23.32
BELUM JUGA HILANG BAU PESING di kamar mandi ini. Kadang nggak habis pikir, kok bisa sampai begini menyengat bau pesing orang-orang ini. Dari dulu, katanya “Orang Batak makan orang”. Mana betul itu. Orang Batak makan anjing, iya. Itu pulak hobi kita orang sini. Macam si Sandro, bapak sama anak sama aja. Malam buta di atas mobil pickup, si bapak yang sempat-sempatnya matiin lampu, oper gigi dan injak gas maksimum, patas menghantam anjing lagi nyebrang sampai terbang lima belas meter. Yang lebih pukimak[1] malah reaksi Sandro, "Kubilang pun jangan tabrak! Aku aja turun kan bisa ku-martil sendiri kepalanya!" Katanya. Bertekak[2] dia berdua sambil yang dibawah kaing-kaing menggelepar. Nggak lama, mati pendarahan karena tulang rusuknya tembus keluar.
"Lain kali jangan asal nabrak. Sampe berdarah kekgini, kau ajalah yang makan." Katanya sama bapaknya karena dimatanya jauh lebih bermartabat kalau itu anjing mati tanpa luka. Biar waktu dipanggang nanti darahnya matang sendiri didalam. Jadi citarasa aslinya nggaksangsi[3] buat diadu sama menu koki seksi Farah Quinn. Contohnya: bakar hidup-hidup setelah pingsan karena kepalanya di-martil, atau tenggelamkan dalam air tong setelah lehernya dikasih pemberat besi. Bisa juga lewat cara paling umum yakni dicekik pakai tali rafia yang sudah terlilit ditiang penyangga sebelumnya baru dililitkan ke leher, jadi cuma tinggal ditarik aja kuat-kuat. Paling barang sepuluh atau lima belas menit, itu kaki bakalan berhenti meronta. Terakhir, seminggu si Sandro sama bapaknya tadi diam-diaman tak saling tegur perkara gagal makan anjing.
Anjing liar.
Jadi kalaulah misal kau sekarang jadi Mawan, berarti kau yang tanggung jawab penuh soal kedai ini. Termasuk tanggung jawab siram-siram sisa pesing dikamar mandi. Sayang dulu waktu sekolah kau tak niat ikut praktek laboratorium. Siapa tahu ternyata bisa kau buktikan soal kandungan sisa kencing ini bau setengah mampus apa karena bekas daging anjing apa bukan? Karena dari mulai kedai buka pagi sampai tutup malam dan tujuh hari seminggu pun, obrolan macam cerita Sandro tadilah yang bakal kau simak dari orang-orang yang minum. Mulai dari jenis macam si Nopeng yang masuk petantang-petenteng sampai jenis kayak si Madan yang pesan teh susu pun pakai teriak macam willi[4]. Nggak bisa pelan-pelan, barangkali dianggapnya kau tuli. Begitu dia masuk ke kedaimu, kau tegur dia sambil senyum. "Eh, baru kelihatan ni bang. Darimana?" "Parloha!" katanya. Menoleh pun enggak. Duduk main asal duduk, langsung asal sambar koran. Setengah jam kemudian: "Hoi! Teh susuku mana?" katanya tiba-tiba sambil teriak. Kurang anjeng apa lagi gitu?
Baru kau lirik lagi ke cermin, usahakan senyum. Tiru senyummu sumringah kayak senyum mamak tirimu yang sebulan lewat tiga kali beruntun kena stroke. Kaki kanan keatas mati, jalanpun sudah macam anjing ditabrak pickup yang tak jadi dimakan. Kalau kau jujur, satu kata pun tak kau pahami lagi waktu si pesakit tua itu ngomong. Bibirnya doer merot[5] kebawah, menengoknya pun kau enggan. Nggak bakal kau akui tapi kau mbatin[6], bahwasanya kau penasaran berapa kira-kira manajer sirkus mau bayar kalau si mamak itu ditonton orang. Bentuknya menjual. Tangannya bengkok jari tertekuk macam bicara bahasa isyarat, cuma saja kaku. Ekspresi wajah pun kalau ditaksir 300 ribu perak nggak mungkin nggak dapat. Setidaknya bisa nutup buat menggaji lajang tamatan SMP buat nyuci pantatnya. Ketimbang kau harus bagi-bagi waktu untuk direpotin lebih ekstra pas mamakmu cuma mampu berak di sprei. Jadi jangan kau pikir kau terganggu sama pesing.
Masih ingat jelas kau muka abang-abang Jawa buntung yang dulu suka lewat depan Bioskop? Apalagi Sabtu, kan jadwal tayang Matinee. Dari jam dua sudah stand by abang itu di depan loket. Lumayan kali rasanya, bayar satu nonton dua. Padahal filmnya pun entah-apa-apa[7]. Kakinya cuma satu, tapi jalannya tegak macam prajurit. Kepeleset pun susah. Apa katanya samamu: "Dek, coba kau tulis namamu pake huruf kapital." Kau tulis lah di kertas rokok sama pulpen yang dikasihnya. "DARMAWAN PURBA" kau buat, padahal kau biasa nulis pakai tegak bersambung.
"Biasa dipanggil “Darma" ya?" dia tanya. “Mawan” Kau jawab betul-betul. Dia pulak yang geleng-geleng. "Wan, alangkah baiknya buat jalanmu kedepan nanti, kalau kau ubah namamu." Katanya pulak. Apanya maksud anak ini? Kekmana pulak caranya ubah nama.
"Maksud abang bentuknya. Sikit aja." kata dia. "Misal tambahkan H didepan D. Karena kan Wan, susah jalanmu ini. Bukannya pahit lagi, tapi nggak ada sikitpun kemungkinan kau bisa keluar. Garis tanganmu miskin." Katanya.
Pas waktu itu, kau dengan lugunya masih coba-coba cari logisnya, berdasarkan dangkal kepalamu. “Dimana logikanya kombinasi huruf di nama orang bisa bikin kere?” Kau pikir. Baru kemudian dibilangnya lagi "Kalo nggak kau ganti, umurmu nggak lewat dari 25 Wan."
Ngasss! apa nggak naik emosimu disitu gara-gara mulut si kawan ini? Siapa kali rupanya dia? “Nggak lewat 25” Babi kau! Kakimu pun cuma satu!" bolak-balik kau teriakkan dalam hati. Cuma terbatas etika pulak! Kau anak-anak, dia bapak-bapak. Kerjaan si pincang itu pun cuma nonton, apalah tahunya masalah hidup? Sekarangpun kau hampir mau masuk umur 40. Berarti kan salah dia. Cuma perkara mau minta dibelikan rokok sebungkus, dibilangnya pulak kau mati umur 25. Entah dia pulaknya yang udah busuk duluan. Satu kaki bisa jalan sampai dimanalah cobak?
Sementara, masih terus ngaca kau ini di kamar mandi. Tengok! Mana mungkin kau terganggu sama pesing. Desahkan namanya sendiri diujung mulut dua kali, sambil geleng-geleng. “Kambeng…Kambeng.” Apa pernah kau kepikiran sebelumnya, bisa-bisa kalian ini korban kebanyakan nonton film. Lihat adegan Barry Prima angkat pistol dar-der-dor sana sini gara-gara ceweknya diculik bandit, pikirmu bisa kejadian di dunia nyata. Bayangkanmu gaya Chuck Norris masuk ke markas antagonis ngeberondong senapan mesin pakai latar musik jenerik film barat. Itulah otak-otak dangkal tadi. Ya kekmana[8] lagi lah, orang kau cuma busuk-busuk di kedai.
Memang babi si Kambeng ini. Coba kalau bisa dijaganya mulutnya itu sikit aja. Sikit aja. semua orang sadar mulutnya macam taik, tapi tolonglah. Kalau masih hidup dia, tolonglah jaganya sikit itu. Syukur cuma pelor dia kena, cuma pecah kepalanya. Kalau sama yang lain tadi, bisa lebih selesai dia. Coba lah pasangnya mulut gatalnya itu sama si Tongkoh, langsung bakal dicongkel Tongkoh matanya itu. Bolak-balik kena cucuk[9] perut itu pakai pisau potong mangga. Tumpul pisau Tongkoh itu, jangan salah dia. Cabik-cabik dimutilasi sampai pisah tangannya. Satu di Kabanjahe, satu lagi terbang sampai ke Cingkes.
Berapa kali bolak-balik tadi kau bilang "Mbeng, mulutmu dijaga sikit." Apa mesti tiap main catur perlu dipanas-panasinya imbang[10]-nya? Mungkin dia niat ngelucu, cuma diseberang belum tentu kena. Uangnya nggak seberapa, besok kalah sepuluh juta pun mungkin tak ada yang keberatan. Cuma gayanya itu tadi, penting kali rupanya dipukulkannya pion-pion itu? Kan cuma mau bangun emosi itu namanya. Bolak-balik "Mulutmu itu Mbeng!" kau bilang, bolak-balik "nyanya-nyenye" jawabnya samamu. Astaga.
Mentang-mentang menang, dia main pun sambil SMS-an. Anggap enteng kali bah. Apa nggak makin besar motif!? Ujung-ujungnya pecah pulak nya kepalanya. Kan anjeng.
Sebentar dulu, bentar. Darimana awalnya tadi?
Catur? Bukan. Jauh sebelum itu. Handphone? Bukan juga, jauh lagi. Katakanlah dari dia datang. Jam lima-an, iya kan? Apa yang salah sama tingkahnya? Gitu dia masuk langsung dilemparnya empat ratus ribu ke mukamu. Berserak ke meja itu, kau lagi duduk. Padahal kau bercanda pas bilang “Bayar utangmu!” ke dia, pun itu sambil senyum. Secara dari pagi kau terus-terusan jaga tensi, kau taulah orang-orang di kedai. Memang betul kata Jepri, "Kalau jaga kedai pun kau emosian, mending nggak jadi tukang kedai lah." Iya pulak. Paling cuma setoran yang tak dapat. Setoran minus, paling tak tertebus obat mamakmu, diamkan aja kan bisa? Itupun bukan pulaknya mamakmu yang asli. Tak ada setoran, Tak bisa cicil utang sama Brando. Paling tusuk Brando lagi tanganmu pakai obeng. Yang kiri kan belum.
Sialnya, Kambeng pulak lah ini. Model gaulmu, didepan siapapun kau bisa tempelengi pipinya. Padahal kau paling akrab sama dia. Cobak[11]. Sial siapa kau rasa ini? kau? apa Kambeng? apa dua-duanya? Yang jelas kakimu pasti gemetar sekarang. Di LP sana tak ada cerita siapa pembunuh, siapa pengedar, atau perampok. Sama semua. Yang lemah: Nungging. Siapa nama-nama yang didalam sekarang: Japjap, penghuni lama. Terus ada Rikki, Nelson pun baru masuk. Tongkoh! Iya'ah, aduh! Tongkoh! Ampun kita. Macam gaya Tongkoh apalagi, lima belas tahun vonisnya, lewat setengah pun belum. Sementara dia kena ciduk juga pas lagi di Parloha. Mana urusannya samamu pun belum bisa dibilang selesai.
"Kau mau nungging sendiri sekarang apa ku pijak-pijak dulu baru kutunggingkan?" katanya samamu sekali ini[12]. Habis kau.
Tapi belum keluar juga kau dari kamar mandi, masih terus ngaca di cermin. buntad[13] kau lihat mayat tadi. Dalam hatimu: “Jepri juga kayaknya mau nggak mau ini. Apa pun bilangnya sekali ini, sukak hatinya lah situ. Anak itu kadang mau muntah kalau dengerin omongannya, cuma ya cemana lagi. Jangan dulu kau tidur Jep. Nggak kau angkat teleponku, depan istrimu kau kutarik kesini. Nggak peduli aku. Tolong.”
“Tolong” Kau bilang. “Tolong.”
Buntad setengah mati kau. Katippud.
Misal kalau cemas itu idiomnya ‘kebakaran jenggot’, kalau katippud berarti kebakaran jembut.
[1] Kata makian favorit
[2] Adu argumen
[3] Hesitan
[4] Babi hutan
[5] Tidak lurus / miring kearah tertentu
[6] Bersuara dalam hati
[7] Tidak jelas
[8] Bagaimana/variasi dari ‘cemana’
[9] Tusuk
[10] Lawan
[11] Diucapkan sebagai penguat argumen. Dari kata: Coba.
[12] Segera
[13] Takut berlebih