Read More >>"> I FEEL YOU AS A HOME (PENGAKUAN) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - I FEEL YOU AS A HOME
MENU
About Us  

aku benar-benar jatuh cinta sama kamu—Al

 

              Al selalu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan jika ia sudah berucap akan mendapatkan Tera, hal tersebut harus terjadi bagaimanapun caranya. Bahkan, ia siap jika harus mendaki gunung, menyeberangi samudra, melewati lembah, dan berkeliling dunia demi menarik perhatian cewek itu. Ah, mungkin bagi sebagian cewek-cewek pengagum Al Virzha Diemen Salim, hal tersebut merupakan sesuatu yang romantis, namun bagi Tera malah sebaliknya. Norak! Terlebih saat ini ia tengah dekat dengan Bram meskipun laki-laki itu tak mau ambil pusing dengan segala ulah  Al untuk merecoki hubungan yang tengah mereka usahakan. Bahkan Bram belum lama ini meminta ijin Tera untuk bisa menjadi bagian dari hidup Tera dengan status berbeda.

           Berpacaran? Ah belum, namun ada kemungkinan besar akan. Tera meyakinkan diri sendiri setiap kali hatinya bertanya-tanya hubungan seperti apa yang mereka punya.

           “Jangan diambil pusing lah, Ra. Dia cuma cameo, kan kita pemeran utamanya.” Suatu hari Bram pernah berkata ketika Tera memberi tahu Bram kalau Al bisa melakukan apa saja demi membuatnya jatuh kedalam pelukan cowok itu, bahkan mungkin mencelakai Bram sekalipun.

           “Kalau dia apa-apain kamu gimana?”

          Tera masih ingat hari itu Bram tersenyum lembut, seolah hal tersebut mampu menghapus segala jejak kekhawatiran yang membayangi hatinya. “Kamu lupa aku pemegang sabuk hitam Taekwondo?” Tera menggeleng, “Jadi, sebelum dia bisa apa-apain aku, aku akan pastikan kalau kamu aman terlebih dulu.” Tera speechless saat itu mengetahui betapa Bram peduli padanya, membuat ia yakin kalau mereka berdua memang memiliki harapan untuk bersama. Lalu, sambil membiarkan Bram menepuk-nepuk puncuk kepalanya, Tera mendengar cowok itu bergumam kalau Tera akan aman bersamanya.

          “Ra,” Suara menentramkan hati banget itu terdengar, membawa Tera kembali ke masa kini sembari merasakan jari-jari panjang Bram menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya.

          Tera yang sebelumnya asik melamun sembari menyeruput es tebu segar sepanjang masa langsung mengangkat kepala, dan blushing mendapati kalau dirinya tengah ditatap intens oleh cowok yang duduk di sebelah. “Kenapa?” Tera bertanya, mencoba mengabaikan tatapan penuh minat dari beberapa penghuni kantin terhadap kebersamaan meraka.

        “Date night sama aku mau nggak?”

       Ajakan Bram yang to the point itu membuat Tera tertawa gugup. “Kamu to the ponit banget ih.”

       Bram menggedigkan bahu acuh sembari memasang tampang minta dicubit gemas. “Mau?”

       “Kitanya mau kemana emang?”

       “Ya kemana aja, Ra. Yang penting kitanya pergi bareng-bareng.” Tera tersenyum lebar seolah debaran jantung di balik rongga dadanya baik-baik saja. “Mau?” Bram bertanya lagi yang dijawab dengan anggukan kepala Tera.

         Mana bisa sih Tera menolak ajakan cowok yang di matanya sempurna banget ini, berbeda dengan Al, bagi Tera Bram itu ibarat bodyguard sekaligus malaikat, membuatnya selalu merasa terlindungi tanpa adanya intimidasi, bahkan ketika Tera mengatakan kalau Al sudah menjebaknya sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain mewawancarai Om Hendrick, Bram hanya tersenyum sembari berucap: nggak jadi masalah, Ra, yang penting tugas kamunya cepat selesai. Jadi, bagaimana Tera tak semakin jatuh hati pada laki-laki yang hari ini memilih polo t-shirt merah dan jean gelap sebagai OOTD-nya itu?

        “Iya ayo. Kemana aja ya, Bram. Yang penting perginya sama kamu,” lirih Tera kemudian malu-malu membuat Bram tergelak, dan cewek itu pun bergabung bersamanya tanpa menyadari kalau kebersamaan mereka tidak hanya dinikmati oleh penghuni kantin, melainkan juga Al yang kini tengah berdiri di dekat Byson di parkiran dengan tangan sudah mengepal erat di kedua sisi tubuh.

       Seolah ikut merasakan suasana hatinya saat ini, Jakarta mendadak menjadi lebih panas banget, dan Raden yang menyadari kalau sang sohib tengah terbakar api cemburu mencoba mengingatkan. “Lentera Kamasean bukan cewek lo, jadi nggak ada alasan buat lo untuk marah apalagi sampai matahin tulang idung tuh cowok.”

        Al tak menggubris Raden yang berdiri di samping, memilih meraih helm, menunggi motor setelah helm itu membungkus kepala. Lalu, dengan perasaan gondok ia pun pergi dari sana meninggalkan Raden yang masih mematung di bawah guyuran terik matahari.

(***)

          Walau yang diinginkannya saat ini adalah merebahkan diri di atas tempat tidur demi mengulang kambali memori kebersamaan bersama Bram di sepanjang sisa hari tadi, Tera tetap harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang private tutor. Jadilah sore ini ia sudah berdiri di bawah pergola sembari mengetuk-ngetuk pintu ganda coklat di hadapannya, menunggu seseorang muncul dari dalam sana.

        Sambil menunggu, otak Tera kembali merangkum segala materi yang sudah disiapkan untuk diberikan pada Al, rencananya sih ia akan mengajarkan beberapa pola kalimat serta kosa kata baru pada cowok itu. Jika semuanya berjalan sesuai dengan rencana, minggu depan dirinya akan mulai mengajarkan huruf Kanji karena ternyata si kampret itu sudah menguasai huruf Katakana. Bukankah itu hal yang baik? Terlebih akhir-akhir ini Al semakin rajin belajar. Nyatanya cowok itu memanfaatkan waktu senggang untuk mempelajari Katakana seorang diri daripada keluyuran tak jelas, dan baru dua hari yang lalu Al memamerkan hasil belajarnya pada Tera. Oke, sekali lagi Tera mengakui kalau Al bukan tipe cowok tampan berotak kosong, bahkan muridnya itu sedikit-sedikit mulai bisa mengimbangi dalam percakapan Bahasa Jepang.

         “Eh Mbak Tera udah datang.” Mbak Yum sudah berdiri di depan pintu terbuka ketika lamunan Tera berakhir.

        Tera pun tersenyum lebar, sering bertemu dengan Mbak Yum membuat meraka menjadi akrab.  “Al-nya udah pulang kan, Mbak?”

            “Udah, Mbak. Dari siang malah, tapi sejak pulang sampai sekarang Abang-nya nggak keluar-keluar kamar. Mana belum makan siang lagi, Mbak.” Mbak Yum menjelaskan dengan wajah khawatir karena tidak biasanya sang majikan bertingkah seperti cowok yang tengah patah hati.

            Mengerenyit. “Lho, kok gitu?”

            Mbak Yum menggedikkan bahu. “Abang lagi patah hati kali, Mbak,” katanya yang malah membuat Tere tergelak.

 “Bisa hujan coklat kalau Al patah hati, Mbak. Kan biasanya juga dia yang bikin hati anak orang patah.”

            Mbak Yum tersenyum geli. “Ya siapa tahu, Mbak. Wong nggak biasanya Abang gitu, kok.” Tera hanya mesam-mesem saja sebelum dipersilakan masuk oleh wanita itu

“Tolong bangunin dong, Mbak. Al-nya kan harus belajar.” Pinta Tera pada Mbak Yum yang sudah menutup pintu di delakangnya, lalu sambil bersama-sama melangkah ke ruang tengah, Mbak Yum menimpali.

            “Sayanya nggak berani. Mending Mbak Tera aja, deh, kalau Mbak Tera yang ngebangunin, saya yakin Abang Al nggak akan marah.”

            “Duh nggak deh, Mbak.” Tera menolak karena memasuki teritori pribadi Al sama saja menyerahkan diri dengan sukarela ke kandang macan.

            “Ya kalau gitu belajarnya terpaksa dibatalin aja. Saya beneran nggak berani, Mbak. Takut ngamuk.” Mbak Yum berbisik sembari menutupi sebelah sudut bibirnya.

            Merasa tak punya pilihan lain selain membangunkan Al membuat Tera mengembuskan napas keras-keras. Daripada pulang lagi setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh dengan kemacetan yang membuat darah mendidih, Tera memilih untuk meminta Mbak Yum mengantarnya sampai kamar Al di lantai atas.

            “Semoga beruntung ya, Mbak,” Mbak Yum berbisik ketika mereka sudah berdiri di depan kamar Al sebelum meninggalkan tempat, dan Tera pun cemberut karena hal tersebut.

            Menatap pintu coklat yang tertutup rapat itu, Tera lalu menyiapkan mental bulat-bulat karena tak lama lagi dirinya akan memasuki zona bahaya sepanjang masa sebelum mengetuk pelan. Sekali… dua kali… tetap tak ada jawaban. Kemudian, setelah berdebat dengan dirinya sendiri apakah harus tetap masuk atau tidak, ia memutuskan untuk meraih kenop, memutarnya sebelum mendorong pintu, lantas menyembulkan kepala ke dalam ruangan terang benderang karena serbuan cahaya dari jendela besar di sisi kiri ranjang.

            Benar kata pepatah, usahlah menilai buku dari kaver-nya saja, dan rupanya itu relate dengan apa yang tengah dialaminya saat ini. Sembari mengingat-ingat kapan ia pernah melihat Al membaca buku di salah satu sudut kampus, seharusnya ia berjalan ke arah ranjang besar di mana Al tengah bermimpi di atasnya, bukan malah berdiri takjub di depan rak yang dipenuhi buku hampir menyentuh langit-langit. Ini seriusan si Al doyan baca? Ia bahkan tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya, masih enggan menerima kenyataan kalau rupanya koleksi buku laki-laki itu lebih lengkap dibandingkan dengan miliknya. Ah ia jadi teringat Novel Critical Eleven yang baru beberapa hari lalu selesai dibaca. Di salah satu halamannya tertulis dialog kalau toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa saling mencela. Maksudnya yang Tera simpulkan sih semua buku bisa kumpul jadi satu gitu dalam satu tempat persis dengan apa yang tengah disaksikannya saat ini. Bahkan penulisnya menutup dialog keren tersebut dengan menyatakan kalau bookstores are the least discriminative place in the world, dan itu keren. Namun, agaknya Ika Natassa (penulis Critical Eleven) melupakan fakta kalau kamar seorang laki-laki dewasa dengan rak dipenuhi buku rupa-rupa genre baik fiksi maupun nonfiksi masih jauh lebih keren. Bahkan Al membaca Lady Chatterley’s Lover-nya DH Lawrence! Tera menggeleng takjub.

          Siap meraih novel yang lazim dibaca cewek-cewek seperti Tera itu—mengingat genre-nya adalah romance—ketika pandangan Tera malah tertumbuk pada seikat Bunga Edelweis dalam botol bekas UC 1000 berisi air, bertengger di sudut meja jati bercat coklat mengkilat akibat dipernis dengan manis. Meja belajar tersebut terletak di sisi rak yang baru saja ditinggalkan Tera, di dekat Edelwis cantik tadi berjejer pigura foto bersebelahan dengan tempat pensil meja bergambar Gunung Fuji. Alih-alih mengecek keadaan Al yang tertidur di ranjangnya, ia malah kembali asyik di sana, menyaksikan potret Al dalam foto-foto dengan rupa-rupa latar belakang dan pose,  membuat bibirnya refleks berkedut menyadari kalau kecintaan laki-laku itu naik gunung tidaklah main-main. Seolah semua kenangan di setiap pendakian tak ingin berlalu begitu saja, Al mengabadikannya kedalam bentuk foto.

            Lengan Tera terjulur untuk meraih salah satu pigura, di sana Al tersenyum lebar menghadap kamera sementara hamparan awan bak lautan terpampang di belakangnya. Hanya dalam sekali lihat saja Tera bisa menebak kalau foto itu diambil di puncak gunung entah mana tahu. Kembali menaruh di tempat semula, ketika tanpa sengaja matanya menangkap sembulan kertas dari dalam tempat pensil meja. Diambil atau tidak, akhirnya Tera membiarkan jemarinya mencomot benda tersebut dengan hati-hati. Mengerenyit, karena kertas tersebut merupakan potret seorang gadis manis pemilik lesung pipit.  Mata sebulat kacang almondnya berkilat-kilat, selagi angin gunung meniup helai-helaian rambut sebahunya yang selegam arang. Kepala Tera mendadak dihinggapi pertanyaan dalam pengamatan singkatnya sebelum menggedigkan bahu acuh sesaat sebelum menaruh kembali benda tersebut. Siap melangkah dari sana ketika ia menyadari ada figura yang tertelungkup di atas meja, membuatnya mau tak mau membenahi posisi benda tersebut yang malah membuatnya sekali lagi mengerenyit dalam. Sosok wanita cantik dengan terusan bunga-bunga selutut, dan berambut ikal tampak tersenyum ke arah kamera sementara ada bayi mungil dalam gendonganya. Al kecil? Lalu siapa wanita ini. Namun ia memutuskan untuk mengabaikannya saja di detik kemudian.

            Kini Tera sudah berdiri di sisi ranjang, bergeming mendapati Al yang tengah tertidur miring sambil memeluk guling. Rambut ikal panjanganya terurai, helai-helai sebagian jatuh di depan wajah. Namun, Tera masih dapat melihat jelas betapa tenangnya Al dalam tidur dengan mata terpejam dan napas naik turun beraturan, membuat laki-laki itu tampak jauh dari kesan berbahaya. Bibir Tera lagi-lagi berkedut, kemudian muncul perasaan tidak tega untuk membangunkan Al dari tidur pulasnya. Jadilah ia memutuskan untuk membatalkan les hari ini, siap balik badan ketika merasakan seseorang sudah menggenggam pergelangan tangan kirinya, refleks mata Tera membesar.

           Tanpa memberikan Tera kesempatan untuk protes, Al sudah menariknya sampai terhuyung, kemudian jatuh terberbaring miring dan merasakan kaki Al yang membelit kakinya sementara lengannya ditahan sedemikian rupa.

            Berhadapan, Al bertanya dengan suara serak dan mata mengantuk ciri khas orang baru bangun tidur. “Mau ke mana, hmm?”

            “Lepasin nggak, Al.” Tera berdesis, kepanikannya lenyap berganti kemarahan, lengannya yang ditahan oleh genggaman kedua tangan Al masih berusaha ia bebaskan meski gagal karena kalah tenaga.

            Al malah menyeringai, kurang ajar memang, lalu menggeleng. “Nggak.”

            “Lepasin!”

           “Kalau aku nggak mau lepasin kamu memang kenapa?” kaki panjannya yang membelit kaki Tera ia tekan karena gadisnya masih saja berusha berontak. Siapa juga yang mau ngapa-ngapain dia ya.

           Sementara itu Tera melotot gara-gara ucapan barusan. Apakah kupu-kupu sudah bermetamorfosis menjadi laba-laba? Karena baru saja ia mendengar Al mengganti gue-elo-nya dengan aku-kamu.

          “Lepasin ih! Kalau nggak gue bakal teriak!” Tera mengancam setelah lepas dari keterkejutannya, dan Al pun tergelak.

             “Kalau teriak, Mbak Yum nggak akan berpikir kalau kamu lagi ada dalam bahaya. Dia bakal berpikir sebaliknya, Sayang.” Al menyeringai jahil yang sukses membuat Tera menutup mulut rapat-rapat dengan wajah semerah tomat karena memahami arti di balik ucapan cowok itu, sementara Al tersenyum gemas menyaksikan pemandangan langka di depannya. “Bagus. Sekarang biarin kita kayak gini dulu, sebentar aja,” Titah Al, menatap Tera penuh arti sebelum menempelkan kening mereka untuk memejamkan mata mencoba menikamti saat-saat kebersamaan meraka.

            Selagi Al tampak begitu menikmati posisi mereka Tera malah ingin sekali berteriak dan meninju hidung cowok itu, namun jika ia melakukan hal tersebut, bukannya kebebasan yang didapat, melaikan sesuatu yang lebih buruk. Makadari itu, Tera lebih memilih pasrah terjebak bersama Al, menghindari kemungkinan untuk menatap wajah cowok itu dengan mengalihkan pandangan pada pemandangan di luar jendela, bergeming untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk mengintip Al diam-diam, dan saat itulah ia tertegun saat menyaksikan kerentanaan dari wajah Al. Kelopak matanya memang masih tertutup rapat, namun Tera dapat merasakan kalau cowok itu tengah berdebat dengan dirinya sendiri entah untuk apa. Mendadak perasaannya diserang sesuatu yang aneh, membuatnya frustasi terlebih saat terbesit keinginan untuk menyurukkan jari-jarinya di antara rambut ikal Al. 

            Menggelengkan kepala demi membuang jauh keinginan tersebut, Tera pun kembali memikirkan cara untuk bisa meloloskan diri. Saat merasakan cekalan lengan Al melonggar, Tera bersiap mendorong tubuh laki-laki itu menjauh, namun dia kalah cepat karena Al kini malah membawa tubuhnya semakin dekat, memeluk erat seolah enggan terpisahkan dari apapun di luar sana. Rasanya aneh bagi Tera, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan selain keinginan untuk berontak melepaskan diri. Namun, ia tak tahu apa…

            “Sumpah demi apapun lepasin gue!” Akhirnya Tera berteriak lemah di depan dada Al, namun Al menulikan pendengaran, memilih memejamkan mata kembali sembali mengelus kepala Tera yang ada dalam pelukannya.

            Sejak terbangun dari tidurnya beberapa menit lalu, Al memilih untuk tidak langsung beranjak dari tempat tidur, berniat mengumpulkan nyawa barang sejenak sembari memikirkan keusilan apa yang bisa ia lakukan pada Tera saat belajar nanti. Akan tetapi telinganya mendengar ribut-ribut di depan pintu kamar sebelum sempat ia menemukan ide tersebut. Dari jauh pun dia sudah bisa mengenali siapa sang pemilik suara, makadari itu ia langsung kembali memejamkan mata saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Saat mendapati kenyataan kalau Tera lah yang memaski zona pribadinya, Al memilih untuk bersandiwara sampai kemudian ia merasakan kehadiran gadisnya di sisi ranjang. Jika mengikuti insting liar laki-lakinya, saat itu juga ia ingin menerkam Tera. Namun, mengingat kalau ia pernah begitu melukai gadis itu dengan bertingkah kurang ajar, Al menekan hasrat tersebut jauh ke dasar perut. Berjanji tidak akan menyentuh Tera kecuali mungkin hanya sebuah pelukan. Demi apapun dia menginginkan Tera. Sehingga, saat mengetahui Tera akan pergi meninggalkannya, ia terpaksa harus meraih lengan Tera sampai gadis itu kini sudah pasarah dalam pelukannya. Jangan kurang ajar, Al. Ia mengingatkan diri sendiri.

            Al tersenyum sendiri menikmati kebersamaan mereka, namun senyum itu lenyap ketika merasakan tubuh gadisnya menegang sembari mendengar cicitan Tera.

        “Al. Plis... guenya jangan diapa-apain—” Tera ketakutan, bahkan sudah hampir menangis.

            Entah halusinansi atau memang kenyataan kalau Al mendengar suara Tera bergetar, makadari itu dengan enggan ia langsung melonggarkan pelukan ketika merasakan Tera medongak menatapnya, membuat ia seperti ditempeleng mendapati mata Tera berkaca-kaca terlebih ketika gadis itu kembali bersuara.

         “Please, guenya jangan diapa-apain, Al.”

         Al mengerenyit, sebegitu takutkah Tera pada dirinya? Diam-diam ia memaki diri sendiri. Namun, memang ada hal yang sangat ia ingin lakukan saat ini pada Tera, dan hal tersebut tak bisa ia bendung lagi. Jadi detik berikutnya Al sudah memajukan wajah, lalu kedua kelopak matanya terpejam demi menghayati ciuman dalamnya di kening Tera. Saat itu juga Al menyadari sesuatu kalau… kalau… shit! Menarik dirinya kembali, pandangan mereka pun beradu. Kali ini Tera menyaksikan  sesuatu yang hangat terpancar dari tatapan itu.

            “Kayaknya… aku benar-benar jatuh cinta sama kamu.”

         Tera tertegun, bahkan ia masih terkejut dengan ciuman dalam Al di keningnya seolah cowok itu tengah berusaha menyampaikan sesuatu padanya, dan kini Al  malah membuatnya kehilangan kata-kata dengan pengakuan barusan. Menggeleng… tidak, tidak mungkin seperti itu, Al pasti hanya main-main. Lalu, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Tera berhasil mendorong tubuh Al sampai cowok itu berbaring terlentang.

        Buru-buru bangkit, dan menjejakkan kakinya di lantai,  Tera lantas berlari meninggalkan kamar dengan jantung berdebar. Kini ia tahu apa yang diinginkannya namun tak bisa dijelaskan itu, mengulang waktu agar tak pernah bertemu Al di depan Familymart paska hujan beberapa waktu lalu.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Half Moon
987      531     1     
Mystery
Pada saat mata kita terpejam Pada saat cahaya mulai padam Apakah kita masih bisa melihat? Apakah kita masih bisa mengungkapkan misteri-misteri yang terus menghantui? Hantu itu terus mengusikku. Bahkan saat aku tidak mendengar apapun. Aku kambuh dan darah mengucur dari telingaku. Tapi hantu itu tidak mau berhenti menggangguku. Dalam buku paranormal dan film-film horor mereka akan mengatakan ...
November Night
335      234     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Story Of Me
3193      1149     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
997      632     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
The War Galaxy
11262      2334     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9215      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5731      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance