Seperti pagi-pagi biasanya. Adit berjalan menuju ke sekolah seorang diri, Marvin sudah pasti ada di kelas IPS untuk mengantar pacarnya. Dan kalau sudah menyangkut soal pacarnya, Marvin sudah pasti akan melupakan Adit.
Begitu ya rasanya orang yang memiliki pasangan? Tidak kesepian, banyak senangnya dan banyak bersama. Tidak sendiri seperti ini.
Semesta, bisakah kau berlaku adil pada Adit? Bisakan Adit tidak usah pindah ke Sumedang dan menetap di Bandung? Bisa tidak?
Tidak masalah jika Adit sendiri, tidak masalah juga jika Adit terus-terusan melihat Dira bersama dengan Zali. Tidak masalah. Yang penting, Adit bisa terus melihat senyum Dira. Karena Dira adalah oksigennya. Karena Dira Adit bisa hidup, walaupun tidak bahagia.
Berbicara soal Dira, Adit sudah berhasil menjauhi Dira, tapi hatinya masih gagal. Apa yang harus dilakukan Adit agar hati dan dirinya seirama?
Sampai di kelas Adit bisa melihat, kelas sedang ramai oleh Dita dan Syereen yang sedang bertengkar. Sebenarnya malas, Adit tidak suka ikut campur pada urusan wanita ini. Apalagi keduanya adalah seorang Atlet Taekwondo. Kalau memisahkan mereka, kepala Adit bisa jadi korbannya.
Adit berdiri di ambang pintu, tak ada sama sekali niatan ingin melerai pertengkaran itu. Percuma saja, dipisahkan hari ini, besok bertengkar lagi, dipisahkan besok, ada hari lusa. Tak ada gunanya. Membiarkan mereka menyelesaikan urusannya, itu yang terbaik, walaupun harus dicap sebagai seseorang yang tidak memiliki hati.
Sampai akhirnya Rio datang dan berdiri di samping Adit. Laki-laki itu memiliki prinsip yang sama seperti Adit, selagi Syereen dan Dita tidak mengganggu ketenangan dirinya, mereka juga tidak akan pernah berani untuk memisahkan pertengkaran itu.
“Kenapa lagi mereka?” Tanya Rio yang baru saja datang dan berdiri di samping Adit.
“Tanya aja mereka. Namanya juga cewe, palingan masalah cowo”
Rio terlihat geleng-geleng kepala. Ditatapnya dari kejauhan kedua orang yang sedang adu mulut itu.
Bukan satu kali mereka bertengkar, hampir setiap hari sejak Dita dinobatkan sebagai peserta Olimpiade Sains se-Jawa Barat, mereka selalu adu mulut tanpa henti.
Bel masuk sudah berbunyi, dan kedua orang itu masih saja adu mulut. Adit yang awalnya tak mau ikut melerai, akhirnya ia turun tangan.
“Duduk lo berdua!” Teriak Adit dari jarak yang kurang dari 2 meter.
“Mau gue tampar lo berdua? Iya? Lo mau jadi jagoan di sini?”
Keduanya akhirnya terdiam. Ia melihat Dita dan Syereen yang sama-sama diselimuti oleh emosi.
“Ngapain diem aja? Sana duduk! Atau mau gue dudukin?”
Syereen yang sedang diselimuti oleh emosi itu akhirnya kembali duduk ke tempatnya. Dita juga.
Setelah menghadapi masalah Syereen dan Dita, kini Adit harus menghadapi masalah hatinya. Dira.
Wanita itu sekarang sedang menatap buku cetaknya, apalagi kalau bukan mengerjakan PR untuk hari esok. Pekerjaan Dira di sekolah hanya belajar. Dia tidak seperti wanita lain yang sibuk bermain handphone ketika guru tidak ada. Dira mempunyai sifat yang lain, yang berbeda. Dan itu alasan kenapa Adit menyukai Dira.
Sudah berapa lama ya Adit dan Dira tidak bertegur sapa? Sepertinya, lebih dari tiga hari. Atau bahkan lebih dari satu minggu. Yang pasti, rasanya kisah ini sudah lama sekali tidak menceritakan tentang Adit dan Dira.
Raganya dekat, tapi kenapa hatinya jauh?
***
Dira mengambil handphonenya yang semula berada di dalam tas, alasan Dira mengambil handphone itu hanya satu, karena berbunyi dan menandakan ada pesan masuk di dalam sana.
Zali
Kepingan selanjutnya ada di Adit. Pulang sekolah aku tunggu di warung pecel didepan sekolah
Dira hanya membaca pesan itu, ia melihat kursi Adit, laki-laki itu sedang tidak ada di tempatnya. Wajar saja, orang seperti Adit mana mungkin berada di dalam kelas saat jam istirahat, itu tidak mungkin bahkan tidak akan mungkin terjadi.
Di kepala Dira saat ini, ia sedang memikirkan bagaimana caranya berbicara dengan Adit setelah sekian lama mereka melakukan aksi perang es. Rasanya kini sangat canggung untuk berbicara pada Adit, setelah permintaan bodohnya dulu. Semua memang karena ulah Dira. Tapi tidak tahu rasanya sekarang Dira malah menyesal.
Bel masuk berbunyi, Adit sudah masuk ke dalam kelas dan duduk di sampingnya. Setiap hari selalu begitu, jaraknya dekat, kedua hatinya jauh. Dekat tapi rasanya jauh. Perasaan ini sulit untuk dideskripsikan. Tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Tapi rasanya nyata. Dulu mereka sering bersama, tertawa bersama, Dira yang menangis, dan Adit yang tertawa puas karena sukses membuat Dira menangis. Dulu semuanya tampak indah, Adit yang menghampiri Dira di Rooftop saat Dira sedang menangis atau ditimpuki oleh jutaaan masalah. Kini semuanya berubah, Adit yang dingin, Adit yang tidak pernah peduli dengan Dira, Adit yang sudah berhenti menganggu Dira, dan Adit yang sudah berubah 360 derajat.
Sepanjang hari semuanya tetap sama, tak ada yang berubah. Setiap kejadian di sekolah tak pernah ada yang berubah sejak Adit menjauhinya. Berangkat ke sekolah, di sekolah Dira hanya duduk di kursi tak pernah keluar kelas untuk ke kantin. Pergi ke perpustakaan saja sudah ia anggap sebagai suatu hal yang memberanikan. Karena pada dasarnya Dira memang takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sesuatu yang akan membuat Dira sakit hati, sesuatu yang akan membuat air matanya mengalir. Dira takut. Memang, katakan saja jika Dira adalah wanita cengeng, wanita penakut, wanita cemen, karena memang itu adalah faktanya.
***
Matahari siang ini bersinar cukup terik.
Tepat jam 2 siang, bel berbunyi dan Adit sudah berjalan menuju ke parkiran. Keberuntungan kelasnya hari ini adalah dapat pulang 15 menit lebih cepat dari pada biasanya. Tapi bagi Adit, tetap saja. Ia akan pulang terlambat hanya untuk mengobrol dengan Rio dan Marvin atau sekedar bernyanyi di penghujung tangga hanya untuk menemani Rio menggoda adik kelas yang melintas di tangga.
Sepanjang jalan menuju ke lapangan parkir, Adit menggunakan earphone di telinganya. Tujuannya hanya satu, agar tidak mendengar Livi memanggilnya. Wanita itu kini malah semakin gencar mendekati Adit saat ia tahu jika Adit sudah menjauhi Dira. Secinta apa sih Livi pada Adit? Sampai segitunya dia menginginkan cinta Adit kembali untuknya.
Adit membulatkan matanya saat melihat Dira berdiri tepat di belakang motornya. Untuk apa Dira berdiri di sana?
Dengan langkah yang ia percepat, Adit menghampiri motornya, menghiraukan orang yang ada di belakangnya. Adit menaiki motornya dan menggunakan helm yang menjadi pelindung bagi kepalanya.
Rasa apatisnya kini hadir. Tidak mau jatuh pada Dira lagi, saat itu Dira yang meminta agar Adit menjauhinya. Tak mungkin juga sekarang Dira datang untuk menyerahkan kembali dirinya kepada Adit. Saat ini Adit melihat juga jika Dira bahagia dengan Zali, senyuman selalu terukir di bibir Dira, tangis juga tidak pernah hadir dalam diri Dira, tidak seperti dulu saat bersama Adit.
Adit memutar kontak motornya, ia memundurkan motornya ke belakang, tapi tanpa ia sadari, bagian belakang motornya menabrak lutut Dira. Ada bercak darah di sana.
“Lo tuh ngapain di sini sih?” suara Adit seperti bukan sedang bertanya, tapi sedang membentak.
“Gue Cuma mau nanya”
“Tanya apa?”
“Kepingan teka-teki itu apa? Kasih gue sekarang”
Adit terdiam bingung, apa maksudnya teka-teki?
“Lo gila? Lo sama Zali yang main teka-teki. Kenapa gue yang nyimpen kepingannya? Pergi sana, gue buru-buru. Lo tuh Cuma nyelakain diri lo sendiri dateng ke gue”
Dira segera menyingkir dari hadapan motor Adit. Begitupun Adit. Laki-laki itu langsung melajukan motornya keluar gerbang meninggalkan Dira yang masih terdiam di lapangan parkir.
Dunianya kini harus terbiasa tanpa Dira, nanti Adit akan pergi, dan Dira akan bersama dengan Zali. Seharusnya itu yang nanti terjadi. Dira berbahagia dengan Zali tanpa mengingat ada Adit. Caranya satu, yaitu Adit yang menghilang.
***
Zali sejak tadi sudah berdiri tepat di depan gerbang sekolah Dira, awalnya Zali makan di warung pecel, tapi karena Dira tidak kunjung keluar dari sekolah, Akhirnya Zali memutuskan untuk menunggunya di depan gerbang. Lagipula, sekarang Zali sudah tidak takut lagi dengan Davin atau segala ancaman tawuran susulan. Masalahnya sudah selesai, dan Zali sudah menjadi taruhannya beberapa hari yang lalu. Kalaupun Davin berani menghajar Zali, akan ia lawan hingga matipun tidak apa, karena itu adalah perjanjiannya.
Dan sudah hampir 15 menit Zali berdiri di gerbang ini, tapi Dira belum juga keluar. Kemana sih wanita ini? Baru saja Zali mengeluarkan handphonenya untuk menelpon Dira, tapi wanita itu muncul melalui gerbang samping. Dengan mata yang terlihat bengkak.
Zali menjalankan motornya menuju ke tempat Dira berdiri, dilihatnya wanita itu dari jarak dekat. Bukan wajah, tapi keseluruhan tubuhnya.
Pipinya merah.
Lututnya berdarah.
Sikunya juga berdarah.
Matanya bengkak.
Rambutnya berantakan.
“Kamu kenapa?”
“Kamu jahat Zal, kamu sengaja kan? Kamu sengaja-“ ucapan Dira sesegera mungkin Zali potong.
“Naik dulu, kita cari tempat yang baik untuk bicara. Lutut dan siku kamu perlu obat”
Tanpa mau mendengar penolakan, Zali menarik tangan Dira untuk segera naik ke atas motor. Zali memberikan jaket yang semula menempel di tubuhnya kepada Dira.
“Ada penutup kepalanya, kamu pake aja. Kita nggak akan pergi jauh. Jadi kamu kayaknya akan nolak kalau aku kasih helm”
Dira tidak menjawab, Zali melajukan motornya menuju ke Taman Musik Centrum. Taman yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah Dira.
Sampai di taman Zali mengajak Dira untuk duduk di ujung taman, tempat mereka biasa bertemu jika Zali sedang latihan musik dan Dira yang sedang menemani Adit berlatih musik.
“Silahkan bicara”
“Kamu jahat Zal, kamu sengaja nyuruh aku dateng ke Adit, padahal dia nggak nyimpen teka-teki itu, iya kan? Kamu sengaja kan?”
“Semua ini ulah Adit?”
“Bukan” Tangis Dira menetes sedikit demi sedikit.
“Jujur, apa yang Adit lakuin sampe kamu kaya gini?”
Dira menceritakan kronologis bagaimana bisa lututnya luka, pipinya memerah, rambutnya berantakan. Dan jika mata itu, Zali tahu, itu adalah sebab Adit. Dan satu lagi, kejadian tambahan yang tidak menjadi rencana Zali, yaitu Dira yang dilabrak oleh Livi. Pipi merahnya itu akibat tamparan Livi. Rambut berantakannya akibat jambakan Livi. Dan siku berdarahnya karena dorongan Livi sehingga Dira tersungkur ke kasarnya permukaan Rooftop, semua karena Livi. Tapi Adit juga mengambil peran di dalam berantakannya diri Dira hari ini.
“Teka-tekinya memang ada di Adit, tapi dia nggak sadar.”
“Apa?”
“Hanya nama Adit”
Ucapan Zali masih belum membuat Dira tenang, dia terus menangis. Tanpa henti. Zali mengeluarkan kotak kecil yang berisi obat-obatan P3K untuk luka yang selalu ada di dalam tasnya.
Ia mengambil sebuah obat kompres luka dan sebuah plester.
“Udah, jangan nangis. Yang tadi si Livi itu nanti kena balesannya. Jangan nangis terus ah. Jangan tunjukin kalau kamu tuh lemah. Kejadian hari ini kamu lupain sakitnya, baiknya kamu jadiin pelajaran buat besok. Hari kamu kan nggak berhenti sampe sini”
Zali terus membersihkan luka Dira yang lumayan ngilu. Wanita ini ternyata cukup kuat untuk hal semacam luka luar.
“Kamu sering bawa obat-obatan ini?” Syukurlah, Dira menghentikan ceritanya tentang Livi dan Adit. Itu sedikit membuat Zali tenang karena air matanya juga perlahan hilang.
“Iya, aku kan naik motor terus juga suka tawuran, ya jaga-jaga aja biar kalau luka nggak ngerepotin orang lain”
“Termasuk obat anti depresan ini?”
Zali terdiam. Zali lupa untuk memindahkan obat itu pada tempat yang seharusnya.
“Oh, Nggak kok. Itu- Punya Zila, kayaknya sih kebawa”
“Adik kamu minum obat ini? Kenapa? Dia depresi?”
Semesta, apa yang harusnya Zali jawab?
“Em, Adik aku emang kadang suka stress gara-gara pelajaran. Dia kadang suka sampe sakit. Dan obat ini juga udah lama kayaknya”
“Oh. Zali, Apa maksud teka-teki ini?”
Zali terdiam, ia membereskan obat kompres luka dan plester yang sudah selesai ia gunakan.
“Kamu tahu nggak, kalau Nama seseorang itu bisa menentukan hidupnya?”
Dira menggeleng, sepertinya memang Dira tidak mengetahui sekuat apa pengaruh nama pada kehidupan yang saat ini dijalani atau kehidupan di masa depan.
“Contohnya nama kamu deh, Adira Azzahra, di dalam nama kamu ada banyak harapan orang tua kamu”
“Apa?”
“Kamu kira aku tahu?”
“Iya, karena katanya kamu sayang aku. Pasti kamu nyari tahu semua tentang aku”
“Kata siapa?”
“Kata aku lah”
“Apa kata kamu?”
“Kamu sayang aku”
“Kamu sayang aku?”
“Kamu yang sayang aku”
“Jadi kamu nggak?”
“Nggak tahu lah, kamu nggak bilang”
“Bilang apa?”
“Aku sayang kamu”
“Yes! Akhirnya kamu ngaku duluan”
“Ih apaan sih” Dira mendorong bahu Zali.
Sementara Zali sukses tertawa dan membuat Dira kesal hingga wajahnya memerah.
Kenapa semakin hari, Zali semakin sulit untuk melepas wanita ini. Dira semakin dekat dengannya, terlebih lagi karena teka-teki ini juga Zali lebih sering berdua dengan Dira.
“Aku tahu arti nama kamu, itu kan yang kamu mau”
“Tahu dari mana?”
“Bener apa kata kamu, aku kan sayang kamu. Jadi aku cari tahu. Kemana aja, ke siapa aja. Yang penting aku tahu”
“Apa?”
“Harapan orang tua kamu sederhana, Cuma mau kamu jadi wanita kuat dan seperti Fatimah Azzahra”
Okelah, sepertinya jawaban Zali benar karena Dira tersenyum. Permintaan Zali pada semesta hari ini adalah; Buat Dira tersenyum, Buat Dira lupa pada kejadian yang menimpanya hari ini, abadikan senyuman Dira hingga senja tiba atau sampai fajar kembali terbit di ufuk timur.
“Kalau nama kamu apa artinya?”
“Zali dan Zila, atau Zali aja?”
“Dua-duanya boleh”
Zali tersenyum, ia mengingat kembali memorinya tentang arti namanya dan nama Zila.
“Anzali dan Anzila, Anzali artinya mengungkapkan, dan Anzila artinya akan terungkap. Putra dan putri. Itu adalah pembeda kita, anak laki-laki dan anak perempuan. Adrian dan Adrain. Adrian artinya pemberani dan Adrain adalah Robert Adrain seorang matematikawan asal Irlandia yang menghabiskan hidupnya di Amerika”
“Jadi terciptalah nama Anzali putra adrian dan Anzali Putri Adrain?”
“Ayah mau kalau aku itu jadi laki-laki pemberani. Dan bunda mau kalau Zila itu jadi wanita yang cerdas”
“Dan sekarang udah tercapai?”
“Sudah, walaupun belum sepenuhnya tercapai”
Zali mengambil sebuah kotak yang ada di dalam tasnya. Isinya adalah sebuah robot yang masih dalam proses penyelesaian, ini adalah esksperimen pertamanya yang berhasil saat ujian praktik kejuruan, selama sekolah di jurusan Robotik Zali memang selalu gagal merancang sebuah robot. Bukan perhitungannya yang salah, tapi pengukurannya yang selalu kurang teliti.
“Buat kamu, ini hasil eksperimen aku yang nggak tahu udah ke berapa, tapi baru kali ini aku berhasil. Dan kata Kepala Jurusan aku, ini sempurna”
“Kenapa untuk aku? Kenapa nggak kamu simpan di rumah untuk jadi kenang-kenangan karena kamu berhasil untuk pertama kalinya.”
“Karena ini memang untuk kamu”
Ini yang hanya bisa Zali berikan pada Dira. Sebuah Robot hasil karyanya sendiri.
“Terimakasih”
“Pulang yuk, Aku harus pergi”
“Pergi kemana?”
“Rumah sakit”
“Untuk nemuin dia?”
“Iya. Janji deh, nanti malem aku jemput kamu”
Tenang Dira, semua perlahan akan terbuka kejelasannya. Tidak usah khawatir apalagi cemburu. Zali untuk Dira saat ini. Tapi tidak untuk selamanya.
***
Rumah sakit, Kini adalah tempat yang paling sering Adit kunjungi dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Menemani Zila, berbicara sendiri sambil membacakan sebuah buku musik yang akan membuat Zila menyukai musik pada saat terbangun nanti.
Zila, kapan bangun? Kapan dia memarahi Adit dan Zali lagi ketika telat pulang karena terlalu lama bermain? Kapan juga Zila menelpon Adit hanya untuk memarahinya karena telah mengajak Zali bermain musik hingga laut malam?
Sebenarnya, sejak kecil ada dua manusia yang Adit cintai,bukan hanya Dira, Ada Zila juga. Zila yang memiliki sifat yang berbeda dengan Dira. Dan Zila juga yang memiliki wajah yang lebih cantik dibandingkan dengan Dira. Tapi Dira bukanlah seorang wanita yang lemah, Dira sangat kuat, Dira tidak cantik. Tapi dia manis bahkan menggemaskan. Itu yang Adit sukai dari kedua wanita itu.
Adit menolehkan kepalanya saat ia mendengar suara pintu dibuka. Kakak dari wanita ini datang dengan membawa sebuah plastik yang tidak tahu apa isinya.
“Dira lo apain?” Pertanyaan Zali membuatAdit memutarkan kursinya dan menghadap Zali yang sedang menenggak sebotol teh dingin.
“Nggak gue apa-apain. Cuma nggak sengaja motor gue nabrak lutut dia”
“Balik gih, gue mau berduaan sama Zila”
“Lo kira di sini lo doang yang ngarep Zila bangun? Gue juga”
“Gue yang harus ada di sampingnya”
“Tugas lo Dira”
“Lo gila? Dia adik kembar gue. Gimana caranya gue nggak peduli sama dia saat dia hidup tapi terasa nggak hidup”
Adit terdiam. Dirinya salah berbicara. Saat ini emosi Zali pasti sedang bergejolak karena Adit sudah membuat Dira celaka, dan sekarang ditambah dengan Adit yang memaksa untuk tetap tinggal dan menyuruh Zali untuk menjaga Dira. Padahal Adit tahu, Zila adalah Adiknya. Adik kembarnya.
“Lo pulang, Nanti malem gue mau pergi jemput Dira, jadi nanti malem lo dateng ke sini lagi”
Sedikit sakit, tapi ini yang Adit inginkan. Zali bersama dengan Dira dan Adit dengan mudah tanpa harus memikirkan bagaimana kebahagiaan Dira. Ternyata, bersama Zali, Dira bahagia. Tak pernah ada air mata yang tercipta. Zali menepati janjinya dengan baik. Menjaga Dira layaknya ia menjaga Zila. Walaupun sebenarnya, Zali melakukan itu karena perasaannya bukan karena permintaan Adit.
“Zal, sebenernya ada yang belum gue omongin sama lo”
“Tentang?”
“Bokap lo kemarin datang, dia mau pindahin Zila ke Singapore”
Bisa dilihat dari tempat duduk Adit, Wajah Zali seketika berubah total. Zali memang sedang marah dan emosi, tapi kali ini tingkatan emosinya bukan ada di level yang rendah lagi.
“Kenapa dia nggak bilang sama gue? Padahal dua hari ini gue nginep di rumah.” Zali meletakkan botol minumnya di atas narkas dan duduk di samping Adit.
“Lo tahu, dia itu separuh jiwa gue, dia orang yang udah nemenin hari-hari gue. Dia orang yang paling kenal siapa gue, orang yang paling gue sayang setelah bunda. Kalau dia pergi, lo tahu gimana rasanya? Sakit Dit, liat dia kaya gini aja gue udah sakit nyesek. Dan ditambah lagi kalau dia beneran dipindahin ke Singapore dengan keadaan yang belum pasti. Rasanya lebih sakit karena gue nggak bisa jagain dia langsung”
“Bukan Cuma lo yang ngerasain itu, lo nggak pernah tahu gimana hati gue buat dia. Sejak kecil Zal, sejak kecil dia juga punya ruang khusus di hati gue. Cuma saat itu sampai sekarang, gue nggak berani untuk terang-terangan bilang sama lo”
“Kenapa?”
“Karena lo terlalu sayang sama dia, lo nggak pernah mau dia deket sama laki-laki lain, termasuk gue. Lo selalu berantem sama orang yang gangguin dia. Dan saat itu juga, gue mikir. Gue takut kalau lo juga hajar gue kaya lo hajar anak-anak lain”
Adit menatap Zali, laki-laki itu terdiam. Sekarang, Zali pengguna obat-obatan depresan. Setelah diagnosa dokter saat ia dirawat akibat aksi sok jagoannya di depan Davin. Sekarang Zali harus rutin ke Psikolog untuk mengonsultasikan tentang keadaanya.
“Gue balik ke rumah ya, nanti malem gue balik lagi ke sini” Adit mengambil tasnya yang berada di bawah dan mengambil sebotol minuman teh dingin yang Zali bawa tadi.
Adit melangkahkan kakinya menuju ke luar ruangan ini, betapa terkejutnya Adit saat ia membuka pintu, ada seseorang yang ternyata memperhatikannya dan bahkan mungkin mendengar seluruh percakapan Adit dan Zali.
“Lo ngapain di sini?”
***
Dira berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Ruangan yang beberapa menit yang lalu ia amati. Langkah kaki Dira ditemani oleh air mata yang terus mengalir deras. Dira berlari menuju ke tempat tersembunyi di Rumah Sakit ini. Tak mau terkejar oleh Adit. Tak mau juga Zali mengetahui jika Dira mengikutinya sampai ke Rumah Sakit ini.
Langkah kaki Dira berhenti tepat di depan Ruangan Konseling, tempat yang berada di ujung koridor, dan sangat sepi. Bahkan mungkin ruangan ini jarang terjamah oleh manusia lain. Kecuali orang-orang yang memiliki gangguan Psikis.
Di depan Ruangan ini Dira menangis lagi, kata-kata Adit dan Zali seakan terus terngiang di kepala Dira. Kata-kata itu bagaikan putaran kaset rusak yang tidak dapat dihentikan. Ia terus berputar tanpa ada yang menyuruhnya berputar.
“Lo tahu, dia itu separuh jiwa gue, dia orang yang udah nemenin hari-hari gue. Dia orang yang paling kenal siapa gue, orang yang paling gue sayang setelah bunda. Kalau dia pergi, lo tahu gimana rasanya? Sakit Dit, liat dia kaya gini aja gue udah sakit nyesek. Dan ditambah lagi kalau dia beneran dipindahin ke Singapore dengan keadaan yang belum pasti. Rasanya lebih sakit karena gue nggak bisa jagain dia langsung”
“Bukan Cuma lo yang ngerasain itu, lo nggak pernah tahu gimana hati gue buat dia. Sejak kecil Zal, sejak kecil dia juga punya ruang khusus di hati gue. Cuma saat itu sampai sekarang, gue nggak berani untuk terang-terangan bilang sama lo”
“Kenapa?”
“Karena lo terlalu sayang sama dia, lo nggak pernah mau dia deket sama laki-laki lain, termasuk gue. Lo selalu berantem sama orang yang gangguin dia. Dan saat itu juga, gue mikir. Gue takut kalau lo juga hajar gue kaya lo hajar anak-anak lain”
Dira melungkupkan wajahnya kelutut, lalu menangis sendu di dalam sana. Apa sih maksud mereka? Kemarin Adit, Sekarang Zali. Dan mereka sama-sama mencintai wanita yang sama. Dan wanita itu sedang koma. Dia itu siapa?
Tak mau melihat di mana saat ini Dira menangis, tak mau peduli apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berlalu lalang, ataupun yang dilihat oleh orang-orang. Dira tidak peduli. Saat ini Dira hanya ingin menangis.
Rasanya sakit itu hadir lagi, Zali dan Adit mempunyai maksud apa? Kenapa Zali dan Adit sama-sama mendekati Dira dan mereka juga justru mencintai wanita yang sama, dan wanita itu koma. Lantas, Dira hanya pelampiasan? Itu maksudnya?
Dan sakitnya lagi adalah mereka menyukai satu orang yang sama sejak kecil, dan Dira juga menyukai Adit sejak masih kecil karena Adit selalu memperhatikan Dira. Jadi semua perlakuan Adit selama ini apa maksudnya? Apa hanya Dira saja yang terlalu berharap.
Dan Zali, selama ini Zali hanya melampiaskan semuanya pada Dira. Karena Zali butuh seseorang untuk menemaninya hidup, dan wanita yang sedang terbaring itu tidak bisa memberikan apa yang Zali mau.
Apa sih? Kenapa semuanya terasa membingungkan. Kenapa juga Dira masuk ke dalam salah satu kepingan teka-teki Zali. Kenapa juga Adit masuk ke dalam teka-teki itu. Apa maksud ZZA itu adalah Zali, Adit. Dan Z yang satu lagi adalah wanita itu. Dan kedai kopi adalah tempat kesukaan mereka? Itu maksudnya?
Kalau begitu, kenapa Dira harus mengikuti teka-teki itu? Untuk menjelaskan bagaimana posisi Dira yang hanya sebagai pelampiasan? Itu maksudnya?
“Dir” Sentuhan tangan di bahu Dira membuatnya menaikkan kepala yang semula masih terlungkup.
“Sini naik, jangan duduk di lantai” Dira menggeleng, ia tidak mau mengikuti apa yang diucapkan oleh Zali lagi.
“Naik Dir, Harus aku paksa?” Lagi-lagi Dira hanya menggeleng.
Kenapa Zali datang? Kenapa Zali tidak bersama dia saja? Bukannya dia adalah orang yang paling penting, bukannya dia adalah peran utamanya?
Dira terkejut saat Zali tiba-tiba duduk di hadapannya. Ia menatap keseluruhan wajah Dira. Dira yakin, kantung mata Dira pasti sudah membesar karena tadi malam kurang tidur, dan mata Dira pasti sudah bengkak karena terlalu lama menangis. Dalam sehari ini, Dira sudah dua kali menangis.
“Kenapa nangis? Air mata itu nggak cocok jatuh di mata kamu. Dia nggak pantes melintas di pipi merah kamu”
Dira tidak mau berbicara. Terlalu sakit untuk berbicara dengan Zali, orang yang ternyata mencintai orang lain, tapi dengan sangat terang-terangan membuat Dira jatuh cinta.
“Kamu jangan lari-larian. Kaki kamu sakit.”
Biarin saja Zali terus berbicara, Dira tidak mau menjawab. Dia dan temannya itu yang membuat Dira menangis dan berlari. Luka di hati ini juga hadir karena Zali dan Adit.
“Aku salah ya Dir? Aku salah ya udah ajak kamu main teka-teki dan bawa kamu kebagian yang paling menyedihkan untuk kamu? Aku salah ya Dir?”
“Iya. Kamu emang salah! Kamu salah, salah banget!” Dira mendorong Zali hingga laki-laki itu terjatuh. Tangis Dira tidak bisa ia tahan. Bagaimana bisa Zali bisa melakukan hal semenyakitkan ini untuk Dira.
“Pukul aku Dir, Biar aku rasain sakit seperti kamu saat ini. Pukul Dir, Biar kita sebanding. Kalau perlu, Lebih parah. Nggak masalah”
Dira membisu. Ia terdiam bersama dengan tangisnya yang terus mengalir deras.
“Aku selalu bilang teka-tekinya nggak akan berhenti di sini. Akhirnya nggak akan pernah sedih.”
“Kamu stop teka-teki ini. Aku nggak pernah mau ketemu kamu lagi. Kamu jahat Zal. Kamu jahat!” Untuk kedua kalinya Dira mendorong Zali. “Harusnya aku nggak perlu ketemu sama kamu, harusnya aku nggak perlu jatuh cinta sama kamu. Dan harusnya juga kamu nggak perlu kasih perhatian yang lebih sama aku karena kamu udah punya separuh jiwa kamu. Aku nggak ada peran apa-apa di sini Zal. Kamu harusnya ngerti itu. Aku juga harusnya nggak perlu ngikutin teka-teki kamu untuk tahu gimana akhir cerita ini”
Dira bangkit dan berlari untuk mencari jalan keluar dari Rumah Sakit ini.
Bisa hentikan permainan ini? Dira tidak suka bermain teka-teki yang membingungkan seperti ini. Dira tidak suka bermain teka-teki yang di dalamnya terdapat banyak kesedihan. Dira tidak suka menangis. Tapi kenapa teka-teki ini seakan menyuruh Dira untuk berteman dengan Air mata.
***
Saat ini Zali sedang berada di Ruangan Zila. Bersama dengan keheningan malam, juga decitan suara pendeteksi detak jantung yang berbunyi secara normal.
“Dia marah sama gue Zil, gue salah ya Zil? Gue salah! Gue bikin air mata dia ngalir terus. Gue juga jahat sama lo Zil, gue jadiin lo bahan teka-teki. Gue buat dia salah paham sama lo. Marahin gue Zil, marah Zil. Ayo lo pukul gue!”
Sudah dua jam lebih Zali menetap di kursi ini. Kalimat yang ia ucapkan sejak dua jam yang lalu hanya itu-itu saja. Pertanyaan yang sering kali berubah menjadi sebuah pernyataan yang ia ucapkan sendiri.
Zilanya pasti mendengar, tapi ia tidak bisa menjawab. Tuhan dan semesta kenapa Zila tidak kunjung bangun? Kenapa Zila tidak kunjung membuka matanya, kenapa?
“Gue salah ya Zil? Gue kenapa bisa berpikir kalau dia itu sama kaya lo, awalnya nggak suka teka-teki. Tapi karena teka-teki yang gue buat. Lo bisa suka banget sama permainan yang membingungkan itu. Tapi nyatanya beda Zil, gue nggak bisa bikin dia suka sama teka-teki. Malah karena teka-teki itu, dia ngebenci gue”
“Zil, kenapa masalah selalu dateng saat lo justru nggak ada di samping gue Zil? Bunda sama ayah nggak tahu ada di mana, mereka kayak nggak sadar kalau lo koma dan mereka juga kayak nggak sadar kalau gue hampir gila karena ini semua.”
“Zil ayo bangun, gue mau lo ada di sini. Temenin gue buat jalanin semuanya. Temenin gue buat ngelewatin semua permasalahan hidup keluarga kita. Gue nggak bisa jalanin ini sendiri.”
Sebenarnya Zali tahu, yang ia lakukan saat ini sangatlah salah. Zali berbicara dengan orang koma, orang yang hidup tapi seperti mati. Tapi hati Zali selalu berbicara, Zila akan bangun! Kapanpun itu? Pasti Zila akan bangun, karena Zali tidak akan pernah hidup sendiri.
Saat ini hidup Zali lebih berantakan karena Pertengkaran orang tuanya dan Zila yang koma, lalu ditambah lagi dengan Dira yang murka dengan kesalah pahaman itu. Sekarang, tak ada alasan untuk tetap tinggal di bumi.
Zali mengambil tasnya dan obat yang ada di dalamnya. Dilihatnya hanya tinggal ada beberapa butir obat anti depresan itu. Tidak begitu banyak dan tidak begitu sedikit. Sekitar ada 10-12 butir. Ditenggaknya seluruh obat itu tanpa air minum setetespun.
Tak butuh waktu lama, Zali merasakan sensasi seakan melayang dan akhirnya pandangannya menjadi buram. Perlahan menjadi blur, dan dalam hitungan detik saja, semuanya berubah menjadi gelap total.
***
Adit menutup pintu ruangan ICU yang di dalam sana terdapat sahabatnya yang sedang ditangani oleh Dokter.
Di genggaman tangannya kini adalah sebuah kemasan obat Anti Depresan yang baru saja ia temukan di saku celana seragam sekolah Zali.
Apa yang terjadi pada sahabatnya ini? Kenapa bisa Zali meminum obat sebanyak itu dengan sengaja. Apa yang ia inginkan? Menjumpai malaikat maut? Dia gila. Memang, akhir-akhir ini Zali selalu murung dan kadang melamun sendiri. Persis orang gila.
Wajar saja, meminum semua obat ini bukanlah keinginan Zali, tapi anjuran Dokter Psikis untuk membuat Zali seakan tenang dan lupa pada masalahnya. Tapi ternyata penggunaan obat ini justru salah, Zali yang saat ini bukanlah Zali yang ia kenal sepuluh tahun yang lalu. Zali yang saat ini adalah Zali yang nekat, Zali yang tidak pernah berfikir dua kali untuk melakukan sesuatu. Beda dengan Zali yang ia kenal sepuluh tahun yang lalu Zali yang pendiam, Zali yang penakut, bahkan Zali yang tidak pernah bisa memutuskan sebuah keputusan sendiri.
“Zali kenapa bro?” Suara Gazza membuat Adit terkejut. Ia tiba-tiba datang tanpa salam dan permisi langsung duduk di samping Adit.
“Nih” Adit memberikan sebuah kemasan obat yang sejak tadi ia genggam.
“Gila. Zali pemakai?” Gazza terkejut dengan sebuah kemasan yang Adit berikan. Ya wajar saja, tidak ada yang mengetahui hal ini selain Adit dan Zali.
“Lo yang gila. Dia pake obat ini karena emang anjuran Dokter”
“Ya gue kira. Lo kan nggak ngejelasin. Ya berarti jangan salahin gue kalau gue berpikir jauh sampe ke sana”
“Ya lo juga gila. Pikiran lo jauh bener sampe ke sana”
“Ya maaf. Terus keadaannya sekarang gimana?”
“Masih ditanganin Dokter. Ya semoga aja Cuma over dosis biasa. Nggak akan parah”
“Ya semoga aja”
Adit kembali terdiam. Pasti sebelum melakukan aksi nekatnya ini, Zali berbicara banyak dengan Zila. Dan pasti ada yang mempengaruhi Zali, sampai anak ini bisa melakukan aksi bodohnya.
Apa Dira? Tapi kenapa Dira? Iya, tadi Adit bertemu dengan Dira. Tapi Dira lari, dan Adit memberitahu Zali tentang keberadaan Dira di rumah sakit ini. Tapi Adit tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, karena rasa ingin tahu Adit pada Dira ia sembunyikan di ruangan gelap yang ada di hatinya.
Bersamaan dengan lamunan Adit, Dokter keluar dari ruangan itu dan memberitahu kondisi terkini dari Zali.
“Obat yang ditelan lumayan banyak, dan butuh waktu beberapa hari untuk fungsi obat itu benar-benar hilang dan tubuhnya kembali steril. Dia juga sudah ditangani dengan baik, dan semoga saja segera sadarkan diri”Ucap Dokter laki-laki yang sepertinya masih berusia muda.
“Berapa hari ya dok?”
“Mungkin 2-3 hari”
“Ada yang mau ditanyakan lagi? Kalau tidak saya pamit permisi”
“Terimakasih Dok,”
Adit dan Gazza masuk kedalam Ruang ICU, tentu saja menggunakan baju steril yang sudah disiapkan oleh pihak Rumah Sakit.
“Mau nyusul Zila? Itu maksud lo. Lo lagi kaya gini tuh malah makin ngeselin dibandingkan dengan lo yang sehat. Lo nggak sadar aja pengen gue tampar. Biar lo sadar. Stress boleh Zal, tapi inget nyawa.” Adit tahu, ucapannya ini tidak bisa dibalas oleh Zali.
Zali masih tetap larut dalam tidurnya yang mungkin akan berlangsung selama beberapa hari. Bisa dilihat jelas oleh mata Adit, Tidurnya Zali berbeda. Seakan laki-laki ini tidak pernah tidur senyaman ini.
“Apa yang terjadi sih Dit? Kenapa Zali bisa pake obat anti depresan?” Gazza akhirnya angkat suara. Adit juga tahu, pasti banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Gazza. Dan pasti, pertanyaan itu membutuhkan jawaban.
“Masalah yang berat. Dan Zali nyimpen itu sendiri. Dia nggak mau ngebebanin orang lain dengan masalahnya. Itu pesen Zali”
“But why?”
“Semua orang butuh privasi. Termasuk Zali”
“Privasi yang mana sih yang Zali maksud? Kita sahabatnya men!”
“Bahkan sama sepupu dan kakek neneknya, Zali nggak pernah mau bicara apa keluhan masalahnya”
Gazza terdiam. Adit juga. Keheningan kini perlahan mulai tercipta. Zali, dia tertidur sama seperti Zila. Tapi Zali pasti akan bangun, sedangkan Zila tidak tahu kapan akan bangun.
“Lo mau di sini atau mau balik? Gue mau ke kamar Zila dulu”
“Ya oke, gue di sini sebentar. Habis itu balik”
Adit melangkahkan kakinya menuju ke lantai lima. Tempat Zila dirawat.
Sampai di kamar itu, betapa terkejutnya Adit saat melihat ada ayahnya Zali yang sedang duduk dan kini sedang menatapnya.
“Selamat malam om” demi tuhan, Adit sedikit kaku, karena Adit sendiri takut pada ayahnya Zali karena kata Zali, semua sifat baik ayahnya hilang. Dan yang tersisa hanya sifat keras kepala dan galaknya.
“Zali di mana Dit?” Salah. Ketakutan Adit ternyata salah. Nada bicara ayahnya sangat lembut, masih sama seperti dulu.
“Maaf om, Zali di-rawat lagi, Dia overdosis obat depresan”
Raut wajah Ayahnya Zali berubah drastis, ia terkejut. Wajahnya seketika pucat pasi dan botol air minum yang semula berada di genggamannya terjatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang nyaring.
“Obat depresan? Kenapa Zali bisa minum obat itu?”
“Saat di rawat karena pingsan dalam kondisi babak belur, saat itu juga Dokter mendiagnosa Zali terkena ganguan psikis, dia depresi”
“Kamar Zali ada di mana?”
“Masih di ruang ICU om”
***
Saat ini Dira sedang berdiri di depan Restoran. Malam ini tidak hujan, tapi sangat dingin. Memang setiap malam juga selalu begitu, karena ini adalah kota Bandung.
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa semuanya terjadi begitu saja. Siangnya, Zali berjanji akan menjemput Dira saat pulang kerja, dia memberi Dira tawa di balik luka yang ia dapat. Dan Sorenya, Zali berikan luka di saat tawa sedang menyelimuti dirinya.
“Dek, pulang sama kakak aja ya. Kamu kaya lagi kurang sehat tuh” Revan sudah berulang kali berbicara seperti itu, tapi Dira selalu menolak. Dan kali ini, Dira hanya menggelengkan kepalanya, sambil berusaha menyimpulkan sebuah senyuman yang sebenarnya senyum kebohongan, senyum tipuan yang bukan dari hati Dira.
“Kali ini kakak nggak modus kok, tenang aja. Ayo naik”
Lagi-lagi, untuk kedua kalinya Dira hanya menggeleng. Bukan masalah itu, tapi Dira masih menunggu. Jika Zali benar-benar menyukai dan mencintai Dira, Zali akan datang. Walaupun Dira marah, Zali akan datang. Seperti dia mendatangi Dira pada saat Dira pingsan di sekolah, dan Zali berani mengambil resiko walaupun harus kena pukulan Davin. Tapi sekarang, kenapa Zali tidak datang?
Okelah, Jika dia tidak datang, itu tandanya dia tidak cinta. Oke Dira, bisakah kau meyakini kata-kata itu?
Tapi sayangnya tidak. Dira sangat sulit untuk bisa menerima kata-kata itu, Dira lebih meyakini logikanya yang selalu mengatakan Zali mencintai Dira dan Zali akan selalu datang. Bagaimanapun kondisinya, walaupun hujan badai. Zali akan tetap datang. Zali bilang, saat ia hadir untuk Dira. Tapi Zali, kenapa kau tidak datang saat ini?
Dira masih tetap berdiri di depan restoran. Rasa dinginnya semakin masuk ke dalam tubuh Dira hingga ke tulang rusuknya. Jam sudah menunjukan setengah sepuluh malam, Revan sudah pergi dan semua rekan kerja Dira juga sudah kembali ke Rumahnya masing-masing. Restoran ini sudah tutup, suasana jalanan yang semula ramai juga perlahan mulai sepi. Para manusia yang meramaikan jalan sudah kembali pulang ke Rumahnya masing-masing. Berteduh pada Rumah yang memberikan kehangatan dan selimut yang memberikan kenyamanan. Dira ingin pulang, tapi bersama Zali.
Awalnya hanya dingin, tapi setelah beberapa menit kemudian suara petir mulai saling bersahutan. Mereka seakan berbicara sesuatu, seperti mengobrol.
Semesta, apa kali ini para petir itu mentertawakanku? Karena aku bodoh? Karena aku berharap kepada orang yang katanya mencintaiku tanpa alasan, padahal tidak? Kalau iya, silahkan. Silahkan tertawa puas hingga mengeluarkan air mata bahagiamu. Karena aku kalah.
Dan benar, setelah suara petir yang bersautan, hujan turun begitu lebat. Semesta, benar ya? Petir itu tertawa hingga ia mengeluarkan air mata bahagia sederas ini. Iya kan?
Dira terdiam membisu, menatap rintikan air hujan yang terus mengalir deras. Diri Dira Ingin pulang, sepertinya Zali tidak akan datang karena ini hujan. Tapi hati Dira terus berteriak untuk bertahan, jangan pergi begitu saja. Nanti kelak akan ada penyesalan. Sekarang apa yang harusnya dilakukan? Pergi atau menetap? Sang pemeran utama tidak tahu kapan akan datang.
“Kenapa nangis?Air mata nggak cocok jatuh dari mata kamu, dia nggak cocok melintas di pipi merah kamu.” Pertanyaan itu, suara itu dan kata-kata itu. Dira menoleh, seperti orang yang sedang ia tunggu. Mirip sekali. Sangat mirip.
“Marvin?” jutaan kecewa menghantam Dira. Ingin jatuh rasanya. Tapi ia tak boleh tumbang.
“Mata lo kenapa? Muka lo juga pucet banget Ra, lo lagi sakit?”
Dira hanya menggeleng. Marvin kenapa datang? Yang saat ini Dira butuhkan bukan Marvin, tapi Zali. Semesta, dengar tidak? Dira butuh Zali! Bukan Marvin.
“Pulang sama gue ya, Ada Lia di dalem. Hujannya nanti makin deres. Yang ada lo nggak bisa pulang”
Mungkin ini sudah ada di puncaknya, Dira mengangguk. Sepertinya Zali tidak akan datang dan ini keputusan Dira. Semoga tidak berujung pada sebuah penyesalan. Semoga saja.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Dira terus berbicara di dalam hatinya, di ruangan khusus milik Zali. Di sana tempatnya.
Zal, mengapa dunia ini begitu keras? Kenapa kau masih belum mengerti jika aku adalah wanita yang penakut, aku wanita cengeng, aku wanita cemen. Dan kenapa kau menaruh hatimu padaku, aku juga menaruh hatiku padamu? Tapi kenapa kau letakkan hatiku bersamaan dengan hati orang lain juga? Maksudmu apa sih? Aku ini siapa? Pelampiasan mu? Atau boneka barbie milikmu? Aku siapa Zal? Kamu bisa jelaskan ini tidak? Dan Zali, kenapa kau tidak datang malam ini sesuai janjimu? Kamu benar tidak sayang padaku? Jadi perkataanmu tadi siang hanya fiktif belaka? Iya? Kurasa ini tidak adil. Aku benar menggunakan hatiku untuk mencintaimu dan melalui seluruh hariku bersamamu. Tapi kenapa kamu tidak? Kamu menyembunyikan perasaanmu untukku tidak sih? Aku berhasil melupakan bagaimana sakitnya dicampakkan oleh orang lain, itu karena kamu. Tapi setelah kamu buat aku nyaman, sekarang giliran kamu yang mencampakkan aku. Itu kan maksud dari rencana semesta dan isi teka-teki bodohmu itu. Iya? Sekarang aku mengerti. Berteman dengan seorang laki-laki kini tidak boleh menggunakan hati. Semua yang diawali dari hati, akan berakhir di hati pula. Seperti kisah ini. Aku masih mengingat bagaimana awal pertemuan kita, saat kami berjabatan tangan, kamu menebar senyuman manis milikmu. Dan aku hanya tersenyum dengan perasaan terpaksa. Karena kataku, Kamu adalah laki-laki yang tidak baik. Kataku, kamu tidak seperti Adit yang selalu membuatku tertawa dengan hal yang kadang membuatku darah tinggi. Tapi setiap pertemuan dua manusia membutuhkan waktu untuk saling mengenal dan pada akhirnya jatuh cinta, walaupun kadang jatuh cinta itu sudah bisa terjadi pada tatapan petama. Begitupun terjadi pada aku dan kamu. Aku boleh bilang, jika dulu aku menaruh hatiku padamu. Tapi perasaanku sendiri ragu karena aku bilang, kamu adalah laki-laki nakal. Dan aku sama sekali tidak pernah menyukai anak laki-laki yang nakal. Pada akhirnya semesta memberiku waktu untuk terus berkenalan denganmu dan berhubungan baik denganmu. Sampai akhirnya kamu menyatakan perasaanmu padaku, boleh aku jujur? Saat itu aku tidak benar-benar menolakmu. Tapi saat itu, hatiku masih termuat nama dia. Dan aku tidak bisa berbohong padamu. Zali. Aku sudah mencintaimu, sesuai dengan keinginanmu. Tapi kenapa semua luka justru datang. Semesta tidak setuju dengan rencanamu ini ya? Tapi sebenarnya, ini rencana semesta atau rencanamu sih Zal? Kalau rencanamu, kenapa kamu buat aku menangis? Katamu, Air mata tidak cocok keluar dari bola mata indahku, dan katamu juga, Air mata tidak boleh melintas di pipi merahku.
Dan akhirnya, Dira sampai di Rumah. Walaupun ada sedikit air mata yang ia tahan sejak perjalanan menuju ke Rumah. Dan ini adalah puncaknya, di dalam Kamar. Dira kembali menangis, mengeluarkan seluruh keluhan hatinya, seluruh kesakitan hatinya yang kini malah semakin tidak karuan.
Semesta, kenapa kau tidak berikan kisah yang bahagia saja untuk Dira? Kenapa kau malah memberikan kisah yang selalu berisikan air mata.
Sakit, demi tuhan. Lelah untuk menangis. Tapi Dira tidak bisa menahan semuanya untuk tidak mengalir.
Zali, kau tahu? Saat ini Dira menangis.
***