“When you’re gone, the piece of my heart are missing you
When you’re gone, the face I came to know is missing too
When you’re gone, the words I need to hear
To always get me through the day and make it ok
I miss you, I’ve never felt this way before
Everything that I do reminds me of you
~When You’re Gone, Avril Lavigne~
Berbalik Satu Waktu
Jika aku bisa mengulang waktu...
Aku ingin kembali ke masa itu...
Masa dimana untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya...
Tak apa meski pada akhirnya ku tahu hanya kesakitan yang akan ku dapat
Saat aku memilih untuk berada disampingnya...
Tak apa meski air mataku akan habis karena menangis untuknya...
Aku hanya ingin bersamanya..
Menghabiskan hari-hariku bersamanya..
Meski hanya duduk diam tanpa suara..
Aerylin Bellvania Az-Zahra
Erlangga meletakkan buku tersebut di meja. Dihempaskannya tubuhnya di atas sofa panjang di ruang tamunya itu. Sofa dengan warna cream yang bisanya membuatnya nyaman setelah melakukan rutinitasnya seharian itu kini tak berfungsi. Beberapa jam lebih dia rebahan di atas sofa itu, tapi matanya tak lekas terpejam seperti biasanya. Pikirannya berkecamuk kemana-mana setelah membaca puisi di buku yang dibelinya dari sebuah toko buku yang dilewatinya dari perjalanan pulang kuliah tadi. Hanya iseng untuk membeli tadi karena rasa penasarannya akan penulis buku itu. Seolah mirip dengan nama seseorang yang telah dikenalnya dimasa lalu. Dan ternyata benar seperti dugaannya. Dia benar gadis itu, penulisnya adalah gadis yang sama yang selalu mengganggu pikirannya kala kesepian menderanya.
Bagaimana kabar gadis itu sekarang? Dimana dia tinggal? Masikah dia sama seperti dulu? Bukankah menulis hanya hobbynya? Ataukah sekarang dia ganti profesi menjadi seorang penulis daripada seorang akuntan? Bukankah cita-citanya menjadi dosen? Terus sekarang dia...
Pertanyaan-pertanyaan itu yang kerap kali mengganggunya itu datang lagi. Sekarang malah dia sering memikirkan tentang gadis itu. Gadis yang telah pernah disakitinya dulu, gadis yang di sia-siakannya dulu. Entah apakah karena rasa bersalah itu dia selalu memikirkan gadis itu. Ataukah ada perasaan lain yang tak bisa diartikannya. Entah..
Lagu Dear God-nya Avenged Savenfold tiba-tiba berkumandang dari handphonenya hingga membuatnya terperanjat dari lamunannya. Dilihatnya nama yang tertera di layar ponsel tersebut “mama”...
Mama Erlangga Calling:
“Ega, sudah pulang kuliah??”
Erlangga Calling :
“Iya ma. Kenapa?”
Mama Erlangga Calling:
“Katanya hari sabtu besok kamu pulang. Ujiannya sudah selesai kan?”
Erlangga Calling :
“Iya ma,,,”
Mama Erlangga Calling:
“Ya sudah papa dan mama juga adikmu menunggumu di rumah ya. Cepet pulang..,”
Erlangga Calling :
“Iya...”
Tut..tut...sambungan pun terputus. Ujian memang sudah selesai. Dia hanya perlu menyempurnakan proposal untuk pengajuan tesisnya. Tak masalah untuk sejenak berlibur melepas lelah dengan kembali ke kampung halamannya. Sudah lebih dari enam bulan dia tak pulang menjengguk keluarganya. Bukan jarak yang menjadikannya enggan untuk kembali ke kampung halamannya. Karena jarak yang jauh dapat di jangkau hanya dengan beberapa jam saja naik pesawat. Toh dia bisa pulang bolak-balik kalau perlu karena tak ada masalah tentang keuangan sedikitpun dikeluarganya.
Beberapa menit setelah mendapat telfon dari ibunya dia kembali merebahkan tubuhnya di sofa itu. Dengan mata yang masih di usahakannya untuk terpejam. Tapi kemudian lamunannya membawanya kembali ke kisah beberapa tahun silam bersama gadis itu.
*****
Empat tahun yang lalu di telfon...
Bocah Cilik Calling :
“Assalamu’alaikum...Hallo....,”gadis itu selalu memulai percakapan di telfon dengan dua kata itu..
Erlangga Calling :
“Wa’alaikum salam. Iya kenapa??”
Bocah Cilik Calling :
“Kamu dimana?”
Erlangga Calling :
“Di kosan. Kenapa?”
Bocah Cilik Calling :
“Kenapa lagi. Skripsimu udah selesai?”
Erlangga Calling :
“Belum...,”
Bocah Cilik Calling :
“Loh, kenapa belom? Ibu Kepala sudah suruh kita semua menyelesaikan secepatnya. Tidak ada waktu lagi. Masih sampai bab berapa?”
Erlangga Calling :
“Bab 3,”
Bocah Cilik Calling :
“Hah...bab 3. Bukannya katanya kamu sudah sampai bab empat ya?”
Erlangga Calling :
“Iya sudah input, tapi terus gak paham mau diapain...,”
Bocah Cilik Calling :
“Hadehhh..kamu nih. Makanya bilang. Kalau ndak bisa bilang. Ada aku dan anak-anak yang bisa bantuin. Kalau kamu gak bilang kita juga gak bisa bantuin kamu,”
Erlangga Calling :
“........................,”
Bocah Cilik Calling :
“Kamu ndak hidup sendiri, kalau ndak bisa ya minta tolong gituloh...,”
Erlangga Calling :
“Iya...,”
Bocah Cilik Calling :
“Ya sudah besok datang ke lab besok tak bantuin..,”
Erlangga Calling :
“Iya, beneran loh...,”
Bocah Cilik Calling :
“Iya, bye....,”
Erlangga Calling :
“Oke, bye...,”
Gadis itu selalu saja cerewet. Entah berapa banyak kata-kata yang tidak penting selalu keluar dari mulutnya. Celotehannya banyak sekali seolah tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Tapi, dibalik cerewetannya itu kadang ada beberapa hal yang memang benar adanya. Seperti motivasi-motivasinya atau bahkan hal-hal lainnya. Dan yang paling penting adalah otaknya briliant. Kalau sudah berbicara dengan sesuatu yang menyangkut pelajaran otaknya pasti akan berkelana menyusuri setiap ilmu yang pernah di dapatkannya di sekolah dan mungkin pelajaran di sekolah dasar pun masih melekat di otaknya.
Gadis kecil yang cerewet itu selalu memenuhi pesan masuk di handphonenya. Berisi banyak hal, tentang pertanyaan-pertanyaan yang selalu di ajukan Erlangga tentang pelajaran yang tidak diketahuinya atau bahkan hanya sekedar ucapan “hati-hati” yang selalu di ucapkannya setiap kali Erlangga hendak pulang kampung. Tapi, kini gadis itu tidak ada lagi. Tidak ada disaat Erlangga membutuhkannya lagi, membutuhkan motivasinya disaat semangatnya lemah. Erlangga tak pernah mengerti, tak pernah menyadari sebelumnya, hingga saat ini baru disadarinya betapa sebenarnya letak gadis itu besar dalam hidupnya tak sekecil ukuran tubuhnya.
“Huft...,”lenguh Erlangga sambil beranjak dari sofa dan segera bergegas menuju ke kamar mandi. Dia butuh penyegaran saat ini. Dan salah satu caranya adalah dengan mandi. Selain ingin membersihkan dan menyegarkan tubuhnya, dia juga ingin membersihkan pikirannya dari memikirkan gadis kecil itu.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 malam. Ketika mata Ara bahkan belum merasakan kantuk sedikitpun. Beberapa halaman lagi, hanya tinggal beberapa halaman lagi ia akan segera menyelesaikan novelnya. Tapi, tiba-tiba saja cairan merah itu keluar dari lubang hidungnya. Selalu seperti ini, beberapa hari ini sering terjadi. Kepalanya akan pusing bukan main dan bahkan terkadang ia sering jatuh pingsan. Mungkin inilah kelelahan yang berlebihan. Ia terlalu lelah untuk bisa mengejar deadline yang diberikan penerbit padanya.
Di ambilnya beberapa tisu yang selalu disediakannnya di meja kerjanya. Diusapnya darah segar yang menetes itu sembari dengan menengadahkan wajahnya ke atas agar tak banyak darah yang akan keluar lagi. Setelah dirasa tak ada darah yang akan keluar lagi, ia kembali terfokus pada layar persegi panjang yang berpendar di hadapannya. Sekitar dua jam lebih ia akhirnya berhasil menyelesaikan beberapa halaman yang kurang dari novelnya. Nyeri dipunggungnya akhirnya dapat sedikit terobati ketika ia mulai berbaring dan rebahan di atas ranjang.
“Alhamdulillah...akhirnya selesai...,” gumam Ara dalam hati.
Mata Ara masih belum terpejam saat itu. Ara masih teringat beberapa kisah lagi tentang masa lalu. Tentang dirinya dan seseorang itu. Seseorang yang selalu ia jaga dalam do’a. Terkadang orang bertanya kenapa begitu? Karena hati tak bisa menjaganya. Karenanya ia menjaganya lewat do’a-do’a yang dilantunkannya di setiap sujud malamnya. Dan akhirnya do’a itupun berubah menjadi sebuah keajaiban.
Message From : Cowok Jelek
“Aku lulus.....,” ucapnya ketika seseorang itu mengirim pesan pada Ara tiga tahun yang lalu.
Message To : Cowok Jelek
“Benarkah.....,” Ara terkejut mendengar berita baik yang diceritakannya lewat sms.
Message From : Cowok Jelek
“Yah, aku lulus. Aku benar-benar lulus. Dan ini semua berkat bantuanmu...,”ucap orang itu.
Itulah kata terakhir yang dikirimkan oleh orang itu. Tak pernah satu kalipun seseorang itu menulis ucapan terima kasih untuk Ara atas semua keberhasilannya. Bagi Ara tak masalah karena melihat orang itu bahagia sudah cukup untuknya. Tapi, bohong jika Ara tak mengharapkan itu darinya. Ara berharap bahwa orang itu tidak hanya bicara melalui pesan singkat itu, melainkan langsung datang menemuinya dan menceritakan kabar gembira itu langsung padanya. Harapan itu hanyalah tinggal sebuah pengharapan yang sia-sia. Karena selain dua pesan sms itu, tak ada lagi pesan-pesan berikutnya yang menyusul. Orang itu sudah meraih segalanya, dan Ara bukanlah orang terpenting dalam hidupnya yang akan dibaginya pesan kegembiraan itu.
Mengingat semua itu, air mata Ara menetes lagi. Tak mampu lagi ditahannya sesak yang menyiksa itu dan akhirnya isakan itupun beralih menjadi hujan air mata. Segera di ambilnya air wudhu agar batinnya menjadi tenang dan tak lagi mengingat lelaki di masa lalunya itu.
“Tuhan, sampaikanlah aku pada batas rinduku. Agar aku tak lagi mengingatnya. Agar rasa sesak itu tak lagi ku rasa. Karena sungguh rindu itu begitu menyiksa. Tuhan, sampaikanlah aku di batas rinduku. Untuk menggulung semua tangis dan luka. Dan kemudian menyembunyikannya. Agar aku tetap dapat melangkah. Tanpa mengingat pedih kenangan bersamanya. Tuhan, sampaikanlah aku di batas rinduku. Mampukanlah aku untuk mengikhlaskan. Lapangkanlah dadaku untuk merelakan. Dia, yang belum halal untukku,” batin Ara.
Selepas itu, Ara pun segera mengganti bajunya dengan piyama tidurnya dan segera mematikan lampu kamar tidurnya dan menyalakan lampu tidur di nakas tempat tidurnya. Do’a di rapalkan sebelum ia akhirnya memejamkan matanya dan berjalan di alam bawah sadarnya.
*****
Ceritanya bagus, menginspirasi.
Comment on chapter Di Batas Rindubaca ceritaku juga ya,