Gue peringatin ya, Al.
Mulai dari sekarang elo jauhin sahabat gue!
Dan, kalau masih berani macam-macam sama dia,
gue orang pertama yang bakal ngedamprat lo!!—Anggia
Paginya, sesaat setelah tiba di kampus, Anggia langsung mencari Al di FISIP untuk memberi pelajaran pada cowok itu atas apa yang telah dilakukannya pada Tera. Tentu saja Tera tidak mengetahui rencana tersebut karena semalam dia sudah diwanti-wanti untuk tidak melakukan apapun pada Al. Hanya saja, Anggia tidak bisa tinggal diam setelah mendengar bajingan itu melecehkan sahabatnya, hatinya bahkan terasa seperti dicubit saat melihat tangisan Tera semalam, membuatnya teringat kejadian empat tahun lalu saat mereka masih duduk di bangku SMA.
Kala itu Anggia berpacaran dengan seorang laki-laki bernama Doni yang umurnya dua tahun lebih tua. Doni mungkin laki-laki baik, tapi saat marah, dia bisa menjadikan Anggia sebagai samsak tinju. Tera yang melihat Anggia diperlakukan seperti itu pun meradang, lalu dengan beraninya mendatangi Doni di kampus, dan berkoar-koar di hadapan teman-teman Doni kalau cowok itu adalah seorang psikopat yang gemar menganiaya pacarnya. Tentu saja Doni yang kedoknya terbongkar merasa malu, ditambah di depan teman-teman Doni pula Tera mendukung Anggia untuk memutuskan Doni. Mengingat kejadian itu dan apa yang telah Tera lakukan untuknya, Anggia merasa inilah saatnya untuk membalas kebaikan Tera, dia ingin melindungi Tera seperti Tera selalu berusaha melindungi dirinya.
“Mana Al?” tanya Anggia tanpa basa-basi ketika ia sudah berdiri di depan pintu kelas Al sementara pandangannya berkeliling ruangan. Untung mata kuliah pertamanya masih sekitar satu jam lagi, jadi ia mempunyai kesempatan untuk mendamprat laki-laki itu.
Merasa namanya disebut, Al langsung menelengkan kepala ke arah pintu, dan cowok yang tengah nimbrung bersama teman-temannya itu berkerut kening ketika mendapati Anggia berdiri di depan sana. Dari raut wajah cewek itu Al bisa langsung menyimpulkan kalau kedatangan Anggia adalah untuk mencari gara-gara. Bangkitlah Al dari duduk, lalu dengan langkah seanggun predator dia mendekati sahabat Tera tersebut. Sementara, Raden yang kebetulan sudah datang, dan sedang asyik membaca komik pun langsung menaruh perhatian pada pemandangan di depan sana, bertanya-tanya kenapa Anggia bisa tersesat di sana.
“Elo nyari gue?” Al bertanya sambil melipat tangan di depan dada selepas tiba di dekat Anggia, namun bukannya mendapatkan jawaban, yang Al peroleh malah sebuah tamparan tepat di pipi kiri, membuat seluruh penghuni kelas itu terkesiap termasuk Raden, sementara yang baru saja ditampar hanya tersenyum sinis sembari mengusap pipi panasnya.
“Itu buat Tera karena elo udah berani kurang ajar sama dia!” sembur Anggia. Kemudian, sembari menunjuk-nunjuk Al, dia melanjutkan. “Gue peringatin ya, Al. Mulai dari sekarang elo jauhin sahabat gue! Dan, kalau masih berani macam-macam sama dia, gue orang pertama yang bakal ngedamprat lo!” mendengus sinis, siap meninggalkan tempat ketika Al sudah mencengkram tangannya.
Al langsung menarik Anggia, membawanya pergi menjauhi tempat, dan teman-teman sekelas yang sudah terlanjur penasaran dengan kelanjutan drama tadi pun langsung mengikuti mereka. Saat mereka berdua sudah berdiri berhadapan di ujung lorong, Anggia menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya terlebih ketika melihat kilatan kemarahan dari sorot mata Al, dan kalau pun cowok itu berani macam-macam padanya, bisa dipastikan dirinya akan langsung k.o di tempat. Anggia mulai gelisah menyadari hal tersebut, jika ada kesempatan lebih baik ia kabur saja.
“Gimana keadaan Tera?”
Heh? Cewek itu tertegun, terkejut saja karena reaksi Al di luar perkiraannya, namun Anggia tak ingin tertipu karena bisa saja saat ini Al tengah berakting. “Apa menurut lo dia akan baik-baik aja setelah diperlakukan kayak cewek murahan, hah?!” Semburnya, dan Al berkerut kening karena ucapan Anggia membuatnya serasa ditabok tepat di ulu hati. “Tapi lo tenang aja, Al. Dia lebih kuat dari yang lo tahu kok, jadi gue peringatin jangan macam-macam sama dia!” Anggia tak main-main, “Dan satu lagi, mulai dari detik ini elo diharamkan berada dalam radius satu meter aja dari Tera! Jauh-jauh deh lo dari dia!”
Al menggeleng. “Gue nggak bisa, Gi.” Wajahnya tampak muram, ia benar-benar merasa bersalah pada Tera, siap melakukan apapun untuk menebus kesalahnnya tersebut kecuali menjauhi Tera.
“Elo kan bisa dapetin cewek manapun! Kenapa harus ganggu hidup Tera, sih?!”
“Karena gue cuma mau Tera!” bentak Al sambil melotot membuat Anggia terlonjak ke belakang. Menyadari ketakutan cewek di hadapannya membuat Al menghela napas sebelum menyapukan pandangan pada wajah-wajah temannya yang bergerombol menjadikannya tontonan sampai pandangannya bertemu dengan Raden, “Den, lo urus ni cewek, jangan biarin dia lepas sebelum gue balik!” titahnya, lalu membawa Anggia pada Raden.
“Eh apa-apaan sih, lepasin!” Anggia meronta, mencoba melepaskan cekalan Al sebelum Raden mengambil alih lengannya, sementara teman-teman yang lain masih asyik menyaksikan semua kejadian itu.
“Mau kemana, lo?” tanya Raden pada Al, lalu memelototi Anggia ketika cewek itu masih terus berusaha melepaskan diri.
“Nemuin Tera,” Al menjawab sembari ngeloyor pergi, mengabaikan teriakan Anggia di belakang sana.
“Al, gue peringatin jangan berani-berani lo temuin dia! Al!”
Sementara itu, Raden yang melihat wajah kesal Anggia malah tertawa gemas, namun menyadari tatapan liar dari teman-temannya kepada cewek itu membuat ia menggeram seperti bison. “Eh awas ya, jangan ada yang berani macam-macam sama ni cewek, dia tanggung jawab gue. Udah sana lo semua bubar,” perintahnya yang disambut dengan sorakan para penonton.
Membawa Anggia masuk ke dalam kelasnya, Raden pun mendudukkan cewek itu di kursi paling pojok. Ikut menghempaskan diri di samping Anggia demi menghalangi cewek itu agar tidak melarikan diri. Lalu, sembari memandangi sang mantan pacar penuh minat, dia menyapa, “Hai Gi. Apa kabar?”
(***)
Al menuruni tangga sebelum meninggalkan fakultasnya untuk menuju Fakultas Sastra, tak ingin ambil pusing dengan ancaman Anggia barusan, dia harus tetap menemui Tera demi memastikan kalau gadisnya baik-baik saja paska diperlakukan kurang ajar. Asal tahu saja, semalam, setelah meninggalkan rumah Tera, dia benar-benar diliputi perasaan bersalah, berkali-kali berniat untuk menelepon, dan meminta maaf, namun berkali-kali juga dia mengurungkan niat tersebut karena tahu kalau Tera pasti tidak sudi berbicara dengannya lagi. Bahkan Al memutuskan untuk memberikan pagi yang tenang pada Tera setelah kejadian buruk semalam dengan mengurungkan niat menyambangi rumah cewek itu sebelum ngampus. Namun sekarang, setelah Anggia mendatanginya, keinginan untuk bertemu Tera tidak bisa dibendung lagi, dia harus melihat gadisnya, harus!
Tiba di kelas Tera, Al hanya mendapati dua orang cewek yang tengah mengobrol, usut punya usut memang tidak ada perkuliahan di jam pertama. Makadari itu Al segera menuju ke tempat lain, mendatangi titik-titik kampus yang kemungkinan besar akan dikunjungi Tera. Perpustakaan, kantin, sekre UKM, bahkan fotocopy center, namun Al malah menemukan Tera di sekitaran Masjid. Cewek itu tengah duduk selonjoran di bawah pohon rindang sambil melamun sementara sebuah buku yang terbuka hanya teronggok di atas pangkuannya. Pemandangan tersebut membuat Al serasa dicubit, terlebih ketika menyadari kalau mata cewek itu terlihat sedikit sembab, dan ia tahu apa penyebabnya.
Al baru saja akan memperpendek jaraknya dengan Tera ketika melihat Bram mendatangi cewek itu, kakinya pun refleks berhenti melangkah, lalu mendengus geram menyaksikan sebuah senyum sumringah tercetak di wajah Tera. Sialan memang, sambutan Tera terhadap Bram berbeda 360’ dengan sambutan yang selalu diberikan padanya, membuat ia kesal setengah mati, dan tanpa sadar kesepuluh jari di sisi tubuhnya sudah mengepal. Namun, semarah apapun Al saat ini, ia memutuskan untuk membiarkan mereka berdua, memilih membawa tubuhnya meninggalkan tempat demi menjauh dari pemandangan di belakang sana yang membuatnya ingin menendang seluruh tong sampah di kampus ini. Bahkan, ketika ia sudah menyusuri koridor, dan ponsel dalam saku celana jeannya berdering, kekesalan itu tak berkurang sedikit pun.
“Aku lagi sibuk, kamu neleponya nanti lagi aja,” tandasnya tanpa basa-basi setelah ponsel menempel di sebelah telinga, siap memutuskan percakapan ketika mendengar tawa wanita di ujung sana.
“Sibuk apa sih, Bang? Paling juga lagi sama cewek-cewek.”
Mendengus kesal, “Ada apa?” sebenarnya dia malas meladeni wanita itu, wanita yang ia benci sekaligus… ah dia berusaha mengenyahkan perasaan aneh yang muncul di hatinya jika berada dekat dengan wanita tersebut, wanita yang sudah menggantikan posisi Mamanya.
“Kamu lagi nggak di kelas, ya?”
“Hmmm.”
“Nanti langsung pulang bisa? Pokoknya sampai sore jangan kemana-mana.”
Al cemberut, tak suka jika harus diatur-atur seperti itu oleh orang yang sama sekali tak memiliki ikatan darah dengannya, namun dengan sebuah alasan yang bahkan ia tak tahu apa, dirinya tak bisa menolak rencana sang Mama tiri untuk mempertemukannya dengan seseorang yang entah siapa itu nanti sore, apalagi Papa mendukung rencana tersebut, dan sudah secara pribadi meminta Al untuk tidak menolak. Tahu tidak? Permintaan Papa merupakan perintah baginya. Tapi, tetap saja, dia tak ingin membuat Mama mendapatkan keinginannya dengan mudah. “Aku kan udah bilang nggak mau! Kenapa—”
Ucapan Al terpotong ketika sekali lagi mendengar tawa lepas Mamanya. “Kalau gitu sampai bertemu di rumah ya, Bang, bye…”
Al pun misuh-misuh tak karuan paska diputuskan sepihak oleh sang Mama, dengan perasaan kian gondok dia lantas memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Berniat menuju kelas, namun di tengah jalan Al memutuskan untuk menemui Natali saja. Yeah… Natali yang dicarinya jika sedang marah.
NEXT >>>>