Read More >>"> Come Rain, Come Shine (Bab 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Come Rain, Come Shine
MENU
About Us  

“Risa, Risa. Sini, kamu pasti terkejut.”

Risa menatap kosong pada pria bertubuh sebesar beruang melonjak-lonjak sambil duduk di sofa ruang tamunya. Hanan membalas tatapannya dengan sorot mata berbinar-binar, sehingga Risa tidak bisa melakukan apa pun kecuali mendesah kemudian menghampirinya. Hari ini Hanan datang ketika Risa sedang menonton drama Korea di kamar, jadi tidak bisa dibilang dia merasa antusias—jika dia pernah antusias dengan kunjungan wali kelas.

“Kenapa?”

“Kamu pasti tahu Bu Erna guru bahasa Jepang dan Pak Imam guru kesenian,” kata Hanan menggebu-gebu. “Mereka memutuskan menikah akhir tahun nanti! Luar biasa, ya? Tapi jangan bilang siapa-siapa karena kabar ini masih dirahasiakan dari seantero sekolah—saya kebetulan saja mendengar diskusi itu waktu hendak mengambil lembar kerja siswa yang belum dikoreksi di ruang guru.”

Berkebalikan dengan Hanan yang terlihat nyaris bergetar hebat karena tak mampu menahan antusiasme, Risa sekadar menggumam mengiakan sambil mengambil stoples kue putri salju dari meja. Hanan berhenti bergerak-gerak dan menatap Risa heran.

“Kamu tidak kaget?”

“Saya pikir mereka malah sudah menikah,” gumam Risa, kemudian memasukkan sepotong kue bulat-bulat ke mulut. “Kabar kalau mereka pacaran sudah diketahui seisi sekolah sejak saya masih baru saja masuk. Sepertinya orang-orang justru akan terkejut kalau mereka tidak berakhir di pelaminan.”

Hanan menjepit pangkal hidung menggunakan ibu jari serta telunjuk dengan dramatis. “Inilah yang tidak saya sukai dari menjadi guru baru. Saya ketinggalan banyak gosip dan orang-orang cenderung menghindar kalau saya bertanya.”

Guru macam apa yang senang menggunjing seperti ini, batin Risa sambil mengunyah, tangannya sudah mengambil satu kue lagi. Setelah dikunjungi secara rutin selama dua minggu, ada kalanya Hanan tidak membawa buah tangan apa-apa kecuali kabar terkini di sekolah, mulai dari rumor simpang-siur mengenai percekcokan anggota ekstrakurikuler seni tari hingga pasangan kontroversial antara si kutubuku dan si populer. Anehnya, lelaki itu terlihat lebih antusias dapat berbagi kabar ketimbang semua kue atau permainan papan. Pasti menyenangkan bisa menyebarkan gosip-gosip  itu pada orang yang mengurung diri di rumah.

“Kalau kamu, Risa?”

Risa tidak mendongak dari stoples. “Saya bukan orang yang tahu segala gosip.”

“Bukan itu. Maksud saya, kamu punya pacar atau tidak?”

Memakan kue dengan taburan gula serta tekstur serapuh putri salju berarti mudah sekali tersedak, bahkan hanya dengan sedikit helaan napas. Risa terbatuk-batuk, hampir menyemburkan isi mulutnya. Cepat-cepat Hanan menyodorkan gelas air mineral padanya.

“Seharusnya saya punya,” jawab Risa setelah berhasil menenangkan diri. Hanan mengembalikan gelas ke meja.

“‘Seharusnya’?”

“Seingat saya, kami tidak pernah sepakat untuk putus. Tapi, sejak saya berhenti sekolah, dia tidak pernah datang ke sini dan kami putus kontak sama sekali, jadi mungkin semuanya sudah berakhir.”

Hanan memperhatikannya lekat-lekat. “Dan kamu tidak marah?”

“Buat apa marah? Kalau duniamu sudah runtuh, keberadaan satu orang saja tidak akan mampu menyelamatkanmu dari kehancuran,” gumam Risa. Dia menutup stoples dan meletakkannya kembali ke meja. Membicarakan pacar—atau mantan pacar, apa pun status mereka sekarang—hanya mengingatkan Risa pada alasannya menerima perasaan pemuda itu, dan dia terlambat mencegah datangnya sebilah perasaan bersalah yang menghunjam dadanya. “Keberadaan atau ketidakadaan. Pada akhirnya kehilangan hanya bisa dirasakan sendiri dan tidak bisa dibagi-bagi.”

Keheningan panjang menyusul kata-kata Risa. Di kejauhan, samar-samar terdengar jingle penjual roti; hari ini Hanan datang lebih awal dari biasanya.

“Siapa namanya?” tanya Hanan tepat ketika penjual roti melintasi depan rumah Risa, membuat Risa sejenak meragukan pendengarannya. Akan tetapi, Hanan mendongak dan menatapnya dalam. “Pacarmu itu, siapa namanya?”

Risa mendengus. “Sudah saya bilang, ada atau tidaknya dia tidak akan berpengaruh pada hidup saya. Membawa dia ke sini, kalau itu sempat terlintas di benak Bapak, tidak akan berhasil membujuk saya ke sekolah.”

“Bukan itu, saya hanya kepingin tahu nama anak yang bisa-bisanya meninggalkan orang lain yang sedang ditimpa kesusahan,” sahut Hanan tegas.

“Bapak tidak akan tahu misalnya saya yang sengaja meminta dia menjauh, bukan begitu?”

“Tapi kamu tidak melakukannya, saya yakin.” Hanan tersenyum. “Kamu sendiri yang mengatakannya.”

Risa merengut. “Aldo. Namanya.”

Sekarang giliran Hanan yang hampir tersedak air. “Maaf? Aldo dari kelas kita?”

“Memang sulit dipercaya orang seperti saya bisa berpacaran dengan Aldo yang maha sempurna atau apalah titel yang mereka berikan padanya.” Risa mendesah, kemudian membuka stoples lagi. Ketimbang lapar, kini dia melakukannya lantaran sedikit salah tingkah dengan keterkejutan Hanan yang tidak ditutupi. “Tapi toh sudah berakhir. Orang-orang akan melupakan saya beserta semua cerita yang pernah menggemparkan sekolah.”

“Aldo? Aku tidak pernah menyangka,” gumam Hanan. Risa meliriknya.

“Kadang saya juga berpikir begitu.”

Hanan tergelagap karena entah bagaimana dia sempat berpikir Risa tidak akan mendengar suaranya. “Bukan maksud saya menjelekkan kamu. Cenderung sebaliknya, malahan.”

“Pak Guru tidak perlu menghibur,” kekeh Risa hambar. “Seperti kata Bapak, orang-orang datang dan pergi dalam hidup. Ada beberapa yang pergi dengan mudah, ada beberapa yang mustahil dilepaskan. Aldo dan Oci adalah dua tipe yang berbeda seperti itu dalam hidup saya.”

“Risa, satu-satunya alasan saya terkejut adalah selama ini saya mengenal Aldo sebagai—” Risa mengangkat pandangan pada Hanan dan seketika menghentikan kata-kata yang sudah berada di ujung lidah. Lelaki itu tertegun, kemudian secara mendadak tertawa sambil mengibaskan sebelah tangan di udara. “Bukan apa-apa, sama sekali bukan apa-apa. Ah, kamu ingat penjaga kantin yang masih muda itu? Putri Bu Ira? Sekarang dia sudah berhenti kerja dan melanjutkan sekolah …”

Risa sadar betul Hanan berusaha keras mengubah topik pembicaraan, tapi memutuskan untuk tidak mempertanyakan keputusan tersebut. Sejak awal hubungan mereka tidak lebih dari permainan. Dia tidak pernah menyukai Aldo sebagaimana orang-orang berpacaran pada umumnya, jadi apa pun pelintiran yang terjadi di sekolah selama dia tidak ada—berselingkuh, kedapatan berkelahi, atau malah keluar dari sekolah—rasanya tidak akan mengejutkan baginya.

 “Kamu merindukannya? Aldo?”

Risa menoleh. “Kupikir Bapak tidak mau membahasnya lagi.”

“Oh, bukan begitu. Saya hanya ... eh, berusaha melindungi perasaanmu. Saya tidak ingin membuatmu semakin terpuruk.” Hanan gelagapan. Air mukanya beriak kepanikan, dan entah kenapa Risa menganggapnya menggelikan.

“Tidak apa-apa kalau dia sudah punya pacar. Mungkin saya akan lebih kaget kalau Pak Guru tahu rumor tentang itu.”

“Yah, saya memang tahu rumor tentang itu,” kata Hanan menyesal. “Faktanya, Aldo sekarang berpacaran dengan Alika. Saya minta maaf karena tidak bisa menyimpan rahasia ini dan malah mengadu domba. Bukankah Alika sering datang ke sini untuk mengajakmu berangkat sekolah?”

“Ya, tapi dia melakukannya karena ibunya adalah teman ibuku. Kupikir jika ibunya sudah menganggapku tidak punya rasa terima kasih, dia juga senang-senang saja tidak perlu berkunjung ke sini.”

Itu bukanlah sesuatu yang pernah diberitahukan Risa kepada siapa pun, terutama kepada ibunya yang selama ini menganggap Alika sebagai malaikat tanpa sayap. Di malam ketika Alika mengiriminya pesan bahwa gadis itu tidak akan datang lagi karena Risa tampaknya tidak ingin dibantu, Risa justru merasa lega. Semakin cepat seseorang berhenti mengganggunya, semakin baik untuknya.

Dia sengaja menceritakannya kepada Hanan karena tidak ingin menganggap pertemanannya dengan Alika akan berubah menjadi musuh dalam selimut. Tidak semua persahabatan perempuan sekompleks yang digambarkan dalam media, apalagi jika sudah berkaitan dengan laki-laki.

“Begitukah? Syukurlah,” kata Hanan. “Saya sempat berpikir sudah menghancurkan hubungan baik antara dua orang. Semua anak berkata kamu dan Alika adalah teman baik.”

“Tidak perlu khawatirkan itu.”

Hanan tersenyum. “Kamu dewasa sekali, Risa.”

~~~

Dewasa? Dirinya?

Risa memandangi langit-langit, sekarang warnanya kelabu pekat dengan larik panjang yang disebabkan cahaya lampu jalan yang menerobos ventilasi kamar. Dia menyetujui permintaan Aldo untuk berpacaran demi membungkam rumor buruk tentangnya yang mulai menyeruak, dan rasanya keputusan itu tidak benar-benar tepat untuk disebut dewasa. Jika dia dewasa sungguhan, dia akan berdiri di depan semua orang dan membantah rumor tersebut secara gagah berani.

Tidak, tunggu. Dia tidak bisa melakukannya. Semuanya akan lebih buruk kalau dia berusaha membantahnya—dia sudah pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Jika dia dewasa sungguhan, dia pasti bisa menemukan jalan keluar dan mungkin Oci masih akan berada di sisinya ...

Dengan cepat Risa beranjak duduk, tidak sanggup membiarkan kepalanya kembali dipenuhi momen terakhir Oci di depan matanya. Dia bergegas menyalakan lampu, kemudian bersimpuh di samping tempat tidur, menarik keluar papan alas puzzle baru yang diberikan Hanan beberapa hari yang lalu. Yang ini lebih sulit dari sebelumnya, dan dia bersyukur bisa mendistraksi pikirannya dengan semua kepingan berpola abstrak tersebut.

Selama beberapa saat, dia berkonsentrasi pada keping-keping serta gambaran yang perlahan terlihat semakin masuk akal. Tampaknya yang sekarang adalah pemandangan stasiun kereta api, dengan banyak sekali pipa serta pilar yang sekilas terlihat sama. Risa menyatukan dua kepingan yang menjadikan satu sudut bergambar peron stasiun sempurna.

Namun, dengan cepat kepuasannya hilang saat sekali lagi percakapannya bersama Hanan terlintas di pikirannya. Ada berbagai kemungkinan Aldo mendadak memintanya jadi pacar, tapi yang paling masuk akal adalah pemuda itu sekadar mencoba mengetes rumor yang mengelilingi Risa. Selama mereka menghabiskan waktu berdua pun—menit-menit panjang membosankan yang disebut Aldo sebagai ‘kencan’—Aldo tidak pernah berhenti bertanya soal Oci. Ketika itu, Risa menganggap Aldo hanya tertarik dengan Oci, tapi jika dipikir sekarang, pemuda itu mungkin berusaha menjadi orang pertama yang mengetahui kebenaran.

Lucu. Anak seperti Risa, yang baru saja memahami niatan-niatan terselubung orang lain setelah berminggu-minggu, tidak pantas disebut dewasa. Ingin rasanya dia menghubungi Hanan sekarang juga demi membantah anggapan lelaki itu tentangnya. Dia akan berkata, Tidak, Pak, saya hanya anak naif yang tidak tahu apa-apa dan tidak sanggup menyelamatkan siapa-siapa.

Risa mencampakkan puzzle dan menggulingkan badan ke lantai, memandangi kolong tempat tidurnya yang remang dan dipenuhi barang-barang yang sudah lama terlupakan. Benda-benda yang tidak terlihat seperti itu, pikirnya, memang pantas untuk dilupakan. Dengan cara yang sama pula dia bermaksud membuat dirinya tersembunyi jauh sekali di balik bayang-bayang yang tidak lagi diingat oleh teman-temannya. Sama seperti Oci. Pada akhirnya, dia dan Oci akan menjadi tidak lebih dari sekadar legenda yang simpang siur, sesuatu yang lebih mirip mitos daripada cerita nyata.

Sebelum keinginannya tercapai, bagaimanapun, terlebih dulu dia harus membuat Hanan berhenti mengunjunginya. Sampai sekarang pun Risa tidak percaya lelaki itu begitu persisten mendekatinya, seolah-olah Hanan yakin Risa memang bisa dibujuk kembali ke sekolah dengan segala hadiah dan iming-iming. Lelaki itu lebih pantas tinggal di dalam novel picisan menjadi wali kelas yang baik tapi sering diusili siswanya sendiri.

Ujung bibir Risa terangkat mengingat ekspresi Hanan saat mencoba mengelak dari berita Aldo dan Alika. Lelaki itu sungguh stereotipikal, dan pandangannya terhadap perempuan juga sama-sama stereotipikal. Risa membayangkan Hanan dibesarkan di lingkungan yang sangat normal, seperti poster dalam program Keluarga Berencana tahun sembilan puluhan.

Berapa sebenarnya usia Hanan? Di mana dia berkuliah? Risa baru sadar dia tidak tahu apa-apa tentang Hanan. Selama ini dia melihat Hanan sebagai pria yang selalu mengenakan seragam PNS (setidaknya dia sudah cukup tua untuk menjadi pegawai negeri?) atau kemeja batik, dengan sepatu hitam mengkilat dan celana yang selalu memiliki lipatan setrika di bagian depannya. Dua minggu yang lalu Risa menganggap itu semua sebagai gambaran yang memuakkan, tapi sekarang penampilan Hanan lebih terkesan sebagai identitasnya, seperti Charlie Chaplien dengan kumis tebal seperta topi bulatnya.

Hanan. Risa memejamkan mata dan membiarkan wali kelasnya muncul di balik kelopak mata. Jika pun mendapat tekanan dari kepala sekolah, misalnya, untuk mengajak Risa kembali ke sekolah, Hanan tampaknya terlalu bersemangat untuk melakukan itu. Membanjirinya dengan hadiah, selalu sabar menghadapinya, tidak pernah bosan mengajaknya ... apa lelaki itu tidak punya kehidupan di luar pekerjaannya? Kalau sudah menikah, istrinya pasti membenci Risa mati-matian, tapi meskipun belum, seharusnya Hanan meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan di hari Minggu lelaki itu datang dan menemani Risa setengah hari. Determinasi Hanan sungguh di luar ekspektasi awal Risa.

Selama sejenak Risa membiarkan kepalanya kosong, kemudian dengan hati-hati dia mencoba meletakkan dirinya di sekolah. Tidak lagi bersama Oci, melainkan bersama Hanan. Dia mencoba mencari kegembiraan dari itu, perasaan aman dan tenang yang mungkin bisa didapatkannya dari Hanan, mengingat mereka sudah cukup lama bersama-sama.

Dia berada di koridor sekolah, mengobrol bersama Hanan yang kebetulan berpapasan dengannya, mereka berdua tertawa-tawa …

Namun, Hanan justru membalikkan badan dan Oci berganti menampakkan diri di depan Risa, membuatnya sontak membuka mata lebar-lebar dan terkesiap keras. Dia kembali menatap kolong tempat tidurnya, yang kini tampak menakutkan, kemudian cepat-cepat merangkak naik ke ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.

Itu bukan Oci yang terkadang melintas dalam bentuk kelebatan memori. Itu adalah Oci yang menangis, rambutnya berkibar diempas angin malam, kedua tangannya mencengkeram kosen jendela kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Aku tidak tahu ini juga berat untukmu, Ris. Seandainya saja sejak dulu aku tahu ...”

Itu adalah Oci terakhir yang dilihat Risa sebelum segala insiden terjadi.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
4856      1303     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Satu Koma Satu
14781      2700     5     
Romance
Harusnya kamu sudah memudar dalam hatiku Sudah satu dasawarsa aku menunggu Namun setiap namaku disebut Aku membisu,kecewa membelenggu Berharap itu keluar dari mulutmu Terlalu banyak yang kusesali jika itu tentangmu Tentangmu yang membuatku kelu Tentangmu yang membirukan masa lalu Tentangmu yang membuatku rindu
High School Second Story
3668      1119     5     
Romance
Pekrjaan konyol yang membuat gadis berparas cantik ini kembali mengingat masa lalunya yang kelam. Apakah dia mampu menyelesaikan tugasnya? Dan memperbaiki masa lalunya? *bayangkan gadis itu adalah dirimu
Grey
201      167     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
An Invisible Star
1798      938     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
Ketos in Love
901      532     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
Meja Makan dan Piring Kaca
49942      7424     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Sekotor itukah Aku
19910      3165     5     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
Warna Untuk Pelangi
7435      1553     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
My Reason
611      397     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."