Read More >>"> Come Rain, Come Shine (Bab 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Come Rain, Come Shine
MENU
About Us  

Risa dibangunkan oleh jingle salah satu merek roti yang diulang-ulang dari pedagang bersepeda motor yang baru saja lewat. Langit-langit di atasnya tampak begitu terang, jadi mungkin sekarang sudah lewat tengah hari. Dia menghela badannya hingga duduk, menggosok-gosok wajah yang terasa lengket karena tidur terlalu lama, lalu akhirnya mengedarkan pandangan ke seputar kamar. Tidak ada yang berbeda, tentunya, kecuali untuk satu stoples yang berdiri di meja belajar. Cahaya matahari menyiram permukaan kacanya dan membentuk pantulan menyilaukan, sedangkan tumpukan bebintangan di dalamnya ikut berkerlip ceria.

Seketika suasana hati Risa anjlok ke dasar. Bagaimana mungkin dia sempat melupakan kedatangan Hanan ke sini, ke kamarnya. Dia menggaruk-garuk kulit kepala secara frustrasi, kemudian melontarkan kedua kaki ke lantai, dengan cepat menyeberangi kamar menuju meja belajarnya. Dia menyambar stoples, sepintas mengamati setiap butir bintang yang bahkan tidak terbentuk dengan rapi tersebut, sebelum meletakkannya lagi dan pergi ke kamar mandi.

Sejak awal Hanan memang terkesan klise dan kampungan, tipikal pria muda penuh ambisi yang barangkali memutuskan menjadi guru karena mencoba membalas budi gurunya di desa dulu atau apalah. Risa ingat lelaki itu satu-satunya anggota upacara yang tampak terharu saat proses pengibaran bendera, sekaligus satu-satunya yang mendengarkan amanat pembina upacara dengan wajah teramat serius. Ketika itu Risa menyenggol siku Oci untuk memberitahunya, dan mereka cekikikan sepanjang sisa upacara sampai seorang guru memukul kepala masing-masing menggunakan penggaris.

Risa menggertakkan rahang dan membasuh mukanya dengan banyak-banyak air dingin. Mengenang Oci selalu meninggalkan rasa tidak enak di tubuhnya, seperti dia hendak jatuh sakit. Risa memutar kenop air sampai tertutup rapat, kemudian mengangkat kepala memandang pantulannya. Seorang gadis dengan rambut rapuh balas menatapnya lesu di seberang sana, berkulit kusam dan ujung-ujung bibir melorot.

“Ris!” panggil ibunya dari bawah. Risa memalingkan muka dari cermin dan meraih handuk dari cantolan di balik pintu.

“Ya, Bu.”

“Pak Hanan datang untukmu, Nak.”

Lagi? Risa meremas handuk kuat-kuat hingga kukunya terbenam di balik serat yang kasar. Dia sungguh-sungguh tidak memerlukan belas kasihan, apalagi yang sangat blakblakan hingga terkesan tak tahu malu seperti yang dilakukan Hanan.

Apa yang sebenarnya diharapkan Hanan? Risa tergugu menangis menyadari dirinya telah menghabiskan waktu secara sia-sia, kemudian bersumpah akan kembali ke sekolah? Hal itu tidak akan terjadi. Dengan marah Risa menyampirkan handuk lagi, kemudian keluar dari kamar mandi dan beranjak ke kamarnya, tapi tidak seorang pun di sana.

Suara Hanan yang berat terdengar di bawah. Risa menuruni tangga dengan langkah menandak-nandak, lalu memasuki ruang tamu tempat ibunya dan Hanan sedang mengobrol seru di hadapan cangkir teh panas serta sepiring potongan kue lapis.

Samar-samar perut Risa berkeruyuk. Benar juga. Dia belum makan apa-apa.

Hanan menertawakan sesuatu yang dikatakan Bu Tyas, tapi serta-merta terhenti begitu mendapati Risa berdiri di ambang ruang tamu. Tawanya berubah menjadi batuk penuh arti; Bu Tyas menoleh.

“Nah, ini dia anaknya.” Bu Tyas beranjak berdiri, tatapan matanya bergelimang peringatan seperti kemarin, tapi Risa sengaja melengos. Lagi-lagi Bu Tyas tertawa kendati siapa pun dapat mendengar kejengkelan merembes di antara napasnya. “Maaf ya, Pak Guru, anak saya memang sangat merepotkan.”

Hanan tersenyum simpul. “Tidak, Bu. Memang sudah tugas saya.”

Risa tidak mengatakan apa-apa sampai ibunya menyingkir dari ruang tamu. “Ibu benar, Pak. Lebih baik tidak usah repot-repot datang lagi.”

“Jangan bicara begitu. Sudah saya bilang: ini tugas saya selaku wali kelas,” kata Hanan tenang. Risa memperhatikannya meraih salah satu cangkir dan menyeruput isinya. Tamparan Risa meninggalkan jejak berupa luka mungil yang kini menghitam di sudut bibir. Dalam hati Risa bertanya-tanya mungkinkah Hanan sudah mengunggah satu atau dua status yang melankolis di Facebook setelah ditampar muridnya.

“Apa Bapak seambisius itu hingga bolos mengajar?” gerutu Risa, lalu, ketika Hanan menatapnya dengan alis terangkat polos, dia harus menjelaskan, “Saya yakin jam sekolah belum habis.”

“Oh, jangan khawatirkan itu. Semua tugas mengajar saya hari ini sudah selesai, dan saya sudah dapat izin untuk keluar sebentar,” terang Hanan, sorot matanya berangsur-angsur melembut. “Jadi, Risa, kamu menikmati hadiah saya?”

Risa mengernyit. “Saya bukan pemakan kertas, Pak.”

“Itu saya juga tahu,” ujar Hanan dengan satu ujung bibir terangkat, tampaknya menganggap ucapan Risa agak lucu. Dia mengembalikan cangkir ke meja. “Tapi, ini artinya kamu memang belum menikmatinya.”

“Kalau Bapak tidak ikhlas, biar saya kembalikan hadiah itu.”

“Tidak perlu, duduklah, Risa,” cegah Hanan cepat ketika Risa sudah menumpukan satu tangan ke lengan sofa, bersiap untuk berdiri. Lelaki itu kembali tersenyum. “Saya minta maaf karena sudah bersikap lancang kemarin. Kamu pasti sangat tidak nyaman sampai merasa harus melindungi diri seperti itu.”

Risa menunduk, mencabuti benang yang melenting dari jahitan lengan sofa. Hanan beringsut dan sedikit membungkukkan badan, berusaha mencari mata Risa.

“Ataukah kamu sengaja menampar saya?”

“Apa pun niat saya, yang terjadi sudah terjadi.”

“Satu hal penting yang telah saya pelajari adalah: niatan sebenarnya memegang peranan penting untuk memutuskan apakah perbuatan yang dilakukan seseorang tepat atau tidak,” kata Hanan seraya menegakkan badan lagi. “Apalagi perbuatan seorang remaja. Oleh karena itu, kurang pas untuk menghakimi mereka hanya berdasarkan perbuatan yang sudah mereka lakukan.”

Risa menggosok-gosokkan telapak tangan ke kepala, mencoba meredakan pening yang datang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia mendengar ceramah. “Ya, ya. Saya yakin Bapak memang bijaksana.”

“Saya serius, Risa. Saya tahu kamu tidak berniat menampar, saya juga tahu kamu tidak berniat membolos selama dua bulan.”

Jari-jemari Risa mengepal, menggenggam sebagian akar rambutnya. Dia melirik Hanan kesal. “Oh, ya, tentu saja. Selama ini saya memang tidak sengaja membolos dua bulan—aduh, bodohnya saya.”

Akan tetapi, Hanan tidak mengendurkan senyum dan justru memperlebarnya, seolah dia tahu sedang berhadapan dengan orang paling bebal di seluruh dunia yang tidak bisa memahami bahasa manusia. Kesabaran terang-terangan semacam itu justru melipatgandakan kejengkelan Risa.

“Yah, saya yakin mempertanyakan alasanmu absen dari sekolah tidak akan membawa kita ke mana pun,” katanya seraya membuka ritsleting tasnya yang selama ini diletakkan di antara kedua kaki. Tidak seperti sebelumnya, hari ini dia mengeluarkan beberapa map bening yang semuanya penuh sesak dan meletakkannya di meja. “Ini adalah pelajaran yang sudah kamu tinggalkan selama dua bulan. Saya sudah minta guru dari setiap mata pelajaran meringkas—atau paling tidak memfotokopi—topik yang diajarkan.”

“Apa—”

“Dan ini.” Hanan mengeluarkan sebuah buku yang rimbun oleh pembatas halaman warna-warni. “Yang ini adalah pelajaran saya, mulai dari hari ketika kamu tidak masuk sampai topik yang akan diajarkan sebelum ujian tengah semester nanti. Sudah ada rumus-rumus praktis dan tips-tips di dalamnya. Khusus saya buatkan untuk kamu, Risa.”

Tidak berlebihan jika menyebut Risa tergelagap dengan hadiah yang dipersembahkan Hanan untuknya. “Saya tidak pernah meminta ini,” katanya, memelototi tumpukan map serta buku di atas meja. “Saya bahkan tidak berniat pergi ke sekolah.”

“Saya yakin dengan membaca sedikit saja dari pelajaran yang sudah kamu lewatkan, kamu akan mulai bertanya-tanya tentang beberapa hal yang tidak kamu mengerti, dan akhirnya membuat kamu tergoda untuk kembali ke sekolah,” terang Hanan sambil tersenyum lebar. Agaknya dia berpikir itu adalah rencana yang cemerlang. “Mendapatkan pertanyaan dan menemukan jawabannya adalah hal yang sangat menyenangkan, bukan begitu? Kamu bisa mengalami keduanya di sekolah.”

Risa melipat kedua lengan di depan dada, merasa tidak dapat dekat-dekat dengan tumpukan itu. “Saya bukan Bapak.”

“Oh, saya sangat menyadari hal itu.”

“Benar, jadi jangan samakan saya dengan Bapak.”

“Tapi, rasa penasaran adalah yang membuat kita manusia, Risa. Kamu bisa mencobanya dengan pelajaran yang sangat kamu minati—kimia, kalau saya tidak salah?”

Risa melebarkan mata. “Apakah Bapak menguntit saya?”

“Oh, jadi saya benar?” Hanan terkekeh. “Menguntit kedengarannya buruk. Tidak, Risa, saya hanya membandingkan nilai semua mata pelajaran, juga jumlah kehadiran kamu di kelas. Secara statistik, kimia memang unggul dibanding yang lain.”

“Tolong hentikan.”

“Kamu akan mencoba membaca pelajaran kimia, bukan? Lagi pula, saya dengar dari wali kelas sebelumnya, kamu sempat ditawari ikut OSN kimia.”

“Itu tidak benar.”

Hanan menatap Risa lekat-lekat seperti sedang mempertanyakan perubahan sikap yang mendadak menjadi kaku, lalu terkesiap. “Tunggu, jangan katakan sebenarnya kamu tidak berniat mencapai nilai tertinggi, tapi mendapatkannya begitu saja? Kamu punya pelajaran favorit lain?”

“Sudah kubilang, aku tidak mau kembali ke sekolah!” bentak Risa, akhirnya membalas tatapan Hanan, tapi itu pun tidak dapat bertahan lama karena dia tidak mampu menyembunyikan air mata. Cepat-cepat dia menutupi mata menggunakan telapak tangan. “Kenapa Bapak memaksaku sampai seperti ini, sih? Aku tidak ingin sekolah lagi. Selamanya. Toh Oci tidak akan ada di sana untuk menyambutku, tidak ada artinya aku berangkat. Selama ini aku hanya bersedia datang ke sekolah karena ada Oci, tapi tentu saja tidak ada yang mau repot-repot mengetahuinya!”

Tenggorokan Risa seketika terkunci setelahnya, membuat dia tidak bisa mengeluarkan suara selain sengguk dan isak tangis yang menyakitkan. Dia tidak lagi peduli meski ibunya dengar, meski Hanan tercengang, meski dirinya sendiri terlihat seperti anak gila yang menyedihkan. Semua orang membujuknya untuk melangkah maju dan melepaskan kenangan Oci di belakang, tapi mereka dapat berkata begitu karena tidak seorang pun memahami bahwa Oci adalah alasan Risa dapat berjalan sejauh ini. Meninggalkan Oci dengan melangkah maju merupakan sesuatu yang mustahil, seperti seseorang berusaha berkata untuk melajukan kerangka mobil yang tak bermesin.

Tentu saja tidak ada yang mau mengakui bahwa Oci adalah bagian terpenting dari hidup Risa. Lebih mudah untuk menganggapnya sekadar teman sepermainan, dan Risa tidak lebih dari gadis cengeng yang sulit diatur. Menyelami lika-liku hubungan mereka hanya membuang-buang waktu, lebih baik segera mengguruinya dan pulang dengan perasaan bangga karena telah melakukan satu kebaikan. Risa yakin itulah yang dipikirkan sebagian besar orang, termasuk wali kelasnya yang sekarang membisu di dekatnya.

Kemudian Risa mendengar seseorang menyedot ingus. Sepintas saja, tapi itu berhasil menjegal sengguknya dan membuatnya mengangkat pandangan. Semua tangis Risa yang masih tersisa serta-merta menyusut dan habis tak bersisa kala mendapati Hanan telah ikut menangis bersamanya.

“Kenapa …” bisik Risa terpana. Dia memandangi wali kelasnya kebingungan, tapi begitu mendengar kelotak di dapur, dengan panik dia mengangsurkan kotak tisu. “Kenapa Bapak juga menangis?”

Hanan terisak sambil mencabut selembar tisu. “Saya mencoba membayangkan orang terpenting dalam hidup saya tiada. Maaf, permisi.” Dia membuang ingus dengan ribut, lalu melipat tisu tersebut menjadi dua. Matanya sembap dan hidungnya merah, pipi-pipinya juga, menyadarkan Risa bahwa lelaki itu punya kulit yang cukup cerah hingga perubahan warna sedikit saja dapat tampak sedemikian jelas. “Kamu kehilangan seseorang yang signifikan di usia yang sangat muda. Saya berusaha menempatkan diri dalam posisimu … dan inilah yang terjadi.”

Risa tidak pernah merasa lebih bingung lagi dari ini. “Bapak seharusnya menghibur saya, bukannya ikut-ikutan sedih.”

“Saya harus menyejajarkan level pandangan untuk bisa memahami perasaanmu—oh, astaga.” Hanan menyambar tisu lagi untuk menyusut air mata baru yang mulai menggenangi kelopak mata. Dia mengatur napas beberapa kali, kemudian berusaha tersenyum kepada Risa. “Kamu sudah mengalami begitu banyak, Risa. Jika orang dewasa seperti saya saja tidak mampu menanggung beban sebuah kehilangan, artinya selama ini kamu kuat sekali. Kamu hebat, Risa.”

Kata-kata Hanan menyebar dalam bentuk kehangatan di balik kulit Risa, merambat mulai dari dada ke muka, lalu membuncah ke seluruh tubuh. Risa memalingkan muka.

“Itu tidak akan membuat saya ingin pergi ke sekolah.”

“Saya tahu,” sahut Hanan. “Tapi saya akan tetap datang ke sini setiap hari sepulang sekolah untuk memberikan pelajaran yang sudah kamu lewatkan.”

“Saya tidak perlu dua orang yang datang berkunjung setiap hari—saya bukan orang sakit.”

“Dua orang?” tanya Hanan penuh ketertarikan, membuat Risa seketika membenci mulutnya sendiri. “Siapa maksudmu?”

“Lupakan saja.”

“Kalau begitu, saya akan cari tahu sendiri dengan bertanya-tanya di sekolah—”

“Alika,” potong Risa cepat, kemudian mendesah keras. “Walaupun, dia sudah berhenti datang. Intinya, saya tidak perlu dikunjungi siapa-siapa.”

“Oh, lihat dirimu berkata begitu lagi,” dekut Hanan, seolah-olah Risa adalah anak bayi yang baru belajar bicara. “Saya ke sini karena ingin, jadi jangan anggap sebagai beban. Lagi pula, siapa tahu saya bisa bantu-bantu sedikit di rumah. Mengganti bohlam lampu, misalnya, atau menaikkan galon ke dispenser atau bahkan membetulkan kran yang bocor. Hal-hal yang sulit dilakukan perempuan.”

Mata Risa menyipit, tersinggung. “Kami bisa melakukan semua itu dengan baik.”

“Sungguh? Maaf.”

“Plus, aku bukannya tidak punya ayah,” lanjut Risa, entah kenapa mendapat urgensi untuk menyangkal apa pun yang diucapkan Hanan. Namun, seperti kesempatan sebelumnya, Hanan justru tersenyum mendengar gerutuannya.

“Kalau ada kesempatan bertemu, saya harus menyapa ayahmu. Omong-omong, itu tidak mengubah determinasi saya untuk berkunjung setiap hari, jadi pastikan kamu tidak sedang tidur ketika saya tiba. Ibumu sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol, tapi kamu adalah alasan saya datang.”

Risa memberengut. Hanan mengecek arloji, kemudian menutup ritsleting ransel.

“Saya harus segera pergi. Ada bahan yang perlu dipersiapkan untuk rapat sore ini. Di mana ibumu?”

“Mungkin tidur siang, atau nonton teve di kamarnya.”

“Kalau begitu, saya titip salam saja. Saya tidak mau mengganggu waktu istirahat.” Hanan beranjak berdiri, sekali lagi mengingatkan Risa akan posturnya yang luar biasa. Sambil membuntuti Hanan ke pintu, Risa mencoba menebak-nebak tinggi badan Hanan.

Mungkin sampai 190 sentimeter, pikir Risa tanpa melepaskan pandangan dari Hanan yang sedang mengenakan sepatu di teras. Apakah kakinya tidak terjulur melewati tepi kasur saat dia tidur?

“Kamu tidak perlu mengantar saya ke depan,” kata Hanan cengengesan ketika Risa mendorong pintu pagar. Risa memutar bola mata.

“Jangan repot-repot merasa terharu, Pak. Saya memang berniat keluar.”

Kesan pertama yang diberikan Hanan adalah guru ambisius dari kampung, jadi tak pelak Risa terkejut mengetahui Land Rover yang terparkir di luar pagar rumahnya mengerjapkan lampu-lampu depan saat Hanan merogoh saku celananya. Mobil itu tidak mungkin lebih tua dari setahun, apalagi dengan cat yang masih mengkilap di bawah terpaan sinar matahari.

“Keluar ke mana?” tanya Hanan polos. “Akan saya antar. Jalan keluar perumahan ini cuma satu, bukan begitu?”

“Tidak perlu. Cuma warung sebelah.”

“Oh. Beli apa?”

Mustahil Risa menjelaskan bahwa persediaan rokoknya sudah habis, jadi dia memutuskan pura-pura tidak mendengar pertanyaan Hanan dan alih-alih menyibukkan diri dengan memasang gerendel pada gerbang pagarnya.

“Merokok itu tidak baik untuk kesehatanmu, Risa.”

Risa menoleh cepat. “Bapak menguntit saya?”

“Tidak.” Hanan terkekeh sambil memutar-mutar gantungan kunci mobil di ruas jari telunjuknya. “Kamarmu itu baunya luar biasa tidak tertahankan. Lain kali merokoklah di luar, meskipun tentu saja solusi yang terbaik adalah berhenti sama sekali. Saya heran kenapa ibumu tidak berkata apa-apa … ataukah kebiasaanmu ini sudah dapat persetujuan?”

Pipi Risa terasa membara. Jadi Hanan sudah tahu sejak menginjakkan kaki di dalam kamarnya, tapi sengaja tidak mengatakan apa-apa karena mendahulukan untuk bersikap sok dewasa. Dengan kesal Risa menatap Hanan, tapi lelaki itu kembali tersenyum lebar, tangan kanannya diulurkan ke depan.

“Pak Guru mau pamit.”

Risa menggertakkan rahang, tapi tetap melangkah maju dan mencium tangan lelaki itu.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebuah Penantian
2295      788     4     
Romance
Chaca ferdiansyah cewe yang tegar tapi jauh didalam lubuk hatinya tersimpan begitu banyak luka. Dia tidak pernah pacaran tapi dia memendam sebuah rasa,perasaanya hanya ia pendam tanpa seorangpun yang tau. Pikirnya buat apa orang lain tau sebuah kisah kepedihan.Dulu dia pernah mencintai seseorang sangat dalam tapi seseorang yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Muh.Alfandi seorang dokt...
Langit Jingga
3280      935     2     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
IMAGINATIVE GIRL
2316      1190     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Suara Kala
6449      2059     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
Ghea
429      277     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Adelaide - He Will Back Soon
1330      700     0     
Romance
Kisah tentang kesalah pahaman yang mengitari tiga insan manusia.
Lentera
725      510     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Love You, Om Ganteng
15693      3742     5     
Romance
"Mau dua bulan atau dua tahun, saya tidak akan suka sama kamu." "Kalau suka, gimana?" "Ya berarti saya sudah gila." "Deal. Siap-siap gila berarti."
Cintaku cinta orang lain
335      276     0     
Romance
"Andai waktu bisa diulang kembali ,maka aku gak akan mau merasakan apa itu cinta" ucap Diani putri dengan posisi duduk lemah dibawah pohon belakang rumahnya yang telah menerima takdir dialaminya saat merasakan cinta pertama nya yang salah bersama Agus Syaputra yang dikenalnya baik, perhatian, jujur dan setia namun ternyata dibalik semua itu hanyalah pelarian cintanya saja dan aku yang m...
Sunset In Surabaya
332      241     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...