"MAJAPAHIT!!!"
"MAJAPAHIT MENANG!!!"
Sorak-sorai membahana menggema di sepenjuru desa menyambut iring-iringan para pejuang yang dikabarkan memenangkan perang melawan Kerajaan Kediri. Sore itu, Raden Wijaya terlihat gagah dan berwibawa di atas kudanya, diiringi dengan sahabat-sahabatnya. Tapi Shinta belum merasa tenang sebelum sorot matanya menangkap sosok yang berkuda di kanan belakang Raden Wijaya, Rangga. Kakaknya selamat.
"Kak Rangga..." Senyum Shinta mengembang, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Shinta tersentak kaget saat sebuah tangan menyentuh pundaknya, lalu membawanya ke dalam pelukan, ayahnya memeluknya. Shinta tidak sadar ayahnya yang sedari tadi berdiri di sampingnya, juga menangis haru melihat putranya ada diantara iring-iringan yang hanya berjumlah kurang dari setengah dibanding saat mereka pergi berperang dulu. Ayahnya telah berusaha mengikhlaskan Rangga, setelah mendengar diskusi anaknya dengan Raden Wijaya yang menugaskannya menggempur benteng timur Kediri, tempat paling sulit ditembus. Tapi anaknya berhasil pulang dengan selamat, tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.
Shinta langsung melepaskan pelukan ayahnya dan lari, memeluk punggung kakaknya dari belakang tepat saat Rangga turun dari kuda.
"Shinta!!! Kakak sangat merindukanmu juga! Satu bulan tapa mendengar teriakanmu meminta ini itu membuat dunia kakak terasa sepi!" Rangga membalik badan, ikut memeluk adiknya. "Ayah!" Ayah mereka bergabung dalam pelukan itu. Pelukan erat pertama Shinta dengan keluarga jaman dulu. Tangisan Shinta makin menjadi karena terharu, dia lupa apakah di dunia modern ayah dan ibunya pernah memeluknya seerat ini? Dan apakah perasaan bahagia ini akan pernah bisa dirasakannya lagi?
Beberapa keluarga lainpun melakukan hal yang sama, mereka saling berpelukan, menangis dan tertawa bersamaan.
"Kakak... satu bulan aku tidak memakan buah naga... huuu..." ucap Shinta di tengah tangisannya.
"Aku kira kau merindukanku, ternyata kau hanya merindukan buah naga," gerutu Rangga tanpa melepaskan pelukan erat mereka. Tangis dan tawa mereka bercampur menjadi satu.
***
"Aku, Raden Wijaya, Raja Kerajaan Majapahit pertama, menobatkan Arya Adikara dengan gelar Ranggalawe yang artinya Ksatria yang Berkuasa. Dan atas jasa-jasanya, Aku menganugerahkan Tuban! Mulai saat ini, Arya Adikara, Ranggalawe adalah bupati Tuban!"
Raden Wijaya berdiri gagah dengan segala atribut kerajaan yang menempel di tubuhnya sambil membacakan gulungan. Semua orang tersenyum senang mendengar penobatan Rangga sebagai Bupati Tuban, terutama rakyat Tuban. Mereka sungguh mengharapkan orang hebat seperti Rangga untuk memimpin daerah itu.
"Shin," panggil Rangga saat mereka sampai di kediaman baru yang jauh lebih besar dan nyaman daripada kediaman mereka di desa.
"Ya, Kak?" Shinta menoleh ke kakaknya. Dia menghentikan pikirannya yang berkelana saat melihat sebuah kawat yang meliliti botol lampu ceplik di dinding ruangan itu. Dia tadi memikirkan bisakah membuat kawat itu menjadi sebuah charger yang akan dia tancapkan ke pohon Kedondong besar yang kebetulan berdiri di depan kediaman itu? Ada sebuah penelitian di dunia modern yang menunjukkan bahwa pohon kedondong mampu menghasilkan listrik. Jika benar bisa, mungkin dia bisa menemukan cara untuk kembali ke dunia modern, meskipun dia sangat betah berada di masa ini.
"Saat kau kesurupan arwah Kartikaswari dulu, kau memanggilku Rangga, dan sekarang, aku mendapat gelar Ranggalawe, apakah ini sebuah kebetulan yang wajar?" tanyanya.
"Ah? Mungkin arwah Kartikaswari bisa meramalkan masa depan, jadi saat itu aku memanggil kakak Rangga," jawabnya sambil mengangguk berusaha meyakinkan kakaknya.
"Mungkin." Sorot mata Rangga menyapu luasnya kediaman baru berdinding batu bata merah berlantai marmer dingin yang tidak butuh pelapis untuk diduduki. "Bupati Tuban... Sepertinya aku harus mencari seorang istri."
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Hmm..." Shinta menengok ke kanan dan ke kiri, bingung dengan alasan apa yang akan diucapkannya. Lagipula apa salahnya kakaknya memiliki seorang istri? Tapi dia tidak mau berbagi kakaknya dengan orang lain. "Siapa yang akan mengurusiku? Ya. Siapa yang akan mengurusiku, kalau kakak mengurusi istri kakak? Masa aku harus pulang ikut ayah?" tanyanya. Sungguh alasan yang bodoh.
Rangga tertawa melihat adiknya yang terlihat tengah berpikir keras mencari-cari alasan lain yang mungkin bisa mencegahnya mencari istri.
"Baiklah... Kakak akan membiarkanmu menikah lebih dulu, baru kakak akan mencari istri," ucapnya sebelum merebahkan punggungnya ke lantai marmer. Sungguh kediamannya ini jauh lebih nyaman daripada rumah kayu sederhananya yang dulu.
"Tidak!" pekik Shinta hampir menangis. "A-aku masih di bawah umur! Aku masih kecil! Aku belum waktunya menikah!"
Rangga tertawa makin keras mendengar cicitan ketakutan adiknya.
Ayah mereka telah menerima jabatan penting di pemerintahan Majapahit hingga harus tinggal di kawasan istana Majapahit. Shinta memilih mengikuti Rangga ke Tuban daripada tinggal berdua dengan ayahnya yang membosankan.
***
Dua tahun berlalu dengan indah bagai bayang-bayang...
"Raden Wijaya baru saja mengambil Gayatri, teman mainmu, sebagai selir beberapa bulan yang lalu, kini dia memintamu dariku, apa yang harus kukatakan padanya?" Rangga menuturkannya dengan nada kesal tapi juga ada nada penghormatan di sana.
"Ah!" Shinta memekik saat jarinya tertusuk jarum. Dia menggigit jarinya itu hingga darahnya berhenti keluar. "Bilang saja aku belum cukup umur!" dengusnya kesal. Dia melanjutkan jahitannya. Semenjak berada di masa lalu, Shinta tak punya kegiatan rutin yang berarti selain pergi kesana-kemari mengekori kakaknya. Jadi dia berusaha mencari kesibukan-kesibukan kecil seperti menjahit pakaian atau menyirami tanaman di saat-saat kakaknya istirahat seperti saat ini.
"Tapi, Shin... ini adalah sebuah kehormatan untukmu," ucap Rangga setengah memohon, tapi juga terselip nada enggan di sana. Jadi apa sebenarnya keinginan kakaknya itu?
"Saat kuhitung-hitung, istri, selir dan permaisuri Raden Wijaya tidak kurang dari jari tangan kananku!" Shinta mengacungkan kelima jari tangan kanannya ke depan muka kakaknya. Dia kesal setengah mati kakaknya malah mencoba mendukung Raden Wijaya untuk menjadikannya salah satu dari mereka. Meskipun Raden Wijaya adalah raja, tapi Shinta juga punya HAM, hak asasi manusia! Hak untuk menentukan pilihan dalam pemilu! Tapi sayangnya HAM belum diresmikan saat itu.
"Dia tidak akan membiarkanmu menderita, Shin... selama aku masih hidup, aku tidak mengijinkan siapapun membiarkanmu menderita."
"Kalau Kakak tidak ingin aku menderita, jangan biarkan Raden Wijaya mengambilku, Kak," rengek Shinta dengan mata berkaca-kaca.
Percakapan mereka terhenti saat salah satu pelayan datang dengan napas tersendat-sendat.
"Den Rangga. Huh. Huh. Huh. Kereta Raden Wijaya dikabarkan menuju kemari!"
Mereka berdua tertegun. Shinta menatap penuh tanya pada kakaknya, tapi Rangga sama tidak tahu dengan dirinya atas maksud dari kedatangan sang raja.
"Siapkan jamuan terbaik di ruang depan!" perintah Rangga yang langsung disetujui dengan anggukan sang pelayan.
"Kak, apakah aku harus ikut menemuinya?" tanya Shinta gemetaran. Perlahan dia meletakkan jahitannya, minatnya pada menjahit lenyap seketika. Dia menantikan jawaban TIDAK dari kakaknya.
"Demi kesopanan, kamu harus ikut menemuinya juga, Shin."
Shinta menghela napas pasrah mendengar jawaban yang tidak diinginkannya. Dia sangat enggan bertemu dengan Raden Wijaya, apapun niat Raja itu datang ke kediaman kakaknya.
Bersambung...
Kocak
Comment on chapter 2. Sejarah yang membosankan