Masih pagi, tapi suara alunan gitar milik Kenzo sudah terdengar nyaring di telinga Zali. Sebenarnya bukan suata gitarnya, tapi lebih tepatnya suara seseorang yang menyanyikan lagunya. Hancur dan ini bencana untuk telinga Zali.
“Pagi Enjo sayang” Dan untung saja Kayla datang kehadapan Kenzo dan membuat aksi nyanyi massal itu terhenti.
“Pagi juga Ila,”
Kenzo dan Kayla adalah pasangan ter alay sejagat Lentera. Itu yang Zali lihat setiap pagi.
“Heh Zal!” panggilan itu membuat Zali yang semula sedang memperhatikan Kenzo, kini beralih menatap seseorang yang mengajaknya untuk berbicara.
“Kenapa Gazz?” panggilan tadi adalah panggilan Gazza.
“Lo nggak mau nyerang anak Pandu Sejahtera lagi?” Tanya Gazza.
“Nggak usah. Kalo lo mau nyerang. Ya serang aja. Gue lagi fokus ke Zila”
“Duh, dede emess gue. Kapan dia bangun sih Zal? Anen nih” Kini Reind angkat suara.
Kalimat yang bukan saja diharapkan oleh Reind, tapi Zali juga sangat mengharapkan jika Zila akan bangun karena Zali sudah sangat rindu padanya.
“Iya nih Zal, kita udah nggak pernah tawuran lagi. Badan gue jadi kaku nanti kalau nggak tawuran” Ucap Kenzo.
“Gue nggak mau lo tawuran ya jo. Awas aja lo kalau tawuran. Gue putusin” Ancam Kayla.
“Lah masa putus, gini deh La, lo bayangin kalau semua istri tentara bilang kaya gitu setiap suaminya mau perang, apa negara ini sekarang udah merdeka?” Ucap Kenzo.
“Lah lo bego banget sih jo. Kalau tentara sih punya tujuan yang jelas. Ngebela negara. Lah lo? Mau ngapain?” Balas Kayla.
“Ya tujuannya sama, Ngebela sekolah”
“Enjo dasar bego!”
Zali, Reind, Dan Gazza hanya tertawa melihat pertengkaran yang terjadi di depan matanya ini. Selain pasangan yang paling alay, pasangan ini juga adalah pasangan yang paling heboh jika bertengkar. Ruang praktek Robotik hingga ruang praktek tataboga. Sejauh itu dalam jangka waktu 15 menit gosip tentang bertengkarnya Kenzo dan Kayla tersebar luas.
Tapi ini untungnya. Lentera adalah sekolah yang lebih didominasi oleh laki-laki, sekitar 75% laki-laki dan 25% perempuan. Jadi tidak akan terlalu heboh seperti sekolah yang didominasi oleh perempuan.
“Tenang aja gue akan selesain pertempuran ini. Gue yang bilang sama Davin.” Zali mengambil tasnya yang semula berada di samping Reind.
“Heh Gila, lo mau nyelesain sendiri?” Gazza yang terkejut dengan ucapan Zali langsung bangkit dan menghampiri Zali.
“Tenang aja. Davin Cuma bocah anak kelas sepuluh. Apa yang harus gue takutin?”
“Dia Davin bro!” Gazza kembali menegaskan jika yang akan ia hadapi adalah Davin.
“Terus kenapa?”
“Lo lupa kalau dia itu Davin? Panglima tempur”
“Apa lo juga lupa kalau gue itu Zali. Orang yang bahkan jauh lebih tinggi dari pada panglima tempur”
“Tapi kan-“
“Gue ada jadwal praktek pagi ini. Lo ke kelas sana satu menit lagi bel bunyi.”
“Zal-“
“Kata Pak Tono kalau tawuran jangan sampe ketangkep polisi dan harus menang, kalau kalah dan ketangkep polisi kita bakal ditampar-tamparin”
“Eh Zal—“
Masa bodoh dengan panggilan Gazza, Zali langsung bergegas menuju ke ruang praktek robotik untuk melakukan ujian praktek susulan yang ia tinggalkan beberapa hari yang lalu.
Walaupun senang tawuran, tapi Zali adalah seorang siswa yang masih ingat pada pelajaran. Dunia jalanan itu hanya membantunya untuk menghilangkan segala beban yang ia rasakan, tapi sebenernya itu bukan dunianya. Zali tidak suka bertengkar, Zali tidak suka kekerasan apalagi tawuran. Kalian percaya? Sepertinya tidak. Karena Zali sudah terlalu banyak menggunakan kekerasan dan bertengkar dengan banyak orang.
***
Bahkan sepanjang jam istirahat Dira tidak berani untuk keluar kelas. Silahkan katakan Dira adalah wanita penakut, karena memang seperti itu faktanya.
Sejak kejadian kemarin terjadi, Dira tidak mau bertemu dengan orang-orang di luar sana. Sebenarnya tidak usah jauh-jauh ke luar kelas, Di dalam kelas saja Dira kadang merasa tidak kuat dengan apa yang diucapkan oleh orang -orang di kelas.
Kini Dira benar-benar seperti orang asing di kelas ini, seperti anak baru. Tidak mempunyai satu orangpun teman. Yang kini menjadi teman sejatinya hanya sebuah buku dan pulpen. Hanya itu. Bahkan teman semejanya, sama. Tak mau menyapa. Apalagi berbicara. Senyumanpun tidak ada.
Semesta, sekarang apalagi rencana yang akan kau buat? Aku berharap ini adalah salah satu rencana terbaikmu, tapi setelah kupikir lagi, aku tidak tahu di mana sisi baiknya? Apa kau sembunyikan? Tapi kenapa harus disembunyikan? Agar aku tidak tahu? Itu maksudnya?
Semesta, kau tahu kan? Aku orang yang tidak senang bermain teka-teki. Semesta, kau juga tahu kan? Aku orang yang tidak suka menikmati setiap kepahitan hidupku.
Semesta, kenapa semua orang pergi? Kenapa Marvin dan Dita pergi? Kenapa Adit juga pergi? Apa nanti Zali juga akan pergi? Kenapa kau rencanakan semua orang untuk pergi menjauh dariku? Apa salahku?
Semesta, ini teka-teki yang harus aku selesaikan untuk mendapatkan maksudnya, atau ini adalah hukuman yang harus aku terima?
Semesta, aku ini bertanya padamu. Kau dengar tidak?
Dira menutup buku catatannya, dilihatnya kelas masih sepi, padahal 10 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Dira kembali membuka buku cetak fisika dan mengecek PR yang akan dikumpulkan setelah bel masuk berbunyi.
Awalnya, Dira berpikir jika jalan sendirian itu lebih mudah karena tak banyak langkah yang ikut mencampuri langkahnya menjadi rumit, tapi ternyata salah. Berjalan sendirian di dalam lorong waktu itu ternyata membutuhkan teman, Butuh teman saat ternyata salah arah dan butuh teman pada saat sudah sampai tujuan.
“Ra!” panggilan seseorang yang tak terdengar asing itu membuat Dira menoleh.
“Kak Gres?” Terkejut karena jarang sekali seorang Gresilda yang bertitle anak kelas 12 dan hitz itu datang ke kelas Dira. Untuk apa?
Bisa Dira lihat, wajah Gresilda tampak panik dan disertai dengan nafas yang terengah-engah. Mungkin karena dia berlari. Tapi kenapa harus berlari?
“Ra ayo ikut!”
“Kemana? Sebentar lagi bel masuk.”
“Ayo ikut aja”
Gresilda menarik tangan Dira pergi keluar kelas, mereka melewati gerbang samping dan mengitari rumah penduduk sampai akhirnya tiba di sebuah lapangan yang luas. Lapangan yang masih ditumbuhi oleh rerumputan hijau.
Mata Dira mengitari seluruh sisi lapangan hijau itu, tapi di tengah lapangan, Mata Dira menangkap pemandangan 2 orang laki-laki yang sedang bergulat. Tapi berbeda, gulat kali ini satu orang diam saja tidak melawan dan tidak berontak.
“Mereka kenapa?”
“Tadi Zali datang ke sekolah. Dia nyari Davin dan seperti ini yang terjadi.”
“Kenapa Zali nggak ngelawan Davin?”
“Cuma Zali yang tahu jawabannya”
Dira masih memperhatikan aksi itu dari jarak jauh. Bukannya tak mau membantu Zali, tapi Gresilda selalu menghalanginya setiap kali ingin menghampiri Zali dan menengahi pergulatan tanpa juri itu.
Cukup lama Dira bersama dengan Gresilda berada di tempat ini. Memperhatikan Zali yang terus di pukuli oleh Davin, tapi laki-laki itu sama sekali tidak melakukan perlawanan yang ia lihat sejak tadi adalah Zali yang terjatuh, Zali yang tersungkur, Zali yang berusaha bangun dan menjadikan dirinya sendiri tameng untuk lawannya.
“Kak aku nggak bisa di sini terus”
“Bahaya kalau kamu ke sana”
“Dan bahaya juga kalau aku nggak ke sana. Davin nggak akan berhenti mukulin Zali kalau nggak ada orang yang misahin.”
Tak mau mendengar lagi jawaban Gresilda. Dira langsung bergegas lari menuju ke arah adu gulat itu dilaksanakan.
Tapi belum sempat Dira sampai di tengah lapangan, Zali sudah meneriakinya terlebih dulu.
“Pergi! Jangan ke sini!” Dira tahu, Zali sangat berusaha keras untuk mengucapkan kata-kata itu. Tapi Dira tidak mau mendengar ucapan apapun yang keluar dari mulut Zali.
Dengan langkah yang sebenarnya ragu, Dira melanjutkan langkahnya menuju ke tengah lapangan. Davin sudah menatap Dira dari jarak jauh, ia sudah menghentikan aksi gulatnya. Dan kini Dira menjadi penentunya.
“Ngapain lo ke sini?” Tanya Davin dengan nada yang terdengar kasar. “Nyelametin cowo lo yang sebenernya cemen ini?”
“Siapa yang lo bilang cowo cemen?” Dira memberanikan dirinya berhadapan langsung dengan Davin, setelah sekian lama ia tak pernah mau berhadapan dengan manusia yang ia anggap biadab dan brengsek.
“Sang panglima tempur” Jawabnya singkat.
“Lo lupa kalau lo juga panglima tempur? Kalau ada cowo cemen di sini, Cowo itu adalah Davin. Bukan Zali”
Davin berjalan mendekati Dira, ia menatap Dira, tatapannya semakin dekat. Tambah dekat, dan kini hanya berjarak beberapa sentimeter.
“Boy, ini pahlawan lo?” Masih dalam jarak yang dekat, Davin mengalihkan pandangannya ke arah Zali kemudian kembali menatap Dira.
Tak tahan!
Wajah Dira memerah!
Tanpa berpikir lebih jauh, Dira menonjok pipi Davin sehingga ia berhasil menjauh dari Davin dan berlari ke arah Zali.
“Dir pergi” Suara Zali sudah terdengar lemas.
Tapi tidak! Dira tidak mau pergi dari tempat ini dan meninggalkan Zali dengan Davin yang seperti sedang dirasuki oleh setan.
“Pergi Dir. Davin bahaya sekarang” Pintanya sekali lagi.
“Nggak-“ Belum sempat Dira melanjutkan kata-katanya, Tapi Davin sudah ada di hadapan mereka berdua.
“Bener apa kata cowo lo. Pergi sana Ra. Gue masih sayang sama lo, jadi gue nggak mau mukulin lo dan ngusir lo secara paksa”
Dira kembali mendorong tubuh Davin hingga laki-laki itu tersungkur ke tanah.
“Semenjak jauh dari gue lo lebih berani ya, gue jadi tambah suka sama lo Ra”
Apa banget! Siapa juga yang akan suka dengannya lagi. Cukup satu kali Dira dibutakan oleh cinta Davin yang sebatas ketikan massager.
“Pergi sana Dir” Pinta Zali sekali lagi.
Dira tidak bisa mendengar suara lagi dari mulut Zali kecuali permintaan pergi.
“Lo nggak usah pergi Ra, biar lo gue abisin sekalian di sini. Karena itu adalah perjanjian yang dibuat sama cowo lo sendiri”
Dira terdiam. Apa maksudnya? Perjanjian apa? Zali membuat perjanjian dengan Davin? Itu maksudnya?
“Zal?”Panggil Dira yang berarti ia menginginkan penjelasan.
“Pergi. Jangan bilang siapapun kalau aku di sini. Nanti kita ketemu. Doain kalau kita ketemu, Bukan rumah sakit tempatnya” Suara Zali terasa begitu berat. Ada nada kesakitan yang tercipta di sana. Tak akan mau Dira beranjak dari tempat ini, tak mau juga Dira meninggalkan Zali sendiri berhadapan dengan Davin. Tak mau!
“Pergi Ra!” Teriak Davin tepat di hadapan wajah Dira.
“Nggak mau!” Tak mau kalah dengan Davin, Dira juga meninggikan volume suaranya dan itu sukses membuat emosi Davin kian meledak.
“Terus mau lo apa? Lo mau di sini? Mau terkapar sama kaya cowo ini? Itu mau lo?”
“Iya!”
Ternyata seorang Davin tidak suka membuang-buang waktu. Diraih olehnya pergelangan tangan Dira dengan kekuatan yang cukup kencang.
“Pergi lo!” Dari jarak yang begitu dekat, tak bisa Dira mengelakkan kemerahan wajahnya saat ditatap dalam jarak yang sangat dekat oleh seorang Davin.
“Nggak mau! Lo budeg, tuli, atau culean?” Dira mencoba menghempaskan genggaman tangan Davin, tapi hasilnya nihil. Tenaga Dira tidak sebanding dengan tenaga Davin.
“Lo mau tahu akhir ceritanya kan? Kalau mau, Pergi sekarang. Permainannya bakal gue lanjut. Gak akan lama. Satu menit aja lo menjauh dari arena ini”
“Satu menit?”
“Iya, nggak akan lebih dari satu menit. Kalau lo nggak percaya, lo boleh pake timerhape lo.”
Dira menatap Zali yang kini masih tersungkur dengan rasa sakitnya. Hati dan pikiran Dira seakan berdebat.
“Lo Cuma butuh 1 menit aja biar semua masalah Zali selesai. Setelah 1 menit itu, nggak akan ada tawuran atau hal-hal pengeroyokan lainnya, Zali bisa bebas anter jemput lo kapan aja. Tapi kalau lo nggak kasih gue 1 menit itu, semua bakalan tetep terjadi seperti sebelumnya. Tawuran dan semua hal yang lo benci”
Dira kembali menatap Zali. Semesta, apa ini adalah rencanamu juga?
Tak tahu ini adalah keputusan yang tepat atau memang sebuah keputusan bodoh yang tidak berperikemanusiaan, Tapi Dira benar-benar melakukan itu. Langkah kaki Dira mundur selangkah, langkah dengan langkah. Dan akhirnya tercipta jarak yang lumayan jauh. Tapi Dira masih bisa melihat dengan jelas semua yang terjadi.
Gresilda menghampiri Dira dan memengang bahu Dira yang sudah lemas. Tangis perlahan sudah mulai turun. Zali kembali dihantam oleh Davin hingga ia benar-benar terjatuh dan tak bangun lagi, hingga tepat 1 menit pertandingan gila itu benar-benar selesai dan Davin menampilkan senyum kemenangan khas miliknya.
Dira segera berlari ke arah Zali diikuti oleh Gresilda di belakangnya. Manusia biadab seperti Davin ternyata masih bisa menampakkan wajahnya di depan Dira saat ini. Tak tahu malu, atau memang tidak pernah dianugerahi oleh tuhan rasa malu?
“Dia yang minta buat gue mukulin dia. Kalaupun sekarang harus ada yang disalahin, bukan gue, tapi diri dia sendiri”
Setelah ucapan yang menimbulkan teka-teki itu, Davin pergi. Tanpa maaf, tanpa salam, dan tanpa permisi.
“Zal” Dira tahu, Zali tidak sepenuhnya terkapar di depan Davin. Dira tahu, Zali kuat. Dira juga tahu, Zali akan menceritakan semuanya. Dan Dira juga tahu, mereka tidak akan pernah bertemu di rumah sakit. Dira tahu, itu tidak akan terjadi.
“Zal ayo bangun. Ayo ceritain. Davin udah pergi. Zal bangun!” Tak ada respon. Zali tak menunjukan jika ia akan melunasi hutang penjelasannya pada Dira.
“You’re will be fine Zal. Ayo bangun!”
Okelah! Cukup! Satu menit tadi sudah mengubah semua rencananya. Semuanya telah berbelok ke arah yang sangat Dira takuti. Dan kin terjadi.
Semesta, tolong jaga Zali. Semoga dia baik-baik saja. Semua rencananya hari akan terwujud kan? Benar kan? Zali akan mengajak Dira bermain di taman dan bertemu dengan anak-anak yang kemarin. Semua rencana Zali akan terjadi kan? Makan eskrim di kedai Mas Dere dan berkunjung ke kedai kopi di deretan Ciwalk. Zali tadi malam mengajak Dira ke sana. Itu akan terjadi hari ini kan?
Semesta, tolonglah Jawab. Jangan diam saja.
***
“Bahkan lo bisa lihat dari luar sini. Dira udah terlanjur jatuh sama Zali. Dan sekarang lo nggak bisa apa-apa, karena ini pilihan lo” Ucap Marvin.
Semuanya memang salah Adit. Tak pernah bisa Adit mengontrol emosinya. Tak bisa ia mengalihkan seluruh kekesalahnnya. Tak bisa ia menyaring segala ucapannya. Adit bukanlah Zali yang bisa berkata lembut dan halus. Adit bukanlah Zali yang pandai berkata-kata sehingga bisa merangkai sebuah kata indah yang diperuntukkan untuk seorang wanita. Dan Adit juga bukanlah Zali yang mempertaruhkan keselamatannya untuk seseorang yang ia sayang.
“Dira memang untuk Zali” Ucap Adit pelan. Pandangannya tak beralih dari ruangan yang di dalamnya terdapat Dira dan Zali. Tapi sampai saat ini juga, Zali belum membuka matanya.
“Tapi lo itu milik Dira. Lo nggak bisa menghindari semua filosofi lo tentang nama lo sama nama Dira.”
Adit menghela nafasnya panjang, dan menghembuskannya scara kasar. Harusnya semua filosofi bodohnya itu tidak pernah ada. Semua akan baik-baik saja jika semua filosofi bodoh itu tidak pernah ada.
“Lo harus inget. Pemikiran anak SMA kaya lo itu selalu berubah-ubah dan nggak pernah ada di satu titik yang sama dalam jangka waktu yang lama.”
Adit terdiam. Bukan tak ingin menjawab. Tapi Hati dan pikirannya kini sedang bergulat. Bertengkar tentang langkah apa yang akan ia lanjutkan selanjutnya. Tapi pergulatan hati dan pikiran itu tidak menemukan ujung yang baik.
“He is my best friend. Lo tahu dia kaya bayangan gue Vin,”
“Iya, Gue bukan sekedar tahu, bahkan gue paham”
“Bagus kalau lo paham. Gue titip Dira, kalau dia mau pulang. Lo anterin”
“Lo mau kemana?”
“Ruang khusus di rumah sakit ini”
Adit melangkahkan kakinya menuju ke ruang perawatan Zila. Ruang dimana ada saudara kembar Zali sedang terbaring lemah dan tak tahu kapan akan bangun. Tidurnya Zali sama seperti tidurnya Zila. Dua orang yang sama-sama tak pernah merasakan tidur yang nyenyak. Wajah mereka juga sekilas sama, sama-sama merindukan sebuah ketenangan untuk beristirahat.
“Zil, Kakak lo sekarang lagi terbaring sama kaya lo. Lo nyuruh dia ikut sama lo? Lo juga nyuruh Zali untuk istirahat sama lo?”
“Zil? Kapan lo bangun? Kapan juga lo marahin gue lagi karena gue ngajak Zali main musik?”
“Banyak orang yang nunggu lo bangun. Ayo bangun Zil” Adit mengenggam tangan Zila. Menatap wanita itu masih lelap dari tidurnya, tak tahu kapan bangun. Bahkan sudah mendekati 1 minggu, Zila masih belum juga bangun. Semesta, apakah Zila termasuk ke dalam kategori rencanamu?
***
Perlahan namun pasti, cahaya terang mulai terlihat jelas oleh indra pengelihatan Zali. Suasana hening, ruangan yang hanya dipenuhi oleh barang-barang dan satu orang yang sedang tertidur lelap.
Sudah berapa lama Zali tertidur? Tapi rasanya memang belum terlalu lama. Tidak selama saudara kembarnya. Kenapa Zali harus bangun sekarang? Kenapa Zali tidak seperti Zila saja? Semesta, kenapa?
Zali mengelus halus rambut Dira. Entah elusannya terlalu kencang atau apa, tapi sentuhan tangan Zali di kepala Dira sukses membuat wanita itu terbangun.
“Zal, udah bangun?” Suaranya berat dan serak. Kantung matanya jelas sekali terlihat oleh mata Zali. Sedikit sembab karena menangis.
“Sekarang jam berapa?” Dira melirik handphone yang ada di atas narkas dan meraihnya.
“Jam 3 pagi”
Zali tersenyum. Wanita ini masih bertahan di Rumah Sakit sampai jam 3 pagi. Sampai ia tertidur dan masih menggunakan seragam putih abu-abu. Wanita yang tadi siang Zali temui, sekarang tampak berbeda. Sembab di matanya yang membuat wanita itu berbeda dari tadi siang.
“Kenapa nggak pulang?”
“Kamu hutang penjelasan sama aku Zal”
“Harus sekarang?”
“Harus”
“Kenapa?”
“Karena aku rela nunggu sampe kamu bangun Cuma untuk tahu penjelasan kamu”
“Hanya itu?”
“Semakin banyak yang aku tahu, semakin banyak yang aku nggak tahu, dan akan semakin banyak juga pertanyaan yang harus kamu jawab”
Zali memejamkan matanya, melihat Dira berkali-kali dan menatapnya sambil tersenyum.
“Kita main teka-teki ya. Semua omongan Davin tadi itu adalah kepingan teka-tekinya. Dan sekarang aku mau kasih yang terakhir.”
“Aku nggak pernah suka main teka-teki”
“Aku akan bikin kamu suka main teka-teki”
“Kita lihat aja”
“Mau lanjut tidur atau mau tahu kepingan terakhir itu?”
“Bahkan aku nggak tahu kepingan apa yang dikasih sama Davin”
Zali tersenyum menatap Dira, wanita ini memang tidak mengerti segala bentuk kode ataupun teka-teki.
Padahal bila diperhatikan dengan jelas, ucapan Davin tadi siang sudah bisa membongkar semua teka-teki itu dan Zalipun tidak perlu menjelaskan semua tujuannya tidak melawan dan menyuruh Dira untuk pergi tadi siang.
“Oke, ini bukan saatnya main teka-teki.” Zali menatap mata Dira yang sedang menatapnya dengan tatapan kebingungan.
“Terus?”
“Saatnya bayar hutang”
Dira sedikit tertawa, tapi langsung ia hentikan.
“Kamu tahu aku dateng ke sekolah sendiri? Pasti tahu dari cerita Gresilda, pasti kamu dateng ke sana juga karena Gresilda.Pasti pertanyaan kamu, kenapa aku nggak ngelawan, iya kan?”
“Iya, kenapa nggak ngelawan? Kenapa nggak bawa orang lain? Kenapa Cuma kalian berdua?”
“Perjanjiannya emang gitu”
“Perjanjian?”
“Cape kalau harus tawuran terus, cape kalau harus berantem terus sama Davin, cape kalau harus jaga-jaga setiap kali anter jemput kamu, dan kamu juga cape karena selalu liat aku tawuran”
Zali menghela nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ruangan ini benar-benar sepi, hanya ada Dira dan Zali. Kini hening untuk sejenak, Zali mendengar Dira banyak menghembuskan nafas dan menguap karena mengantuk.
“Aku datang buat nyelesain semuanya. Awalnya Davin nggak mau. Tapi akhirnya dia setuju dengan perjanjian; aku nggak boleh ngelawan dan nggak boleh bawa orang lain. Silahkan bilang aku laki-laki bodoh Dir, aku tahu kalau aku emang bodoh karena jadiin diri aku sendiri taruhannya. Kalau ada yang ngelanggar, semuanya gagal. Dan kembali lagi ke awal.”
“Jadi aku hampir gagalin semua rencana kamu untuk damai?”
“Bisa dibilang iya. Sekarang kamu tidur. Besok harus sekolah dan besok juga permainan teka-tekinya akan dimulai.”
“Nggak suka main teka-teki”
“Kamu akan suka teka-teki ini, karena kamu akan berpetualang keliling Bandung, tapi nggak sendirian. Akan aku temani.”
***