Drrrt…Drrrt..Drrrt.
Sebuah pesan masuk dari seorang rekanku, membuyarkan lamunan.
“Bro, cuaca mendung nih. Tolong angkatin jemuran gue di teras belakang donkkks”
Gila! Cuma manusia nekat yang berani memberikan tugas rendahan ke atasannya sendiri. Salman lah orangnya, lelaki yang selalu mengaku-ngaku blasteran India yang hanya bisa menjelaskan kenapa hidungnya lebih menjulang dari orang Indonesia kebanyakan. Namun kelakuan dan gaya bahasanya lebih mengarah pada pemain lenong kawakan.
Aku membalas pesannya dengan rasa jengkel.
“Parah! Pulang sendiri lo, kaya kantor sama kosan jaraknya puluhan kilometer aja”
Beberapa detik kemudian balasan darinya datang.
“Gue engggak bisa keluar kantor mulu, tar gue dipecat ama boss gue. Orangnya galak soalnyeeee.”
Sial! Dia menyindir dengan telak teguranku beberapa hari lalu tentang kebiasaan barunya akhir-akhir ini yang sering menghilang lebih lama saat jam makan siang dan lebih awal pergi saat sore hari. Sebenarnya hal itu sama sekali tidak mengganggu hasil kerjanya, karena akupun bisa mengontrol langsung ke kamarnya ia tetap mengerjakan proyek-proyek kami diluar kantor sekalipun. Namun aku tetap harus berperan sebagai seorang atasan, agar anggota tim yang lain tidak mengikuti kelakuan buruknya.
Sudah 2 hari ini aku tidak berangkat ke kantor karena penyakit menyebalkan ini. Aku terkena cacar air, sungguh mengejutkan sekaligus memilukan. Penyakit ini membuatku terisolasi untuk sementara, selain itu menjadi bahan candaan renyah untuk Salman.
“Bro umur lo berapa bro?”
“Ciiieee..boss besar kena cacar…”
“Orangnya, kelakuannya, penyakitnya, sama-sama not cool…”
“Daripada gue bilang cacar, gimana kalau klien nanya gue bilangnya lo kena meningitis atau serangan jantung aja kali ya. Biar agak keren…”
Ia terus-terusan mengejek dan menertawakanku, namun seimbang dengan rasa setiakawan-nya dengan menyediakan apa saja yang dibutuhkan dan menghandle semua tugas dan menggantikan aku di beberapa pertemuan dengan klien. Hampir 2 tahun ini kami mendirikan sebuah perusahaan kecil dibidang Branding dan Advertising. Dengan kemampuan kami dalam bidang design dan bisnis manajemen yang kami miliki, perusahaan kami perlahan tapi pasti mulai diperhitungkan sebagai pilihan oleh banyak klien. Selain itu Salman memperkokohnya dengan merekrut pegawai-pegawai muda yang kreatif dan mau banyak belajar. Ternyata itu lebih mendukung dibandingkan merekrut orang-orang yang dari segi usia dan jam terbang jauh diatas kami.
Terdengar pintu belakang di kamar sebelah terbuka, aku segera menyusul menemuinya. Salman terlihat sedang melepaskan baju-baju dari gantungannya.
“Eh pak boss…” Ia berseloroh tanpa menoleh.
“Udah lo temuin klien yang janji hari ini, Man?"
Aku bertanya sambil melompat melewati dinding pembatas teras.
“Belum, baru sore ini Des orangnya juga baru jalan dari Jakarta habis jam makan siang katanya” jawab Salman
“Oke. Kabarin gue hasil meetingnya ya!”
“Siap!”
Ia menjawab penuh semangat, kemudian pandangannya beralih ke arah lain.
“Bro lihat deh…”ucapnya sambil tersenyum dan menunjuk ke kawat jemuran di teras sebelah.
“Udah lama ya enggak lihat ada jemuran perabotan perempuan di lantai atas. Ya Tuhan, bungkusnya aja mengiurkan gimana isinya ya…”
“Gila lo bawa-bawa nama Tuhan buat pikiran kotor lo!”
Aku tertawa terbahak-bahak saat sedetik kemudian Salman melemparkan pakaiannya dan menengadahkan tangannya berkali-kali mohon ampun.
“Ente enggak tahu makhluknya sih, cantik dan imut banget kuliah di universitas yang di jalan keatas itu tuh, jurusan tataboga semester dua.” Ocehnya.
“Jurus-jurus udah keluar semua nih kayaknya”
Aku mengejeknya setengah sinis.Urusan wanita ia memang selalu punya tingkat penasaran yang tinggi.
“Kali ini enggak pakai jurus, Bro. Target emang ramah hampir semua kamar di sapa, ibu kos juga welcome banget sama penghuni yang satu ini. Kemarin aja pagi-pagi udah dianterin makanan segala, nah elo gue udah kabarin kalau elo lagi sakit aja si ibu cuek-cuek aja”
“Ngapain segala kasih tahu gue lagi sakit sih …”
“Jaga-jaga bro ,gue kan standby di kantor. Kalau ada apa-apa sama lo gimana ?”
Ia mengangkat kedua alisnya sambil memegang pangkal kerah kemejanya.
“Lebay parah lo jadi laki-laki, mana deh makan siang titipan gue?”
“Oh iya gue lupa, ada di kamar gue tuh ambil gih”
Aku menyerobot masuk lewat pintu dapurnya. Salman bergerak sedikit menghindariku. Berteriak-teriak mengingatkan jangan ada kontak fisik dengannya, karena ia pun tak ingat pasti pernah terkena cacar air atau tidak sehingga takut tertular. Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. Saat aku keluar dari kamar Salman dari pintu depan, aku sempat melirik kamar disebelahnya yang tadinya kosong telah ditutupi sebuah gorden berwarna biru muda.
Di hari-hari selanjutnya aku baru merasakan ketidakberdayaan yang luar biasa. Demam dan merasa terbakar pada benjolan-benjolan air yang ada hampir di seluruh tubuhku ini. Semua tugas yang tadinya aku kerjakan, dikerjakan oleh staf lain. Salman terus memperingatkan aku untuk istirahat total dan mempercayakan semua urusan kantor pada dirinya dan semua pegawai. Ia berkali-kali datang ke kosan untuk mengecek keadaanku dan mendiskusikan keputusan-keputusan yang akan dibuat. Sementara sisanya aku hanya terbaring di atas kasur,lebih sering tertidur atau hanya merenung. Dalam keadaan seperti ini ada rasa kesepian yang tiba-tiba membuat dadaku sesak. Apa hidupku akan selalu begini? Hidup berkutat hanya pada pekerjaan, dengan dalih mengejar mimpi. Saat semua mimpi itu tercapai apakah aku akan lebih bahagia? Bukankah akan lebih perih lagi jika kebahagiaan itu hanya untuk diri sendiri tanpa ada seseorang yang bisa diajak berbagi.
“Bro..lo udah tidur?”
Suara Salman mengagetkanku, pintu kamar kemudian didorong terbuka. Ia mengangkat sebuah bungkusan plastik, kemudian langsung menarik meja dan kursi. Makanan disiapkan dengan cepat olehnya, tanda yang lebih lapar adalah sang juru rawat dibandingkan pasiennya.
“Des, makan dah langsung!” Ia mulai mengaduk-ngaduk nasi goreng didepannya.
“Lo enggak takut ketularan gelar makanan disini?”
“Tadi sore nyokap gue ada telepon nanyain kapan pulang terus gue kabarin engga bisa pulang karena elo lagi kena cacar air iseng deh gue tanya gue pernah kena cacar air atau enggak, dia bilang pernah waktu gue bayi. Dan katanya enggak akan kena lagi, kalau udah pernah kena, aman berarti gue deket-deket elo”
“Terus elo percaya walaupun engga ada penjelasan ilmiahnya?”
“Ya percaya lah, nyokap gue yang bilang. Elo doank yang hidupnya enggak percaya terus”
Perkataan terakhirnya sedikit menusuk, tapi memang begitulah Salman. Keterusterangannya justru menjadi kelebihannya tapi kelemahannya adalah kemudahan dia untuk percaya pada banyak hal. Hal itu menjadi bumerang baginya di zaman kuliah dulu, berkali-kali ia dikerjai oleh teman-teman sejurusannya.
“Terlalu banyak percaya juga enggak bagus juga kali Man, enggak inget elo banyak kena masalah waktu kuliah dulu?”
Ia tertawa kecil ada rona merah diwajahnya.
“Masih inget aja lo, jadi malu gue. Eh tadi gue ketemu lagi sama anak kosan sebelah, kebeneran lewat depan kantor dia. Gue dikasih masakan hasil praktek dia, lumayan lah makan siang gratis rasanya enak lagi.”
Aku terkejut ia masih menjadikan gadis itu sebagai incaran. Seminggu lebih hanya di kosan, tanpa sengaja aku jadi memperhatikan jadwal pulang dan perginya. Ia sering berangkat sekitar jam 8 atau 10 pagi pulang sekitar jam 2 pagi, di sore hari pulang sekedar untuk mandi, mengangkat jemuran atau mengambil barang.
“Yakin Lo masih jadiin target tuh anak?”
Ia berhenti mengunyah dan matanya bergerak keatas seperti memikirkan sesuatu.
“Enggak deh kayanya, terlalu imut dan baik gue jadi inget adik-adik gue terus tiap lihat dia. Elo kan tau tipe utama gue yang seksi dan dewasa…”
Ia tertawa heboh sendiri.
“Syukur deh gue takutnya elo ketipu sama penampilan. Enggak sengaja gue perhatiin jadwalnya pulang-pergi sering banget pulang lewat tengah malam.”
“Oh.. itu sih gue juga tau. Paginya kan dia kuliah malamnya dia kan kerja sampingan jadi SPG event atau bantu jadi waitress di kafe temannya. Weekend full buat kerja, anak baik deh dia gue yakin.”
Ah, Salman di dengar dari pekerjaannya pun sudah berkonotasi negatif. Tapi untungnya ia sudah tidak tertarik untuk berhubungan lebih jauh lagi dengannya.
“Omong-omong soal dia kerja jadi SPG, weekend ini dia ada pameran mesin-mesin printing gitu. Kalau lo weekend udah sehat kita coba kesana yuk, mau cari referensi-referensi mesin gue, biar update.”
Aku hanya menganggukan kepala dan melanjutkan makan. Setelah selesai makan ia kembali kekamarnya, sedangkan aku mencoba berkutat dengan pekerjaan. Selagi badan mulai segar pikirku, terlihat layar handphoneku bersinar di kegelapan. Aku mengambilnya dan kembali menaruhnya. Telepon dari seorang kawan lama, aku enggan mengangkatnya. Lagipula untuk apa dirinya menghubungi di jam segini, mungkin hanya tidak sengaja menelepon. Atau mungkin dia mabuk lagi seperti beberapa tahun lalu meneleponku hanya untuk memaki-maki kelakuanku di masa lalu yang sesungguhnya tanpa ia ingatkanpun aku akan selalu ingat.
Aku kembali mencoba untuk fokus pada layar monitor, sebelum malam menjadi semakin larut. Sekali lagi layar handphoneku kembali menyala, tak lama kemudian meredup. Kali ini pasti sebuah pesan yang wanita jalang itu kirimkan kepadaku. Dengan setengah enggan aku membukanya juga pada akhirnya.
“Hi, Bastard! I know you still want her. So check this account!”
Ia mengirimkan sebuah tautan dibawah pesannya. Jantungku berdetak tak karuan, benarkah ia telah menemukannya atau ini hanya sebuah jebakan? Tiba-tiba aku merasa ragu untuk membuka tautan tersebut, bagaimana jika orang yang kutunggu telah ada yang memiliki?. Mungkin saja ia sudah menikah dan mempunyai anak, ia bukan tipe wanita bebas seperti wanita jalang sahabatnya itu. Lagipula usianya sudah lebih dari seperempat abad, hanya lebih muda 1 tahun dariku. Tapi ia selalu mengatakan wanita jalang itu tidak selalu menyebalkan, tidak mungkin juga ia akan memberitahukan tentang dirinya jika ternyata ia sudah hidup bahagia dengan orang lain.
Aku kembali mencoba untuk membukanya, tapi keringat sudah bercucuran lebih dulu dan aku tahu kali ini bukan cacar air penyebabnya. Gila, bagaimana bisa aku segugup ini hanya untuk membuka akun yang belum tentu benar miliknya? Jika bertemu dengannya secara langsung sudah pasti aku langsung terdiam kehilangan kata. Akhirnya akun instagram itu terbuka, sebelum aku sempat menyadari kapan tepatnya aku mengkliknya.
Siluet seorang gadis di pinggir pantai saat matahari terbenam yang menjadi foto profilnya, april_0291 tertera sebagai id akunnya. Kenapa tidak terpikirkan ia akan menggunakan nama akun dengan tanggal lahirnya olehku. Jujur saja disaat-saat senggang ketika aku memikirkannya, beberapa kali aku mencoba menemukan dirinya di semua media sosial tapi tak pernah berhasil. Ia bertingkah seperti orang dalam pelarian, tidak mencantumkan nama, tempat kuliah, tempat kerja bahkan wajahnya pun tidak ada sama sekali. Hanya foto-foto benda, makanan, tempat dan bunga-bunga. Bisa jadi ini bagian dari permainan dari Jessica, aku terus menggulirkan kursor kebawah untuk memastikan. Sampai di sebuah foto sebuah piagam bertuliskan “Millia Aprilia” dengan caption “Always Love my name, Whenever it called or written. My oldfriend said Millia Aprilia it’s like Asep Sunasep or Maman Nurjaman,Sundanese style”. Ya Tuhan, ini sungguh dirinya.