Kansa benar-benar tidak habis fikir dengan Fauzan, tindakannya yang memperlakukan ia layaknya seorang pacar. Meskipun ia memberi seribu tangkai bunga mawar, rasa ia terhadapnya akan tetap sama 'teman'.
Terbesit perasaanya menyesal dalam hatinya karena tindakan Fauzan seminggu yang lalu, yang membuat hubungannya dengan Kevin menjadi renggang, tapi tak dipungkiri ia juga berterima kasih kepada Fauzan untuk menghentikan cinta sepihak ini.
Tapi hal itu membuat Kansa merasa tak nyaman dan sedikit risih .
Ditambah lagi dengan Kevin yang selalu berhasil menggagalkan benteng bertahanannya.
Ya.
Tatapan matanya,
Senyumannya,
Harum tubuhnya,
Membuat aliran getaran yang selalu berhasil membuatnya terpaku, membuat seluruh usahanya terbuang percuma.
Mungkin memang benar,
Dimatanya Kevin secerah sinar mentari hingga sulit untuk dihindari.
Malam ini rasanya sedikit berbeda, dingin yang merasuki tubuhnya seperti menusuk, meskipun Kansa merasa suhu tubuhnya sedikit panas, tapi rasanya ia tak peduli.
Entah apa yang membuat Kansa tak sadar dengan langkahnya, hingga ia sudah berada di atas rooftop.
'Lah kok gue ada disini ya?' Batin Kansa.
'Mana dingin lagi.' Gumam Kansa yang kebingungan sendiri.
'Siapa itu, malem-malem disini?' gumamnya pelan.
"Mending gue balik lagi, dari pada di apa-apain," ucapnya pelan seraya berbalik arah dengan hati-hati.
"Kansa."
"Kok tau nama gue sih? Kek suaranya Kevin ya, tapi masa? Apa gue cuma halu?" ucap Kansa pelan, hingga tak sadar bahwa sosok tersebut sudah ada dibelakangnya.
Dan.
Grep.
Sosok tersebut memakaikan jaket kepada Kansa.
'Yatuhan siapa ini?'
'Balik badan atau engga?'
Hati dan pikirannya berkecamuk, disatu sisi hatinya berkata berbalik dan disisi lain otaknya berkata jangan berbalik.
Belum selesai Kansa berfikir ia sudah dikagetkan dengan sosok tersebut yang-
Tiba-tiba memeluknya.
Lalu berbisik.
"Harum tubuhmu bagai candu."
"Tanpa disadari pandanganmu, tatapanmu, membuat jatuh dalam pesonamu."
"Lesung pipimu yang dihiasi senyuman, membuatku memndamba."
"Namun, selalu ada hati atau pikiranku yang berkata 'bukan atau jangan'."
Kansa yakin itu suara Kevin, walaupun serak dan pelan, Kansa tak bisa berpaling bahwa itu adalah suara Kevin.
Jika iya, jantung Kansa benar-benar ingin melocat keluar saking cepatnya ia berdetak.
Jika Kansa adalah sebuah es krim atau bongkahan es batu, pasti ia sudah mencair.
"Vin, ini lo kan?" Kansa memberanikan diri untuk bersuara, meskipun masih dalam posisi yang sama.
Tapi, sama sekali tak ada jawaban.
Sosok tersebut lebih memilih mengeratkan pelukannya pada Kansa.
Dan
Hap
Satukali hentakan sosok tersebut membalikan tubuh Kansa dan menatapnya lekat-lekat.
Deg
Deg
Deg
Rasanya seperti sebuah sihir yang mampu menghipnotisnya, Kansa benar-benar tak percaya Kevin akan seberani ini, berani membuatnya jatuh cinta berkali-kali dalam pesona, ucapan dan tatapannya.
Senang? Tentu tak bisa ia pungkiri.
Walaupun Kansa yakin, Kevin tak akan pernah bertanggung jawab atas jatuhnya ia.
Sudah pasti seperti matematika.
"Kansa lo baper lo gitu-in tadi?" ucapnya dengan senyuman khas Kevin.
"Hah?"
Kansa mengerti tapi ia tak mengerti.
"Iya yang tadi gue bilang, yang gue lakuin ke lo barusan, lo baperkan? Kan? Kan?" ucapnya dengan tawa pelan,
Pret
Pret
Kansa menjepret kening Kevin, cukup keras mungkin, karena Kevin sedikit meringis.
Aw!
"Kansa!"
"Apa lo?! Emang gue apa lo, seenaknya peluk-peluk gue!" omelnya.
"Biasanya juga lo suka gue peluk-peluk," jawab Kevin dengan polosnya
Dan
Pret
Satu jepretan lagi mendarat dikening mulus Kevin.
"Kansa sakit! Kasar banget sih jadi cewe! Gasuka!" marahnya.
Kansa menyeritkan alisnya. "Bodo amat, emang siapa juga yang mau disuka sama monster kaya lo, monyet aja ogah, nih ya, Ana mau sama lo, mungkin dia lagi khilaf aja, belum dapat hidayah buat matanya!"
"Mulut lo! Mau gue cium!"
Plak
Satu tamparan yang cukup keras didaratkan di bibirnya. "Makan tuh cium!"
Kansa kesal! Benar-benar kesal, bisa-bisanya Kevin membuatnya melayang lalu dihepaskan.
Ya! Pasalnya bukan karena Kevin yang memeluknya, tapi karena perlakuan Kevin yang manis dan itu hanya candaan belaka.
Kansa memtuskan untuk pergi dari hadapan Kevin.
"Kansa!"
"Oi"
"Jangan tinggalin gue heh!"
Kevin mengejarnya, tapi Kansa sama sekali tidak peduli.
'Bodo amat'
"Dasar Kevin! Manusia tak berperas-"
Hap
Kevin berhasil meraih tangan Kansa dan menghentikan langkahnya, sebelum Kansa selesai mengumpatnya.
"Kansa sayang, jangan marah dong!"
"Jangan tinggalin gue!"
"Segitiga aja sama kaki, masa gue sendiri?!"
Ucap Kevin seraya menarik-narik Kansa.
"Apaan sih Vin! Gue mau balik ke asrama, mau tidur ngantuk, mood gue buat cari angin udah ilang! Bye!" seraya melepaskan pengangan tangan Kevin.
"Ih jangan! Sini dulu aja, gue mau lama-lama berdua sama lo," ucapnya
Dan Kansa diam tak bergeming
Bullshit
Pencitraan
"Kali ini gue serius, ga bercanda, gue minta lo temenin gue, udah lama kita ga berdua kaya gini, lo juga udah lama ga curhat sama gue, fokus lo kini kebagi dua," ucap Kevin lirih, ucapan Kevin memang membuat Kansa tersadar, hari-hari ini ia lebih sibuk memikirkan cara untuk menjauh dari Kevin, terlebih lagi Fauzan yang akhir-akhir ini sering mengacau hidupnya.
"Semenjak lo punya Ojan, lo lupa sama gue," sindirnya.
"Apaan sih Vin."
"Kansa, jujur ya, dari lubuk hati paling dalam, gue gasuka lo deket sama siapapun , mau itu Fauzan atau bukan, gue gasuka lo taken sama cowo siapapun itu."
"Terus? Gue harus jomlo demi lo gitu? Mikir dong Vin, jangan egois, gue juga butuh kali sandaran," jawab Kansa tak habis pikir.
"Iya gue mau nya gitu, gue gamau lo sama gue jadi renggang, gue aja meskipun sama Ana, gue bakalan tetep milih lo kok."
"Jadi kalo gue minta lo putus sama Ana lo mau?"
"Bukan gitu, maksud gue, kalo misalnya gue lagi sama Ana, lo minta gue dateng ke lo, gue pasti dateng ke lo-"
Kevin menghentikan ucapannya dan menarik nafas nya dalam-dalam, "kalo lo butuh sandaran, gue bisa dan selalu bisa jadi sandaran lo," ucap Kevin seraya meraih telapak tangan Kansa dan mengusap-ngusap dengan telapak tangan milik Kevin.
"Vin, dingin," ucap Kansa, yang memang tujuannya untuk mengalihkan pembicaraan.
Hufh
Hufh
Hufh
Kevin meniup-niup telapak tangan Kansa yang bertujuan untuk menghangatkannya.
Dan
Kembali
Memeluk Kansa.
Tapi Kansa tak menolak, toh mungkin ini terakhir kali nya ia sedekat ini dengan Kevin, karena kedepannya tak akan ada yang tahu.
***
Kansa sudah merasa ada pertanda tak baik ditubuhnya, namun hal itu, Kansa tepis jauh-jauh dan tetap memilih untuk masuk kelas.
Dengan berjalan ditepian seraya memegang pegangan agar tak jatuh, dengan sebelah tangan yang sesekali memegang kepalanya.
Pusing.
Mual.
Itulah yang sedang Kansa rasakan, ia kira sakitnya akan hilang, tapi nyatanya semakin lama kian menjadi, tapi percuma kini ia hampir sampai di kelasnya.
Pandangannya sudah mulai kabur dan perutnya pun merasa semakin memilit ketika ia memasuki kelas.
Lalu Kansa duduk dengan muka pusat pasi, dengan keringat dingin yang bercucuran.
"Vin! Kansa kenapa?" tanya temannya.
Kevin masih fokus dengan layar gadget yang ia mainkan.
"Vin! Liat Kansa kenapa?! Game mulu!" cerca temannya.
"Apaansih, lo kalo mau bikin gue kalah jangan bawa-bawa Kansa-gue, jangan main curang lo!" jawab Kevin yang masih fokus dengan layar gadgetnya.
Ya, Kansa mendengar samar-samar ucapan temannya yang berbicara dengan Kevin.
Kansa bangun dari duduknya, berniat menuju lokernya, untuk mengambil obat, tapi tanpa ia sangka, pandangannya mengabur dan tubuhnya terasa lemas setelah ia berjalan beberapa langkah.
Dan
Brug
Kansa tergeletak jatuh pinsan, sontak membuat satu kelas berteriak.
"Kansa!"
Kevin langsung mengalihkan pandangannya kearah Kansa, dan menaruh ponselnya asal diatas meja, dengan panik dan rasa cemas ia berlari kearah Kansa yang tak jauh dari tempat ia duduk.
"Kansa! Lo kenapa? Kansa bangun!"
Perasaan bersalah hinggap di dirinya.
"Bego lo Kevin! Bego!" ucapnya pada diri sendiri.
Tanpa perlu komando, Kevin langsung mengangkat Kansa dan membawanya ke UKS.
***
Kevin masih setia menanti mata indah Kansa terbangun, dengan menggenggam tangannya dan meminta maaf berulang-ulang, Kevin mereka bersalah, karena tidak mendengarkan ucapan temannya.
Lalu, setitik cahaya mulai memasuki indera penglihatan Kansa. Kansa sepertinya sedang berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya yang masuk dengan cara mengerjapkan matanya.
"Kansa! Akhirnya lo sadar juga," ucap Kevin senang.
Kansa mencoba duduk, tapi lagi-lagi gagal, dan kembali terbaring.
"Aw!" ringis Kansa,
"Mau gue panggilin Bu Ainun-yang notabennya adalah dokter disekolahnya- ?" tanya Kevin khawatir,
"Engga usah, kepala gue cuma pusing aja kok," cegah Kansa yang melihag Kevin beranjak pergi.
"Maaf."
"Dan makasih."
"For what?" Kansa kebingungan dengan ucapan Kevin yang dilontarkan secara tiba-tiba.
"Maaf kalre."
"Udah ngebawa gue ke UKS."
"Santai aja kali." Kevin menarik kursi untuk duduk di samping Kansa. "Kenapa sih, lo bisa sakit kayak gini?"
Kansa hanya menaikkan kedua bahunya.
"Nih, makan dulu rotinya. Abis itu minum obat terus istirahat oke?" Kevin menyerahkan satu bungkus keresek yang berisi roti dan obat-obatan. "Kalau lo sakit, hidup gue jadi sepi ...."
Demi apapun jantung Kansa rasanya akan copot dalam hitungan detik. Bisa-bisanya Kevin berbicara seperti itu disaat seperti ini.
"Ya ... sepi dalam artian enggak ada yang harus gue ganggu. Enggak ada yang bisa gue ajak ngobrol. Dan yang terpenting, enggak ada yang bisa ngerjain tugas gue."
"Kansa, gue kangen lo," gumam Kevin pelan.
"Hah?"
"Apaan?"
"Ish, dasar!"
Mendengarnya, Kansa memukul pelan tangan Kevin. Semburat merah di wajahnya tidak bisa tertahan lagi. Bagai punuk yang merindukan bulan, begitu pula Kansa yang merindukan Kevin di saat-saat seperti ini. Tanpa Ana, ataupun Fauzan.
"Serius deh, gue kangen lo." Kevin menatap mata Kansa. Menguncinya begitu saja, seolah tak diizinkan untuk melihat selain dirinya.
Kansa memerhatikan manik mata orang di hadapannya. Manik itu menyiratkan rasa kesedihan dan kehilangan. Namun, Kansa menepis semua pikiran buruknya tentang Kevin. Toh selama ini Kevin bahagia saja bersama Ana, kan?
"Apaan sih lo. Setiap hari juga ketemu.
Plis next cepet-cepet????????????????
Comment on chapter 06