Ujian akhir semester telah usai, semenjak kejadian sebelumnya Millia banyak menjaga jarak dengan Banyu. Membuat Jessica bahkan Banyu sendiripun keheranan, sekalipun Jessica tahu penyebab luka pada wajah Banyu adalah ulah Millia. Lalu apa lagi poin yang terlewat? Bukankah Banyu sampai berani mengeluarkan suara menjelaskan sudah tidak apa-apa dan memaafkan ketidaksengajaan itu. Jessica mulai merasa lelah jadi pencair suasana, yang biasanya menjadi bagian Millia.
“Liburan nanti bokap gue ngajakin balik ke Aussie, kalian mau minta oleh-oleh apa?” Jessica berbicara sambil menyeruput minuman sodanya.
“Koala!” Millia berkata spontan dengan penuh semangat.
“Bodoh!” Banyu berkata semaunya.
Jessica memukul kepala Banyu, dan memberikan pandangan penuh kemarahan. Sementara yang dipukul tidak mengerti bahwa ia telah menjegal usaha temannya membangkitkan suasana hati teman kesayangannya.
“Gue bawain boneka koala yang super gede buat puppy Milly.”
Ia mencubit pipi temannya dengan gemas.
“Jangan panggil dia puppy”
“Kenapa?” Tanya Millia dan Jessica bersamaan dengan nada menantang.
“Ya, elo harusnya jangan mau dipanggil puppy!”jawabnya gugup.
“Ya, kenapa?”Mereka bertanya lebih menantang.
Yang ditanya menjadi salah tingkah, tentu saja sukses membuat mereka berdua tertawa.
“Besok kita nonton yuk, ada film baru yang seru. Gue yang traktir deh, gue bakalan kangen banget sama kalian selama liburan.”
Ia berkata sambil memeluk Millia dengan manja.
“Gue nggak mau.” Banyu menolak dengan tegas.
Jegalan yang kedua ini, membuatnya marah bukan main.
“Cari mati lo hah?” Jessica bangkit dan setengah berteriak.
Melihat penghuni kantin lainnya menoleh kearah mereka, Millia langsung berdiri dan mencoba menahan tangan Jessica yang sudah bersiap-siap memukul Banyu. Sedangkan calon korbannya itu bersikap santai saja seperti tidak terjadi apa-apa.
“Sica, tenang dong… Banyu juga ikut kok… ya kan Ban?” Millia berkata dengan lembut.
Ditodong dengan pertanyaan dan pandangan seperti itu, ia hanya menganggukan kepala dengan angkuh. Merasa teman-temannya sudah beroperasi seperti sedia kala, Jessica tersenyum penuh kemenangan.
Esoknya sesuai dengan tempat dan waktu yang dijanjikan, Banyu sudah menunggu menanti kedatangan dua gadis itu. Mereka datang bersamaan karena malam sebelumnya Millia berhasil dipaksa menginap dirumah Jessica. Banyu mengangkat lengan kanannya sedangkan lengan yang satunya dimasukan ke saku. Kedua gadis itu setengah berlari sambil cekikikan menghampirinya, seakan sedang berlomba.
“Hey dude, look at her? pretty right?” Jessica mendorong Millia ke depan seakan menyodorkan pada Banyu untuk diteliti.
Jelas sekali Jessica yang melakukan ini pada Millia, biasanya ia memperlakukannya seperti anak anjing yang lucu sekarang ia sedang mendandaninya seperti boneka. Rambut lurus Millia diikal, poni yang seperti tirai di dahinya dijepit keatas, bulu matanya dilentikan, dan pipinya yang bulat dibuat lebih merona. Millia terlihat cantik dan dewasa, namun Banyu terlalu malu untuk mengakuinya.
“Jelek!” Ia berkata sambil melepaskan jepitan pada poni gadis itu, membuat poninya kembali menutupi dahinya.
Millia terkejut saat Banyu menyentuh rambutnya, sedangkan Jessica sudah bersiap mengayunkan tasnya. Namun setelah melirik Millia yang sedikit kecewa mendengar ucapan Banyu, Jessica langsung berseru riang menyetujui dengan poni terlihat lebih cocok dan cantik untuknya.
“Seleranya Banyu yang manis ternyata…” Jessica urung melanjutkan karena pinggangnya disikut pelan oleh Millia.
Seperti biasa sang pria berjalan mengawal dari belakang, sementara dua gadis didepannya penuh dengan canda tawa berjalan santai. Jessica berlari mendahului untuk membeli tiket, meninggalkan mereka berdua. Sebelumnya mereka telah sepakat untuk menonton film horror lokal yang sedang banyak dibicarakan oleh teman-teman di sekolah mereka. Sambil terus cekikikan membicarakan obrolan khas para remaja, mereka menuju bangku paling pojok di barisan teratas. Jessica berkilah agar sensasi horornya lebih terasa, karena memang bagian tengah di barisan itu ternyata kosong.
Mereka mengatur posisi duduk, tentu saja Millia tetap jadi penengah. Berjaga kalau-kalau ada celetukan sinis dari lelaki disampingnya yang jelas akan disambut pukulan maut oleh gadis bule disisi lain. Dengan formasi yang hampir selalu seperti itu tak heran mereka sering disebut geng satu koma satu oleh teman sekelas mereka. Karena tinggi Millia hanya sebatas pundak keduanya, terbayang bukan banyaknya upaya menjinjitkan kaki si tiang jemuran dalam usaha melerai dua tiang listrik di banyak medan pertempuran.
Ketika lampu mulai dimatikan, telepon genggam Jessica berdering membuatnya terpaksa beranjak meninggalkan ruangan gelap itu. Ia berusaha melewati Millia dan Banyu dikegelapan, setengah berbisik ia mengangkat panggilan itu.
“Ya Mommy….”
Ia berkata seraya menepuk bahu Millia
“Puppy…I’ll be back soon okay..”
Cahaya dari telepon genggamnya memantul di wajahnya, Millia hanya mengiyakan dengan singkat. Memandangi bayangan sahabatnya yang menghilang ke pintu keluar dibawah sana. Bertepatan dengan terdengarnya backsound menegangkan dari film yang ditayangkan. Ia memandang kearah Banyu, berpikir bisa memintanya untuk pindah ke bangku kosong di samping kirinya. Tapi jika begitu sebarisan panjang bangku kosong di sebelah kanannya tentu sama menyeramkannya. Mungkin sebentar lagi Jessica kembali, begitu harapannya.
***
Where are you Jessica???
Rasanya ia ingin meneriakan kata-kata itu, setelah beberapa menit berlalu. Matanya melirik lagi kearah lelaki yang tetap berwajah datar walaupun dalam suasana menegangkan seperti itu. Millia refleks menyembunyikan wajahnya di lengan Banyu saat adegan yang rata-rata hantu biasanya muncul dengan mengagetkan. Banyu memintanya untuk pindah ke sudut agar ketika Jessica kembali, bisa langsung mengisi bangku yang ditempatinya.
Saat berpindah Millia hampir terjatuh karena panik, Banyu memegang lengannya agar tetap seimbang. Millia heran bagaimana Banyu bisa tetap tenang dan tetap tanpa perubahan ekspresi menyaksikan semua adegan itu. Untuk kedua kalinya Millia bersembunyi di lengan Banyu saat sesosok hantu muncul dalam cermin. Banyu mencodongkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu.
“Itu semua cuma cerita karangan, hantunya bohongan, rasa takutnya cuma sandiwara”
Millia mendengus kesal dibanding berkata jangan takut ia lebih memilih menyuruhnya menanamkan kata-kata konyol yang biasa dipakai ayahnya saat masih kecil ikut menonton film seram di televisi. Namun ajaibnya kata-kata itu justru membuatnya sedikit rileks, bahkan ia sempat melupakan seharusnya ada makhluk jangkung lainnya disebelahnya.
Diakhir cerita saat pemeran utamanya ternyata meninggal dan rohnya menemui pria yang menyukainya untuk mengucapkan salam perpisahan, Banyu menyadari gadis disebelahnya terhanyut oleh jalan cerita itu. Matanya terlihat berkilauan di kegelapan karena airmata yang menggenang dan hampir tumpah. Banyu menggenggam tangannya dan mebisikkan kata-kata yang membuat Millia tersenyum.
“Kalau mau keluar tetap cantik,jangan nangis!”
Millia tersenyum sambil menyusun kata-kata yang baru didengarnya jika diucapkan oleh lelaki lain mungkin terdengar seperti lebih manis “Jangan menangis, nanti cantiknya hilang”.
Filmnya berakhir, deretan nama pemain dan kru film tersebut terpampang di layar. Satu per satu penonton berjalan keluar dari ruangan, Banyu menuntun Millia dan berkali-kali mengingatkan untuk berhati-hati saat menuruni tangga. Saat keluar dari area bioskop mereka mengedarkan pandangan ke segala penjuru mencari sosok yang dikenalinya. Terlihat Jessica duduk di meja sebuah restoran tengah asyik menyeruput minuman. Mereka bergegas menghampiri menuntut sebuah penjalasan padanya.
“Oh my dear, sorry Mommy ada di Mall ini juga minta ditemenin shopping. Jadi gue engga bisa ikutan nonton, beliau masih ada dilantai atas nungguin. Gue izin kesini buat nemuin kalian dulu, tapi seenggaknya kita tetap menghabiskan waktu bersama sebelum liburan sesuai dengan rencana kan?” Ia melirik pada kedua tangan yang masih saling menggenggam.
Merasa terkejut, mereka langsung melepaskan genggaman yang tanpa disadari belum terlepas dari dalam bioskop tadi.
“Dia tadi ketakutan dan hampir menangis.” Banyu memberikan alasan sambil pergi bersandar ke dinding. Memberi waktu Millia dan Jessica untuk berbicara , tak lama Ibu Jessica muncul untuk menyapa dan meminta maaf atas gangguan kehadirannya kemudian mengajak makan siang bersama. Setelah itu kami memutuskan untuk berpisah, Millia bersikeras langsung pulang dan menolak ditemani.
***
Akhirnya Banyu yang mengambil keputusan pulang menggunakan angkutan umum, sekalipun Millia berkali-kali mengatakan uangnya cukup untuk naik ojek atau taksi sekalipun, namun Banyu dengan cuek menarik lengannya menaiki bus berwarna biru itu. Karena cukup lengang dengan mudah mereka mendapatkan tempat duduk, Millia melemparkan pandangannya keluar jendela. Ketika ia menoleh tatapannya langsung tertuju pada bekas luka di dagunya, dengan refleks mencoba menyentuhnya. Banyu terkejut dan langsung menahan tangan Millia, membuat gadis itu tersentak.
“Apakah masih sakit?” Millia bertanya lembut, dibalas dengan gelengan kepala dan senyuman tipis darinya.
Millia tertawa sementara Banyu mengerutkan dahi keheranan, belum sempat bertanya apa yang menyebabkan ledakan tawa gadis itu. Ia langsung heboh minta turun saat melihat jejeran bunga warna-warni dijajakan di Wastukencana. Banyu spontan mengikutinya turun dari bus, dengan antusias ia berlari masuk ke dalam pasar bunga itu. Millia memanggil Banyu untuk mendekat, sementara pria remaja itu hanya terpaku memandanginya. Terpesona, melihat Millia memakai gaun dengan rambut bergelombang dikelilingi ratusan bunga layaknya peri di dalam negeri dongeng.
“Ibu hari ini ulang tahun, bantu pilih bunganya yuk buat kado ibu.”ajaknya.
Banyu tersadar dari lamunannya, dan mengikuti gadis itu ke salah satu toko bunga. Ia coba menyarankan untuk memilih bunga mawar, namun Millia mengingatkan bahwa dibawah pohon belimbing didepan rumahnya ada pohon mawar putih yang mulai berbunga. Ia meneruskan saat berbunga banyak keluarganya sering menaruh bunga mawar itu di dalam vas bunga, tentu hal itu menjadi sesuatu yang tidak istimewa.
“Bunga Lili putih melambangkan kemuliaan dan kesucian, bunga Gladiola ini melambangkan ketulusan dan pengharapan, mawar merah tentunya lambang cinta yang dalam, di luar negeri anyelir merah jambu jadi lambang hari ibu, sedangkan bunga aster melambangkan kemurnian, kasih sayang abadi dan kepolosan, kira-kira yang mana yang lebih berkenan?” Ibu penjual bunga dengan telaten menjelaskan.
“Saya ambil anyelirnya aja bu, apa bisa sedikit dimix dengan bunga yang kecil itu?” Millia bertanya dengan berbinar.
“Oh tentu saja, padu padan yang cantik tentunya” Ibu separuh baya itu mulai merangkai bunga-bunga segar itu.
“Apa bunga Lili itu bisa dibeli 3 tangkai saja?” Banyu tiba-tiba bertanya.
“Kenapa harus 3?” Millia bertanya penasaran.
“Vas ibuku kecil.” Banyu menjawab singkat.
“Oke ini anyelirnya, dan sebentar saya siapkan bunga Lilinya.”
Millia sibuk melihat-lihat dan menciumi kuntum-kuntum bunga, Ibu penjual bunga itu memberi tanda kepada Banyu untuk mendekat.
“Bunga mawar merah jambu melambangkan rasa kagum dan simpati ada juga yang bilang ini melambangkan cinta yang terpendam. Nah, bawa ini juga!”Ibu itu menyodorkannya pada Banyu.
“Tapi…” Banyu mencoba untuk menolak.
Ia hanya membeli 3 tangkai bagaimana bisa mendapatkan bonus buket bunga yang lebih besar.
“Anak muda, sangat terlihat sekali kamu memandanginya dengan rasa kagum.Nah, bawa pulang ini berikan pada Ibumu, dan yang ini harus kau berikan pada gadismu.” Ucapnya sambil tertawa membuat Banyu tersenyum malu.
“Ah kau beli bunga yang lain juga?Untuk siapa?” Millia bertanya.
Banyu hanya terus berjalan menyusuri trotoar menuju halte Bus, Millia keheranan biasanya ia mempersilahkannya untuk berjalan lebih dulu.
“Banyu… Ban… Baban… tunggu… capek jangan cepat-cepat. Aku mau ngomong dulu….” Kata-katanya terhenti karena wajahnya menabrak punggung Banyu yang berhenti mendadak.
“Ah…hidungku” Millia mengaduh.
Banyu mengucapkan kata maaf dengan pelan hampir tidak terdengar, wajahnya memerah entah karena kelelahan setengah berlari atau karena pengaruh bunga mawar merah jambu yang sedang digenggamnya erat.
“Aku sebenarnya enggak mau ngerepotin kamu, makanya dari awal aku bilang enggak mau pulang bareng. Aku masih harus cari kue ulang tahun, jadi kita berpisah disini aja ya. Aku bisa pulang naik ojek atau taksi setelahnya.”
Mendengar rencana yang dibuat gadis itu beserta tambahan kata berpisah didalamnya, membuat Banyu sedikit tersinggung.
“Apa aku tidak diundang?” Tanyanya.
“Ah bukan begitu maksudku…” Ia melihat dengan jelas kekecewaan di wajah Banyu yang terbias sinar mentari sore.
“Baiklah, lagipula aku butuh bantuan seseorang untuk membawa kuenya.”
Perkataan Millia disambut senyuman tipis olehnya, membuat Millia tertawa geli dan kembali mengundang pertanyaan Banyu kenapa ia lagi-lagi tertawa seperti itu hari ini.
Matahari sudah hampir tenggelam saat mereka mulai memasuki area komplek rumah Millia, Banyu bertugas membawa kue dengan hati-hati. Karena Millia menyadari bisa saja kuenya rusak akibat dari kecerobohan atau kebiasaannya menabrak sesuatu.
“Kata Ibu penjualnya bunga yang ini artinya apa?” Millia bertanya sambil seraya mencium harum dari kelopak bunga mawar itu.
“Kekaguman.” Banyu menjawab dengan singkat, tanpa melanjutkan ada arti lain dari bunga itu.
“Benarkah? aku pernah baca dimajalah kalau mawar merah itu cinta yang dalam, mawar merah muda cinta yang terpendam. Mau kamu berikan pada siapa?”
Banyu langsung menarik mundur Millia, mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Hanya terhalang kotak pembungkus kue dan buket bunga, kedua wajah muda-mudi itu merona.
“Ibumu ada diteras!” Banyu menjelaskan.
Sontak buket bunga langsung diberikan pada tangan Banyu yang menggenggam siku Millia. Ia memberikan perintah dengan cepat, sementara ia mengalihkan perhatian ibunya dan menggiringnya ke dalam Banyu harus masuk ke kamar Millia menunggu sampai Millia datang.
“Ingat kamar yang kedua yah”
Millia berlari ke pekarangan rumah, menyapa ibunya dan berkata dengan manja bahwa dirinya sangat lapar. Ia mengedip-ngedipkan matanya pada neneknya untuk turut serta dalam rencana pesta kejutan ini. Mereka bertiga menghilang ke dalam rumah, memberi kesempatan pada Banyu untuk mengendap-ngendap masuk.
Dengan susah payah ia mendorong pintu kayu berwarna putih itu, ia mengamati seluruh detail ruangan dan menaruh barang-barang itu dengan hati-hati di atas sebuah meja. Andaikan ada banyak anak gadis dirumah ini, dengan mudah bisa ditebak bahwa kamar ini kamar Millia. Pernak-pernik kekanakan, banyaknya catatan yang tertempel pada meja belajar, dan hampir semua barang didominasi warna-warna lembut. Sambil menunggu ia membaringkan dirinya di kasur, memejamkan mata sedikit melepaskan ketegangan dan kelelahan.
“Ban…ini korek..nya…” Millia terkejut melihat Banyu tengah tertidur di kasurnya.
Ia menusuk-nusuk pipi sahabatnya itu.
“Ban…maaf…capek ya?” Millia memandangi Banyu dengan rasa iba.
Banyu membuka matanya dan memandang kearah Millia.
“Ada makanan apa aja?” Gadis itu melemparkan bantal ke wajah yang bernilai delapan dimata kebanyakan anak-anak gadis disekolahnya.
“Baaaanyaaak… Ayo kita nyalain lilin dan mulai pestanya. Ibu udah mulai curiga, aku mah enggak jago akting sih. Harusnya aku belajar sama Jessica dulu kayaknya”
“Jangan coba-coba!” Ia mengancam dengan serius, Millia tertawa dengan tertahan.
***
Pesta berlangsung seru, tentu benar-benar sebuah kejutan karena tahun ini ada teman dekat putrinya yang ikut merayakan. Ditengah pesta itu, telepon berdering mereka bertiga bergantian menerima sambungan telepon itu. Banyu bisa menebak bahwa itu adalah ayah Millia yang menelepon. Keriuhan pesta usai di pukul delapan malam, Banyu sudah bersiap untuk pamit.
“Oh iya… tas sama bunga buat ibu kamu ada dikamarku.” Millia mengingatkan.
“Ambil dulu saja nak Banyu, biar ibu dan Milli yang beres-beres. Sekalian ibu siapkan buah belimbing dan makanan untuk dibawa pulang.” Ibunya menambahkan.
Banyu memandangi buket bunga mawar pemberian penjual tadi, ia akan merasa berhutang jika tidak memberikannya. Akhirnya ia menaruh bunga-bunga cantik itu di vas kosong yang terletak di meja rias, karena sulit untuk memberikannya langsung.
“Hey… Aku kira kamu ketiduran lagi.” Ia berbicara diantara pintu yang setengah terbuka.
“Udah diambil kan?” lanjutnya.
Banyu mengacungkan buket bunga Lilinya, dengan mata menyelidik Millia mencari buket bunga yang lainnya.
“Kenapa kamu simpan disitu bunganya? Bukannya mau dikasih ke orang lain?” Millia terlihat bingung.
“Ya itu cocok buat vas bunga itu”
“Tapi kenapa?”
Banyu menghindari pertanyaan itu dan segera berjalan keluar kamar, menemui Ibu dan Nenek Millia untuk pamit.Ibunya banyak membekali ia makanan, dengan malu-malu ia menerima bungkusan itu. Ibu menyuruh putrinya untuk mengantarkan sampai depan gerbang, Millia pun menurutinya. Sebelum keluar gerbang Millia menarik tas Banyu, mencoba menahan kepergiannya.
“Ban, bunga itu…”
“Jangan dipikirin” ucapnya.
Banyu benar-benar menghindari percakapan tentang bunga itu, namun rasanya Millia akan terus menahannya.
“Dirumah, ibu Cuma punya satu vas bunga kecil. vas dikamar tadi kosong jadi sebaiknya bunganya ditaruh disitu aja.” Ia mencoba menjelaskan.
“Kamu tahu arti bunga itu?” Matanya menatap dengan serius.
Bayu menggumam sambil mengangguk.
“Lalu?” Millia benar-benar butuh jawaban.
“Itu buat kamu.” Banyu tersenyum dengan canggung, kemudian pergi menjauh.
Millia memandanginya hingga punggung lelaki itu hilang dikegelapan. Hari-hari selanjutnya membuat Millia kebingungan, selama liburan hanya Jessica yang sering menelepon. Sementara Banyu menghilang tanpa kabar,tak ada telepon ataupun kunjungan. Namun setelah liburan usai, saat bertemu di sekolah mereka mencoba bersikap biasa saja.