Hanan memindah persneling pada posisi parkir, lalu menutup mata dan memfokuskan perhatiannya pada udara yang pelan-pelan dihirupnya lewat hidung dan pelan-pelan dikeluarkan melalui mulut dalam interval terukur. Baru setelah beban di pundak serta kepalanya terurai, lelaki itu kembali membuka mata, sudut-sudut bibirnya ikut terangkat membentuk senyum lebar.
Hari ini pun akan mengasyikkan, bujuknya pada diri sendiri seraya meraih ransel serta kotak kue yang diletakkannya di bangku belakang. Jika fokus pada hal-hal positif, dia akan mendapati dirinya sudah mengalami banyak kemajuan dalam kurun waktu hampir satu bulan. Risa mulai menyampaikan opini tanpa disetir kemarahan, juga menunjukkan penerimaan yang semakin nyata terhadap kedatangannya. Tempo hari Risa menunjukkan puzzle kesekian yang sudah tuntas dengan kebanggaan khas remaja yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hanan menawarkan puzzle dengan tingkat kesulitan lebih tinggi dan Risa, secara mengejutkan, menerima tantangannya. Dia selalu tahu Risa suka tantangan dan benci kekalahan, sebagaimana yang ditunjukkan gadis itu dalam beberapa hari pertama pertemuan mereka di kelas.
Hal negatifnya, tentu saja, dia belum berhasil membujuk Risa untuk kembali ke sekolah. Mendekatinya saja tidak. Sedikit-sedikit Hanan memahami perasaan tidak ingin mendapatkan keberhasilan sedangkan orang yang kausayangi tidak akan mampu melakukannya lagi, tapi keengganan Risa berada di level yang sama sekali berbeda. Sepertinya entah bagaimana Risa menganggap kematian Oci adalah beban tanggung jawabnya, sesuatu yang harus ditebusnya dengan penderitaan yang diciptakannya sendiri. Hanan sudah berusaha mencari tahu apakah mungkin Risa dan Oci sempat bertengkar sebelum insiden tersebut, tapi anak-anak didiknya yang lain berkata kedua gadis itu terlihat seakrab biasanya.
Mungkin mereka bertengkar di perjalanan pulang? Mungkin Risa bercanda keterlaluan dan ditanggapi serius oleh Oci?
Kemudian kebiasaan Risa menarik-narik rambut kala tertekan. Hanan selalu ngilu setiap kali mengintip kulit kepala Risa yang kemerah-merahan dengan helaian rambut yang selalu tersangkut di ruas-ruas jari. Yang paling membuatnya terkejut, bagaimanapun, adalah kenyataan bahwa Risa sadar tapi tidak mau menghentikan kebiasaan tersebut. Jika memang berhubungan dengan kematian Oci, satu-satunya yang bisa dipikirkan Hanan adalah gadis itu berusaha menghukum diri sendiri.
Hanan terlonjak ketika jendela di samping pelipisnya diketuk beberapa kali. Dengan cepat dia menoleh, hanya untuk menemukan Risa mengangkat alis keheranan di luar mobil. Hanan menurunkan kaca jendela.
“Saya terkejut.”
“Dan langit berwarna biru,” sahut Risa, lalu mengedikkan dagu ke arah rumah. “Silakan masuk, Pak, kecuali Bapak sudah menunggu terlalu lama dan memutuskan hendak pulang.”
“Ei, kamu tahu itu tidak mungkin terjadi,” jawab Hanan, kembali menutup jendela dan mematikan mesin, kemudian cepat-cepat menyusul Risa. Gadis itu sedang menenteng kantong plastik berisi beberapa jenis sembako. Sepenuhnya dikarenakan kebiasaan, Hanan meraih kantong plastik itu dari tangan Risa.
Risa memberengut dan menjejalkan kedua tangan ke kantong parka. “Apakah Bapak sungguh-sungguh merasa perempuan tidak sanggup melakukan hal semacam ini? Karena perempuan serapuh bunga kaca yang bisa pecah kapan saja?”
Harus diakui terkadang Risa mengatakan hal-hal yang mengejutkan Hanan. Biasanya siapa pun yang dibantu akan mengucapkan terima kasih. “Saya ... tidak berpikir begitu?” gumamnya setengah bohong. “Omong-omong, kamu anak berbakti, Risa. Selalu berbelanja untuk membantu ibumu.”
“Saya suka jalan-jalan,” jawab Risa sambil menarik gerendel gerbang pagarnya. “Selain itu, lebih baik disuruh belanja daripada berangkat ke sekolah.”
Hanan meringis. “Kamu benar-benar tidak mau berangkat?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
Risa menatap Hanan seolah baru saja mendengar pertanyaan paling konyol di seluruh dunia. “Sudah berapa kali saya menyebutkan alasannya, Pak?”
“Dan sudah berapa kali pula saya bilang saya mengerti. Hanya saja, aneh rasanya melihat seorang anak diam di rumah, padahal dia bisa melakukan begitu banyak di sekolah.”
Hanan baru sadar dirinya telah membuntuti Risa sampai ke dapur. Gadis itu menunjuk konter dapur, dan dengan patuh Hanan meletakkan kantong plastik di sana seraya diam-diam memperhatikan interior dapur yang minimalis sehingga terlihat bersih dan lapang. Kendati berada di perumahan tua yang berada di pinggiran kota, dengan bagian luar yang sama-sama tampak bobrok, agaknya bagian dalam rumah Risa sudah dirombak habis-habisan menjadi gaya Skandinavia yang dipenuhi cahaya matahari dari jendela-jendela besar dan didominasi warna putih serta cokelat kayu.
“Banyak hal di sekolah?” gerutu Risa, membuat Hanan secara sukarela menoleh ke arah gadis yang merengut sambil menata barang-barang yang baru saja dibelinya sesuai tempat masing-masing. Minyak di laci sini, tepung di sebelah sana, telur di dalam lemari es—dia terbiasa melakukannya. “Satu-satunya yang saya ingat dari sekolah adalah anak-anak ambisius yang haus perhatian.”
“Kamu juga salah satu dari mereka,” tegur Hanan. Risa menggeleng kuat.
“Saya tidak pernah tertarik ikut ekstrakurikuler atau apalah.”
“Tetap saja, kamu seharusnya cari banyak pengalaman selagi masih muda. Waktu tidak bisa diputar ulang, dan segera setelah kamu menginjak dunia dewasa ...” Hanan tidak bisa melanjutkan ketika Risa sudah menatapnya dengan sorot mata jangan-mengguruiku yang semakin familiar baginya. Dia berdeham, lalu menyusurkan jemari tangan ke rambut pendeknya. “Poin saya adalah kamu tidak bisa mengurung diri lama-lama di rumah. Tidak baik.”
“Sepertinya Pak Guru salah paham,” dengus Risa sambil mulai melipat kantong plastik menjadi segitiga mungil yang padat. Gerakan tangannya cekatan. “Hanya karena saya tidak berangkat ke sekolah, tidak berarti saya tidak pernah jalan-jalan ke luar dan melakukan banyak hal. Sudah saya bilang, saya tidak penyakitan; saya hanya menyadari sudah tidak ada artinya pergi ke sekolah.”
“Ke mana kamu pergi?” tanya Hanan, berusaha tidak terdengar menantang.
“Ke mana pun saya mau, karena saya punya banyak waktu.” Tapi Risa telanjur menangkap tantangannya. Mata gadis itu berkilat-kilat penuh kemenangan. “Saya bisa bisa jadi tenaga sukarela di posyandu kalau saya mau. Saya membantu persiapan pengajian di rumah tetangga. Apakah salah satu murid Bapak bisa melakukannya? Tidak, mereka hanya mempelajari konsep mistis tentang integral dan diferensiasi.”
Sebagai guru matematika, ingin rasanya Hanan memprotes bahwa integral dan diferensiasi sama sekali tidak berkonsep mistis, tapi bukan itu inti dari percakapan mereka. “Kamu membantu di posyandu?”
Risa bergerak memunggunginya untuk menyimpan kantong plastik, tapi mungkin juga berniat menghindar. “Kenapa memangnya?”
“Kamu bisa memakai waktu itu untuk sekolah,” sahut Hanan gemas. “Kamu bisa menjadi sukarelawan di mana-mana saat liburan, bukan begitu?”
Risa diam saja. Sejujurnya Hanan akan jauh lebih memahami seorang anak yang murung dan, katakanlah, tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, agaknya Risa lebih aktif dari kebanyakan ibu rumah tangga ketika gadis itu seharusnya menyalurkan waktu serta tenaganya untuk pergi ke sekolah.
Jika begini jadinya, Hanan semakin mempertanyakan alasan Risa menolak pergi ke sekolah. Benarkah karena perasaan bersalah pada Oci?
“Baiklah,” kata Hanan menyerah. “Di mana ibumu?”
“Berwisata bersama kelompok PKK,” jawab Risa nyaris tanpa membuka mulut, Hanan hanya bisa memperkirakan kalimatnya. Yang jelas, wanita itu tampaknya tidak akan pulang dalam waktu dekat. Hanan menarik napas panjang.
“Ikut saya.”
Dengan cepat Risa mendongak, matanya terbelalak. “Ke mana?”
“Jalan-jalan.” Hanan merogoh saku untuk memastikan kunci mobilnya masih berada di sana. “Saya akan kirim SMS untuk minta izin pada ibumu, kalau itu membuatmu merasa lebih baik. Intinya, saya ingin mengajak kamu jalan-jalan.”
Risa semakin tampak ngeri, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Mungkin dia sedang mempersiapkan tinjunya. “Apa-apaan. Jadi ini yang terjadi kalau ibu saya tidak di rumah!”
“Apa pun yang kamu pikirkan itu tidak benar. Tidak sampai satu jam, lalu saya akan langsung mengantar kamu pulang.”
“Jalan-jalan ke mana?” desak Risa. Ketegangan gadis itu, walaupun semestinya dapat dipahami, mau tidak mau membuat Hanan tertawa. Barulah ketika Risa memelototinya, Hanan berdeham dan mengubah ekspresinya menjadi serius.
“Ke sekolah.” Air muka Risa menjadi pias. Hanan menyadari betul perubahannya. “Cuma lewat. Atau kita bisa jalan-jalan di dalam, kalau kamu mau. Lagi pula, semua pelajaran sudah selesai satu jam yang lalu, ingat?”
“Kalau saya tidak mau?” pancing Risa, tapi dia terlihat dapat memelesat kabur kapan saja.
“Saya tidak punya sesuatu yang bisa dijadikan konsekuensi—kenapa pula saya harus menghukum seorang anak hanya karena dia menolak permintaan saya?” Hanan mencengir lebar. “Tapi mungkin kita bisa beli sesuatu yang kamu sukai di perjalanan pulang. Saya sudah bawa kue lapis, tapi siapa tahu kamu suka jenis kue yang lain? Hari ini kamu bisa memilih sendiri hadiahmu.”
Risa merapatkan bibir. Otot-ototnya masih kaku, Hanan dapat melihat itu. Kalau mendengar gagasan akan pergi mengunjungi sekolah saja sudah memberikan efek seperti itu, tampaknya Risa memang memiliki kebencian—atau malah ketakutan?—yang nyata terhadap sekolah. Sepertinya bukan hanya karena Oci tidak lagi berada di sana untuk menyambutnya.
“Sebentar lagi malam, Risa. Kamu pasti tidak mau berkendara dalam kegelapan bersama saya.”
“Tunggu di sini,” kata Risa singkat, lalu dia berderap menaiki tangga. Hanan menggerakkan pandangannya ke langit-langit, mengikuti arah dentam langkah Risa di lantai atas, kemudian memutuskan menunggu di ruang tamu. Kendati Bu Tyas tidak berada di rumah, rasanya tidak nyaman berlama-lama berdiri di bagian rumah yang biasanya dijadikan area pribadi.
Paling tidak, sekarang Hanan bisa secara leluasa memperhatikan rak pajangan yang memenuhi satu sisi dinding ruang tamu. Sejak pertama kali masuk, dia sudah tertarik pada berbagai cinderamata dari berbagai negara yang ditata rapi di setiap kolom rak panjang tersebut, dan sekarang dia bisa mengamat-amati secara saksama.
Tampaknya keluarga Risa sering bepergian ke luar negeri—atau itu berkaitan dengan pekerjaan ayahnya? Miniatur sepatu kayu dari Belanda, sepasang patung mungil yang mengenakan hanbok, piring pajangan bergambar tembok Cina, hiasan kaca menara Petronas ... Secara mengejutkan, benda-benda stereotipikal seperti ini justru memberikan kesan yang sederhana dan nyaman. Hanan semakin merunduk dan menemukan sederet foto keluarga berpigura yang berlatar belakang lokasi terkenal di berbagai negara, mulai dari patung Merlion, Opera House, hingga tembok Berlin. Di semua foto itu, Risa memperlihatkan senyum yang tidak pernah diketahui Hanan.
“Ayo, Pak.”
Hanan terperanjat dan buru-buru menoleh, tapi sekali lagi dia dikejutkan oleh penampilan Risa yang serba tertutup, mulai dari tudung parka yang dinaikkan, masker, hingga kacamata berbingkai tebal. Kalau tidak sedang berada di rumah yang bersangkutan, Hanan tidak akan mengenali Risa.
“Kamu sedang apa?”
“Katanya kita mau berangkat ke sekolah,” gerutu Risa. “Saya sudah siap. Ayo berangkat.”
Seketika itu pula Hanan tidak bisa menahan tawa karena Risa sungguh terlihat konyol. Risa menyipitkan mata kesal. “Maaf, maaf,” engah Hanan. “Kamu kelihatan seperti artis yang menolak keberadaan papparazzi. Apakah semua ini diperlukan?”
“Aku tahu apa yang paling baik untukku,” Risa membantah meski Hanan dapat mendengar nada malu di dalamnya. “Ayo segera berangkat, sebelum saya berubah pikiran.”
“Baiklah.” Hanan mengulum senyum dan keluar lebih dulu karena Risa harus mengunci pintu. Sore sudah menjelang, langit bersemburat oranye bercampur ungu di balik untaian kabel listrik serta pucuk-pucuk antena televisi perumahan. Mengingat Hanan pergi ke rumah Risa sebelum bel pulang sekolah, bisa jadi masih ada beberapa anak yang berkeliaran di sekolah, tapi dia sengaja tidak mengatakan ini pada Risa.
Hanan menunggu sampai Risa selesai menggembok pagar, kemudian membukakan pintu penumpang ketika gadis itu berjalan ke mobil. Sesuai dugaan, Risa memelototinya marah, tapi jujur saja Hanan sedikit menikmati kekesalan gadis itu padanya. Setidak-tidaknya, Risa sudah merasa cukup nyaman untuk mengekspresikan ketidaksukaannya. Hanan ingat di hari pertama dia datang berkunjung, Risa berwajah datar, tapi sekonyong-konyong menamparnya. Atau mendadak menangis. Perubahan ekspresi secara berangsur-angsur seperti ini jauh lebih baik daripada ledakan tiba-tiba.
“Jadi,” kata Hanan ceria setelah memutar ke bangku kemudi dan mengenakan sabuk pengaman, “akhirnya kita bisa pergi ke sekolah walaupun tidak dalam artian yang saya inginkan. Yah, selangkah demi selangkah, bukan begitu.”
Risa menggumamkan sesuatu dan melipat kedua lengan di depan dada, wajahnya dipalingkan. Hanan hanya bisa mengulum senyum sambil mulai melajukan mobil. Pada dasarnya dia tahu Risa anak yang manis; berdasarkan pengakuan guru-guru lain, gadis itu tidak pernah menimbulkan masalah dan sebenarnya malah bisa diandalkan jika dimintai bantuan. Entah disebabkan didikan orang tuanya atau ada alasan lain, menolak permintaan seorang guru merupakan sesuatu yang jelas-jelas terlihat sulit dilakukan.
Seandainya saja Hanan bisa memotong jalur damai ini dan menggunakan otoritasnya sebagai guru untuk memaksa Risa kembali ke sekolah. Sayangnya, hal itu berkebalikan dengan prinsipnya, dan di atas itu semua, tidak salah lagi kepercayaan Risa padanya akan seketika hancur lebur.
“Rumahmu jauh sekali,” komentar Hanan, menyadari percakapan tidak akan mengalir jika bukan dia yang memulainya. “Dulu, ketika kamu masih sekolah, pukul berapa kamu berangkat?”
“Enam kurang,” jawab Risa. Hanan berdecak-decak kagum.
“Kalau anak lain—atau bahkan saya—sepertinya akan terlambat setiap hari. Kudengar kamu tidak pernah terlambat datang ke sekolah.”
“Tidak sekali pun selama hampir sebelas tahun bersekolah,” Risa membenarkan. Ada nada bangga yang tak terbantahkan dalam suaranya, sehingga mau tidak mau membuat Hanan tersenyum.
“Itu bagus. Kamu bisa mempertahankan rekor itu selama dua belas tahun. Saya yakin tidak banyak yang dapat melakukannya.”
Risa sudah membuka mulut, tapi kemudian menoleh dengan jengkel. Hanan menawarkan satu senyum polos. Melengos, Risa kembali menatap ke depan. “Saya tidak akan jatuh dalam perangkap Bapak.”
“Saya hanya tidak paham, Risa. Kamu pintar, cekatan, disukai guru, tidak punya masalah dalam mengatur waktu ... Apa lagi yang kurang dari semua itu?”
“Oci.”
Hanan melirik ke samping, sebisa mungkin mempelajari ekspresi wajah Risa dalam sepersekian detik saja. “Kamu perlu Oci untuk pergi ke sekolah?”
“Lagi pula, dari mana datangnya kesimpulan saya disukai guru? Itu hanya anggapan Bapak,” sahut Risa. Dia berusaha melompati topik Oci, yang entah kenapa dicetuskannya barusan. Hanan ingin menggali lebih lanjut, tapi di waktu yang sama dia tidak bisa mengambil risiko besar setelah berhasil mengajak Risa mengunjungi sekolah.
“Siapa bilang? Saya berusaha mengisi kekurangan dengan bertanya sana-sini—saya bahkan tahu guru favoritmu adalah Pak Setya dan kamu pernah membantu beliau mengoreksi ulangan kelas lain karena kepercayaan beliau padamu.”
Berkebalikan dengan sangkaan Hanan, yang berpikir Risa akan merengut malu tapi tidak menyangkal semua itu, gadis yang sedang dibicarakan justru diam seribu bahasa. Untungnya mereka sedang terjebak kemacetan, jadi Hanan bisa menoleh, dan dihadapkan pada seraut wajah yang pucat pasi.
Itu, pikir Hanan, adalah ekspresi yang sama ketika dia bertanya bagaimana reaksi Oci saat mengetahui Risa merokok. Tapi, yang ini jauh lebih buruk. Seolah-olah, bukan lagi sekadar kegelisahan, Risa merasa ketakutan atas sesuatu yang baru saja diucapkan Hanan.
“Risa?” panggil Hanan hati-hati. Risa tersentak dan membalas tatapannya.
“Apa lagi yang mereka bicarakan?” tanya Risa, nadanya nyaris memohon. “Apa Bapak cuma bertanya pada guru-guru? Apa saja yang mereka bicarakan tentang saya?”
Hanan tertegun sejenak. “Saya juga tanya teman-temanmu”—dengan cepat dia menahan tangan Risa yang sudah terangkat—“mereka semua bilang kamu anak yang rajin dan menyenangkan, jadi mereka menyayangkan keputusanmu untuk beristirahat dari sekolah. Dari para guru, tidak banyak, kecuali kamu adalah anak yang patuh.”
Tangan Risa gemetar di balik genggaman Hanan. Karena kendaraan di depannya sudah mulai merambat, Hanan harus menghadap depan lagi, tapi dia tetap memegang tangan Risa dan menahannya di atas pangkuan.
“Tidak ada yang bicara buruk tentangmu, Risa,” katanya berusaha menenangkan. Tidak, seharusnya terlebih dulu Hanan menenangkan diri sendiri—sungguh, siapa yang menyangka Risa akan berubah hanya dengan mengetahui bahwa Hanan mencari tahu kepada banyak orang? “Dengar, saya minta maaf kalau saya entah bagaimana menyinggungmu. Apakah kita harus berbalik ke rumahmu?”
Risa menampar punggung tangan Hanan dengan tangan yang lain. “Saya baik-baik saja,” gumam Risa. “Sudah saya bilang, saya bukan penyakitan. Mari bicarakan hal lain saja.”
Sepertinya sampai akhir Risa benci diperlakukan dengan penuh perhatian. Hanan mengembalikan tangan kirinya ke setir, lalu, sesuai permintaan Risa, dia mulai membicarakan kemacetan serta teman-temannya semasa SMA yang kini menjadi polisi.
“Saya selalu meneliti wajah para polisi pengatur lalu lintas,” katanya, “siapa tahu saya bisa bertemu teman lama. Bukankah mengenal seorang polisi membuatmu merasa setingkat lebih hebat dari para pengendara lain?”
Satu ujung bibir Risa terangkat, tapi gadis itu cepat-cepat mengerucutkan bibirnya, menyembunyikan senyum. Diam-diam Hanan mengembuskan napas lega. Tampaknya dia sudah berhasil menangani masa kritis.
“Kenapa bukan Bapak saja yang jadi polisi? Pasti cocok sekali,” gerutu Risa.
“Saya buta warna.” Risa menoleh kaget dan Hanan hanya bisa mencengir malu. “Tapi jangan bilang siapa-siapa. Selain itu, saya lebih suka mengajar anak-anak daripada para pengemudi yang bandel. Bisa seterusnya berada di SMA membuat saya merasa gembira.”
Risa memalingkan muka. “Tidak ada yang menyenangkan dari SMA.”
Hanan tersenyum kecil, tapi tidak menyanggah pendapat barusan. Memang sedikit ganjil jika menganggap Risa enggan pergi ke sekolah sepenuhnya karena loyalitas terhadap Oci—gadis itu tidak pernah secara eksplisit berkata tidak ingin meninggalkan Oci sendirian. Sebaliknya, Risa berkali-kali berkata dia tidak ingin pergi ke sekolah karena Oci tidak ada di sana untuk menyambutnya. Ditambah dengan reaksinya saat mendapati Hanan telah menanyakan kesan dirinya kepada warga sekolah ...
Ini hanya asumsi, tapi mungkin Risa tidak ingin pergi ke sekolah karena sesuatu yang dilakukan teman-teman sekelas padanya. Sudah atau akan dilakukan. Dengan cepat Hanan mengingat-ingat ekspresi wajah anak-anak didiknya saat secara kasual dia menanyakan Risa kepada mereka. Dia ingat beberapa anak cekikikan sebelum menjawab, yang lain saling lirik seolah sedang bersepakat satu sama lain, satu atau dua mengernyit, dan barulah segelintir sisanya yang tampak netral.
Sebelumnya, Hanan berpikir itu adalah reaksi wajar terhadap anak yang sudah terlalu lama tidak hadir di sekolah, tapi mungkin ada yang lebih daripada itu. Hanan mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah mengunjungi sekolah di momen seperti ini adalah keputusan yang tepat.