Dari dulu sampai sekarang aku bertanya-tanya. Apa di pandangan semua orang, prestasi merupakan sesuatu yang harus diraih dalam hidup? Mau tidak mau. Kalau kau tidak mendapat setidaknya satu prestasi dalam hidupmu, maka kau akan kesulitan dalam menjalani hidup yang keras ini.
Jika benar begitu, maka dunia ini memiliki sistem sampah yang hanya bisa menilai seseorang dari satu sisi saja.
Ahh tidak, maksudku bukan dunia ini, tapi para manusialah yang membuat sistem sampah seperti itu. Yah, aku juga tidak memedulikan sistem itu. Yang terpenting untukku saat ini adalah mendapatkan kehidupan yang damai. Maka dari itu, aku belajar sedikit hingga mendapat peringkat ketiga dalam ujian kenaikan kelas.
Aku yang dulu berbeda dengan diriku yang sekarang. Karena kecelakaan 6 tahun yang lalulah membuat salah satu saraf di otakku ini aktif sebelum waktunya. Sebab itulah aku menjadi pintar seperti ini. Sebenarnya bukan pintar tapi kemampuan mengingatkulah yang meningkat secara tidak sengaja. Tapi di lain hal, saraf untuk mengakses ingatanku yang lalu rusak. Akibatnya, aku tidak bisa mengingat satu hal pun ketika aku masih kecil.
Aku tidak tahu apa aku harus bersyukur atau tidak pada kecelakaan hari itu.
Sambil melihat namaku yang berada di papan peringkat ujian kenaikan kelas. Namaku berada di urutan ketiga dan Sakuraba-san berada di atasku, yaitu urutan kedua.
Entah kenapa aku sedikit merasa kesal ketika diungguli oleh Nona lemari es yang selalu merepotkanku.
Saat aku melihat papan peringkat itu untuk melihat namaku, tiba-tiba terdengar suara perempuan yang begitu dingin berasal dari sebelah kananku. "Sepertinya kau cukup pintar untuk seorang berandalan."
Terlihat seorang perempuan berambut hitam panjang sepinggang, dengan tatapan dingin yang berada di balik kacamatanya itu. Dan ia melipat tangannya di bawah dada sehingga dadanya terlihat menonjol. Dia adalah Sakuraba Aika, wanita yang sering sekali merepotkanku.
Pemikiran wanita memang rumit.
Aku hanya bisa menatapnya dengan agak sinis ketika ia mengejekku seperti itu.
Dengan nada santai. "Hmm, bisa dibilang. Aku sedikit berusaha."
Sakuraba-san hanya menunjukan ekspresi seperti memahami sesuatu ketika aku selesai berbicara.
Aku benar-benar tidak tahu dan tidak ingin tahu dengan isi pikirannya itu.
Saat aku hendak mencari nama Adikku yang berada di papan peringkat. Tidak sengaja terdengar suara gerombolan perempuan yang nampaknya sedang membicarakan salah seorang yang masuk keperingkat ketiga yaitu aku sendiri. Mereka membicarakanku seolah-olah mereka tidak mengenalku seperti berkata, "Siapa yang menduduki peringkat ketiga? Aku tidak kenal." "Apa murid pindahan?"
Dan ada juga kata-kata yang sedikit membuatku sakit hati, "Mungkin orang yang berada di peringkat ketiga itu berbuat curang seperti menyontek atau mengancam orang." Untung saja aku masih bisa menahannya.
Aku sudah tahu kalau nanti akan jadi begini. Karena saat aku masih kelas 2 SMP, aku juga pernah dituduh menyontek oleh para siswa yang sering berbuat onar di sekolah. Yah, dari dulu para pembuat onar itu sering sekali membuat gosip yang tidak berdasar sampai-sampai ada 1 siswa yang tidak tahan dengan semua gosip tentang dirinya dan keluar dari sekolah akibat trauma yang ia alami akibat diejek oleh siswa lain.
Kasihan, untungnya aku tidak peduli dengan gosip yang beredar tentangku. Lagipula, aku hanya harus menghabiskan 2 tahun berada di sekolah ini dengan damai tanpa ada masalah.
Ya, 2 tahun lagi.
Aku tidak memedulikan semua suara sindiran yang sedikit menggangguku itu dan kembali melihat papan peringkat untuk mencari nama Adikku.
Sebenarnya tujuanku mengetahui peringkat adikku adalah karena aku ingin mengerjainya. Yah, walaupun pada akhirnya nanti, aku pasti disuruh Adikku Rin untuk mengajarinya lagi.
Heh, menyusahkan saja.
Saat aku sedang mencari nama Adikku. Sakuraba-san langsung pergi ke arah kanan yang nampaknya ia hendak pergi ke kelas. Aku cepat-cepat mencari nama Adikku karena terlalu banyak normie di sini dan aku tidak tahan dengan atmosfir yang tidak enak ini.
Sesaat kemudian, aku menemukan nama Adikku yang berada di urutan 98 dari 120 siswa yang ada di angkatan kami.
Jujur saja, aku sama sekali tidak terkejut dengan peringkatnya itu. Yah, karena Adikku itu sangat bodoh dalam beberapa pelajaran apalagi matematika dan sastra jepang klasik. Jika kebodohan memiliki level dari 1 sampai 5, mungkin Adikku Rin berada pada level 5 yaitu level sangat sangat bodoh. Tapi dia handal dalam beberapa hal seperti lari dan voli. Bahkan dia pernah diundang untuk ikut dalam lomba lari antar kota.
Bisa dibilang kemampuannya dalam hal fisik menutupi kebodohannya yang terlihat jelas itu.
Di rumah nanti, pasti ia akan menangis merengek-rengek minta diajari olehku dan aku juga tidak bisa menolaknya karena Ibu juga meminta tolong padaku untuk mengajarinya.
Aku langsung pergi ke kelas karena urusanku di sini sudah selesai sekarang dan aku juga tidak ingin mendengar omong kosong dari para normie itu tentangku.
Sungguh melelahkan bersikap seperti ini di hadapan para normie itu.
Semogacepat berakhir.