menatap Zali yang kini sedang menatapnya juga. Dira, kenapa perasaan ini kian hadir untuk Zali. Kenapa rasa untuk Adit kian menghilang? Kenapa? Apa ini rencana semesta?
“Aku nggak mau tahu teka-teki selanjutnya.”
“Aku udah bilang. Itu hak kamu untuk suka atau nggak. Tapi itu kewajiban aku”
“Terserah kamu. Aku pulang dulu”
Dira melangkahkan kakinya keluar dari ruangan 576. Ruangan yang kini memberinya luka. Tak tahu, kenapa rasanya sakit, tak tahu juga kenapa rasanya cemburu. Ingin menangis, tapi tak tahu penyebabnya. Ingin marah, tapi karena apa? Menenggelamkan diri ke samudera, hilang, dan tak mau muncul lagi ke permukaan, mati dimakan hiu atau terbentur terumbu karang hingga amnesia. Tidak jelas kan? Iya seperti itu juga perasaan Dira. Tidak jelas.
Jika bisa, Dira ingin berteriak tidak pernah mau untuk bertemu dengan Zali. Tak akan pernah mau. Kalau akhirnya harus jatuh cinta, tak akan pernah Dira dekat dengan Zali. Tak akan juga Dira menyuguhkan hatinya untuk Zali. Cinta macam apa ini? Sang cinta itu ternyata sudah menemukan pemiliknya. Separuh jiwa itu telah menemukan separuh jiwanya. Dan kini untuk apalagi bertahan dengan alasan cinta? Dan Dira bukanlah separuh jiwa milik Zali. Sudah tidak ada alasan untuk bertahan. Kini saatnya pergi.
Teka-teki ya? Kepingan awalnya saja sudah menyakitkan, bagaimana dengan akhirnya? Sepertinya tidak akan jauh berbeda.
***
Gedung IPA lantai satu, koridor utama. Sekolah sudah ramai sejak istirahat pertama jam 10 pagi tadi. Hingga jam 12 istirahat ke 2, obrolan hangat mereka masih sama. Tentang panglima tempur Lentera yang terkapar di hadapan Davin.
Semesta, mengapa dunia ini diciptakan dengan wujud yang seperti sekarang, orang mencaci maki orang yang teraniaya dan membanggakan orang yang menganiaya? Kapan keadilan di muka bumi ini ditegakkan? Kapan manusia diberikan pencerahan? Dan kapan juga orang-orang berhenti menghujat orang yang tidak terbukti salah?
Adit tetap memperhatikan mereka dari meja kantin, bersama Marvin yang terus mengoceh karena anak-anak kelas 10 itu terus membicarakan Zali yang katanya cemen, sok jagoan dan banyak lagi.
“Dasar generasi micin! Anak jaman sekarang nggak tahu kebenarannya sok-sok paling tahu segalanya. Kalau bisa gue berantem di sekolah, bakal gue hajar tuh cowo.” Marvin menatap ke arah sekumpulan laki-laki yang sedang membicarakan Zali, Ada Davin juga di dalamnya.
Manusia biadab itu sebenarnya sedang dikenakan skors, tapi dia tetap datang ke sekolah karena ingin memamerkan keberhasilannya menakhlukan Zali, sang panglima tempur lentera.
“Gue nggak mungkin ngabisin dia, lo tahu gue siapa sekarang?” pandangan keduanya masih mengarah ke arah anak-anak itu.
“Luar sekolah gimana?”
Adit menggeleng, sudah tak akan mau lagi Adit berurusan dengan sebuah pertengkaran. Semua masa lalunya dulu. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk menjauhi segala bentuk kekerasan fisik.
“Kalau lo mau, lo sendiri aja. Zali akan marah kalau tau gue hajar Davin untuk bales dendam”
“Sayangnya, gue nggak bisa bertindak sendirian”
Bersama dengan gemersik air hujan, suara itu terdengar samar. Seseorang yang menjatuhkan orang lain dan membanggakan dirinya sendiri. Kenapa ada manusia sejahat dan selicik Davin?
Kenapa tuhan menciptakan manusia dengan beraneka ragam karakter, ada yang dihina dan ada yang mengihina, Ada yang disakiti dan ada yang menyakiti. Kenapa harus? Siapa yang bisa menjawab kebingungan Adit saat ini?
“Oh iya Dit, ada kejanggalan yang gue rasain satu minggu terakhir ini, tapi gue belum sempet ceritain sama lo” Marvin menggeser mangkuk yang semula berada di hadapannya.
“Apa?”
“Dita. Yang ngejauhin Dira bukannya Cuma lo ya?”
“Lo?”
“Gue sendiri yang menghindar dari Dira. Tapi kalau Dita, gue nggak tahu. Nggak mungkin Dira marah sama Dita kan?”
“Ya jawabannya Cuma ada di Dita.”
Adit berpikir lagi, sudah banyak masalah yang memaksanya untuk banyak berpikir sejak beberapa hari yang lalu, tentang Zali dan Dira, tentang dirinya dan Dira, tentang Zali dan keluarganya, tentang dirinya dan Zali, tentang Zila, tentang rencana kepindahan keluarnyanya ke Sumedang, dan kini bertambah tentang Dira dan Dita.
Semesta, kau terlalu banyak membuat pertanyaan yang harus segera diselesaikan. Semesta, ini ujian atau permainan teka-teki yang Adit sukai sejak kecil? Jika ini teka-teki, Adit akan berhenti menyukai teka-teki agar kau segera menghentikan permainannya.
“Cabut yuk!” Ajak Adit pada Marvin yang kini sedang fokus pada game di ponselnya.
“Cabut kemana? Mager ke kelas. Istirahat masih 15 menit lagi. Masih lama. Kelamaan di kelas gue suka suntuk dan akhirnya jadi ngantuk dan ujungnya, gue tidur di kelas”
“Siapa yang ngajak lo ke kelas?”
“Lo, tadi lo ngajak gue cabut”
“Cabut ke Rumah Sakit. Jangan ke kelas. Pelajaran Bu Rere kadang bikin gue ngantuk setengah mati”
“Oke dah”
Semesta, izinkan Adit dan Marvin nakal sebentar ya, untuk hari ini saja. Janji, besok tidak akan nakal lagi.
***
Maaf Zali, kali ini Dira tidak bisa menahan tangis ketika bertemu dengan kamarnya. Dira bukan wanita kuat, Dira bukan wanita kuat yang Zali inginkan. Dira tidak pernah sekuat Zali, bahkan untuk menahan air matanya agar tidak keluar saja, Dira tidak bisa.
Sejak tadi hujan tidak berhenti, dan tangis Dira juga tidak kunjung berhenti. Hujan seakan tahu jika salah satu penikmatnya sedang bersedih dan ia turunkan hujan yang begitu lebat agar penikmatnya tidak menangis sendirian.
Mengapa tuhan kirimkan luka untuk Dira? Padahal baru saja Dira bisa menerima kehadiran Zali sebagai seseorang yang mencintainya. Baru saja Dira ingin membalas perasaan Zali, tapi sekarang kenapa jadinya seperti ini?
Semesta, kau tidak setuju?
Dira masih menelungkupkan wajahnya di bantal, tubuhnya di tutupi oleh selimut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tujuannya, Agar kesedihannya hanya diketahui oleh dirinya tidak oleh orang lain.
Suara pesan masuk dari handphone Dira memecahkan keheningan yang sudah terjadi di kamar ini sejak satu jam yang lalu.
Dengan rasa malas, Dira membuka pesan itu. Mata Dira terbuka sempurna. Apa ini? Teka-teki lagi?
Zali
Kadang hidup ini seperti perjalanan di atas kereta.
Kita bertemu dengan orang yang tak di kenal, berbincang dengannya dan bertukar pikiran sampai akhirnya saling tertawa.
Lalu ada waktunya kita berpisah di stasiun yang berbeda, tujuannya sama, untuk mencapai tempat tujuan masing-masing. Kita tidak searah dan akhirnya berpisah.
Tapi, ceritanya tak akan pernah selesai sampai di sana. Kita akan menaiki kereta selanjutnya dan bertemu dengan orang yang berbeda, tapi kejadiannya sama.
Tapi kita juga tahu.
Kita tidak benar-benar berpisah. Kita hanya sedang mencari kereta yang tepat untuk membawa kita ke tempat yang berbeda dengan tujuan yang sama juga bertemu dengan orang yang berbeda dan perasaan yang sama.
Sekian.
Anzali putra adrian.
Tak mau membalas. Dira hanya membaca pesan itu tanpa mau menanyakan maksudnya. Menurut Dira, percuma bertanya soal itu, Zali juga tidak akan mau menjawab secara langsung. Sekarang ia sedang mengajak Dira bermain teka-teki. Dan mungkin ini juga adalah salah satu teka-tekinya.
Satu pesan lagi masuk ke handphone Dira. Sepertinya pengirimnya masih sama.
Zali
Keluar dari kamar. Jangan terlalu lama di kamar. Aku nggak suka! Karena kamar Cuma bisa kasih kamu kesedihan.
Hey! Kenapa menyalahkan kamar? Sumbernya adalah kamu Zali. Kesedihan ini muncul karena teka-teki anehmu itu. Dira membalas pesan itu. Tujuannya satu, ingin mengetahui apakah ini teka-teki atau bukan?
Kepingan apa lagi yang kamu kasih? Aku sudah bilang. Aku nggak suka main teka-teki.
Tak lama setelah Dira mengeluarkan kepalanya dari balutan selimut, handphonenya kembali berbunyi.
Zali
Itu bukan teka-teki. Aku Cuma mau kamu keluar sekarang. Temuin aku.
Kubalas pesan singkat itu.
Aku nggak mau ke Rumah Sakit, aku mau tidur. Lagian juga mau ke sana naik apa?
Dan masuk lagi satu pesan singkat. Dan masih Zali pengirimnya.
Zali
Naik ojek online. Jangan minta anter sama cowo manapun.
Apa sih, jadi cowo nggak peka banget! Zali sadar nggak sih kalau Dira itu menangis karenanya? Zali sadar nggak sih kalau Dira itu sedang marah padanya?
Satu pesan lagi masuk.
Zali
Mau apa sih kamu? Mau aku kerumah kamu dan bujuk kamu yang lagi ngambek sama aku? Iya?
Kenapa Zali tahu?
Zali
Aku juga tahu kalau kamu sekarang lagi bingung.
Satu pesan lagi masuk.
Zali
Katanya kamu mau tidur, jangan dibawa bingung. Sana tidur. Nanti ke rumah sakit. Ternyata sepi nggak ada kamu.
Tiga pesan beruntun itu aku balas dengan satu pesan.
Aku nggak mau ke rumah sakit hari ini. Aku mau ngerjain tugas karena hari ini aku nggak masuk.
Zali
Yaudah.
Ya ampun Zali. Kenapa nggak ngebujuk? Kenapa Cuma bilang ‘Yaudah’ dan kenapa nggak ada pesan selanjutnya?
Dira kembali memasukaan kepalanya ke dalam selimut dan melempar handphonenya ke sembarang arah. Diramenangis lagi dalam balutan selimut dan akhirnya tertidur.
***
“Dit” panggilan itu membuat Dita menoleh. Suara Marvin.
Dilihatnya ada Adit dan Marvin yang sedang berjalan di belakangnya. Jantung Dita seakan berdetak lebih cepat, sudah pasti ada sesuatu yang akan mereka bahas pada Dita. Tentang Dira.
“Ikut gue” Marvin langsung menarik tangan Dita dengan genggaman yang cukup erat hingga timbul rasa nyeri.
“Mau kemana?” Dita sebisa mungkin mencoba untuk menghempaskan genggaman tangan Marvin. Tapi tak bisa.
Tenaga perempuan memang tak pernah sebanding dengan tenaga laki-laki yang seperti Marvin. Keras, kuat, dan nyeri.
“Main” Jawabnya singkat.
“Lemesin Vin. Jangan kekencengan”
Syukurlah berkat ucapan Adit, Marvin mengendurkan genggaman tangannya.
Dan akhirnya, taman belakang sekolah yang biasanya hanya di kunjungi oleh beberapa siswa nakal dan beberapa kecoa dan tikus yang tidak sengaja melintas.
Rintikan air hujan bersama dengan awan mendung menemani pertemuan 3 orang yang sedang terjerat masalah persahabatan.
“Lo tahu siapa gue kan Ta?” Marvin angkat suara. Ia menghempaskan tangan Dita ke udara.
Ada rasa syukur dan ada rasa takut saat Marvin melepaskan genggaman tangannya. Bersyukur karena sudah tak ada rasa nyeri dan takut jika ada sesuatu yang terjadi setelah ini. Sesuatu masih belum Dita ketahui. Apa awal dan akhirnya?
“Sekarang jujur sama gue Ta, semua ini ulah lo kan? Karena lo iri sama Dira, iya?”
Bibir Dita seakan bungkam. Tak bisa menjawab pertanyaan Marvin. Ia hanya terdiam. Menatap Marvin dengan rasa takut dan bingung karena ingin menjawab apa?
“Nggak bisa jawab dia Vin, berati pertanyaan lo itu berubah jadi pernyataan” Ucap Adit yang sedang duduk di kursi taman yang sebenarnya lusuh dan kotor.
“Nggak gitu caranya Ta, iri bilang. Jangan kaya gini. Secara nggak langsung lo jadi penghambat mimpi Dira untuk terwujud”
“Gue? Penghambat mimpi Dira? Lantas lo disebut apa Vin?”
Semua terjadi bukan sepihak dari Dita, tapi dari ayahnya Marvin juga. Jika Dita disalahkan, kenapa Marvin dibenarkan? Walaupun ayahnya yang menginginkan, tapi kalau Marvin tidak suka, kenapa ia mau menyetujui permintaan ayahnya?
“Marvin nggak akan berada di titik ini kalau lo nggak minta sama bokap lo” Adit menyaut dari kursi yang sejak tadi ia duduki.
“Dan kita berdua nggak akan mungkin juga ada di titik yang sama kalau Marvin nggak nyetujuin permintaan itu”
Sukses! Marvin terdiam. Di sisi ini bukan hanya Dita yang salah tapi Marvin juga menyumbang peran dalam segala yang dinginkan oleh Dita. Bahkan Marvin adalah pewujud keinginan Dita.
“Lo sadar nggak sih Ta, Dira nggak pernah berbuat salah sama lo, bahkan Dira itu nganggep lo sahabat terbaiknya” Marvin masih menatap Dita. Tak ada aksi yang ia peruntukkan untuk seorang wanita seperti Dita.
“Lo inget nggak Ta? Waktu gue jahatin dia lo dateng nyuruh gue pergi, atas nama persahabatan lo. Sekarang boleh nggak kalau gue dateng saat lo jauhin dia, tapi atas nama cinta. Salah nggak?”
Dita menatap Adit. Laki-laki itu masih tetap bersikukuh pada perasaanya kepada Dira. Padahal kini jelas, Dira sudah membuang Adit jauh-jauh. Dan kini hanya ada nama Zali yang tersisa untuk Dira.
Dita tahu itu, berita tentang Dira yang menghampiri Zali yang sedang bertarung dengan Davin sudah menyebar kepelosok sekolah. Termasuk ke telinga Dita.
“Gue nggak bisa diem aja. Gue iri sama Dira. Iya gue iri sama dia karena dia bisa dapetin sekaligus dua cowo yang sayang dan selalu ada buat dia. Gue iri Vin. Saat lo selalu jadiin Dira itu sebagai orang satu-satunya yang lo perhatiin dibandingkan dengan gue” Air mata Dita menetes. Satu air mata berharga itu kini jatuh tanpa ada yang memaksanya. “Katanya ini adalah persahabatan tapi kenapa saling memihak itu masih tetap ada? Kenapa ada satu orang yang jadi pusat perhatian, sedangkan yang lain tetap diabaikan? Gue tahu, kalian nggak pernah punya alasan untuk nggak memihak Dira. Iya kan?”
Sukses!
Marvin dan Adit terdiam.
“Apa lagi yang mau lo omongin? Gue harus masuk kelas olimpiade sekarang”
Tanpa mau mendengar jawaban dari kedua laki-laki itu, Dita melangkahkan kakinya menuju ke kawasan sekolah dan berjalan menuju ke ruang yang menjadi pembekalan olimpiade.
Dira, sekarang kau menang lagi. Dan Dita kalah untuk kesekian kalinya.
Apa mantra pemikat cinta milikmu hingga semua orang bisa jatuh cinta padamu. Bisa berikan aku satu? Aku ingin sama sepertimu. -Batinnya.
***
Dira menatap layar ponselnya. Hampir satu jam Dira tertidur karena ulah Zali yang menyebalkan itu, tapi hingga kini Dira sudah bangunpun. Zali masih belum juga menghubungi Dira. Satu pesanpun tidak ada.
Di luar masih hujan. Sejak tadi Dira sudah menghentikan tangisnya, tapi kenapa langit masih juga bersedih?
Diraihnya handphone yang berada di atas narkas dan mengetik satu pesan untuk Zali.
Udah makan? Lagi istirahat ya?
Dira kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur bersama dengan handphonenya yang berada di samping tubuhnya.
Begini ya rasanya sayang? Tidak peduli jika ada orang lain. Yang ada hanya peduli dengan satu orang yang disayang. Tak mau peduli jika ada pesaing yang menang jauh lebih unggul.
Bersamaan dengan lamunan Dira, handphonenya seketika langsung berbunyi.
Zali
Nggak. Aku masih di kamar yang tadi. Nggak ada yang nganterin aku ke kamar rawat.
Mata Dira terbuka sempurna. Terkejut karena ternyata Zali masih ada di kamar itu. Bukan di kamar rawatnya.
Kamu manja banget. Ada suster. Kamu Cuma tinggal bilang kamar tempat kamu d rawat. Giu aja.
Tidak butuh waktu lama. Zali langsung membalas pesan itu.
Zali
Salah aku? Bukan salah kamu? Aku mana tahu aku dirawat di kamar mana. Kamu nggak ngasih tau.
Dira menghela nafasnya. Iya ini adalah salahnya.
Iyaudah. Maaf. Aku otw.
Setelah itu tak ada balasan. Dira segera mengambil jaket milik Zali dan berpamitan pada ibu yang sedang melayani pembeli di toko.
“Iya, tapi anterin kue ini ke pembeli yang di pojok sana dulu. Habis itu baru pergi”
Dira mengambil nampan yang berisi kue coklat disertai dengan secangkir coklat panas. Dira melangkahkan kakinya menuju ke pojokkan toko. Ada seorang laki-laki yang mengenakan topi dan switer hitam.
Tepat di hadapan laki-laki itu, Dira terkejut. Laki-laki ini kenapa bisa ada di sini?
“Aku nggak mimpi kan?” Dira meletakkan nampan itu meja yang seharusnya.
“Maunya mimpi atau nyata?”
“Mimpi”
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum miring.
“Kenapa kesini?” Ucap Dira sekali lagi.
“Nggak boleh?”
“Zali. Harusnya kamu teh ada di rumah sakit. Bukan di sini”
“Sudah keluar dari tadi siang. Jadi bisa ke sini deh”
Zali? Kenapa jadi mengikuti Adit? Kenapa ikut menyebalkan seperti Adit? Jangan sampai Dira jatuh terlalu dalam, sama seperti ia jatuh kepada Adit.
“Kenapa nyuruh aku ke Rumah Sakit?”
“Awalnya aku Cuma nyuruh kamu keluar. Tapi ternyata kamu salah tangkap. Yaudah, aku jadinya nyuruh kamu ke Rumah Sakit aja sekalian”
Dira hanya terdiam. Ia baru ingat satu hal, Dira bukannya sedang marah pada Zali. Kenapa sekarang justru malah Dira yang banyak bicara daripada Zali.
Semesta, ini ya rasanya ingin bersikap apatis? Tapi nyatanya peduli itu selalu hadir. Rasa ingin tahu itu selalu datang. Dan lagi, rasa khawatir selalu muncul.
“Makan nih. Jangan sampai sakitnya pindah ke kamu”
Dira mengambil cangkir yang berisi coklat yang mungkin kini sudah tidak sepanas saat pertama kali Dira bawa ke depan sini.
“Besok mau main teka-teki nggak? Kalau mau, aku juga mau siapin kejutan selanjutnya buat kamu”
Sebenarnya malas sekali untuk mengikuti teka-teki mainan Zali. Tapi Dira sudah terlanjur masuk ke dalam permainan Zali. Cerita ini mungkin akan banyak membahas tentang teka-teki. Bukan tentang kisah Aditya&Ra lagi.
“Aku takut untuk main itu”
“Kamu boleh takut, tapi nanti. Kalau aku nggak ada di samping kamu”
“Receh banget sih”
“Udah sering denger gombalan itu?”
“Sering BANGET”
“Denger dari siapa? Kan nggak ada yang berani deketin kamu. Abisnya galak banget jadi cewe.”
“Ih nyebelin”
Zali hanya tertawa. Tak lama setelah itu Zali berpamitan untuk pulang karena hari sudah menginjak sore dan sebentar lagi. Kegelapan malam datang.
Dira mengantarkan Zali hingga ke tempat motornya diparkirkan dan Zali benar-benar menghilang dari halaman rumah Dira.
Semesta, Zali baik. Dira juga sudah mencintainya. Tapi apakah bisa bersatu? Apakah Zali masih memiliki perasan yang sama kepada Dira? Lalu orang yang katanya separuh jiwanya dan cinta pertamanya itu akan bagaimana nasibnya? Lalu, dimanakah Dira berada? Di ruang mana yang terdapat nama Dira dengan jelas? Hati ya? Semoga saja.
Dira melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamar. Ia duduk di kursi dan menatap layar laptop.
Sepertinya ini adalah waktunya Dira untuk kembali Produktif menulis.
Hay semesta. Bertemu lagi dengan Dira. Wanita payah yang berusaha untuk bahagia
dengan sebuah eskrim dan secangkir coklat panas bersama dengan baju piyama berwarna pink.
Maaf, beberapa hari yang lalu aku tidak menemuimu di sini. Tapi aku selalu bertanya kepadamu, bukan begitu semesta?
Kali ini soal Zali.
Aku diajak bermain teka-teki bersama dengan laki-laki itu. Dia sekarang menyebalkan, sama seperti Adit. Oh iya, mengingat Adit, bagaimana kabarnya ya? Semesta, apakah kau hilangkan perasaannya seperti kau menghilangkan perasaanku pada Dia?
Sudah ya membicarakan soal Adit. Tidak usah terlalu banyak. Nanti perasaan itu muncul lagi. Bahaya.
Tentang teka-teki. Semesta, ini rencanamu juga? Tapi kenapa awalnya harus menyakitkan? Kenapa tidak membahagiakan saja, agar aku juga senang untuk mengikuti segala rules yang ada di dalam sana.
Aku jadi malas bertemu Zali. Terlebih lagi dia sudah memiliki separuh jiwanya. Bahkan tadi aku berfikir, Dari urutan 1-10 di hati Zali, apakah aku ada di sana?
Dia siapa?
Yang aku inginkan hanya penjelasan, Dia siapa?
Dipikir menggunakan logika, Jika Zali sudah menemukan separuh jiwannya, kenapa Zali terus menemui aku? Kenapa Zali harus terus mendekati aku?
Aku salah ya? Aku salah ya? Iya aku salah ya? Kayaknya sih iya, aku salah. Aku jatuh terlalu dalam hingga lupa caranya untuk keluar. Mataku dibutakan oleh fatamorgana. Dari dalam terlihat ada cahaya. Setelah dilalui. Ternyata mengejar itu tidak mudah. Karena itu hanya fatamorgana.
Dira menutup laptop itu. Ditatapnya langit-langit kamar dan berhenti pada jam dinding yang ada di kamar.
Sudah jam Setengah lima sore. Dan Dira harus bekerja!
***
“Udah perginya?” Suara Gazza sudah menyambut kedatangan Zali.
Saat ini Gazza, Kenzo, Reind, Marvin, dan Adit sedang berada di rumah Zali. Perlu kalian ketahui, ini adalah kunjungan pertama mereka ke rumah Zali. Sebelumnya memang Zali tidak pernah mengajak teman-temannya untuk berkunjung ke rumah. Karena ini adalah alasannya, rumah Zali yang sangat besar bagaikan istana, tapi suasananya sepi seperti di kuburan. Bahkan mungkin lebih ramai kuburan dibandingkan rumahnya sendiri.
“Lo tuh belum bener-bener baik. Bahkan baru aja keluar dari rumah sakit. Tapi udah keluar rumah dan nggak tahu kemana” Ucap Kenzo sambil memakan camilan yang ada di meja tamu.
Setelah itu tak ada lagi suara yang keluar tentang kepergian Zali yang entah kemana. Kini yang ada hanya ungkapan takjub dari Reind dan Kenzo yang tak habis-habisnya berbicara.
“Kalau rumah lo kayak gini berarti gue salah ya kalau ngajak lo makan di pinggiran jalan atau bahkan di warteg” Ucap Kenzo.
“Itu Saul hudson kan? Gitaris legendaris GnR. Iya kan?” Reind menunjuk ke arah gambar seorang pria yang terpampang di dinding tembok.
“Bokap gue juga dulunya pemusik. 5 tahun gue hidup dari musik. Lewat bokap gue yang sering manggung sana sini selama 5 tahun. Gue bisa suka sama musik. Nggak tahu padahal lewat musik juga bokap gue jadi sibuk dan nggak ada waktu buat gue sama nyokap. Dan akhirnya bokap vakum dari dunia permusikan. Dia pilih bisnis untuk menyambung hidup.”
“Bokap lo bisnis apa? Gue yakin bokap lo beli Rumah ini bukan hasil warisan iya kan?” masih sama. Hanya Kenzo yang menyaut. Orang ini memang selalu ada di tingkat paling atas jika sudah menyangkut tentang Zali. Tingkat keingintahuan dirinya memang berada di tinggkat teratas diantara yang lainnya.
“Awalnya investasi, berlanjut ke kuliner, dan sekarang properti. Tapi semuanya masih tetep berjalan. Kalau bisa, gue pilih lebih baik bokap jadi pemusik dibandingkan dengan pengusaha.”
Kenzo terdiam. Semesta, apakah ini adalah waktunya untuk bercerita dan berterus terang tentang keadaan keluarganya? Tidak dulu mungkin. Belum siap. Zali tidak akan pernah siap untuk berbicara tentang keadaan keluarganya kepada orang lain. Bercerita kepada Adit saja harus menunggu waktu yang cukup panjang, apalagi untuk anak-anak ini. Walaupun mereka juga orang yang tahu baik buruk Zali. Tapi ragu itu masih tetap ada.
“Zal, kata lo barusan, bokap lo itu pemusik kan? Pasti ada kan ruangan khusus musik di Rumah ini?” Ucap Gazza yang mengalihkan pembicaraan.
Syukurlah, Lebih bagus membahas Rumah ini dibandingkan dengan ayahnya. Karena membahas Rumah ini Zali bisa bercerita tentang ribuan cerita senang yang dulu sering diceritakan oleh ayahnya.
“Ada. Studio musik kecil. Mau liat?” sahut Adit.
Adit memang sudah mengetahui semua seluk beluk rumah ini. Lewat cerita Zali, tapi masih sama seperti yang lain, Adit juga baru pertama kali datang ke rumah ini.
“Zal, Ini rumah kan? Bukan sekolahan? Ruang musik aja ada di sini. Jangan-jangan Ruang Praktek Robotik lo juga ada di sini?” Ucap Marvin yang hanya dibalas tatapan terkejut dari mata orang-orang yang berada di ruangan ini.
“Lo kalau mau keliling silahkan lah. Gue mau tidur. Kan kalian sendiri yang bilang gue nggak boleh cape” Jawab Zali yang kemudian membaringkan tubuhnya di sofa.
“Jangan salahin kita kalau rumah lo hancur berantakan karena kita nggak tahu dimana ruangan-ruangan yang lo maksud itu” Ucap Kenzo.
“Ada petunjuknya di setiap Ruangan. Lo nggak akan mungkin nyasar ke Kamar Jenazah juga. Karena di sini bukan Rumah Sakit. Nggak usah parnoan jadi manusia” Zali mengambil handphone di saku celananya.
“Dengerin ya, nanti gue nyanyi suara gue kedengeran bagus deh” Ucap Reind yang kemudian bangkit terlebih dulu menuju ke atas tangga.
“Lo mau teriak sekenceng apa juga, nggak bakal kedengeran sampe sini.” Zali masih tak beralih dari handphonenya.
Zali bisa merasakan jika Gazza, Reind dan Kenzo naik ke lantai dua. Sementara Marvin dan Adit tetap diam di tempat bersama dengan keheningan yang tercipta.
Kenapa manusia ini lebih senang dengan sebuah keheningan? Memang apa yang bisa didapat dari keheningan? Ketenangan? Memang harus mereka mendapatkan ketenangan? Bukannya hanya Zali yang memerlukan ketenangan?
Zali meletakkan handphonenya di atas meja, kemudian ia memejamkan matanya. Mencoba untuk lelap dalam alam bawah sadarnya, tapi tidak bisa. Gelisah itu datang. Tidak tahu kenapa tiba-tiba rasanya gelisah. Gelisah yang tak tahu datang dari mana. Asalnya entah berantah tapi dia tiba-tiba datang.
“Gue tahu lo nggak akan bisa tidur dalam keadaan ramai kayak gini. Lo orang yang lebih suka tidur tanpa ada yang ganggu. Lo gampang gelisah kalau ramai. Padahal lo tau, orang-orang nggak akan ngelakuin apa-apa sama lo. Ayo bangun. Nggak usah nipu gue dengan cara lo pura-pura tidur”
Zali membuka matanya. Dilihatnya Adit sendiri, tanpa ada Marvin di sampingnya.
“Salah nggak kalau gue ajak Dira main teka-teki soal perasan gue, Salah nggak?” Zali membangunkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Adit.
“Nggak salah. Tapi Dira orang yang nggak pernah suka sama teka-teki. Lo jangan sakit hati saat lo simpen salah satu teka-teki lo di puncak gunung, Dia nggak mau ngedaki untuk tahu apa isi teka teki itu.”
“Simpel. Kalau gitu gue nggak akan simpen teka teki itu di puncak gunung. Biarin Dira nggak usah repot-repot ngedaki”
“Harusnya dengan cara itu, dengan cara lo simpen teka-teki itu di puncak gunung lo bisa tahu orang itu mencintai lo atau nggak, kalau dia cinta sama lo, jangankan untuk ngedaki sampai puncak gunung, nyebrang samudra aja pasti sudi”
“Gue bakal pindah ke Sumedang akhir semester ini” Ucapan Adit membuat Zali terkejut. Ekspresi wajah Zali yang semula masih terukir senyum, kini malah berubah menjadi kusut.
Zila belum sadar, dan Adit ingin pergi. Rencana macam apa yang kau buat kali ini semesta?
“Dira gimana?” Tanya Zali.
“Sama lo. Lagian juga Dira itu udah jatuh cinta sama lo. Sekarang gue udah nggak punya alasan untuk bertahan lagi Zal” Adit tersenyum. Zali tidak.
Ini bukanlah saatnya untuk tertawa dan tersenyum. Ini saatnya untuk meminta penjelasan. Untuk apa Adit pergi meninggalkan Bandung? Walaupun Sumedang dan Bandung berjarak dekat, tapi mana mungkin jika Zali dan Adit bisa bertemu setiap hari. Lalu bagaimana dengan Dira?
“Kadang kita nggak punya pilihan Zal, dunia kan nggak akan berada di titik yang sama dalam jangka waku yang lama. Gue harus pindah dan ikutin apa kata ayah gue”
“Apa yang Bandung nggak bisa kasih ke lo? Sampe sampe lo harus ninggalin Bandung ini?”
“Nggak gitu Zal. Bandung udah kasih semua yang gue mau. Tapi lo juga tahu, ini bukan sepihak keinginan gue kan?”
“Gue pastiin lo nggak akan pernah pergi ninggalin Bandung. Gimanapun keadaannya”
Zali beranjak meninggalkan Adit dan menuju ke Kamarnya yang bersebelahan dengan Perpustakaan kecil yang ada di Rumahnya.
Dulu, Zali sangat menyukai Kamar dan Perpustakaan Karena dulu Kamar dan Perpustakaan adalah tempat yang paling nyaman dan dapat memberikan sebuah ketenangan yang Zali inginkan. Ruangan yang sering di kunjungi oleh dua manusia kembar tapi tidak identik. Ruangan yang sudah mereka sepakati sebagai Ruangan rahasia dan tak akan mereka beritahu kepada siapapun.
Zali terdiam, diam merenung jika dulu ia sudah berjanji pada Zila untuk tidak akan pernah memberi tahu Rumah ini beserta dengan Ruangan yang ada di dalamnya kepada siapapun. Tapi kini Zali melangar.
Dunianya tidak boleh sendiri. Semua keindahan Rumah ini tidak bisa ia nikmati seorang diri. Harus ada teman. Zali butuh teman dan Zila juga.
Zali membaringkan tubuhnya di kasur spidermen yang sejak dulu belum pernah diganti. Sejak ulang tahun Zali dan Zila yang ke 10 tahun, Zali meminta kasur spidermen, sedangkan Zila meminta sebuah Rumah Barbie yang ukurannya sangat besar. Dan hingga kini rumah mainan itu masih tersimpan rapih di kamar Zila.
Kamar Zila?
Zali melangkahkan kakinya menuju ke Kamar yang berada di samping Kamarnya. Pintu Kamar itu masih sama semenjak 5 tahun terakhir.
Siapa kamu?
Yang boleh masuk hanya Ayah, Bunda, dan Zali.
Selain itu, Tidak boleh!
Mbok May juga boleh masuk. Tapi Cuma beresin Kamar Zila aja ya. ;)
Tulisan itu di tulis sekitar 5 tahun yang lalu saat mereka pertama kali pindah ke Rumah ini. Dari dulu hingga saat ini Zila masih menjadikan rumah ini sebagai tempat rahasianya. Dan Kamar ini juga salah satunya. Sesuai dengan tulisan di depan pintu, Sepupunya pun tidak boleh masuk ke dalam Kamar Zila. Kamar ini menjadi rahasia pribadi milik Zila. Bukan hanya rahasia, tapi sangat rahasia.
Perlahan Zali membuka pintu Kamar Zila. Kamar bernuansa pink itu masih tetap rapih seperti biasanya. Dari dulu Zila sangat benci dengan debu atau sesuatu yang berantakan. Jadi, kadang Zalipun tak pernah diizinkan untuk masuk ke dalam Kamar ini ketika keadaanya masih sangat rapih.
Zali membaringkan tubuhnya di kasur yang masih berwarna pink juga. Kasur ini adalah kasur pemberian kakek yang tinggal di Solo karena saat itu Zila mendapatkan juara 1 lomba menulis tingkat SD SeBandung.
Meja belajar Zila yang berwarna pink juga menarik perhatian Zali. Meja belajar ini adalah pemberian dari pamannya yang tinggal di Jakarta saat Zila mendapatkan predikat juara umum di Sekolahnya. Di meja pink itu Ada buku Diary yang berwarna pink juga. Zali ingat buku ini adalah kado yang Zali berikan pada Zila saat ulang tahun ke 11 mereka.
Helaian demi helaian Zali buka. Tapi pandangannya terhenti pada halaman yang berjudul. ‘Zila dan Zali[m1] ’ pasti, halaman ini menceritakan tentang mereka berdua.
ZILA DAN ZALI
Terimakasih tuhan sudah ciptakan seorang Zila dan Zali.
Sejak kecil kita memang selalu beradu argumen. Kita tidak pernah searah dan sepaham. Kami memiliki pikiran yang berbeda. Adu argumen selalu hadir hampir setiap hari. Mungkin ini yang dinamakan kodrat seorang kakak dan adik. Selalu bertengkar dan tidak pernah akur.
Dia selalu bilang, lagu-lagu James Arthur itu lebih bagus dibandingkan dengan lagu Shawn Mendes. Tapi aku selalu bilang sebaliknya. Dan kami bertengkar.
Dia bilang, Lionel messi lebih Bagus dibandingkan dengan Cristiano ronaldo. Padahal aku selalu bilang, Ronaldo itu lebih bagus daripada Messi. Setelah itu kami bertengkar.
Dia bilang, mendengar musik itu lebih menenangkan hati dibandingkan dengan membaca novel yang isinya ratusan halaman. Dan aku selalu bilang sebaliknya. Dan kita bertengkar.
Dia bilang, mawar itu lebih indah daripada tulip, aku bilang sebaliknya. Dia tidak setuju. Dan akhirnya kami bertengkar.
Dia bilang, Fisika itu lebih sulit daripada Kimia, aku bilang sebaliknya. Dia juga tidak setuju. Dan akhirnya kami bertengkar.
Dia bilang, jika Mitologi yunani itu lebih seru untuk di baca daripada sastra Jerman. Tapi aku selalu bilang sebaliknya. Dia juga tidak setuju. Dan akhirnya kami juga bertengkar.
Dia bilang, Jika daging yang terkadung di paha ayam itu lebih banyak dibandingkan dengan sayap ayam. Aku berbicara sebaliknya. Dan lagi-lagi dia tidak setuju.
Terkadang kami beradu argumen hanya karena keduanya sama-sama jenuh, dan akhirnya bertengkar. Tapi sampai saat ini pun semua keluarga tahu, jika Zali itu lebih keras kepala dibandingkan dengan Zila. Tapi Zali hatinya sangat halus dibandingkan dengan hati Zila.
Zali. You’re my everything. Lo itu separuh jiwa gue. Dan gue juga separuh jiwa lo. Kita berbagi rahim selama 9 bulan. Dan di dunia ini juga kita harus terus berbagi. Itu adil kan?
Zali kembali membuka 1 lembaran berikutnya. Rata-rata ini buku ini bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Tentang semua keanehan yang terjadi di Sekolahnya.
Karena sekolah Zali dan Zila berbeda , jadi Zali tidak tahu apa yang terjadi di sekolah Zila? Bagaimana hari-harinya di sekolah? Apa yang terjadi? Zali tidak akan tahu jika Zila tidak memberitahu.
Helaian demi helaian kertas Zali buka, dan tiba pada lembar terakhir. Lembar yang menceritakan puncak kejenuhan Zila pada pertengkaran orang tua mereka yang tak berujung.
Ayah, bunda.
Kami rindu hangatnya kasih sayang keluarga yang dulu pernah kami rasakan, Namun sekarang hilang karena keegoisan kalian.
Ayah bilang, Bunda yang salah. Dan bunda bilang, Ayah yang salah. Kami nggak pernah ngerti apa yang terjadi. Tapi semua kejadian itu bikin kami sakit telinga.
Ayah, Bunda.
Terimakasih untuk nama Anzila putri adrain dan Anzali putra adrian. Nama itu sudah menyatu dalam diri kami, sesuai dengan keinginan kalian saat kami lahir.
Ayah, Bunda.
Terimakasih untuk materi yang kalian berikan. Materi yang berlimpah untuk kami anak-anakmu.
Ayah, Bunda.
Namun bukan sekedar hal material yang kami butuhkan. Tapi kasih sayang yang lebih dari orang tua yang kami inginkan. Kami tidak pernah menginginkan keributan di rumah terjadi. Tapi ayah dan bunda berikan itu pada kami. Rumah ini harusnya jadi istana yang terindah untuk anak-anakmu. Harusnya rumah ini menjadi surga yang menyenangkan, bukan menjadi neraka yang justru menyiksa.
Ayah, Bunda.
Kami ingin merasakan hangatnya rumah surga bagi kami. Bukan keramaian dan keributan yang terus-terusan kami dengar dari kalian.
Kembalikan rumah surga kami.
Rumah yang indah untuk kami.
Rumah yang selama ini kami idam-idamkan. Bukan rumah mewah, tapi rumah yang nyaman dengan keadaan yang harmonis.
Dengarlah rintihan hati kecil anakmu. Ayah, bunda.
Kami butuh kalian untuk menemani kami menjalani hidup. Kami butuh dukungan dan dorongan dari kalian.
Kembalilah ayah bunda. Kembalilah menjadi keluarga yang hangat seperti dulu.
Zali merobek bagian kertas itu dan meletakkannya di meja belajar Zila.
Harapannya sederhana. Suatu saat nanti Ayah atau Bundanya pulang ke rumah dan memasuki kamar Zila lalu menemukan kertas ini. Semoga saja hati mereka terbuka saat membaca surat ini.
“Zal, di mana lo Zal?” Teriakan Reind membuat Zali menoleh ke arah pintu. Pintu itu masih tertutup rapat sejak tadi.
Zali melangkahkan kakinya ke luar Kamar dan tepat di depan pintu ia menemukan Reind yang sedang membaca tulisan yang ada di depan pintu.
“Ini Kamar Zila?” Tanya Reind yang sudah menghentikan aksi membaca tulisan yang ada di depan pintu.
“Iya, ini Kamar Zila” Zali menutup pintu kamar itu dan mengeluarkan dirinya dari dalam Kamar.
“Gue boleh liat?”
“Lo tahu kenapa Rumah ini jadi rahasia besar gue sejak berteman sama kalian? Lo tahu?” Reind menggeleng sebagai tanda jika ia tidak tahu. “Karena Ruangan ini yang nggak boleh dikunjungin sama orang lain. Bahkan teman SMA Zila nggak pernah tahu di mana letak Rumah ini. Gue rasa lo cukup tahu tulisan ini. Jangan tahu sampai ke dalam. Karena Zila akan marah besar.”
“Ya oke. Nggak masalah”
“Btw lo ada apa nyari gue?”
“Lo disuruh makan sama Adit. Katanya obat lo ditaro di mana?”
“Ada di Kamar kayaknya. Soalnya nyatu sama baju-baju gue”
Zali melangkahkan kakinya menuju ke Kamarnya dan meninggalkan Reind yang masih berdiri tegak di depan pintu Kamar Zila. Zali membuka pintu kamarnya dan mengambil plastik obat yang berada di atas meja
“Obat antidepresan?”