Suara riuh rendah mulai terdengar di setiap sudut gor. Orang-orang datang memeriahkan acara turnamen bola basket tingkat kota, sekaligus mendukung sang jagoan dari sekolah mereka masing-masing.
Kansa duduk seorang diri di salah satu bangku penonton. Ia benar-benar tidak mengenal siapapun di sini, dan ia juga tidak melihat ada siswa-siswi yang berasal dari sekolahnya. Kansa benar-benar tak habis pikir, mengapa Fauzan rela membelikan tiket masuk kepada dirinya. Padahal, ia tidak akan ikut bersorak-sorak menyemangati.
"Akhirnya lo dateng juga." Terdengar sebuah suara yang tak asing di telinga Kansa.
Kansa menengok. "Iya lah gue dateng."
"Gue nggak bisa lama-lama. Gue cabut dulu!" Akhirnya suara itu menjauh dari tempat Kansa duduk.
Saat pertandingan pertama dimulai, suara riuh rendah itu berubah menjadi sangat dahsyat. Suara-suara itu bisa saja menjadi power tersendiri bagi para pemain. Namun untuk Kansa, suara-suara itu bisa membuat gendang telinganya pecah.
Pasalnya, yang bertanding kini adalah sekolahnya (SMA Nusa Caraka) lawan sekolah tetangga (SMA Bina Bangsa). Dan Kansa yakin se yakin-yakinnya jika supporter di sini berasal dari sekolah tetangga.
Dari tempat Kansa duduk, ia melihat Fauzan bergabung dengan team-nya. Lelaki itu tampak sedikit ... gagah? Entahlah, namun ada yang berbeda daripada Fauzan yang biasanya.
Saat peluit dibunyikan yang menandakan pertandingan dimulai, Kansa melihat Fauzan dengan gesitnya bergerak kesana kemari menggiring bola.
Team lawan berusaha merebut bola yang berada di tangan Fauzan. Namun nihil, Fauzan sudah menguasai bola itu sepenuhnya. Tak ada yang bisa merebut bola itu.
Sampai di tengah lapangan, Fauzan memasang kuda-kuda. Kemudian pandangannya fokus ke ring basket. Sepersekian detik, ia melayang seraya melemparkan bola itu membentuk sudut 60° ke atas.
Semua orang berseru tertahan, termasuk juga Kansa. Walaupun setelahnya ia sadar, mengapa harus berseru tertahan seperti itu.
Bola hasil lemparan Fauzan tepat memasuki ring baset. Dan disaat yang bersamaan juga, peluit panjang ditiup oleh wasit.
Sekolah Kansa unggul 3 poin dari sekolah lawannya.
"Subhanallah Kak Ojan ganteng banget," ucap salah satu penonton wanita yang sedari tadi meneriakan nama Ojan.
"Iya sih ganteng, tapi Kak Kevin dihati," jawab yang lainnya.
"Tuhkan."
"Ojan semangat!" teriak Kansa
Meskipun riuh suara di stadion suara Kansa terdengar jelas diindra pendengarannya, Fauzan menoleh kearah Kansa serta memberi sebuah senyuman tulus.
Fauzan terus mendribel bola, dan memasukannya ke ring dengan tripoint.
Akhirnya permainan usai, SMA Nusa Caraka memenangkan pertandingan. Riuh suara tepukan tangan didalam studio, serta suara sorakan dari SMA Nusa Caraka. Yang ternyata supporter-nya berada di seberang tempat Knasa duduk.
Kansa mencari keberadaan Fauzan yang hilang secara tiba-tiba, hingga, studio yang tadinya terang benerang, serta bising, kini menjadi hening dan gelap,
"Kansa Xavie Gisella." Terdengar sebuah suara dari mikrofon.
Lalu ada sebilah cahaya yang mengarah kearah Kansa, dan menyusul cahaya lainnya yang menampilkan Fauzan.
"Kansa, aku tak tahu apa yang aku impikan, kau jelas tahu itu, aku tak tahu apa yang ingin aku lakukan, dan kaupun tahu itu. Awal kita bertemu, kau sudah mampu membuat hatiku berdesir tak karuan, kau selalu ada disaat aku membutuhkan tempat untuk bersandar, kau selalu mampu membuat jantung ku berderup kencang, kau selalu mampu membuatku berjerit kengirangan, hanya karna kau mengiyakan permintaanku, untuk pertama kalinya aku merasakam cinta yang begitu amat memdalam.
Kansa aku mau, Fauzan dan Kansa menjadi 'kita'.
"Mungkin aku memang bukan tipekal cowo idaman mu secara fisual, tapi aku mampu menjadi tipemu secara batiniah, aku tak berjanji bisa membuatmu selalu bahagia seperti drama korea yang selalu kamu tonton, tapi aku akan selalu berusaha membuat mu tak menjatuhkan air matamu yang sangat berharga, aku akan selalu berusaha menjaga senyum cantikmu agar tak pudar.
"Kansa, tapi ini aku tahu apa yang aku impikan dan apa yang aku inginkan. Impian ku, aku ingin membuat dan menjaga senyum mu meskipun aku harus mengorbankan senyumku. Keinginan ku adalah, Fauzan dan Kansa menjadi kita, tidak seperti sepasang sepatu yang selalu bersama tapi tak bisa bersatu," ungkapnya lembut.
Riuh suara memenuhi studion.
"Terima terima terima."
"Arghhhh sosweeeetttt."
"Kak Ojan sama aku aja, kalo kak Kansa gamau."
"Terima."
Teriakan demi teriakan memenuhi indra pendengan Kansa.
Sebelum kesadaran Kansa pulih setelah lampu tiba-tiba menyala, serta suara teriakan menggema, pergelangan tangan Kansa ditarik oleh Fauzan dan membimbingnya menuruni anak tangga yang ada di kursi penonton, lalu membawanya ketengah-tengah lapangan.
"Kansa, kamu orang yang ketiga yang aku sayang setelah, ibu dan ayah."
Fauzan meraih telapak tangan Kansa dan menaruhnya didada Fauzan. "Berasakan? Betapa kencangnya degub jantung aku saat berada dideket kamu."
"Aku cuma minta kamu bilang, 'iya mau Ojan'," ucapnya disertai senyuman.
Jantung Kansa rasanya akan copot dari tempatnya, karena saking keras jantungnya berdetak. Pikirannya kosong, hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
Sementara di hadapan Kansa, Fauzan tengah menanti jawaban yang keluar dari mulut gadis itu.
"Terima! Terima! Terima!" teriakan seperti itu semakin menjadi-jadi. Membuat tenggorokan Kansa terasa dicekal oleh sesuatu yang mengakibatkan tidak ada satu patah kata pun yang kaluar dari mulutnya.
Kansa memutuskan untuk membalikkan badannya, memunggungi Fauzan yang masih tersenyum itu. Niatnya, Kansa ingin berlari sekencang mungkin untuk bisa keluar dari gor ini.
Namun tiba-tiba, seorang anak laki-laki berlari kencang ke arah Kansa. Sebuket mawar merah yang ada di tangan anak laki-laki itu, diserahkan darinya pada Kansa.
"Ini ada titipan untuk Kakak," ucap anak itu dengan nafas yang masih tak keruan.
Kansa menerimanya, kemudian ia melihat sepucuk surat di atas bunga mawar merah itu.
Hai, kamu pasti udah tahu siapa aku.
Kali ini, aku akan membuktikan ucapanku ke kamu saat itu. Jadi, tolong terima mawar merah pengganti mawar peach dari aku, dan tolong jawab permintaan yang udah aku omongin.
Tertanda,
(Calon) Teman hidupmu,
Fauzan.
Kansa menoleh ke arah Fauzan. Fauzan menaikkan sebelah alisnya, meminta jawaban dari Kansa secepatnya. Namun yang Kansa lakukan adalah lari dari tengah lapangan, dan meninggalkan Fauzan seorang diri di lapang.
Orang-orang di tribun berseru tertahan melihat Kansa yang tiba-tiba pergi, mereka memberikan tatapan sedih pada Fauzan yang ditinggalkan.
Tapi Fauzan tidak tinggal diam. Ia mencoba mengejar Kansa. Di luar gor, ia sudah tidak melihat batang hidung Kansa sedikit pun.
'Kansa lari ke mana sih? Kok cepet banget larinya?' batin Fauzan sembari mendengus kesal.
Plis next cepet-cepet????????????????
Comment on chapter 06