Read More >>"> I FEEL YOU AS A HOME (IBLIS PENOLONG) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - I FEEL YOU AS A HOME
MENU
About Us  

Gue harusnya dapat ucapan terima kasih,

 Bukan malah dikatain najis—Al

 

 

          Setelah yakin Bysonnya terparkir dengan benar, Al langsung mematikan mesin, turun dari motor, dan bergegas menuju Fakultas Sastra. Pagi ini ada yang harus ia tunjukan pada Tera, sehingga setibanya dia di kelas yang dituju, mata coklat Al langsung menjelajah ruangan demi menemukan gadis mungilnya. Oh di sana, senyum Al pun langsung mengembang saat mendapati kalau Tera tengah mengobrol dengan Anggia di pojokan. Lalu, tanpa permisi dan mengindahkan tatapan hampir seluruh penghuni kelas kecuali Tera dan sahabatnya, Al langsung menghampiri. Anggia lah yang terlebih dulu menyadari kehadiran Al namun, ia tidak sempat menginformasikan keberadaan cowok itu pada Tera karena Al langsung bersuara.

           “Bangun. Keluar. Ikut gue.”

           Tera yang sudah begitu hafal dengan suara Al langsung mengangkat kepala, dan menoleh pada cowok yang berdiri di dekatnya. “Ngapain sih lo ke sini?”

           “Bangun. Gue mau ngomong,” kata Al tak sabaran.

          “Bisa, kan, ngomongnya di sini aja?!”

           Al mendengus pelan. “Nggak bisa. Ayo,” meraih lengan kiri Tera, dan Tera pun berontak sembari menatap Anggia dengan maksud meminta tolong, namun yang dimintai tolong langsung mengkerut di bawah pelototan Al.

         “Sori, Ra.” Kata Anggia antara perasaan bersalah, kesal, dan marah.

          Jadi, Tera memutuskan untuk pasrah saja saat Al memebawanya ke… perpustakaan? Benar-benar bingung apa tujuan Al membawanya ke tempat tersebut, karena jika cowok itu ingin mengatakan sesuatu bukankah perpustakaan bukan tempat yang cocok? Atau memang ini rencana Al? Dia bisa dengan mudah melakukan ‘hal nekat’ karena tahu Tera tidak bisa berteriak di tempat itu? Membayangkannya saja sudah berhasil membuat Tera bergidig, bahkan setelah Al mendudukkannya di sebuah kursi, ia sempat berpikir untuk kabur. Namun, Tera kalah cepat karena Al langsung duduk rapat di sebelahnya, membuat ia merasa tak nyaman.

         “Mau apa sih, lo?” bisik Tera di tengah-tengah ketakutannya.

         Al hanya tersenyum penuh arti, sementara Tera memperhatikan dengan bingung ketika cowok itu mulai menaruh ransel di atas meja sebelum mengeluarkan sebuah note, dan pulpen dari dalamnya. Bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan Al dengan kedua benda tersebut sampai akhirnya Tera terkesiap ketika cowok itu mulai menulis huruf Hiragana dengan langkah-langkah yang benar pada setiap hurufnya seolah-olah semua huruf itu adalah makanan sehari-hari Al. Bahkan, setelah beberapa menit berlalu, Tera masih saja bengong karenanya.  

          “Gue selesai,” Al tersenyum puas setelah tiga lembar note-nya terisi penuh oleh 46 huruf Hiragana, dan ketika memicingkan mata pada cewek itu, senyumnya semakin melebar. Gemas saja melihat tampang serius, dan takjub Tera yang tengah memperhatikan hasil kerjanya dengan seksama, membuat ia tak tahan untuk tidak mendekatkan bibir ke telinga gadisnya, sementara bulu roma Tera langsung berdiri saat hidungnya menghirup aroma Al. “Jadi, cewek. Gue nggak harus nyari guru lain, kan?” Al berbisik di sana sebelum menarik diri, dan Tera lantas mengembuskan napas lega paska menahannya beberapa detik. Mengamati cewek itu untuk beberapa saat, Al lalu berkata, “Yuk, gue antar lo balik ke kelas,” mendorong kursinya, bangkit, ia pun meraih sebelah lengan Tera untuk bersama-sama meninggalkan tempat itu.

          Selagi Al dengan santainya berjalan menyusuri koridor sembari menggandeng lengan Tera, cewek yang berjalan di belakang tubuhnya malah tengah sibuk dengan pikiran sendiri. Tera bingung saja apa yang sebenarnya tengah Al coba tunjukan sampai rela mendatangi kelas dan menculiknya ke perpustakaan. Karena, jika jawabannya adalah hanya ingin menunjukan kemampuan cowok itu menuliskan Hiragana, rasanya tidak mungkin. Tera yakin sekali ada sesuatu, makadari itu di sepanjang perjalanan, otaknya terasa penuh memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari jawabannya sampai ia menyadari sesuatu.

         Tiba di tempat tujuan, Tera pun langsung menepis genggaman ditangannya, membuat Al terkejut terlebih ketika mendapati wajah garang Tera. “Elo selama ini cuma pura-pura, kan?” Al mengerenyit bingung. “Pura-pura nggak becus nulisin itu huruf-huruf, padahal elonya udah bisa! Ngaku deh!”

        Oh... Al pun manggut- manggut sendiri. Namun bukannya menanggapi, cowok itu malah tersenyum lebar, mengerlingkan sebelah mata sebelum beranjak dari sana, meninggalkan Tera yang feeling-nya terbukti kalau Al memang sengaja berpura-pura belum menguasai Hiragana demi tujuan tertentu. Anehnya Tera tak marah karena telah dibohongi, ia kini malah tengah tersenyum geli pada Al yang sudah berjalan menjauh.

         Oke, memang benar Al sudah membodohi Tera karena bahkan hanya dua kali latihan saja ia sudah berhasil menguasai huruf-huruf itu, namun bukankah semakin cepat ia menguasai semakin cepat pula Tera menyelesaikan tugasnya sebagai tutor? Tahu kan artinya apa? Tentu saja mereka berdua akan cepat berpisah, dan Al tak menghendaki itu, dirinya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak lagi berdua-duan dengan Tera terlebih paska tragedy ciuman itu, Tera resmi menjadikannya cecunguk yang harus dihindari. Namun semalam, setelah cewek itu mengancam untuk mencarikan tutor baru untuknya, Al kesal bukan main karena bisa dipastikan dia akan ogah-ogahan belajar Bahasa Jepang sesuai dengan yang diminta Papa dan Mama tirinya. Jadilah ia baru saja menunjukan pada Tera kalau semua yang diajarkan cewek itu tidak hanya masuk dari kuping kanan, dan keluar dari kuping kiri melainkan menempel di kepla bahkan hatinya.

        Oke, gue mulai lebay. Hardik Al pada diri sendiri sebelum tersenyum lebar ketika menuruni tangga, dan diam-diam bersorak girang karena Tuhan masih mau berpihak padanya. Bayangkan, di saat ia sudah benar-benar takut akan kehilangan Tera, Dia malah mengirimkan gadisnya ke rumah sebagai private tutor. Jadi… tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, bukan? Yeah… Thanks God. Pikir Al ketika sudah memasuki kelas yang langsung disambut oleh pertanyaan Raden kenapa dirinya bisa terlambat.

(***)

       Ada banyak hal yang membuat wajah Tera berseri-seri, di antaranya adalah harum buku baru, uang gajian, dan telepon dari orang spesial. Seperti yang tengah dialaminya saat ini, wajah cantik itu tampak memerah ketika nama Bram muncul di layar ponselnya. Jadi, setelah memastikan kalau semua catatannya sudah masuk tas paska mengajar cowok yang saat ini tengah asik membenahi buku-buku di atas meja gazebo, Tera segera menjawab panggilan tersebut.

           “Hei.” Ia menyapa Bram dengan susah payah mempertahankan ketenangan padahal jantungnya sudah histeris siap meledak mendengar suara di ujung telepon.

           Paska Bram mengantarnya pulang waktu lalu, intensitas komunikasi mereka naik menjadi beberapa level. Awalnya Bram mengakui kalau segala bentuk telepon dan WhatsApp-nya pada Tera hanya demi menepati janji untuk menjaga Tera dari gangguan Al. Namun, Tera tak senaif itu—lebih tepatnya berharap banyak—kalau ada udang di balik batu dari semua bentuk perhatian Bram tersebut. Bukannya Tera tak suka, hanya saja ia takut kalau harapannya yang terlanjur besar pada Bram akan membawa pada tepi kecewa.

            Di sisi lain, mendengar suara Tera yang lebih lembut dari biasanya ketika menjawab telepon itu membuat Al yang tengah membenahi buku-buku langsung mengangkat kepala, dan saat itu juga ia mendapati kalau Tera sudah menjejak tanah untuk memakaikan sandal pada kedua kakinya sebelum berjalan menjauh. Menyaksikan gerak-gerik Tera yang kini berdiri membelakanginya di bawah langit gelap membuat Al yakin kalau yang tengah berbicara dengan cewek itu adalah orang spesial, dan karena hal tersebut Al menyipitkan mata sebelum memutuskan untuk berjalan mengendap-endap menuju Tera. Berhenti selangkah di belakang cewek itu, dan nama Bram lah yang ia dengar kemudian meluncur dari bibir Tera.

            “Deadline-nya sih dua hari sebelum UAS, Bram. Masih lama banget, ya?” Tera tergelak, menendang-nendang ujung sandalnya ke atas tanah tanpa menyadari kalau ada orang lain yang tengah mendengar percakapannya. “Ya… pengin cepat selesai aja, Bram. Tapi akunya belum dapet responden bule Belanda untuk diwawancara… eh seriusan? Ngerepotin nggak nantinya?... oh ya kalau teman kamunya itu nggak keberatan sih oke.”

            Al masih mendengarkan, mecoba menyimpulkan apa yang sebenarnya tengah mereka bicarakan. Bule Belanda, wawancara… tugas… dan…

            “Aku minta kontak dianya aja kalau gitu biar cepat diwawancara, kalau gitu kan makalah akunya juga jadi cepat selesai…. eh ketemu langsung? Sama kamunya juga tapi, kan?”

            Bertemu Bram? Tidak bisa dibiarkan! Kesepuluh jari Al pun langsung mengepal di sisi tubuh, jadi dengan mengantungi informasi minim yang baru saja didengarnya, ia menyimpulkan kalau Tera butuh bule Belanda untuk diwawancara demi menyelesaikan tugas makalah atau apapun itu, makanya ia langsung meninggalkan tempat demi melakukan sesuatu agar pertemuan Bram dengan gadisnya tak akan pernah terlaksana.

           “Papa pulang jam berapa?” Sambar Al ketika ponsel menempel di sebelah telinganya, dan kini ia sudah berada di dalam kamar setelah meninggalkan Tera sendirian.

          “Sebentar lagi juga sampai di rumah,” laki-laki di seberang telepon menjawab santai.

           “Al mau minta tolong.”

         “Kenapa, boy? Kok kayaknya urgent banget.

      Tanpa basa-basi Al menyampaikan semua isi kepalanya pada Papa, dan setelah yakin kalau rencananya akan berjalan dengan lancar, ia kembali turun ke bawah untuk menemui Tera yang ternyata sudah mencangklong tasnya. “Gue antar lo balik setelah makan malam, ya,” Sergah Al buru-buru sebelum Tera membuka mulut untuk pamit, membuat cewek itu sempat tertohok beberapa detik karena ucapan seenak udelnya itu.

         “Nggak ah, gue mau balik sekarang.” Tera menolak mentah-mentah karena selama mengajar Al, ia memang selalu berusaha untuk pulang sebelum jam makan malam.

         Al mendelik, tak suka dengan bantahan Tera. “Tera, elo akan makan malam di sini. Sama keluarga gue.” Tegasnya tak bisa dibantah, membuat bibir Tera gatal ingin mendebat cowok itu jika saja Tante Lili serta Om Hendrick tak segera datang, dan ikut-ikutan memintanya tinggal sebentar untuk makan malam.

       Dan, yeah… dengan senyum kemenangan tercetak di wajah tampan Al, Tera menurut ketika digiring Tante Lily ke ruang makan, bersyukur diam-diam karena Papa Al yang baru dikenalnya malam ini memperlakukan ia seperti keluarga sendiri. Selama menjadi tutor Al, Tera hanya bisa melihat sosok laki-laki matang berperawakan tinggi besar yang rambut hitam kecoklatannya mulai dihiasi uban itu dari foto keluarga di ruang tv. Dan, menatapnya langsung seperti ini membuat Tera menyadari kalau mata coklat Al diwarisi darinya. Namun, ada sentuhan Indonesia lain di wajah Al yang bukan milik Tante Lily.

        Belum lagi, kenyataan kalau kedua orangtua Al sangat ramah dan baik seperti ini membuat Tera jadi bertanya-tanya dari mana sifat Al didapatkan, dan ketika pertanyaan tersebut berpendar dalam benak, ia melirik pada objek pikirannya di sisi yang ternyata tengah memandanginya dengan tatapan tak terbaca. Tera pun buru-buru mengalihkan pandangan, memutuskan untuk kembali masuk dalam percakapan Tante Lily dan Om Hendrick sebelum ia bengong ketika Om Bule itu mengungkit-ungkit mengenai wawancara.

            “Wawancara?” Tanya Tera tak mengerti.

            Om Hendrick mengangguk mengiyakan. “Kata Al kamu butuh Om untuk diwawancara, mau malam ini juga atau bagaimana?”

            Mendengar pernyataan tersebut membuat Tera langsung menghujamkan tatapan Mak Lampir-nya pada orang di sebelah, namun yang ditatap malah pura-pura sibuk dengan makanan di piring. Saat ini juga tanda tanya besar mampir di benak Tera mengenai darimana si kampret ini mengetahui kalau ia tengah membutuhkan responden untuk keperluan tugas makalah sampai satu kesimpulan cewek itu dapatkan. Dia nguping pembicaraan gue di telepon?! Kampret!

(***)

            “Terima kasih banyak ya, Om, sudah mau aku wawancara.” Tera menekan tombol garis dua vertikal di ponsel pintarnya agar rekaman sepanjang wawancara tadi tersimpan dengan aman. Ia lantas menutup notebook kecil di pangkuan sebelum tersenyum pada Om Hendrick yang duduk di seberang meja kerja berlapis kaca ini.

            “It’s okay, sweetheart, Om senang malah bisa membantu kamu,” Om Hendrick menimpali dengan sungguh-sungguh. Kemudian, ketika mereka bersama-sama meninggalkan ruangan, dan sudah berdiri di ruang tv di mana Tante Lili serta Al tengah duduk santai, Om Hendrick kembali bersuara. “Jadi, nanti Om bisa baca tulisan kamu?”

            Mengangguk, “Tentu aja, Om. Nanti Aku bisa kirim by email atau mungkin bawa print out-nya.” Tera mengiyakan, dan saat itulah Tante Lily bergabung bersama mereka yang langsung disambut oleh rangkulan lengan Om Hendrick di pinggangnya, diam-diam membuat Tera blushing terlebih ketika menyaksikan pasangan itu saling melempar senyum penuh sayang.

            “Udah, Ra?” Tante Lily menatap Tera.

            “Udah, Tan.” Tersenyum berterima kasih.

           “Kamu nggak usah sungkan minta tolong sama kami ya, Sayang. Apapun itu selagi kami bisa membantu, kami akan senang melakukannya. Iya kan, dear?” tante Lili menyentuh pipi suaminya dengan sebelah tangan, dan entah kenapa malah Tera yang malu menyaksikan semua itu. Memutuskan untuk membuang pandangan ke sisi lain, namun ia malah mendapati kalau Al tengah menatap kedua orang tuanya dengan rahang mengeras sementara kedua mata coklatya dipenuhi beragam emosi, namun Tera menyadari kalau kemarahan dan kebingunganlah yang mendominsasi di sana. Kenapa? Diam-diam dia sudah bertanya pada diri sendiri sampai ia menyadari kalau Al balas menatapnya.

        Al yang memutuskan kontak mata terlebih dahulu dengan mengatakan kepada Papanya akan mengantar Tera pulang yang langsung cewek itu tolak, namun Tera lagi-lagi tak bisa berkutik ketika Tante Lily memintanya mengingat langit sudah semakin gelap. “Tante takut kamu kenapa-kenapa di jalan kalau pulang naik kendaraan umum.” Kata Tante Lily yang membuat Tera harus rela terjebak bersama Al dalam keheningan di sepanjang jalan beberapa menit kemudian, dan ia benar-benar merasa tak nyaman.

          Yeah… kapan sih Tera merasa nyaman berada di dekat Al? Yang ada saat ini juga ia ingin lompat dari mobil jika tidak ingat jika melakukan itu efeknya akan buruk terhadap keselamatn tubuh. “Maksud lo apa sih, Al?” daripada bengong dan tidak tahu harus melakukan apa, Tera berpikir lebih baik untuk mencaritahu alasan Al mencampuri urusannya. Iya, ini mengenai wawancara yang melibatkan Om Hendrcik tadi.

            Al yang duduk di belakang kemudi pun menoleh, mata coklatnya tampak lebih gelap di bawah guyuran lampu temaram “Apa?” ia balik bertanya, bingung.

            “Minta bokap lo meluangkan waktu buat diwawancara gue.”

            Al bergeming sejenak sebelum tersenyum lebar, “Oh itu— ”cengengesan tak jelas, lalu sembari melihat jalanan di depan sebelum kembali menatap Tera, ia melanjutkan, “Kenapa sih, hmm? Guenya kan cuma mau bantu lo aja.”

            Tera mendesisi kesal. “Elo tahu dari mana sih kalau gue lagi nyari responden bule Belanda buat diwawancara?!”

            “Bahkan gue tahu berapa ukuran lingkar pinggang lo, Sayang.” Mengedipkan sebelah mata, dan Tera langsung misuh-misuh tak karuan, membuat Al tergelak gemas.

            “Mulut lo kayak yang nggak pernah disekolahin aja sih!”

            “Mulut gue memang nggak pernah disekolahin, Ra. Tapi ini jago banget bikin lo panas dingin.” Dan Al pun tergelak saat Tera menggelontorkan kata najis dari bibirnya. “Gue harusnya dapat ucapan terima kasih, lho, bukan malah dikatain najis.” Ucap Al santai, namun Tera  yang sudah menatap ke depan tak menggubris, mendadak muak pada Al.

            Tera sebenarnya tak suka kalau harus dilabeli sebagai orang yang tak tahu terima kasih, namun mengucapkan kata itu pada Al sangat sulit ia lakukan terlebih saat ini kenanangan di malam terburuk dalam hidupnya yang melibatkan Al kembali merangsek ke dalam pikiran. Sementara itu, melihat Tera yang mendadak diam dengan wajah masam membuat Al mengembuskan napas saat berhasil menyimpulkan sesuatu.

             “Elo kayaknya nggak senang gue tolong.”

           “Nah lo tahu.” Tera menyahut ketus

            Mendengus. “Tapi kayaknya elo senang banget ditolong sama Bram.”

           Jantung Tera berdebar lebih cepat mendengar pernyataan tersebut, lalu menoleh pada cowok di sisi sembari menerka-nerka kemungkinan kalau Al mengetahui perasaannya pada Bram. Tapi, bukankah itu hal yang bagus? Karena Al mungkin akan mengambil langkah seribu mengetahui kalau sudah tak ada ruang kosong di hatinya. Alih-alih menimpali, Tera lebih memilih diam, lantas kembali terpaku pada mobil truk di depan, dan Al yang merasa dikacangi menjadi jengkel, membuat cowok itu menginjak gas-nya lebih dalam lagi. Bahkan, ketika mobil itu sudah berhenti di depan sebuah rumah mungil, kekesalannya belum hilang. Tera yang siap membuka sabuk pengaman pun menegang ketika Al tiba-tiba meraih lengan kanannya, membuat cowok itu sukses dihujami tatapan setajam samurai yang malah membuat Tera bergidik ngeri saat mata coklat Al memancarkan kemarahan.

           “Elo suka sama Bram?” Al bertanya tanpa basa-basi, dan Tera menahan napas  beberapa detik ketika berdebat dengan dirinya sendiri untuk memutuskan menjawab atau tidak pertanyaan barusan.

           “Kenapa kalau gue suka sama dia?” memilih untuk balik bertanya, dagunya terangkat, menantang Al yang alis tebalnya sudah bertaut sementara wajahnya kian mengeras.

           Bukannya menjawab pertanyaan balasan Tera, Al malah melepaskan sabuk pengaman cewek itu sebelum membawanya kedalam pelukan. Yang dipeluk pun terkejut setengah mati terlebih ketika merasakan pelukan tersebut semakin mengetat seolah Al takut kehilangan dirinya. “Gue nggak suka, seharusnya elo nggak boleh suka sama dia.” Berbisik di telinga Tera, membuat cewek itu berkedip bingung.

          “Kenapa?”

           “Karena elo tahu gue lagi ngejar lo.”

          “Perasaan gue bukan tanggung jawab lo, begitu juga perasaan elo ke gue,” tegas Tera tanpa ragu, dan dia langsung merasakan pelukan Al melonggar yang diikuti embusan napas keras cowok itu sebelum benar-benar melepaskannya.

         Al Menatap Tera intens, kemudian sebelah tangannya terjulur untuk menyentuh wajah cewek itu. “Gue bakal dapetin lo.”

          Mendengar ancaman sekaligus sebuah janji dari ucapan tersebut membuat Tera hanya mampu balas menatap Al dengan pikiran riuh, tak tahu harus melakukan apa selain segera menepis tangan hangat itu sebelum pergi dari sana.

>>>NEXT

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Half Moon
985      529     1     
Mystery
Pada saat mata kita terpejam Pada saat cahaya mulai padam Apakah kita masih bisa melihat? Apakah kita masih bisa mengungkapkan misteri-misteri yang terus menghantui? Hantu itu terus mengusikku. Bahkan saat aku tidak mendengar apapun. Aku kambuh dan darah mengucur dari telingaku. Tapi hantu itu tidak mau berhenti menggangguku. Dalam buku paranormal dan film-film horor mereka akan mengatakan ...
November Night
335      234     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Story Of Me
3192      1148     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
994      630     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
The War Galaxy
11258      2330     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9214      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5729      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance