Bandung,2005.
Salah satu sekolah menengah atas favorit di kota kembang ini riuh dengan tepuk tangan para murid baru di acara orientasi sekolah. Sementara orang lain bergembira dan bersemangat, Banyu merasa bodoh dengan atribut yang dikenakan selama masa orientasi ini. Pembicara di depan memerintahkan untuk membuat barisan sesuai dengan kelas masing-masing. Murid-murid yang tadinya tersebar di segala penjuru berlarian ketengah lapangan, seorang gadis menabrak punggungnya. Dengan wajah sedikit panik ia meminta maaf, sementara Banyu bersikap tidak peduli. Hampir semua telah berbaris dengan rapih, gadis dibelakangnya kebingungan namun akhirnya menggenapkan diri dengan berbaris di barisan laki-laki.
“Hai, aku Millia Aprilia”
Banyu menoleh, namun ternyata gadis itu mengulurkan tangan pada gadis disebelahnya.
“Millia Aprilia? What a cute name! It’s like Asep Sunasep or Maman Nurjaman…”
Mereka berdua tertawa, sementara Banyu merasa gadis dibelakangnya bodoh. Jelas-jelas ia sedang diejek dan ditertawai, anehnya gadis itu malah ikut tertawa. Mungkin ia tidak paham sedang diejek, tiba-tiba ia merasa sedikit kasihan dengan gadis lugu itu.
“My daddy said, that’s Sundanese style. So, can you give me clue about your name, my new friend?”
Perkiraan Banyu ataupun gadis di sebelahnya sepertinya meleset, ia bukan hanya sekedar gadis lugu, kecerdasan juga dimilikinya. Dengan sedikit terkesan, gadis disampingnya mulai menanggapi dengan antusias perkenalan ini.
“Oke…Sexy, blonde, fantastic four, Sin city…”
“Jessica…” Ia menebak dengan setengah berteriak.
“Wow. Not just cute, you also smart like a puppy.”
Banyu tanpa menyadari ikut tersenyum kecil ,mendengarkan pembicaraan heboh mereka. Beberapa murid di sekelilingnya melirik kearah kebisingan itu. Tidak memerlukan waktu lama, untuk para senior menyadari kehebohan itu dan menggiring mereka berdua untuk dihukum.
Semua murid masuk kekelas, Banyu menaruh tas di bangku sebelahnya sebagai tanda palsu sudah ada yang menempati, berharap meja ini hanya untuk dirinya sendiri. Sampai pada akhirnya hanya dua bangku kosong yang tersisa disebelahnya dan tepat didepannya. Namun saat ia melihat dua gadis yang dihukum tadi masuk, harapannya untuk tidak perlu bersosialisasi sirna. Mereka langsung berjalan kearah dimana bangku kosong berada, gadis yang mengaku peranakan campuran Indo-Australia itu langsung menempati bangku di sebelahnya.
“Hello, Gue Jessy.” Gadis itu mengulurkan tangannya, Banyu melemparkan tatapan dingin tidak bersahabat padanya dan membiarkan tangannya menggantung lama.
“Belagu banget sih lo!” Ia merajuk kemudian bangkit dari tempat duduknya dan minta bertukar pada teman di depannya.
Gadis yang satunya duduk di samping Banyu, ia menyunggingkan sebuah senyum yang hampir membuat lesung pipinya terlihat begitu cekung. Ia seperti hendak memulai sebuah obrolan, namun kedatangan guru membuatnya mengurungkan niat. Ditengah pemberian wejangan yang diberikan guru yang ternyata wali kelas mereka itu, Banyu dikejutkan dengan sentuhan pada lengannya. Gadis itu menggeser secarik kertas, Banyu melirik sinis tapi ia hanya tersenyum.
Gw Millia, Lo?
Banyu berusaha untuk tidak membalas pertanyaan itu, namun sepertinya tidak mungkin selamanya ia menghindar lagipula gadis ini jelas lebih baik dibanding gadis satunya. Akhirnya ia memutuskan untuk menulis balasannya, memberitahukan namanya.
Banyu
Gadis itu tersenyum saat membacanya, entah mengapa ada rasa menyenangkan melihat senyumnya.
***
Hari-hari di sekolah berlalu dengan menyenangkan, tidak butuh banyak waktu untuk remaja-remaja itu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di sekolah menengah atas. Persahabatan antara Millia, Jessica dan Banyu semakin erat sekalipun memadukan kepribadian yang saling bertolak belakang. Millia lah yang jadi pelebur semua perbedaan itu, dengan kelembutannya ia menyeimbangkan Jessica yang selalu menanggapi sesuatu secara berlebihan dan Banyu yang menanggapi semua hal dengan ketidak pedulian.
Jessica memberitahukan bahwa Hana teman sebangkunya berulang tahun hari ini dan mengajak mereka ikut makan bersama di restoran ayam siap saji. Tidak banyak yang diundang hanya mereka bertiga dan beberapa teman lama yang kebetulan satu sekolah karena Hana memang anak yang cukup pendiam.
“Sica, tapi kamu bilang iya kan?” Millia khawatir Jessica menolak undangan itu.
“Tentu aja iya, gue enggak sekejam itu kali. Lagian gue masih butuh dia buat ngerjain tugas-tugas kelompok.” Ia berbicara sambil memperhatikan ujung kukunya.
“Syukurlah, kamu juga ikut kan? Kita makan-makan ayam goreng tepung pasti seru…”
“Ayam goreng?” Banyu memotong dengan nada sedikit bersemangat.
“Iya.” jawab Millia.
“Sama soda?”
“Iya lah bodoh, masa sama teh tawar. Biasa makan di warteg ya?” Jessica mencela namun masih sibuk dengan kuku-kukunya.
Banyu langsung berdiri sambil menyandang tas dipunggungnya, tak lupa ia menyambar tas Millia dan Jessica dengan cepat lalu berjalan keluar kelas. Belum habis rasa terkejut keduanya, Banyu berteriak “Ayo” dengan nada lebih memerintah dibanding mengajak. Dengan tergesa-gesa mereka menyusul, dibalik punggung Banyu mereka berdua tersenyum penuh arti.
Setelah sampai di Mall tujuan, mereka berkeliling mencari kado untuk Hana. Kami memutuskan memberikan sebuah boneka yang cukup besar hasil dari mengumpulkan uang bersama. Ya, jelas Jessica menawarkan diri mengeluarkan uang lebih banyak dibanding Millia dan Banyu. Hana terlihat duduk berdua dengan seorang teman dari kelas lain, sepertinya memang hanya itu tamu undangannya. Baik Millia dan Jessica merasa mengambil keputusan yang tepat untuk datang, karena Hana tersenyum dengan hangat saat mereka menghampiri mejanya. Sementara Banyu yang sedang bersikap sebagai gentleman masih membawakan tas dan kado yang dibeli untuk Hana, tiba-tiba dengan cepat ia memberikannya begitu saja dan mulai menarik kursi tepat ditengah-tengah meja.
“Selamat ulang tahun ya Han!”
Hana tersenyum lebar dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Ia mempersilahkan kami untuk makan, Banyu sudah memulainya dengan tergesa-gesa. Terlihat seperti orang yang kelaparan, melihat itu tanpa dikomando Millia dan Jessica memberikan jatah ayam gorengnya secara bersamaan. Para gadis tertawa bersama, sedangkan yang ditertawakan sedang sibuk menikmati sajiannya. Mereka terheran-heran melihat Banyu makan dengan lahapnya karena memang selama ini tidak pernah melihat ia makan. Setiap ke kantin pun hanya untuk beli minum atau permen, ini pemandangan yang menarik tentunya.
“Serius, Ban. Perlu gue beliin satu bucket lagi khusus buat elo, nggak?”Jessica menawarkan dengan pandangan heran.
Tapi Banyu tidak menghiraukan apa yang dikatakan temannya itu, ia dengan khidmat menghabiskan potongan ayam terakhirnya. Kemudian dengan tiba-tiba ia beranjak dari kursinya menuju wastafel disudut restoran. Saat kembali ia langsung menyandang tasnya, dan menjinjing tas keduanya. Kali ini hanya matanya yang berbicara, mungkin dirinya terlalu kenyang untuk mengeluarkan suara. Jessica menegaskan diri bahwa ia menunggu dijemput, sedetik kemudian tas Jessica dilemparkan tepat dipangkuannya. Tingkahnya cukup membuat Jessica mengeluarkan kata-kata cacian seperti biasanya. Sebelum melihat pertengkaran lanjutan antara Jessica dan Banyu, Millia langsung pamit pada teman-temannya karena memang rumahnya searah dengannya.
Suasana Mall sangat ramai sore itu, Millia harus berjalan dengan cepat mengimbangi langkah panjang Banyu. Sempat terpisah sebelum menuruni eskalator, membuat Millia mengejar dan meraih baju kemeja Banyu tepat dipinggangnya. Banyu menoleh pada Millia yang sedang terengah-engah, seakan mengerti bahwa temannya tertinggal dan tidak mampu menyamainya. Ia menarik tangan Millia dan memposisikan ia didepan dan eskalator segera melaju turun. Millia menoleh ke belakang dengan setengah menengadah melemparkan senyuman ,Banyu dengan posisi yang jauh lebih tinggi dari Millia hanya memalingkan wajahnya yang memerah kearah lain.
“Banyu, rumah kamu sebenarnya di daerah mana?”Millia bertanya mencoba mencairkan kesunyian.
“Dekat jalan kereta tadi.” Ia menjawab dengan singkat.
“Loh, udah kelewat jauh donk. Jalan balik sana…”
“Gue anter sampai rumah!” Ia dengan cepat memotong pembicaraan dan memutar bahu Millia kemudian berjalan dengan santai kembali.
“Seenggaknya jalan sejajar atuh Banyu, berasa dikawal kalau begini”
“Trotoar sempit.” Ia kembali memutar bahu Millia.
Sisa perjalanan dihabiskan dengan berdiam diri, sesampai di depan komplek rumahnya Millia kembali memutar badannya. Dia meminta Banyu untuk pulang, karena sudah sampai di depan komplek rumahnya dan hari tidak lama lagi akan gelap. Tapi yang diajaknya bicara kembali berjalan, Millia mengejarnya dan mendorong kearah sebaliknya. Banyu mencoba memprotes, tapi Millia mengerutkan dahinya,bmelipat lengannya dan mendengus. Mencoba menunjukkan kemarahan, Banyu tersenyum sinis, kemudian memberikan tas Millia dan berjalan menjauh.
***
Tanpa terasa semester pertama akan berakhir, mereka belajar lebih giat untuk menghadapi ujian akhir semester. Belum lagi ujian praktek secara perseorangan maupun kelompok yang makin menyibukkan mereka. Jessica mulai banyak mengeluh, dan keluhannya banyak didengar anak laki-laki di kelasnya yang tentu saja dengan suka rela mulai menawarkan bantuan. Untuk tugas seni rupa mereka mendapatkan tugas membuat ukiran dari kayu, satu-satunya tugas praktek yang harus dikerjakan bersama dengan teman sebangku.
“Kita pakai kayu Balsa.” Banyu berbicara setelah guru seni rupa mereka keluar.
“Kita kerjain dirumahku aja yah, hari minggu ini aku enggak bisa keluar rumah. ” Banyu hanya mengangguk tanda setuju.
Saat hari Minggu tiba Banyu sengaja datang lebih awal, khawatir tidak menemukan rumah sesuai petunjuk. Sekalipun Millia menuliskan dengan detail namun ia tidak mencantumkan nomor rumahnya. Hanya harus belok dimana, jalan lurus, dan detail ada pohon belimbing yang sedang berbuah, cat rumah dan sebuah mobil van tua rusak yang terparkir di seberang rumah. Ajaibnya ia menemukan rumah itu, sebuah senyuman simpul tersungging dibibirnya saat ia memasuki pekarangan rumah Millia. Setelah mengetuk pintu beberapa lama, seorang nenek membukakan pintu. Menyambutnya dengan ramah, dan mempersilahkannya masuk kemudian ia berlalu ke dalam rumah. Millia keluar dari dalam masih mengenakan, piyama dan sebuah celemek melingkar di lehernya.
Wanita yang sepertinya ibu Millia itu menyusul dibelakangnya, mengajak untuk ikut sarapan bersama. Semua keramah tamahan ini membuatnya sedikit bingung, sesuatu yang menyenangkan namun canggung. Terbiasa hidup di keluarga kecil membuatnya sulit bergaul dengan orang lain.
Wanita tiga generasi itu memandang dengan takjub pada cara makan Banyu yang begitu lahap. Menyadari dirinya di perhatikan, ia mengangkat kepalanya dan berusaha memilih susunan kata untuk menjelaskan.
“Maaf, kalau tidak sopan…” namun yang bisa dia ucapkan hanya itu.
Ketiga wanita itu menghela nafas bersamaan, dan rasanya masing-masing dari diri mereka pun menyadari mereka lah yang bertindak tidak sopan dengan terus memandangi ia makan.
“Aduh maaf jadi keganggu makannya yah. Ayo tambah lagi nak, makan yang banyak!”
Tanpa basa-basi ia mengangkat piring dengan kedua tangannya, membuat yang melihatnya tertawa geli.
“Tante seneng loh liat kamu makan, lahap pisan. Milli mah suka males makan, makanya badannya susah gede….”
“Ibu….” Millia merajuk dan memberi tanda pada ibunya untuk diam.
Banyu hanya melirik pada Millia.
“Ayah saya sakit, makannya harus dijaga ketat. Engga bisa konsumsi garam atau gula berlebihan, jadi semua masakan ibu saya rata-rata hambar.”
Millia merenungi perkataannya, dan mulai mengerti mengapa Banyu sangat terbuai dengan makanan yang berbumbu gurih. Merasa dipandangi dengan rasa iba, ia langsung menjelaskan bahwa itu sehat dan bagus untuknya.
“Saat ada acara-acara besar seperti ulang tahun ibu masak secara mewah dan kaya bumbu sebagai hadiah untuk kami” ia menambahkan.
Obrolan berlanjut dengan menyenangkan, walaupun Banyu lebih banyak berlaku sebagai pendengar saja. Suasana yang hangat dikeluarga ini membuat ia mengerti sikap lembut dan mudah bersahabat Millia berasal darimana.
***
Millia pamit untuk mandi sebelum mereka keluar untuk berbelanja bahan untuk membuat prakarya. Banyu sedang menunggu di teras, saat Millia telah selesai. Ada pandangan meneliti saat Millia berjalan duluan kepagar, kemudian memanggilnya dengan ceria.Hari ini adalah pertama kalinya bagi Banyu melihat teman sebangkunya itu mengenakan pakaian lain selain seragam sekolah. T-shirt longgar bergaris dan celana jeans selutut membuatnya terlihat berbeda.
Tidak banyak yang mereka ucapkan selama perjalanan ke toko bahan bangunan, hanya seperti biasa Banyu berjalan dibelakang mengiringi. Sesampainya disana dengan cermat dan cepat Banyu memilih barang-barang dan alat yang diperlukan. Millia mengingatkan untuk membeli alat pahat karena kelompok mereka termasuk pada kelompok yang tidak dapat jatah pinjaman alat. Namun tanpa berbicara Banyu menunjukan kotak kecil berisi perkakas di tasnya. Ya, Millia lupa bahwa dalam banyak hal Banyu selalu mempersiapkan segalanya dan selalu penuh perhitungan. Diluar toko giliran Millia yang mengambil peran untuk menghitung uang kemudian membaginya secara adil. Banyu menyandang kayu di bahunya, tas dipundaknya, dan plastik berisi cat dilengannya. Millia terus berusaha membantu dengan coba merebut plastik ditangannya, tapi Banyu tidak mempedulikannya dan terus melanjutkan perjalanan.
Sesampainya dirumah, hampir semua pekerjaan Banyu yang mengerjakan dari desain ukiran, memotong kayu, dan mengukirnya. Sementara Millia hanya duduk bersimpuh di lantai memasang wajah cemberut. Sekalipun ia mengagumi kemampuan tak terduga temannya dalam mengukir kayu, namun tidak ambil bagian dalam tugas kelompok ini dan hanya jadi penonton rasanya mengesalkan hati.
“Kenapa kita harus memakai kayu jenis itu, yang satunya tadi warnanya lebih bagus tidak sepucat itu?”
Banyu berhenti menggunakan alat pahatnya, dan melirik pada Millia. Ingin rasanya ia meluruskan kebodohan yang gadis itu tanyakan, bagaimana warna dari sebatang kayu bisa penting jika pada akhirnya kayu itu akan dilapisi cat.
“Kayu jenis ini lebih lembut dan mudah diukir.” jawabnya sambil terus fokus pada ujung mata pahat.
“Belajar darimana tentang kayu dan cara menggunakan alat-alat itu? Oh iya kamu pinjam ke kelompok lain alat-alatnya?” Millia memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
Banyu kembali menghentikan pekerjaannya, dan memandang heran pada lawan bicaranya itu. Apa gadis ini tidak menyadari satu-satunya orang yang berinteraksi dengan dirinya di sekolah hanya dia?
“Ayahku tukang kayu.” Ia menjawab dengan singkat.
“Oh…Kenapa kita enggak minta dibuatin aja sama ayah kamu?” Ia bertanya dengan mata membulat.
“Yang sekolah gue, bukan bokap gue.” Banyu menjawab dengan ketus.
“Aku juga yang sekolah, yang punya tugas, tapi aku enggak ikut buat tugasnya. Kamu takut aku merusaknya kan?” Millia mulai marah dan tidak sabar.
Ia berdiri dan menarik kayu yang sedang dipegang Banyu, dan kayu itu terus ditarik lebih kuat. Serbuk-serbuk dan potongan kayu bertebaran, sementara kayunya terlempar entah kemana. Millia berdiri mematung, terkejut sendiri oleh tingkah lakunya. Sementara Banyu masih dalam posisi duduk, menunduk dan menutupi sebagian mukanya dengan lengannya. Air mata mengalir darimatanya karena serbuk kayu yang terjebak di matanya. Ada sedikit lebam membiru dan luka diujung dagunya, terkena lemparan kayu tadi. Millia coba mendekati karena Banyu hanya terdiam sambil menutup matanya sementara air mata terus mengucur.
“Apa … Apa serbuk kayunya ada di mata kamu?” Millia bertanya dengan takut.
Banyu hanya mengangguk tidak kuasa berkata-kata karena menahan perih di mata dan dagunya. Dengan segera Millia berlutut dan memegangi kepala Banyu lalu meniup matanya dengan lembut. Air mata terus mengalir namun perlahan rasa perih itu mulai hilang. Ketika mata Banyu terbuka sempurna, Millia menghapus lelehan air mata dan serbuk-serbuk kayu yang menempel di wajahnya. Dengan jarak sedekat ini Banyu bisa melihat sepasang mata didepannya berkaca-kaca penuh kekhawatiran. Dan sedetik kemudian meluap jatuh dari ekor matanya, saat ia menyadari ada darah yang keluar dari dagu pemilik wajah yang ia sentuh itu.
Millia berlari kedalam rumah seraya berteriak pada ibunya meminta obat luka, kemudian nenek dan ibunya ikut menghambur keluar. Ibunya membantu membersihkan luka dan membiarkan Millia memasang plester di dagu Banyu. Terdengar neneknya memarahi Millia dengan bahasa Sunda yang membuat Millia makin merasa bersalah.
Setelah keadaan tenang, Banyu melanjutkan pekerjaannya. Sementara Millia bersandar di pilar teras sambil memeluk lututnya, isak tangisnya tak kunjung habis. Saat mata mereka tak sengaja saling bertemu, Millia langsung memalingkan mukanya. Isak tangis yang ditahan masih terdengar saat dia mengatakan maaf untuk yang kesekian kalinya. Banyu menghela nafas panjang, menghadapi seorang gadis tentu bukan keahliannya. Sekalipun ia sering membuat gadis di sekolah dasar dan menengah pertamanya menangis karena penolakan dan berharap dengan tangisan bisa sedikit meluluhkan hatinya. Biasanya ia hanya melenggang begitu saja meninggalkan gadis-gadis itu, namun kali ini jelas berbeda. Gadis yang menangis didepannya kali ini marah karena berpikir bahwa dirinya hanya takut gadis itu merusak maha karyanya, dan gadis itu merasa bersalah karena tidak bisa menguasai amarahnya.
“Hey… sampai kapan mau nangis? Katanya mau kerja, ambil amplas, halusin bagian ini!” Banyu memerintah dengan nada tinggi.
Millia mengangkat wajahnya dan bergerak menghampiri, kemudian langsung mengerjakan yang diperintahkan.
“Hey lihat ini…”
Ia mengangkat semua alat-alat tempurnya dari gergaji hingga terakhir serbuk kayu. Millia dengan bingung memperhatikan dan mencerna maksud dari rekannya ini.
“Ini semua benda tajam dan berbahaya, termasuk serbuk kayunya. Nanti bisa terluka….”
“Kamu takut aku terluka?” Millia memotong pembicaraan sambil tersenyum.
Ditanya seperti itu, membuat Banyu gugup.
“Enggak, gue takut gue yang luka. Ini buktinya.” ia menunjuk dagunya yang diplester dan matanya yang masih memerah.
Senyum dan binar mata Millia memudar mendengarnya, sementara Banyu merasa sedikit menyesal berkata seperti itu.