Gadis muda berwajah manis menatap proyeksi di dinding kamarnya dengan mata berbinar-binar. Sementara itu dalam proyeksi, tujuh pria tampan menari dengan enerjik. Idolanya yang selalu menjadi ejekan kawan-kawannya mengingat tujuh pria itu sebaya dengan ayah mereka. Mereka bahkan mengoloknya dengan sebutan electra complex. Sang gadis tak peduli, tumbuh besar tanpa ada seorang pun laki-laki di keluarganya membuat gadis itu memang haus kasih sayang seorang ayah.
Klik
Proyeksi menghilang secara mendadak. Gadis itu menatap protes pada wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah dingin di depan pintu kamar yang terbuka. Gantungan bertuliskan “TITIN’S ROOM” bergoyang saat wanita itu menyandarkan bahunya di daun pintu. Tangannya menyilang di depan dada setelah tadi memencet lingkaran merah berdiameter 2 cm yang menancap di dinding. Hanya ponsel dan televisi bentuk proyeksi itu benda berbau teknologi di rumah ini. Titin bahkan merengek-rengek sampai mogok makan untuk mendapatkannya.
“Aishh, Ibu! Kenapa dimatikan sih?” protes Titin kesal.
“Ibu tidak suka kamu menonton acara yang tidak ada manfaatnya seperti itu!” balas sang ibu. Titin mengerucutkan bibirnya. Bagaimana bisa ibunya menghina sang idola begitu saja? Titin hendak mendebat sang ibu namun langsung mengkerut melihat wajah kaku dan dingin. Titin merasakan luka yang dalam manik beriris cokelat itu.
Mulutnya seolah terkunci. Titin tahu Ibu selalu menyembunyikan lukanya. Dia juga tahu membesarkan dua anak perempuan tanpa suami itu bukanlah hal mudah. Ibu yang selalu bekerja keras merintis tambak udang bersama Oma, tersenyum lembut saat anak-anaknya merengek manja, tak tidur semalaman jika ada anaknya yang sakit.
“Ya sudah kalau begitu Titin main di luar saja!”
Titin bangkit dari atas kasur dengan sprei bermotif hati. Tangan kanannya meraih jaket abu-abu bergambar Tintin, tokoh kartun yang melegenda puluhan tahun lalu yang entah kenapa menjadi booming kembali akhir-akhir ini.
Sneaker berwarna biru dengan gradasi pink milik Titin menendang kerikil yang tak bersalah. Rasa kesalnya memang telah banyak menyusut namun akan terasa lebih puas kalau bisa melepaskannya pada kerikil-kerikil malang itu. Titin mempercepat langkahnya, tak sabar untuk kembali menyelidiki laboratorium tua milik almarhum Opa Dzakky.
Mata Titin seolah tak berkedip. Dia mencoba mencari jalan masuk ke dalam ruangan bundar itu. Akh! Pintunya terbelit tanaman merambat. Titin jadi teringat pisau komando milik Pak Ujang, kepala penjaga tambak udang keluarganya.
Aha! Aku akan meminjamnya nanti tentu saja pinjam diam-diam he he he
“TITIN!” Titin terhenyak. Suara yang amat dikenalnya terdengar sangat kesal, suara kemarahan Oma Dzakkya. “Sudah Oma bilang ‘kan jangan main disitu! Kamu ini bandel sekali sksksdendekslso!” omel Dzakkya panjang lebar.
“Auuuu! Ampun Oma!” jerit Titin begitu jemari sang nenek menjewer telinganya. Titin pun tak punya pilihan lain selain pulang bersama Dzakkya. Matanya menatap langit biru dihiasi gumpalan awan.
Andai saja Opa Dzakky masih hidup, pasti menyenangkan membantunya di lab itu, bisik hati Titin.
...
“HEY! Kamu melamun! WOYYY!”
Pria muda yang dikira terbakar di laboratorium 50 tahun lalu, menggerak-gerakkan tangan kanannya di hadapan Titin. Senyuman terbit di sudut bibir Titin. Dzakky mengerutkan kening tak mengerti kenapa gadis di hadapannya malah senyum-senyum sendiri. Titin mendadak memeluk Dzakky erat. Buliran bening menuruni pipinya.
“Makasih Opa makasih untuk datang ke sini,” isak Titin. Dzakky menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bersalah pada istrinya karena berpelukan dengan si gadis muda. Sebenarnya, dia masih ragu gadis itu adalah cucunya.
Lima belas menit berlalu. Titin mengelap sisa airmatanya dengan kasar. Wajahnya menjadi lebih riang. Mata beriris cokelat nampak berbinar. Dzakky menatap Titin dengan alis bertaut, meminta penjelasan.
Titin pun mulai menceritakan hidupnya. Bagaimana dia selalu rindu pada sosok ayah yang tak pernah dilihatnya? Kadang dia iri pada temannya yang bermanja-manja dengan kakek mereka. Meskipun adakalanya Titin juga bermanja-manja pada para pekerja tambak udang yang selalu ramah dan humoris.
“Oh, jadi selama ini kamu itu kurang kasih sayang,” celetuk Dzakky asal. Titin merengut. Kalau tidak takut kualat, ingin rasanya melempar wajah dengan ekspresi menyebalkan itu sneaker miliknya.
“Opa!”
“Ha ha ha tenang saja sekarang kamu ‘kan sudah punya opa, ganteng dan keren begini lagi.” Titin merasa mau muntah. Kau tahu kawan? Terkadang ekspektasi tak sesuai realita. Titin berharap mendapatkan seorang kakek yang ramah, humoris dan penuh kasih sayang tapi malah ....
“Terserah Opa deh. Ayo kita pulang!”
***
Dzakky merasakan debaran jantungnya semakin menguat. Rumah panggung yang desainnya dibuat sendiri oleh Dzakkya berdiri tegak di hadapannya. Tak banyak berubah, meski lima puluh tahun telah berlalu. Titin yang telah membuka pintu dengan sangat perlahan memberi isyarat pada sang kakek untuk masuk ke rumah. Titin segera menutup pintu dan menguncinya tanpa menimbulkan bunyi ketika mereka berada di dalam rumah.
“Opa mau mandi dulu?” tanya Titin namun tak mendapat sahutan. Dia mencoba mencari keberadaan Dzakky.
Titin terdiam ketika melihat sang kakek berjalan pelan menuju figura yang tergantung di ruang tamu. Sepasang mata berkaca. Tangan kanan yang masih berjelaga menyentuh perlahan figura, tepatnya wajah wanita cantik dalam figura. Wanita itu tengah mengecup kening bayinya.
Dzakky berpindah pada figura kedua. Kali ini sang wanita cantik tengah bergandengan dengan gadis kecil berseragam putih merah. Jemari lelaki muda itu gemetar. Dia kembali mengamati figura lainnya, wanita cantiknya telah memiliki beberapa kerutan di wajah, dipeluk oleh gadis memakai toga. Dzakky menggigit bibirnya, menahan butiran bening yang siap tumpah.
“Maaf aku membiarkanmu berjuang seorang diri ....” Jemari Dzakky menelusuri lekuk wajah cantik yang mulai menua dalam figura. Sentuhan lembut di bahu membuatnya sedikit tersentak.
“Opa ...,” suara Titin terdengar lirih.
Titin menatap kakeknya bersimpati. Dia dapat merasakan cinta yang amat besar tergambar di kedua bola bening itu. Dzakky menatap foto yang paling ujung. Kali ini ada Titin di sana. Foto itu diambil ketika mereka liburan bersama di pantai saat Titin berusia sepuluh tahun. Dalam foto, nampak Titin dan adik kembar tidak identiknya, Ajeng tengah menikmati sepotong semangka. Di belakang keduanya, Oma dan Ibu tengah tertawa gembira.
“Jadi, kamu benar-benar adalah cucuku?” Tangan Dzakky menyentuh lembut wajah cucunya. Matanya nampak sayu. Titin merasa dadanya mendadak sesak. Berbagai rasa membuncah, bercampur aduk.
“Opa ...,” suara Titin bergetar, hendak menangis lagi. Namun, wajah lelaki muda di hadapannya mendadak berubah jahil.
“Ya ampun padahal aku ganteng, istri dan anakku juga cantik, kenapa cucuku jadi jelek begini ya? Apa putriku nikah sama cowok jelek hmmm.”
“OPA!” teriak Titin kesal. “Opa jahat!” omel Titin dengan suara lebih pelan, takut membangunkan ibu dan neneknya. Tadi ‘kan dia pergi secara diam-diam. Dzakky tertawa lepas, puas menjahili sang cucu.
“Ya sudahlah aku mau mandi dulu.”
“Oh tunggu, Opa! Biar kuambilkan baju ganti dan handuk!”
Titin melesat masuk ke dalam kamarnya. Tanganya dengan gesit mengambil handuk dalam lemari. Titin terdiam sejenak sebelum membuka kotak yang terbungkus kertas kado bermotif hati. Dia menghembuskan napas perlahan, meraih jersey berwarna biru dalam kotak.
Ah tak apa. Toh aku juga tak mungkin diizinkan ibu untuk memberi hadiah pada idolaku, Sung Jae. Biar buat Opa saja.
Titin ke luar dari kamarnya dan segera menyerahkan handuk dan jersey pada Dzakky. Sang kakek segera menuju kamar mandi. Sepeninggal Dzakky, Titin menghempaskan pantatnya di atas sofa ruang tamu. Dia menjentikan jarinya, proyeksi layar persegi ukuran 10 x 10 cm muncul di hadapannya.
Kata sandi Anda ...
“Sung Jae, super duper ganteng!” seru Titin. Beberapa fitur muncul di layar. Jemari Titin bergerak lincah menekan salah satu fitur.
Apa ceritamu hari ini?
Jemari Titin kembali bergerak, menuliskan sesuatu.
Aku senang sekali hari ini. Salah satu do’aku dikabulkan Tuhan. Yah ... meskipun sedikit berbeda dari ekspektasi ...
“Kamu lagi ngapain?”
“Eh ayam ayam ayam!” Titin gelagapan. “Aishh! Opa ngagetin aja!” keluhnya.
Titin memasang wajah cemberut. Dzakky acuh, malah lebih tertarik pada layar proyeksi di hadapan Titin. Matanya berbinar. Sementara itu, kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut yang masih setengah basah.
“Jadi, ini ponsel di masa depan ya? Wow keren sekali!”
“Opa mau? Ada ponsel lamaku.” Wajah Dzakky langsung masam.
“Masa kakek sendiri dikasih bekas.”
“Ya sudah kalau tidak mau ....”
“Opa mau kok!” Titin memasang wajah menyebalkan. Dzakky mengacak-acak rambut cucunya. “Kau ini cucu yang menyebalkan ngikut siapa sih!”
“Ya ngikut Opa.”
Keduanya kembali terlibat pertengkaran kecil. Setelah puas bersitegang, Titin kembali ke kamarnya untuk mengambilkan ponsel lamanya. Dzakky mengerutkan kening melihat benda bulat seukuran baterai arloji namun lebih tipis di tangan Titin. Sang cucu tak banyak menjelaskan malah meletakkan benda itu di telapak tangan Dzakky.
“Ini akan sedikit sakit, Opa.” Belum sempat Dzakky mencerna kalimat Titin, telapak tangannya terasa perih. Mata Dzakky membelalak melihat benda bulat di telapak tangannya menembus kulitnya secara perlahan. Rasa perih berhenti ketika benda itu telah masuk sempurna.
“Ini menakjubkan!”
Dzakky berkali-kali berdecak kagum. Titin mulai menjelaskan bagaimana cara penggunaan ponsel tersebut. Cukup menjentikan jari layar proyeksi akan muncul di hadapan. Kata sandinya menggunakan suara. Dzakky mengangguk-angguk paham.
“Sekarang Opa buatlah kata sandi.”
“Dzakkya kekasih hatiku.”
Kata sandi diterima
“Ya ampun, Opa lebay banget sih bikin kata sandinya,” ledek Titin
“Sung Jae super duper ganteng lebih lebay,” balas Dzakky. Wajah Titin langsung merengut. Dzakky terkekeh. Matanya menangkap jam dinding, 01.20. “Sudah larut malam, sebaiknya kita istirahat.”
Dzakky bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar tidurnya. Titin menepuk dahinya, cepat-cepat meraih tangan kakeknya agar menjauh dari pintu kamar dengan ukiran yang indah itu. Dzakyy menatap titin dengan alis bertaut.
“Opa sudah gila, ya?”
“Enak saja!”
“Ini lima puluh tahun sejak Opa menghilang! Coba Opa pikir apa yang akan terjadi kalau Oma bangun tidur terus menemukan pria muda tidur di sebelahnya! Yang ada Oma bisa kena serangan jantung!”
“Kan tinggal dijelaskan kalau aku dari masa lalu,” balas Dzakky santai.
“Terus Oma bakal terima begitu saja? Oma nggak bakal percaya! Oma benci hal-hal berbau sains dan teknologi mana mungkin percaya soal mesin waktu.” Dzakky mulai membenarkan kata-kata cucunya.
“Ya sudah, apa rencanamu?”
“Opa tidur di gudang dulu.” Dzakky merengut. “Besok kita akan perkenalkan Opa sebagai teman Titin yang mau menginap.” Dzakky yang merasa amat lelah tak ingin banyak mendebat Titin. Dia pun menyetujui rencana sang cucu.
***
Bunyi alarm membuat Titin melompat dari atas tempat tidurnya. Ugh! Kepalanya terasa pening. Dia hanya tidur dua jam saja untuk menjalankan rencana semalam. Titin harus bangun lebih dulu daripada ibu dan neneknya. Tak ingin membuang waktu, Titin segera ke luar kamar, menuju gudang.
Titin memasang wajah kesal melihat sang kakek tidur pulas. Tangannya segera menguncang-guncang tubuh yang melingkar di atas karpet tua. Dzakky membuka matanya sejenak untuk kemudian tidur kembali.
“OPA! Bangun!”
“Lima menit lagi!”
“Bangun Opa!”
Titin tak menyerah, terus menguncang tubuh Dzakky. Usahanya membuahkan hasil, sang kakek akhirnya bangun, duduk dengan malas sambil menggaruk kepalanya. Titin memaksa kakeknya berdiri. Lelaki berwajah manis itu harus segera mandi, untuk kemudian berpura-pura mengetuk pintu ketika ibu dan nenek Titin sudah bangun.
...
Suasana pagi yang hangat seperti biasa mewarnai ruang makan keluarga Titin. Shafa, sang ibu asyik menceritakan Ajeng yang telah sukses membuka restoran di pusat kota bersama suaminya. Adik kembar Titin itu memang baru menikah setahun lalu dan tinggal terpisah. Meski mulutnya terus mencerocos, tangan Shafa tetap sibuk membuat nasi goreng. Sementara itu, Dzakkya menghirup pelan-pelan aroma teh chamomile.
“Hmm ... Ibu, Oma ... apa boleh teman Titin menginap di sini? Dia bekerja di departemen kelautan, ada tugas penting.” Titin menggigit bibirnya. “Tapi laki-laki ....” Shafa menatap putrinya penuh selidik. “Ibu percaya ‘kan Titin nggak akan macam-macam.” Anak dan ibu saling menatap. Hening merayap, suara jam dinding terasa mencekam.
“Boleh saja, Tin,” ucapan Dzakkya memecah keheningan. Shafa mendelik pada sang ibu. “Jadi Ibu jangan galak-galak, Shafa. Oma percaya kok Titin tidak mungkin jadi gadis nakal.” Dzakkya mengusap kepala cucunya. Titin tersenyum senang.
“Makasih, Oma!” serunya riang sembari mengecup pipi kanan sang nenek. Dzakkya terkekeh melihat tingkah manja cucunya. Titin tahu nenek akan selalu menuruti keinginannya dan menyetujui pendapatnya kecuali satu hal, cita-citanya menjadi peneliti.
Tok Tok Tok
“eh, Sepertinya dia sudah datang.”
Dzakky memasuki rumah dengan sambil memasang wajah polos. Titin mengajak sang kakek ke ruang makan. Shafa berusaha tersenyum ramah meskipun hatinya dipenuhi curiga. Sementara itu, Dzakkya terpaku. Wajah manis yang telah lama dirindui muncul di hadapannya. Tangannya gemetar, bibir pun bergetar menyebut dengan suara samar nama lelaki yang selalu menempati hatinya.
Waktu seolah merangkak. Bunyi bel jam sebanyak tujuh kali seakan mengembalikan Dzakkya pada realita. Dia merutuki diri sendiri. Wajah tuanya segera berubah ramah, tersenyum lembut pada tamu mereka. Senyuman yang selalu membuat hati Dzakky mencelos. Jika bukan karena pelototan mata Titin, dia pasti akan memeluk sang istri, tak peduli wujud istrinya sudah berubah menjadi wanita tua.
Penuaan menggerogoti wajahmu tapi tidak dengan senyummu, Dzakkya.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Dzakkya ramah.
“Nama saya Dzak ... Auuu!” Dzakky mendelik. Titin mencubit lengannya.
“Namanya Zak, Oma.” Dzakkya mengangguk-angguk. Titin menceritakan beberapa hal mengenai kawan barunya. Tentu saja, semuanya adalah cerita bohong.
GROOOK
Wajah Dzakky memerah seketika. Bunyi perutnya terdengar nyaring. Titin terkekeh namun segera terhenti setelah ditatap tajam oleh sang kakek. Dzakkya tertawa kecil untuk kemudian mempersilahkan sang tamu untuk sarapan bersama.
“Wah saya jadi tidak enak.”
“Tak apa, Nak Zak. Anggap saja kami keluarga sendiri.”
Perlahan kecurigaan Shafa meluntur. Dzakky memang pandai mengambil hati. Shafa bahkan terus menerus tertawa dengan lelucon konyolnya. Titin kesal melihat kakeknya sok keren begitu. Dia pun diam-diam mencomot telur dadar dari piring Dzakky.
“Titin!” Titin menyengir lebar. “Mau jadi cucu durhaka ya?” bisik Dzakky. Keduanya segera terlibat pertengkaran. Dzakkya tertawa kecil, menghentikan perdebatan sang kakek dan cucunya.
“Manisnya ... jadi ingat masa-masa muda Oma yang penuh cinta. Kalau kalian saling suka mengaku saja, jangan sampai terlambat lho,” goda Dzakkya.
“Aku tidak mungkin suka sama dia. Aku ‘kan cintanya hanya sama kamu, Say ....” Titin menginjak kaki Dzakky membuat sang kakek mengaduh.
“Zak sudah punya pacar, Oma. Namanya Qamsay.”
“Nama apa itu, aneh sekali,” bisik Dzakky.
“Terpaksa, Opa sih tidak hati-hati,” balas Titin, juga sambil berbisik.
“Wah maaf ya, Nak Zak. Ayo dimakan lagi!”
***
Mata Dazkky hampir tak berkedip. Perkembangan teknologi ternyata telah melaju begitu pesat 50 tahun terakhir. Bibirnya tak berhenti berdecak kagum begitu tiga buah mobil terbang melintas, juga pada beberapa android canggih dengan bentuk manusia yang hampir tak bisa dibedakan dengan manusia asli. Dia juga sempat kaget dengan bangunan yang membangun dirinya sendiri. Titin cekikikan dengan raut wajah nakal di sebelahnya.
“Kenapa keluarga kita tidak memiliki mobil seperti itu? Apa harganya mahal sekali?” celetuk Dzakky. Dia mungkin teringat truk pengangkut hasil tambak udang yang tengah membawa mereka ke pusat kota.
“Karena Oma tidak suka hal-hal seperti itu ...,” Titin kehilangan wajah jahilnya. Mukanya nampak muram. “Padahal aku ingin sekali menjadi peneliti seperti Opa ....” Dzakky mendadak iba, menyentuh bahu cucunya lembut.
“Mungkin Dzakkya memiliki alasan tertentu. Kita bisa menanyakannya nanti. Aku yakin kamu bisa jadi peneliti yang hebat nanti.” Mata Titin berbinar. “Soalnya ‘kan kamu mewarisi genku, sang peneliti jenius ini.” Titin merengut. “Ha ha ha ya sudah. Ngomong-ngomong kita mau kemana? Katamu ada seseorang yang tahu tentang obat penyakit yang kubicarakan tadi malam.”
Titin memalingkan wajahnya, masih merajuk karena dijahili sang kakek. Dzakky menggelengkan kepalanya. Senyuman nakal terukir di sudut bibirnya. Dia telah memikirkan kejahilan tingkat tinggi. Namun, Dzakky mengurungkan niatnya. Bibirnya membentuk senyuman. Tangannya mengusap lembut kepala cucunya yang tengah tertidur. Pak Ujang yang menyetir tersenyum kecil, mengira adegan itu adegan romantis.
...
Wanita cantik dengan lipstik baby pink tergesa mengambil tasnya. Kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil hitam di halaman. Langkahnya mendadak terhenti ketika tangan kokoh mengenggam pergelangan tangan. Hembusan napas berat terdengar.
“Afif, Kamu mau kemana, Sayang?” Mata yang indah menatap dingin.
“Itu bukan urusanmu, Tuan Sung Jae.”
Afif melepaskan genggaman tangan Sung Jae dengan kasar untuk kemudian bergegas masuk ke dalam mobilnya. Tak lama hingga terdengar derum mesin mobil. Sang suami hanya bisa menatap nanar mobil yang mulai terangkat dari tanah dan perlahan berlalu dari hadapannya. Sung Jae menatap hamparan biru dengan awan bergulung.
Tuhan, apakah ini hukuman-Mu karena dosa di masa lalu itu ....
Sung Jae pun tak menyangka Afif akan mengetahui rahasia yang disimpannya bertahun-tahun dengan Pak Joshua, sang mertua sekaligus pemilik JS entertainment, agensi tempatnya memulai debut. Sejak itu, Afif tak bisa lagi bersikap hangat. Tatapan dingin itu selalu membuat perih di sudut hati. Sung Jae menghembuskan napas berat.
...
Truk tua milik Oma Dzakkya berhenti di halaman sebuah restoran. Titin mengusap-usap wajahnya, mencoba menghilangkan sisa kantuk. Dzakky menatap cucunya dengan raut wajah tak sabar. Bukankah seharusnya Titin membawa sang kakek ke rumah sakit, apotek atau balai penelitian untuk mencari obat? Tapi, kenapa malah ke restoran?
“Kita sampai!” seru Titin riang“
“Sebuah testoran?” gumam Dzakky ragu.
“Yap! Restoran keluarga kita. Adik kembarku yang mengelolanya, cucu opa juga. Ajeng tahu dimana kita bisa mendapatkan obat yang Opa inginkan, sekalian kita mengantar stok udang ke sini.”
Dzakky manggut-manggut. Titin melangkah lebih dulu ke dalam restoran. Dzakky mengikuti langkahnya sembari mengamati Pak Ujang yang sibuk menurunkan puluhan box berisi udang-udang segar dari bak terbuka.
Titin memeluk adik kembarnya dengan riang ketika mereka masuk ke dalam ruangan Ajeng. Sang pemilik restoran memang mempunyai ruang kerja khusus. Tak mau membuang waktu, Titin pun menceritakan peristiwa hebat yang dialaminya semalam. Ajeng menatap tak percaya pada kakek mereka yang masih dalam usia muda itu. Dia segera mengajak mereka duduk. Dzakky tersenyum kecil. Cucunya yang satu ini lebih mirip Dzakkya, manis dan hangat. Tidak seperti yang satunya lagi, jahilnya luar biasa.
Mirip siapa si Titin ini ya ..., batin Dzakky.
“Jadi, Opa ingin mencarikan obat untuk Oma. Ya ampun so sweet banget!” celetuk Ajeng membuyarkan lamunan Dzakky.
“Iya, Jeng. Kata Titin kamu tahu ....”
“Iya, Opa. Suamiku sempat terkena penyakit kanker, tapi sekarang sudah sembuh,” jelas Ajeng. Dia berdiri, menuju meja kerjanya, menarik laci dan merogoh isinya. Ajeng tersenyum senang ketika menemukan selembar kartu nama. Ajeng menyerahkan kartu tersebut pada sang kakek. “Obat itu dikembangkan oleh , farmasis dan dokter terbaik di kota ini, Profesor Shela dan putranya Dr. Dani.” Dzakky menerima kartu nama dengan harapan membuncah.
“Terima kasih ya, Jeng.”
“Sama-sama, Opa. Ah ya! Karena ini sudah waktu makan siang kenapa tidak makan dulu.”
Ajeng mengajak Titin dan Dzakky ke luar dari ruangannya, mempersilahkan mereka duduk di salah satu meja. Dia memanggil salah satu karyawannya, meminta untuk menyiapkan menu spesial restoran. Tak lama hingga hidangan menggugah selera segera tersaji di atas meja. Dzakky dan Titin makan dengan lahap namun tangan Titin mendadak terhenti. Matanya berbinar. Seorang wanita cantik dengan gaun putih tulang dipadu bolero abu-abu memasuki restoran. Sementara itu, Ajeng mendecakkan lidahnya, kesal. Wanita cantik itu malah menuju ke arah mereka. Titin hampir pingsan saking senangnya.
“Selamat siang,” Afif menyapa Ajeng. Titin terperangah, tak menyangka saudaranya mengenal sang artis, istri Sung Jae, idolanya.
“Ya ampun Afif! KYAAA Boleh minta tanda tangan?” serunya riang. Afif tersenyum lembut, membuat Titin semakin meleleh. Tangan halus mengambil buku yang disodorkan Titin dan memberinya tanda tangan.
“Wah manis sekali.” Wajah Titin bersemu, merasa tersipu dengan pujian Afif, juga tak menyadari perubahan raut wajah Ajeng.
“Sebaiknya kamu segera pergi dengan Opa, jangan sampai profesor malah sudah pulang. Beliau tak bisa diganggu kalau sudah di rumah.” Titin menatap adik kembarnya protes. Namun, Dzakky segera menyadari luka di mata Ajeng. Dia segera menarik tangan Titin menjauh.
“Ayo Titin, atau nanti kukutuk jadi batu.”
Titin merengut namun tak bisa melawan kekuatan tarikan sang kakek. Ajeng menghembuskan napas berat ketika kakak kembarnya telah hilang dari pandangan. Dia menatap sinis wanita di hadapannya.
“Sebaiknya Anda juga pulang, Nyonya,”
“Apakah kamu masih membenciku?” Mata Afif berkaca-kaca.
“Entahlah saya juga tak tahu apakah rasa perih yang ada di hati saya setiap melihat wajah Anda dan dia adalah kebencian. Hanya saja jangan lagi masuk dalam hidup kami.”
“Kakakmu itu tidak tahu ....”
“Dulu, Kak Titin juga terluka, lebih dalam dari lukaku dan Bunda. Tapi, Tuhan mencabut luka itu dengan cara-Nya. Jadi, kuharap Anda tidak akan mengembalikan luka itu lagi.” Tatapan Ajeng berubah lebih dingin “Anda sudah tahu pintu keluarnya dimana, saya permisi dulu,” tutupnya sembari berlalu meninggalkan Afif.
***