Read More >>"> Parloha (04.30) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Parloha
MENU
About Us  

4:30

Anggaplah pun misal beberapa jam kedepan sekali ini, mayat sukses dikembalikan ketanah tempat asalnya. Atau dikremasi macam film Amitabh Bachchan, ataupun bisa pulak jadi makanan babi Yanto. Terus? Habis dari situ cemana? Apa langsung beres masalah? Kambeng ini kan kayaknya bukan anak haram. Bukan pulak anak yang tidak diinginkan. Kalau besok dicari mamaknya dia, kekmana?Nggak ada masalah yang bisa betul-betul beres. Macam masalah Kakang sama Mawan sama Kambeng. Bertiga, dulu. Dulu kali, waktu mereka pertama kenal. Entah berapa tahun mundur kebelakang ceritanya ini.

Pertama kali waktu Kakang nguping pembicaraan mamak sama bapaknya didapur jam sepuluh malam, bingung nggak habis pikir dia. Mamak lagi pegang pulpen corat-coret di kertas nota, sambil bapak nyebut-nyebut harga sewa. Katanya mereka mau sewa lapak di Pasar Kaget. Dan yang dipikir si Kakang ini pulaklah bapaknya mau jadi bandar mercon. Kontan dia main nyambung omongan orang tua “Serius pak mau jualan di Pasar Kaget? Aku kenal sama si Saad, segala macam kembang api dia punya. Paling laku mercon catur.” Katanya, sementara istilah Pasar Kaget pun seumur-umur baru kali itu dia dengar. Selak si bapak mau pecah ketawa, tapi mamak yang duluan teriak, “nyantel[1] aja kau orang tua ngomong, sana tidur! Besok sekolah kau, monyet.” Waktu itu, monyet kelas tiga SMP, maksud mamaknya.

Kalau dari puncak bukit Gundaling, melongok kebawah langsung nampak lampu-lampu tugu Perjuangan kota Berastagi. Simbol perjuangan yang jadi nama tugunya. Berdiri setinggi lima belas meter, diatasnya ada patung tentara, pejuang sama ibu nggendong anak. Warnanya bolak-balik ganti, dulu hitam polos, sekarang warna warni sama ornamen. Tapi entah apa yang diperjuangkan, orang-orang situ nggak pernah ada yang tahu. Cuma bisanya pakai nama perjuangannya aja. “Janjian ketemu di tugu” atau jadi acuan kalau nyuruh keponakan beli putu bambu naik kereta matic. “Pas kali yang jualan gerobaknya warna biru di seberang tugu”, “tugu mana?” “Tugu perjuangan”. Selain itu ya cuma jadi patokan buat tukang kuda untuk menentukan harga rute wisatawan yang mau bertunggang. “Sekali putar tugu Rp. 25000. Rp. 45000 kalau yang nanya orang cina dari Medan. Ya memang nggak semua tukang kuda gitu, tapi kan bicara rata-rata.

Mulai dari tukang putu bambu depan emperan toko suvenir bang Ujang, mulailah berderet memanjang tenda-tenda biru pasar kaget, terus ke selatan ujung sampai satu kilometer berikutnya didepan toko semen Satria. Kalau dari Gundaling, macam kereta api Taksaka bentuknya. Segitu panjang, tapi semua orang jualan antara ikan sama ayam bakar atau nasi goreng. Cobak. Abah Domu yang rada lumayan spesifik, dia jualan teh susu. Nah ini unik, secara teh susu itu minuman pagi, tapi sama Abah Domu berusaha membelokkan budaya populer Berastagi dengan mengejar target konsumen yang rada cult. Itupun rame jugak nya. Baru terakhir, bapaknya Kakang yang jualan sate ayam, depan Salam Disc Rental. Langganannya manggil “Sate Kang Nding”.

Yang menarik dari sate Kang Nding ini adalah manajemennya. Secara belasan tahun jualan, harga tusukan lidinya pun jadi paham integral buat dibagi perbiji sama istrinya. Kalkulasi jualan mereka punya pembukuan yang disampul kulit sapi yang model matematikanya udah melibatkan alfabet. Mamak Kakang ini hitung-hitung kepalanya boleh diadu bahkan sama Scouter-nya Sniper di Perang Teluk. Jadi pembagian modal satu porsi sate ayam sudah tercatat sesuai perkembangan kembang-kempisnya harga BBM. Satu porsi satenya empat tusuk. satu tusuk empat potong, dua daging, satu kulit, satu jeroan. Lontongnya satu porsi dipotong tujuh, disiram kuah kacang dua centong. Kerupuk merahnya satu piecedikerenyes diatas siraman kuah. Satu lagi, bawang gorengnya udah dikemas plastik bening. Semua bahan ini dirangkum diatas piring yang dilapis daun pisang, diameter potongannya nggak lebih 20 cm. Sajian diatas ditebus seharga Rp. 15.000. Nggak kurang, nggak lebih.

Dengan perhitungan demikian detail, jadi rada susah buat pelanggan yang ingin order custom. Permintaan “Kang, bawang gorengnya dibanyakin ya.” kerap dijawab sama Kang Nding pakai “Aduh, bawangnya udah di plastik nih.” Atau “Beli dua bungkus sekalian aja.” sarannya kalau ada yang minta lontongnya dibanyakin.

Maka dari itu, adalah dilema buat Kambeng alias Zachtie Andrian sebagai pelanggan setia Kang Nding bapaknya Kakang, dimana dia doyan setengah mampus sama satenya, tapi ogah makan lontongnya. Menurut keterangannya, makan lontong yang lengket-lengket dimulut itu rasanya macam makan lem kertas cair yang dicampur tepung masena. Tapi bukan salah lontongnya, jangankan lontong, bayam sama kol pun sama sekali nggak masuk sama si Jalutup[2] satu ini, sementara namanya Kambeng. Makan nasi goreng pun, sempat dia kadang misahin satu-persatu potongan daun bawangnya. Potongan daun bawang. Coba eda bayangkan. Tapinggak usah sampai opsi pesan sate tanpa lontong, tiap dia order supaya lontongnya dikurangi pun Kang Nding Cuma jawab “Yaudah lontongnya nggak usah dimakan.” Katanya sambil tetap menyajikan porsi penuh. Cuma ya cemana makan kok disisakan, kata mamak jaman dulu kayak gitu itu pamali namanya, “Nanti makanannya nangis besok nggak mau masuk mulut lagi.”

“Ya tinggal ko bilang aja “Kang, nggak pakai lontong, harganya samain aja.” Kan bisa. Jangan bodoh kali jadi orang.” Kata Mawan sambil memencet-pencet tombol FF pada remote vcd player, mencari adegan yang semalam terputus. Kambeng ada diantara meja eksekusi, menunggu teh susunya bisa diseruput.

“Nggak mau dia bang, nggak bisa katanya!” Bantah Kambeng dengan nada mendayu, karena ini sudah kali kelima Kambeng mempertahankan hal yang sama. Alisnya merapat naik.

“Mbeng, dimanapun di belahan dunia ini kalau beli sate kau sukak-sukakmu mau pakai lontong apa enggak. Kan cuma kau yang rugi, harga nggak mungkin turun.” Timpal Mawan.

“Berarti kecuali ditempat Kang Nding. Karena katanya nggak bisa.” Jawab Kambeng santai.

“Cemana nggak bisa!?”

“Nggak bisa, bang. Astaga. Kalau bisa katanya sekali ini, potong kupingku.” Kata Kambeng penuh percaya diri.

Mawan segera meletakkan remote cvdnya diatas meja eksekusi, matanya mengunci macam pengundi yang melotot ke karcis togelnya diujung-ujung empat angka.

“Betul ya!? Kalau bisa kubeli sekali ini, kupotong kupingmu!?” Mawan mengancam.

Kambeng merespon dengan lebih segar lagi, ia potong sendiri kupingnya naik turun menggunakan telunjuk.

“Oh gitu, baik. Yok, kesana kita sekarang.” Ajak Mawan sambil segera beranjak dari kursinya.

“Kau tinggalkan kedemu ini, Mawan?” Tanya Kambeng.

“Diam kau.” Jawabnya.

Berapa jauhlah dari sini jalan kaki ke Salam Disc Rental. Ditinggal satu malam pun kenapa rupanya, pikir Mawan. Siapa rupanya di kedai itu yang mau kurang kerjaan, klepto kan bukan pulak bagian dari orang-orang sini. Kalau kepala batu, iya. Itu nggak pulak bisa dibantah. Apa-apa pun kalau udah masuk ke kepalanya ya mau dipukul martil sampai mampus juga bakalan tetap itu bilangnya. Seperti pengalaman Margareth yang jualan sarapan di jalan Kolam, dipukul botol kepalanya sampai bocor sama suaminya karena bolak-balik bilang “kata Alkitab Bumi ini bulat”, sementara lakinya baru pulang dari Medan bawa buku Flat Earth Theory. Entah kenapa bisa suaminya pulang bawa buku, cuma dia yang tahu. Soalnya awal niat perginya mau jual jeruk. Eh tapi biar begitu, kejadiannya sebetulnya nggak seenak perut kalimat ngomongnya lho ya. Entahlah, itu urusan rumah tangga orang, kan nggak pulak ujuk-ujuk “ih ngapain abang beli buku nggak guna? Kata Alkitab pun Bumi ini bulat” Kata Margareth. Terus “Ketepar!” Kata botol tadi langsung pecah ke kepalanya. Kan nggak pulak gitu. Mungkin bisa jadi habis jualan jeruk, Eddy yang suami Margareth ini kepengen pulak singgah ke Medan Plaza. Jadi otw lah dia. Sampai disana, nggak tahu pulak dia apa mau dibeli, jadilah muter dia kesana-kesini sampai ujung-ujungnya nyangkut di Gramed. Taulah kan, display depan toko model gitu kan isinya cuma gadget-gadget kekinian yang bentuknya futuristik macam di film Jean Claude Van-Damme, Timecop.

Didalam lihat-lihat keliling, tertarik dia sama barang-barang aneh macam Skateboard atau gitar elektrik yang digantung. Sebetulnya nggak ada salahnya rada liar sekali-sekali, belikkan Skateboard ini buat si Jiji, nanti dia umur-umur 10 tahun kan udah bisa dipakainya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dimanalah lapak yang bisa main skateboard di Berastagi sana? Isinya pun cuma pasar kaget, pajak buah sama polisi tidur. Tet! Skateboard gugur. Gitar listrik apalagi, beli gitarnya pun belum tentu bisa langsung dimainkan, mau dimana dicolokkan? Lagian gitar bentuk aneh-aneh macam begini, kabelnya pun nggak nampak entah dimana. Iya kalau nanti Jiji mainnya bisa ‘rulut-rulut-rulut’ macam jari Joe Satriani, nah kalau cuma sampai kencrengan di lapo tuak kan nggak perlu kali elektrik-elektrik-an. Tot! Gitar juga gugur.

Segini banyak buku-buku pun, nggak ada yang familiar sama dia. Waktu sekolah jaman dulu, paling banter baca Dragon Ball, itu pun boleh pinjam dari si Bukti yang koleksinya bejibun. Sekali pinjam tiga komik, dan nggak pernah dipulangkan lagi. Nggak ada yang berani protes, secara si Eddy ini dulu gento-nya di kelas. Dimatanya, Bukti sebagai penyedia komik harian, Khoiruddin penyedia jajan mingguan, Eko yang anak buah buat ngerjain PR. Bagi mereka semua, SMP 2 Berastagi merupakan SMP terbaik nan berjasa bagi murid-murid didalamnya, sebab eksistensi Eddy hanya ada di SMP 2. Eddy sebagai Bully terbaik juga terkenal di saentro per-SMP-an di kota. Itulah faktor terpenting didalam persekolahan yang belakangan ini semakin di kritisi sebagai sesuatu yang harus diberangus. Padahal, bully macam Eddy justru adalah ilustrasi paling realistik yang bakal segera dihadapi oleh para murid begitu mereka lulus keluar dari persekolahan. Menurut Bukti yang sekarang meneruskan usaha toko semen bapaknya, nggak pernah sekalipun dia ketemu urusan aljabar waktu ngangkat semen. Kata Khoiruddin, dia nggak butuh Geografi buat memperbaiki laptop rusak, serta Eko pun bilang dia nggak mesti jago bahasa inggris waktu jualan nasi bungkus. Tapi, ketiga dari mereka sama-sama setuju, kalau jadi korban bully si Eddy merupakan anugerah yang nggak berhenti mereka syukuri. Sebab, tekanan demikian berat masih tidak sebanding dengan tekanan orang-orang nyata didunia kerja yang jauh lebih pukimak daripada Eddy. Jadi, syukur puji tuhan Eddy sudah mempersiapkan mental mereka untuk menghadapi bully yang sebenarnya, sejak SMP.

Satu jam keliling diantara tuumpukan buku, makanya akhirnya dia mikir “Ah paling enggak beli satu lah.” Dan tepat disaat yang sama mata Eddy sama judul buku tadi terkunci seolah dipertemukan oleh semesta. “Flat Earth Theory”. Lewat keterangan kalimat judul pun, Eddy langsung terkesima. Si buku ternyata paham apa isi hati yang selama ini bikin dia gundah. “kalau bumi ini bulat, jadi yang belahan dunia dibagian bawah kekmana bisa berdiri?” pikirnya. Tanpa pikir panjang, langsung dibayar lah buku tadi. Tujuannya jelas sekarang. Apa yang ternyata membisik telinganya dan membawa langkahnya ke Medan Plaza hari ini pun, terjawab sudah. Alam menjanjikan sesuatu kepadanya. Alam punya rencana. Selamat ya, Ed.

Maka sampai dirumah, hendaknya berita baik senantiasa disegerakan untuk berkabar. kepada istri tercinta, ingin diteriakkan bahwasanya pencerahan itu sudah didepan mata. Soalnya belakangan, rumah tangganya sama Margareth nggak ada bedanya ibarat lilin yang sumbunya berdiri terkatung-katung karena udah pada meleleh diatas piring kaca yang ditampilkan via layar hitam putih dari televisi punya nenek buyut yang biasa dipakai buat nonton Dunia Dalam Berita. Buatan Jepang tahun 1973 termasuk lemari dengan pintu gesernya, yang sekarang udah punah. Knob-nya cuma dua. Si Margareth ini dulu cantik, nggak dulu kali pun. Dua tahun yang lalu. Rambutnya ikal panjang, kulitnya kuning. Pengetahuannya pun luas, dia punya satu joke soal peler yang berhubungan sama Oscar Wilde. Entah itu siapa Eddy nggak pernah ambil pusing, tapi cara si Margareth ini menceritakan pun udah bikin jantungnya getar-getar. “Cantiknya lah kau dek, dek.” Kata Eddy dulu waktu pertama kali orang ini jumpa, pas Eddy masih jadi supir Takasima yang ngantar Margareth kuliah di atas bukit Sibayak II. Oit, jangan salah cuy! Berastagi punya Kampus, Universitas Quality. Dari namanya pun kan udah yakin kita apa jaminannya.

Tapi, entah macam mana bisa kejadian, begitu orang ini berdua janji sehidup semati dihadapan Pendeta Johan Sihombing untuk meninggalkan status lajang, cantiknya Margareth ini pun macam ikut tinggal sama lajang tadi dibelakang. Kalau dulu bajunya manis-manis kali warnanya, garis-garis hitam putih lah, ada pulak yang gambar Tazmanian Devil. Sekarang 24 jam 7 hari cuma dasteran, itupun yang warnanya pudar karena bolak-balik dicuci. Yang hijau lah, kuning lah, tapi pucat. Sakit mata melihatnya. Kakinya dulu bening. Memang udah lama ada dibetisnya bekas kena knalpot kereta, tapi seingat Eddy bopeng itu malah ‘lucuk’ macam coklat valentine rasanya. Tapi dua hari lalu sempat tertengok, kok lah wujudnya menjijikkan macam kerang rebus basi. Apalagi jempol kakinya miring kesamping, perasaan makin hari makin curam bengkoknya. Kelamaan pakai sandal jepit yang kebesaran. Kedua tumitnya udah pulak retak sana-sini. Terahir dijilat Eddy setahun yang lewat, itu pun karena diminta paksa waktu mereka eksekusi seks jatah bulanan. Macam rasa lantai.

Intinya Margareth sekarang tampil sebagai total mimpi buruk. Masih setia sama ikatan rambut ekor kuda, tapi helai-helai rambut kering liar menjalar kesana sini dari pelipisnya. Lehernya ada dua, perutnya melipat turun menutupi karet celana dalam. Teteknya harus disangga beha kawat kancing depan, karena putingnya jatuh dengan areola yang semakin menjalar hitam. Tolong jangan bertanya dari perut kebawah, karena Eddy sudah menulis surat perpisahan terhadap paha dan pantat istrinya. Selulit menjajah Margareth lebih kejam daripada Belanda di Batavia.

Didepan televisi dia duduk bersila sambil memegangi botol susu isi teh tawar yang plastiknya memburam, masih ada bekas gambar kartun gajah yang pelan-pelan hilang terhapus keringat. Si Jiji belum bisa komplain, paling sebentar-sebentar “Eek!”, tinggal berdiri diguncang-guncang sepuluh menit, udah diam lagi dia. Mata si mamak yang lagi mengguncang bayi tetap ke TV aja pun nggak masalah. Isi album ponselnya belakangan penuh sama foto-foto si Jiji mulai dari orok sampai sekarang bisa berdiri. Ponsel pintar keluaran China ditambah penerangan 20 watt lampu pijar rumahnya, jadilah kompilasi foto-foto potret Jiji dengan berbagai macam tema. Namanya foto bayi, semua orang pasti suka. Terlepas dari kualitas noise pada gambar resolusi 5 Megapixel dan pose canggung serta latar belakang foto yang tidak mendukung, tapi statusnya itu tetap foto bayi. Dari Instagram, Margareth mendapat banyak inspirasi tentang tampilan foto anak kesayangan untuk dikonsumsi publik lewat postingan selebritis kondang. Ia menyalakan notifikasi terhadap akun Gading Martin dan Gisella sehingga kerlip aktivitas pasangan penyanyi itu menjadi feed utama yang di scroll Margareth tiap pagi. Anaknya cantik minta ampun! Kadang berbaring di kursi khusus berleha-leha yang tersedia di kolam renang Hotel Shangri-La. Duduk di kursi dorong berdampingan dengan produk bedak pantat bayi pun dia udah menarik, ditambah pulak senyum mamaknya yang ‘cuakepnya-naujubilah’. Beberapa sempat di screenshot sama margareth, waktu mereka bertiga selfie dihalaman rumah sendiri. “Nanti mau direka ulang sama bapak Jiji.” Pikirnya. Niat betulan kalau ini.

Cuma yang nggak terbesit dikepala Margareth adalah perihal yang krusial tentang persoalan kualitas kamera yang menjepret, kosmetik yang lebih dulu dipoles, jenis pakaian yang dikenakan, serta latar belakang rumah yang seperti apa. Sehingga mampu menghasilkan Likes sebanyak 1,330,888 serta menggenerasi followers lebih dari 4M akun penggemar. Menurut Margareth persiapannya sudah lengkap begitu bapak Jiji pulang kerumah yaitu satu suami, satu anak, satu muka sendiri serta latar belakang rumah kontrakan. Paling seru kayaknya di ruang TV, karena nggak punya pekarangan macam Gading. Lagian lampu luar masih mati belum diganti. Diruang TV lumayan, ada poster belajar alfabet warna warni serta kalender hadiah tahunan Bank BRI. Terkait persoalan dinding triplek yang dicoret-coret Jiji pakai crayon kan tinggal dibelakangi aja, nggak bakal ketangkep sama kamera. Maka gitu si Eddy teriak salam waktu masuk rumah pulang dari Medan, langsung ditariknya duduk di atas alas karet sintetis bergambar Upin & Ipin yang mereka pakai jadi karpet buat nonton TV. Turunkan sebentar botol isi teh tawar tadi, angkat si Jiji yang kaget sampai mukanya bersiap nangis lalu: Cekrik! Jadilah mereka bertiga pasangan mesra ala Gading & Gisel. Bedanya fotonya menghasilkan aura tungstenbikin merinding dengan cahaya berlebih dari TV dibelakang sehingga gambarnya seburam botol teh tawar Jiji, terima kasih sama cahaya lampu flash yang bikin sakit mata si anak pulak. Tinggal ditambahi lingkaran merah, jadilah itu dummy foto penampakan. Muka capek Eddy yang jenggot usia tiga harinya belum dicukur, dikombinasi sama jerawat yang justru dianggap objek utama sama kamera ponsel yang punya fitur fokus otomatis, mengabaikan kilau minyak muka Margareth. “Duh, lucunya. Lihat bang, muka si Jiji mau teriak” katanya sama Eddy, sambil berusaha mengutak-atik aplikasi tambahan yang ia download gratis untuk menyesuaikan hitam legam kulit si bayi Jiji, menuju gambar seperti referensi. Setidaknya untuk mendekati lah.

“Salah kau, harusnya kau lap dulu kerak bekas ingusnya ini.” Kata Eddy menyarankan. “Ya’ah. Namanya anak-anak.” Kata Margareth. Bukannya senang malah dia langsung protes. Tahu dia anaknya beringus kenapa nggak di bersihkan sendiri sama dia? Pikir Margareth pulak, langsung dia tersinggung.

Pokoknya dari situ semua awalnya. Mulai dari ngobrol masalah ingus Jiji, satu jam kemudian bisa berentet sampai persoalan si Eddy nggak ngasih duit cukup. Entah kekmana maka bisa lari kesitu. “Makanya kau kalo punya duit kasih ke anak binik, jangan ngelonte aja kerjamu di parloha itu!” Kata si Margareth pulak, sementara si Eddy pun baru aja mau nyetor duit yang dimakelarinya jual jeruk dari ladang orang. Malah belum sempat lagi dibahasnya persoalan anugerah malaikat yang tadi siang membimbing kakinya bergerak ke toko buku dengan sendirinya. Segala macam teriakan jadi keluar dari mulut margareth sampai nggak bisa ditangkap lagi kalimatnya satu-satu sama kuping Eddy. Yang nantinya bakal bikin dia trauma justru visualisasi detail ekspresi Margareth yang membentak-bentak didepannya, tanpa menghiraukan bayi Jiji yang juga mulai “Eeeek” sambil banjir balon ingus sama air mata, di gendongan bininya ini. “Anjeng, babi, kimak” segala macam keluar dari mulut berbau besi rantai sepeda campur asam lambung yang semakin mengaburkan pandangan Eddy. Kalap, ia kontan meraih botol kecap manis diatas lantai yang tadi dipakai Margareth buat menambah rasa nasi putih makanan Jiji tapi belum dibalikkan lagi ke dapur, diterbangkannya ke kepala biniknya: Ketepar! Tambah lah Jiji jadi udah teriaknya makin kencang, makin pulak dia tambah hitam serta lengket kena cipratan kecap, botolnya pecah dikepala Margareth yang oyong tapi sigap dipegang Eddy tangannya, biar nggak tumbang menimpa si anak.

“Bentar dulu!” Ucap Kambeng.

“Bentar bentar bentar! Tapi tadi cerita abang soal keras kepalanya orang sini. Apa pulak hubungannya sama rumah tangga Eddy sama Margareth. Eddy Margareth ini pun siapa pulak lagi!?” Katanya protes saat mereka tiba di Pasar Kaget sate ayam Kang Nding.

“yah, mana kutau apa hubungannya. Aku kan cuma cerita.” Jawab Mawan.

“Kekmana nya abang cerita? Abang paham konsep bercerita nggak?”

“Ya kan dari tadi aku cerita!” Kata Mawan.

“Ya tapi intinya apa? Dari tadi ku tunggu-tunggu. Bang, kalau aku mau cerita soal tomat, satu cerita utuh soal tomat. Si Zachtie belik tomat, dimakannya tomat, dan tomatnya enak. Udah! Titik sampai disitu. Nggak perlu kusentuh-sentuh kecap rumah tangga orang!”

“yah, sukak hati kau apa intinya lah nak. Istrinya keras kepala kan bisa. Botolnya kok yang  pecah. Kalau lembek kepalanya tadi, ya kepalanya yang berserak.” Jawab Mawan.

Kambeng menarik napas, panjang masuk kedalam.

“kan tadi abang bilang bocor kepalanya.” Tanya Kambeng lagi.

“Ah udah lah Mbeng, sibuk kali kau. Kau pesan dulu satenya ini, cepat. Kita buktikan. Masih kutagih kupingmu ini.” Perintah mawan.

Didepan mereka, Kang Nding sedang menyiapkan panggangan sate sementara Ardiansyah yang baru balik dari Jogja sekarang bantu-bantu menumbuk kacang.

“Kang, bungkus sate satu.” Minta Kambeng.

“Iya. Dian, bungkusin dulu! Tanganku masih bekas arang.” Kata Kang Nding sama anaknya. Dian yang baru pertama ketemu dua orang macam demikian yang bergerak bersiap memulai ritual bungkus-membungkus.

“Tapi nggak pakai lontong ya bang!” Kata Kambeng menambahkan. Dian tidak bersiap menghadapi permintaan demikian, menoleh ke bapaknya. Bapaknya pun bengong.

“Aduh, nggak bisa  nggak  pakai lontong, dek. Berapa kali kau harus kukasitau?” Jawab bapaknya sambil pegang-pegang arang.

Mawan yang menangkap respon, kemudian menjawab, “Kenapa nggak bisa Kang? Samain aja harganya.” Ujarnya sambil ikut mendekat.

“Iya, nggak bisa bang. Kita jualnya udah sepaket.” Jawab Dian.

“Samakan aja harganya!” Tambah Mawan.

Dian melongok ke bapaknya, bapaknya  menggeleng.

“yah, cemananya nggak bisa, kan untung di kelen justru. Aku nggak mau lontongnya kok” Kata Mawan.

“Udah sepaket kita jualnya bang.” Tambang Kang Nding lagi.”

“Yaudah, gini aja. Empat bungkus yok. Nggak pakai lontong.” Tawar Mawan lagi.

“Sepuluh bungkus pun tetap pakai lontong bang.” Jawab Kang Nding sampai ia berdiri.

Mawan mundur sejenak, takjub akan respon lawan bicaranya. “Oke, empat bungkus kubayar seharga sepuluh bungkus, tapi nggak pakai lontong! Udah gitu aja.” Tawar mawan lagi.

Ck, satu porsi itu termasuk lontong bang.” Kang Nding tetap kekeuh.

Mawan semakin enggan mundur. “Yaudah, kalo gitu empat bungkus lontongnya aja, nggak usah pake sate!” Katanya.

Kang Nding tersinggung, ia lalu merespon “Bang, kalau mau ngetes-ngetes jangan disini. Kita cuma  jualan aja nya ini. Main main ditempat lain aja bang.”

“Yuh! Cemananya kau jualan!? Kan aku yang makan. Sukak-sukakku lah mau makan yang mana. Tadi Sate aja nggak boleh, trus lontong aja pun juga gak boleh. Kalau aku nggak mau lontongnya jadi kekmana!?” Tanya Mawan. Suasana jadi gaduh.

“Ya nggak usah dimakan lah. Kalau udah abang bayar kan hak abang mau dimakan apa enggak.” Jawab Kang Nding.

Mawan menelan ludahnya. Ia berkedip sejenak. Setelah tarikan napas, “Oke. Berapa harga satu bungkus?” Tanyanya.

“Lima belas ribu.”

“Yaudah. Bikin empat porsi sekarang. Sukak hati kau macam mana.” Pesan Mawan. “Nah ini kontan duitnya.” Ujarnya sambil membayar pecahan sepuluh ribu enam lembar. Kang Nding menerima, lalu Dian segera meracik kombinasi bahan. Tap—tup-tap-tup sigap dia kerja.

“Abang malu-maluin aja pun. Tengoki orang kita.” Kata Kambeng sambil tertunduk di meja yang disediakan kang Nding.

“Palak aku, nggak bisa-nggak bisa pulak katanya. Apa yang nggak bisa di dunia ini?” Jawab Mawan.

Seketika, Dian menyajikan empat piring sate ayam ke hadapan dua orang ini. Blak! Keempat piring berisi potongan lontong hangat beruap disiram kuah kacang panas dari dandang. Satenya terletak dipinggir piring.

“Minum apa bang?” Tanya Dian.

“Bentar dulu, berarti udah hakku ini kan?” Tanya Mawan. Dian mengangguk. Mawan mengangkat piring yang paling dekat didepannya, kemudian:

“Sekarang, buang lontongnya!” Perintah Mawan kepada Dian yang bengong sambil menyerahkan piring ditangannya kepada si pelayan. Dian seperti kurang menangkap maksud Mawan walaupun dia dengar jelas.

“Buang lontongnya!” Ulang Mawan.

Dian belum mampu bereaksi, lalu Mawan kembali bilang “Kubilang buang ya buang. Itu kan ada tempat sampah, atau kuserakkan aja dimejamu ini.” Katanya sama Dian. Tanpa berniat nego ke bapaknya lagi, Dian langsung sigap mengambil satu-persatu piring dan dengan hati-hati menjatuhkan potongan lontong ke tempat sampah plastik sebelum dikembalikan ke Mawan. Mawan melirik Kambeng sambil menaik-naikkan satu alisnya. Kambeng cuma geleng-geleng.

Saat piring terakhir tersaji tanpa lontong diatas meja, Mawan mengangkat semua tusuk satenya sambil beranjak berdiri. “Berarti sampai kita di kedai sekalini, kau belik cutter, kupingmu yang  kiri samaku ya.” Kata Mawan.

“Patat nteh!” Kata Kambeng yang ikut berdiri, berniat secepat mungkin untuk keluar dari Pasar Kaget. Menoleh sejenak ke Dian, Mawan berucap “makasih ya Kang!”

Mulai dari situlah si Dian alias Kakang ini kadang berpikir dalam hati “Awas kau ya Mawan, kapan kau nggak berak malam.” Katanya. Kali pertama dia main ke kedai, niatnya mau pesan teh tapi nggak pakai susu. Dengan senang hatilah dibikin Mawan. Secara kalau pesan teh susu komplit, cemana pulak caranya ngebuang tehnya? Siapalah yang tolol. Lama-lama ya bawa ketawa aja. Toh, ketemu pulak lagi sama bang Jepri yang kadang mulutnya nggak tau diri. Makanya sekarang walaupun Kambeng udah jadi mayat, tapi perkara lontong udah nggaklah mungkin lagi dipermasalahkan. Nggak pulak Kakang tega ngeludahi mukanya. Mukanya pun udah nggak ada. Yang cuma terbawa perasaannya dari tadi ya tinggal persoalan di kategori “after effect”. Soalnya bukan cuma sampai disini masalahnya. Orang kok ini, bukan kambing. Takutnya kalau jadi urusan polisi. Polisi-polisi yang cari duit apalagi. Apa cukup uang sate dijadikan jaminan kalau kalau dia tiba-tiba diangkat? “Anak tukang sate terlibat pembunuhan berencana” kata koran Nanang pulak nanti, barabe dunia persilatan. Padahal nggak ada sikitpun direncanakan. Atau setidaknya direncanakan Kakang lah.

Lagian, si Kolor ini pun anjeng juga rupanya. Oke, tak ada cakap[3] dia yang bisa dipegang lagi. Siapapun kau ini yang sekarang ada dikepala Kakang, kau sadar kayaknya nggak mungkin kau silap[4] salah keterangan. Jelas-jelas dari mulutnya keluar “Ayo Kang, ngantar daging kita dulu! Tapi nggak utuh lagi ini.” Katanya. Yang kau sesalkan sekarang kenapalah kemarin itu bukannya kau tanya itu daging apa. Logikanya, kenapa mesti ‘daging’ bilangnya? Kenapa bukan nasi babi? Namanya makan babi, tiap malamnya om Yanto itu yang bawa tong sampah sisa dari Pasar Kaget. Satu tong dibayarnya lima ribu perak, sementara bapakmu sendiri pun punya lima tong sampah sisa lontong buat dikutip sama Yanto. Dan ke semua yang jualan di pasar kaget, sekalipun tak pernah ada nama yang lain dari Yanto kecuali “Nasi babi”. Jadi kenapa pulak mesti Kolor bilang “Daging”? Cobak.

Sayangnya, kau nggak pernah pulak bisa akrab-akrab sama Tertib. Kalau dipikir-pikir, dia apalah kerjanya? Ke ladang? Apa cukup uang wortel beli Kamera Sony a7s sama lensa-lensanya yang macam Bazooka itu? Terus lebih sering pulaknya dia kesana-kemari moto-motoin cewek-cewek yang teteknya pun belum tumbuh. Hunting foto ke Gundaling lah, Bukit Kubu lah, kemana-mana dibawanya anak orang. Terakhir dengar kabar, udah pulak dia bikin-bikin film soal silat tradisional tanah Karo, Cobak. Darimana duitnya?

Lebih spesifik lagi? Kau udah main-main sama Kolor dari SMP. Anak itu dari masih belajar-belajar pun rokoknya numpang. Jangankan beli rokok, kolor yang dipakainya pun kau familiar, sebab siang dipakai malam langsung dicuci, karena stoknya cuma tiga. Makanya namanya Kolor. Bukan mau anggap remeh, tapi bapak si Kolor ini pun kerjanya cuma mocok-mocok[5], sementara mamaknya dari dulu cuma nyuciin baju cina. Bahkan sampai kau tinggal ke Jogja, ATM aja pun dia masih belum punya. Tapi waktu kau balik ke Berastagi karena lari malam, tiba-tiba dia udah bikin warnet! Punya dua puluh komputer pakai Windows 10 lengkap sama keyboard-nya yang berlampu warna-warni buat main Dota! Disamping harga barangnya, terus sewa tempatnya? Dipinggir jalan kok itu. Apalagi kursi-kursinya pun sofa pulak! Kalau murni perkara sekarang dia jadi lintah darat, seberapalah dia sanggup pinjam-pinjaman? Itupun, modalnya jadi perlintah-lintahan tadi darimana?

Memang babi kau berarti Lor. Apa yang kau sembunyikan ini?

 

[1] Menyahut

[2] Begundal

[3] Omongan

[4] Khilaf

[5] Serabutan

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Thantophobia
1147      654     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1734      653     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Cinta (tak) Harus Memiliki
4670      1198     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
Bad Wish
14779      2150     3     
Romance
Diputuskan oleh Ginov hanya satu dari sekian masalah yang menimpa Eriz. Tapi ketika mengetahui alasan cowok itu mencampakkannya, Eriz janji tidak ada maaf untuknya. Ini kisah kehilangan yang tidak akan bisa kalian tebak akhirnya.
PENTAS
926      566     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Pillars of Heaven
2592      825     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Simplicity
8692      2128     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
The Journey is Love
593      408     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Survival Instinct
243      202     0     
Romance
Berbekal mobil sewaan dan sebuah peta, Wendy nekat melakukan road trip menyusuri dataran Amerika. Sekonyong-konyong ia mendapatkan ide untuk menawarkan tumpangan gratis bagi siapapun yang ingin ikut bersamanya. Dan tanpa Wendy sangka ide dadakannya bersambut. Adalah Lisa, Jeremy dan Orion yang tertarik ketika menemui penawaran Wendy dibuat pada salah satu forum di Tripadvisor. Dimulailah perja...