Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pertualangan Titin dan Opa
MENU
About Us  

BALADA CINTA SANG NAGA

Dzakky mengerutkan kening, berkali-kali membaca papan bertuliskan kantin di atas pintu. Ruangan yang mereka masuki sama sekali tak mirip kantin. Ruangan yang lumayan luas itu hanya terdiri dari kursi-kursi empuk dengan peralatan canggih.

“Silahkan duduk, Prof,” ucapan Shela hampir mengejutkannya.

Dzakky duduk di salah satu kursi  dengan kikuk. Titin tertawa kecil melihatnya. Dia juga segera duduk di kursi. Dzakky melongo ketika sebutir pil disodorkan oleh lengan besi yang menempel di kursi padanya. Titin terkikik.

“Ayo dimakan, Opa.” Dzakky mengerutkan kening. “Beginilah makanan di masa ini. Gizinya juga sudah diatur sesuai kebutuhan kita. Hanya restoran Ajeng yang menjual makanan konvensional, juga di  pinggiran kota seperti di rumah kita.”

Titin menelan pil di tangannya. Dzakky menatap lekat pil di tangannya. Setelah menimbang cukup lama akhirnya dia menelannya. Tak lama hingga perutnya terasa kenyang secara otomatis.

Pantas saja, tak banyak orang gemuk di kota ini. Praktis sih tapi serasa ada yang hilang.

“Nah sepertinya semua telah selesai sarapan. Mari kita bahas rencana selanjutnya di ruangan saya.”

Mereka pun berjalan bersama menuju ruangan kerja Shela. Senyuman Dani menyambut mereka. Dokter tampan itu nampak mempelajari data di hadapannya. Setelah Dzakky dan Titin duduk dengan nyaman, Dani memulai penjelasan mengenai berbagai hal penting terkait misi mereka, baik itu strategi, arah arus laut dalam, posisi-posisi pusaran air berbahaya, zona-zona yang harus dihindari hingga fungsi perlengkapan yang akan dibawa.

“Maaf kami merepotkan Anda, Profesor,” ucap Shela sungkan.

“Ah! Justru aku yang sangat berterima kasih karena diberi obat gratis he he he.”

“Jika kondisi berbahaya, Anda dan Titin harus fokus meneylamatkan diri,” pesan Shela. Keduanya mengangguk.

“Kami permisi, Profesor Shela.”

“Ah ya, Dani antarkan mereka.”

Dzakky dan Titin mengikuti langkah Dani. Sementara itu Shela kembali ke meja kerjanya, berjibaku dengan pekerjaanya yang seolah tak pernah selesai. Pintu yang mendadak dibuka dari luar mengejutkannya.

“Om Joshua?” Shela mengerutkan kening.

“Johan memintaku ke sini,” sahut Joshua dengan nada suara sedih. Shela menghembuskan napas berat bertepatan dengan masuknya Dani ke dalam ruangan.

“Apa lagi maunya?” ucap Shela ketus.

“Kau sudah tahu obsesinya bukan?” Joshua ikut menghembuskan napas berat.

Pintu kembali dibuka. Lelaki paruh baya berwajah sinis memasuki ruangan. Dialah Johan yang tadi dibicarakan. Rambutnya masih terlihat hitam karena rajin disemir. Joshua memasang wajah malas. Dani mendelik kesal. Tawa kecil terbit di bibir Johan. Dia menepuk-nepuk punggung Dani.

“Ah, makin tampan saja calon anak tiriku ini.”

“Jangan bermimpi Johan. Aku takkan menikah denganmu!” Tawa johan kembali pecah. Dani mengepalkan jemarinya kuat.

“Aku akan menunggumu membuka hatimu untukku,” ucap Johan dengan senyuman licik. Tangannya hampir menyentuh wajah Shela namun langsung ditangkap Dani.

Dokter muda itu mencengkram kuat tangan atletis Johan. Tawa keras Johan memekakkan telinga. Tangan kiri sang jenderal menjentik memunculkan proyektor. Dia tersenyum mengancam. Shela terhenyak.

“Lepaskan Om Johan, Dani,” perintah Shela. Dia tak mau lelaki bengis itu memencet salah satu fungsi di proyektor dan meledakkan panti asuhan miliknya. Johan memang sudah lama mengarahkan sebuah rudal ke panti asuhan milik Shela. Dani melepaskan tangan Johan kasar.  Johan tertawa senang.

“Anak yang sangat berbakti. Beda sekali dengan putraku. Dia suka sekali mengacaukan rencana ayahnya. Bagaimana bisa dia menginaktifkan senjata milik negara?”

“Putramu justru menyelamatkan nyawa banyak orang, Johan,” sahut Joshua kesal.

“Ah, sudahlah! Kenapa harus membahas anak durhaka itu?” Johan duduk di salah satu sofa. “Baiklah mari kita bicarakan rencanaku yang terbaru.”

Johan mulai menjelaskan rencana mengerikan yang sudah lama disusunnya. Laki-laki paruh baya itu memang menginginkan senjata biologis pemusnah masal. Dia berkali-kali mendesak Shela mengembangkan virus berbahaya. Johan juga meminta ayahnya, Joshua untuk membuat senjata yang tepat dana aman untuk pengguna saat menembakkan virus tersebut.

Joshua cepat menggeleng. Dia sudah lama meninggalkan industri senjata. Semenjak istrinya, Hani meninggal akibat salah sasaran tembak. Ya, Hani, sang artis dengan berbagai talenta itu terbunuh oleh senjata buatan suaminya sendiri. Akhirnya, Joshua mendirikan agensi JS entertainment yang bergerak dalam bidang musik dan dunia hiburan untuk mewujudkan impian istrinya. Ilmu permesinan miliknya dituangkan dalam desain panggung canggih yang selalu berganti setiap penampilan para artis debutan agensinya.

“Ayolah, Papa! Kau adalah pembuat senjata terbaik di dunia! Kenapa malah mengurusi para pria banci itu?” Joshua mendelik, tak terima.

“Jangan menghina anak-anak didikku, Johan! Paling tidak mereka selalu hadir di upacar akematian Mamamu tidak seperti kamu ....”

“Kau tahu aku pemimpin negara ini, aku sangat sibuk, Pa!”

“Sudahlah! Yang pasti Aku tidak setuju!”

“Aku juga tidak setuju!” Shela ikut memberikan pendapatnya.

“Oke? Kalau begitu kalian tunggu saja kehancuran agensi JS entertainment dan panti asuhan Kasih Ibu, kalian bisa memikirkannya, batas waktunya enam bulan.” Johan bangkit dari duduknya dan ke luar ruangan dengan wajah angkuh.

Hening meraya perlahan. Tiga orang berbeda usia itu larut dalam pikiran masing-masing. Joshua akhrinya menghembuskan napas berat. Dia menatap keponakannya dengan raut wajah sendu.

“Apa rencanamu, Shela?”

“Om tenang saja aku akan membuat Johan mengehntikan ambisinya dengan caraku. Soal anak-anak itu aku berterimakasih pada, Om. Bunker yang Om buatkan desainnya sudah hampir selesai, mungkin tiga bulan lagi sudah bisa dipakai.”

“Profesor ....” Shela mengusap kepala putra angkatnya.

“Kamu tenang saja, anakku. Mama akan membereskan semuanya.” Shela tiba-tiba melihat arlojinya. “Ya ampun sudah saatnya mengamati efek obat terbaru. Om Joshua aku permisi dulu, biar Dani menemani Om.” Shela melangkah ke luar ruangan dengan raut wajah tak terbaca. Dani dan Joshua menatap wanita itu dengan wajah cemas.

***

“Semua sudah disiapkan, Nak?” Titin mengangguk yakin. Dzakkya menatap dengan ragu. Titin memeluk neneknya manja. Dzakky menatap iri, ingin juga memeluk istrinya.

“Oma tenang saja. Sudah beres semua pokoknya.”

Titin memperlihatkan isi ranselnya penuh dengan alat-alat berteknologi tinggi bekal dari Shela. Shafa yang baru tiba bersama Ajeng memberikan petuah panjangnya sampai Titin bosan mendengarnya. Ajeng menatap kembarannya cemas. Dia menyentuh pundak Titin lembut.

“Pokoknya Kak Titin harus kembali!”

“Saya pasti akan menjaga Titin.” Titin mencibir diam-diam. “Kami pasti akan kembali,” seru Dzakky dengan seulas senyuman yang khas.

Dzakkya merasakan jantungnya berdebar. Tatapan mata Dzakky membangkitkan nostalgia. Waktu seakan terhenti, seolah mediang suaminya benar-benar berdiri di hadapannya. Dzakky sendiri tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Sepasang bola bening itu masih teramat indah meski pemiliknya telah dimakan usia. Sementara itu, Titin mengerutkan kening ketika melihat goresan di atas karang. Goresan tak asing itu disentuhnya perlahan. Sekelebat memori melesak-lesak dalam otak.

Gadis kecil berkuncir kuda tertawa riang. Tangan mungilnya sibuk mengores-gores di atas batu karang. Lelaki muda mengamati tingkah menggemaskan putrinya sambil tertawa kecil. Sang putri tiba-tiba menarik lengan baju ayahnya.

 “Lihat, Yah! Titin menggambar Ayah, Ibu, Oma, Titin dan Ajeng.”

“Wah bagus sekali gambar Titin!” puji sang ayah sambil mengelus rambut putrinya.

Titin tersentak. Kepalanya sedikit berdenyut. Bayangan aneh yang tiba-tiba melintas mengusiknya. Wajah lelaki muda dalam ingatannya memang tak jelas tapi entah kenapa menguarkan kerinduan yang dalam.

Apa yang kulihat tadi? Bukankah ayahku sudah meninggal sejak aku bayi?”

“Titin apa yang kamu lamunkan? Ayo nanti keburu senja!”

“Eh oh iya, Op eh Zak!”

Titin mencium punggung tangan ibu dan neneknya, juga memeluk Ajeng. Tak lama kemudian Dzakky dan Titin segera menceburkan diri ke dalam gulungan ombak. Dzakkya tak henti memanjatkan do’a. Awalnya, dia tak ingin mengizinkan Titin pergi, tapi akhirnya luluh dengan tatapan memohon Dzakky.

BYURR

Gulungan ombak menelan tubuh Dzakky dan Titin. Mereka segera mengaktifkan mode menyelam. Tubuh keduanya segera diselimuti lapisan tipis namun kuat, elastis, dan dapat menyuplai oksigen langsung ke dalam aliran darah. Lensa mata infra red juga berfungsi baik untuk melihat di bagian laut yang gelap. Titin menarik Dzakky menuju tempat favoritnya.

Pemadangan bawah laut yang menakjubkan memanjakan mata. Terumbu karang dengan berbagai gradasi warna menghiasi bangkai kapal tua yang berlumut. Ikan-ikan badut lucu nampak menyembul di antara terumbu karang.

“Ah! Sudah lama sekali aku tidak menyelam!” Titin meliuk-liuk di antara terumbu karang, menjahili ikan badut yang berenang ke sana kemari dengan panik.

“Titin, ingat misi kita!”

“Kita? Opa aja kali?” Kepala Titin digetok oleh sang kakek. Titin bersungut-sungut. Dzakky tak peduli, malah asyik dengan peta digitalnya.

“Dari peta kita harus berenang ke arah Barat sekitar 100 meter. Hmm ... lalu ....”

WUSSHHH

Arus deras menghantam keduanya. Dzakky meringis. Punggungnya menghantam lambung kapal. Dia mencoba melapaskan kakinya yang terjepit papan kayu. Berhasil! Dzakky bernapas lega sambil mengedarkan pandangan, mencari-cari keberadaan Titin.

Dzakky terperangah. Sosok bersisik biru menawan membuat matanya tak berkedip. Sepasang bola bening berwarna safir berbinar indah. Surai biru nampak elegan dipermainkan arus laut dalam. Dzakky menelan ludah. Sungguh! Ilmuwan sepertinya tak percaya makhluk mitologi ini benar-benar ada dan sekarang berdiri di hadapannya ....

Gila! Inikah makhluk mitologi yang disebut naga? Indah sekaligus membuat gentar!

Keterkejutan Dzakky belum berhenti. Bibir sang naga bergerak pelan membentuk senyuman. Makhluk itu memandang senang pada gadis yang tergeletak lemah di cakarnya. Dzakky kembali menelan ludah.

Titin mau dimakan. Gawat! Kalau sampai kenapa-kenapa aku tidak akan bisa memaafkan diriku.

“Titin!” panggil Dzakky panik

“OPAAAA!” jerit Titin sebelum tak sadarkan diri karena ketakutan. Sang naga seolah tak mendengar ucapan mereka segera melesat cepat, membuat arus yang dahsyat, melemparkan Dzakky hingga membentur karang.

“Ugh! Sakit!” Dzakky mengusap punggungnya. “Aku harus mencari Titin.” Dzakky menekan tombol di arlojinya. Layar proyeksi muncul di hadapan. Titik merah berkedip-kedip. Dzakky segera berenang menuju titik merah.

***

Titin membuka matanya perlahan. Argh! Kepalanya terasa berdenyut. Gadis muda itu berusaha bangkit sembari mencoba mencari tahu keberadaannya saat ini. Matanya seketika membelalak melihat kamar dengan pahatan mutiara merah muda berpendar lembut pada dindingnya. Tangan halus meraba selimut sutra yang menyelimuti tubuhnya, lembut dan jelas seklai berkualita tinggi. Bahkan, tempat tidur dengan hiasan aquamarine ini pun teramat indha untuk menjadi nyata.

Apakah aku masih tak sadarkan diri, dan ini semua adalah mimpi?

Pintu yang dibuka dari luar mengagetkan Titin. Pemuda tampan berambut biru dengan mata safir yang mempesona memasuki kamar dengan elegan. Titin hanya bisa melongo ketika si pemilik mata safir duduk di tepian tempat tidur dan menyentuh wajahnya lembut. Jantung Titin hampir meloncat keluar ketika bola matanya bertatapan dengan mata safir itu. Pipinya merona dan terasa hangat.

“Akhirnya, kamu sadar ...,” gumam pemuda tampan lembut.

Suaranya pun indah sekali.

“Aku dimana? Kamu siapa?” Pemuda tampan tersenyum lembut, hampir saja Titin pingsan lagi dibuatnya.

“Kamu di istanaku,” sahut sang pemuda, Dia menurunkan tangannya dari wajah Titin, “namaku Samudra Banyu Biru,” lanjutnya memperkenalkan diri.

“Apakah kamu yang menyelamatkanku dari naga?” Samudra tersenyum malu-malu.

“Ya ampun aku pasti membuatmu takut tadi. Akulah naga yang membawamu. Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku ... benar-benar minta maaf. Aku ....” Titin menjadi tak enak hati. Dia tak tega melihat seorang pemuda tampan memasang wajah merasa bersalah.

“Tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja tadi. Lalu kenapa kamu membawaku ke istanamu?” Samudra menelan ludah, nampaknya sangat berat mengucapkan kata-kata dalam hatinya. Samudra menghembuskan napas perlahan, menatap mata Titin dengan syahdu.

“Itu karena ... aku sangat mencintaimu. Sejak hari itu, ... aku tak bisa melupakanmu ....” Samudra pun memulai kisah pertemuan pertamanya dengan Titin.

Samudra kecil berenang-renang riang ke sana ke mari. Dia tak menyadari terlalu dekat dengan daratan. Malang tak dapat ditolak tubuh naganya terperangkap dalam jaring yang dipasang nelayan. Samudra berusaha keras melepaskan diri. Namun, semakin memberontak, semakin kuat jaring mengikat tubuhnya.

“Tolong ....,” gumamnya lemah. Energinya sudah hampir habis.

Cahaya harapan seolah bersinar hangat ketika seorang gadis kecil diam tertegun di hadapannya. Tangan mungil cekatan melepaskan tubuh sang naga dari jaring. Akhirnya, Samudra dapat kembali bebas di samudra. Gadis kecil tersneyum senang.

“Terima kasih.”

“Eh ikannya bisa bicara?”

“Aku naga, bukan ikan. Aku pergi dulu ya. Aku pasti akan membalas kebaikanmu!”

Samudra segera menyelam ke dasar laut. Dia selau ingat pesan ibunya untuk berhati-hati dengan manusia. Tapi, entah kenapa senyum sang gadis kecil tak mau enyah dari benaknya.

“Jadi, maukah kamu menjadi istriku?” gumam Samudra lembut dengan tatapan mata safir yang begitu menghipnotis.

Titin kehilangan kata-kata. Sepasang bola bening berwarna safir itu serasa menusuk ke dalam hati. Pesona yang tak bisa ditolak menginvasi neuron-neuron otak. Tangan kokoh yang mengenggam lembut jemari membuat otak menjadi kosong. Seketika Titin melupakan segala hal termasuk misi dari Shela. Hanya wajah Samudra yang memenuhi benaknya.

“Iya, aku bersedia ...,” sahut Titin dengan pipi merona.

“Terima kasih.” Samudra mengecup lembut jemari dalam genggamannya, membuat sang gadis kembali bersemu. “Pelayan siapkan pernikahannya!” perintah Samudra

Titin melongo. Istana Banyu Biru mendadak penuh kesibukan. Dua gadis cantik dengan gaun biru muda membantu Titin turun dari tempat tidur. Titin bahkan belum sempat bicara apa-apa, gadis itu telah membawanya ke sebuah telaga yang menguarkan wangi khas nan menenangkan. Titin kaget ketika gadis pelayan membuka pakaiannya.

“Tenang Yang Mulia, kami hanya ingin membantu Anda mandi.”

“Aku bisa sendiri,” protes Titin. “Bisakah kalian berbalik?” Para pelayan itu berbalik sambil tersenyum nakal.

Titin turun ke dalam telaga setelah melepaskan pakaiannya. Dua pelayan dengan cekatan menggosok tubuh Titin dengan ramuan khusus. Prosesi mandi air telaga suci memakan waktu tiga puluh menit. Pelayan berwajah manis membawa Titin kembali ke kamar. Titin memandang takjub. Kamar yang indah itu menjadi semakin menawan dengan dekorasi mawar merah.

“Kami akan membantu yang mulia memakai gaunnya.” Titin menggangguk. Para pelayan mengambil sehelai gaun dan membantu Titin memakainya.

“Ah, Indah sekali!” celetuk Titin kagum. Matanya hampir tak berkedip. Gaun biru dari batu aquamarine dengan taburan mutiara merah muda berpendar yang menawan hati. Mereka juga menghiasi rambut Titin dengan rangkaian bunga melati. Terakhir, sebuah mahkota emas bertahtakan berlian biru diletakkan di puncak kepala Titin.

Titin berjalan perlahan menuju ruang perhelatan pernikahan. Sepuluh pelayan bergaun biru muda mengiringi di belakangnya. Wajah Titin seketika merona ketika memasuki ruangan. Samudra nampak duduk dengan gagah di atas singsananya. Jubah kebesaran bertabur emas nampak serasi dengan mahkota emas bertahtakan berlian biru.

“Yang Mulia Titin telah memasuki ruangan.”

Semua hadirin di ruang perhelatan berdiri dan menundukan wajah. Titin berjalan kikuk menuju singsana. Samudra berdiri, menyambut calon istrinya. Seorang lelaki sepuh merafalkan mantra. Cahaya biru hangat yang menyilaukan menyelimuti mereka. Tak lama hingga cahaya biru mulai raib, meninggalkan tanda berbentuk naga di telapak tangan Titin.

“Dinda, kamu sangat cantik sekali.”

“Ah, Kanda!” Titin mencubit lengan Samudra kesal. Sang naga terkekeh.

Selanjutnya pernikahan berlangsung meriah. Aneka hiburan dihadirkan. Iringan musik selaras dengan tarian indah para penari rupawan begitu memanjakan mata. Titin memeluk erat lengan Samudra. Lelaki tampan itu tersenyum nakal merasa senang melihat Titin cemburu. Malam semakin larut, Titin nampak terlihat lelah.

“Dinda terlihat lelah. Istirahatlah lebih dulu. Kanda masih harus menerima beberapa tamu.”

“Baiklah, Kanda.” Titin bangkit dari singsana. Samudra memerintahkan para pelayannya mengantarkan Titin ke kamar.

***

Istana pualam dengan puluhan ribu mutiara aneka warna terpahat indah di menara-menaranya yang menjulang menyambut Dzakky. Lelaki itu sempat terpaku beberapa jenak, terkagum-kagum pada bangunan megah tersebut. Namun, Dia segera tersadar akan misinya. Dzakky menyelinap di antara terumbu karang berwarna merah dengan gradasi ungu ketika dua sosok tegap melintas, nampaknya prajurit.

Setelah suasana kembali tenang, Dzakky mengendap-endap di antara tembok istana. Langkahnya terhenti di depan sebuah jendela kamar karena mendengar suara yang dikenalnya. Dzakky mengintip ke dalam dan menemukan kamar dipenuhi bunga dan permata. Titin nampak duduk di atas tempat tidur, tersenyum sendiri sembari bersenandung riang. Dzakky menepuk keningnya, melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela.

“Sadar, Tin! Sadar!” teriak Dzakky.

Dzakky mengguncang-guncangkan bahu cucunya. Titin masih senyum-senyum sendiri. Wajah tampan Samudra yang mempesona memenuhi benaknya. Dzakky memutar otak dengan cepat. Dia membongkar isi ransel.

Ketemu!

Dzakky mengeluarkan bando pengendali pikiran dan memasangkannya di kepala Titin. Perlahan-lahan wajah Samudra mulai pudar dari benak Titin digantikan wajah Shela dan Dani. Titin tersentak teringat kembali akan misi mereka.

“Opa!” Dzakky bernapas lega dan segera melepaskan bando dari kepala Titin.

“Selamat cucuku akhirnya kamu jadi pengantin!” sindir Dzakky. Titin melongo. Dzakky menghembuskan napas berat sebelum menceritakan apa yang telah terjadi. Titin syok dan ternganga. “Tenang saja kamu belum di apa-apain kok.” Titin menghembuskan napas lega. “Sekarang yang penting bagaimana caranya kita mengambil mutiara naganya. Opa punya rencana ....” Dzakky membisikkan rencananya. Wajah Titin langsung merona.

“Ih Opa masa aku harus begitu!”

“Kita tak punya pilihan cucuku.” Titin menghembuskan napas berat, terpaksa setuju.

“Ya sudah.” Titin segera mengeluarkan sepasang lensa dari saku bajunya. “Untung Titin bawa ini.” Dzakky menatap penasaran. “Ini buatan Titin waktu SMA, Opa. Diam-diam sih bikinnya he he he. Lensa mata untuk mengurangi ketampanan seseorang.” Titin memasang lensa mata. “Waktu itu aku dipermainkan seorang pemuda tampan, Opa. Jadi, setelah itu, aku betekad takkan tergoda oleh ketampanan makanya aku membuat ini.”

“Aish! Penemuan yang sangat tidak berfaedah.”

“Hei!Lihatlah sekarang jadi berguna. Opa tidak tahu betapa mempesonanya Samudra. Sekali melihat matanya aku bisa kehilangan kesadaran tahu?” Titin dan Dzakky hampir saja berkelahi lagi.

Suara pintu dibuka membuat Dzakky segera berguling ke bawah tempat tidur. Sementara itu, Titin segera memasang wajah murung, duduk lemas di tepian tempat tidur bertabur bunga. Samudra memasuki kamar, tersentak melihat wajah yang muram. Dia mendekat dengan perasaan cemas. Pria tampan itu duduk perlahan disamping Titin. Sepasang tangan yang kokoh memegangi bahu Titin, membuat mata sang gadis harus menatap sepasang bola bening berwarna biru itu.

“Ada apa denganmu, Dinda?” Samudra menyentuh lembut wajah Titin, mengusap buliran bening yang mulai jatuh dengan jempolnya. “Apakah Kanda melakukan kesalahan?” Titin menggeleng lemah.

“Bukan begitu, Kanda. Dinda hanya ... hanya ... teringat pada nenek Dinda yang sedang sakit. Dokter bilang beliau tidak akan selamat.” Samudra tersenyum lembut.

Huek pengen muntah! Kenapa juga harus ngomog lebay begini?

“Kalau itu tenang saja, Dinda. Tahukah Dinda kalau mutiara naga milik Kanda bisa mengobati segala penyakit? Nanti Dinda tempelkan saja Mustika Samudra Banyu Biru di kening nenek.” Titin mendadak memasang wajah panik.

“Tapi bagaimana dengan Kanda? Bukankah mutiara itu seperti energi kehidupan bagi Kanda? Bagaimana kalau Kanda terluka?” tanya Titin dengan suara dan wajah yang dibuat-buat cemas. Dzakky yang bersembunyi di bawah tempat tidur merasa hendak muntah.

Samudra tertawa kecil, manis sekali. Titin mengusap-usap dada, berusaha bertahan agar tak terhanyut oleh aura ketampanan yang begitu menggoda. Bahkan, lensa mata penurun ketampanan, seolah tak befungsi. Samudra mengacak-acak rambut Titin untuk kemudian mengecup lembut kening perempuan yang sangat dicintainya.

“Tenang saja, Dinda. Kanda hanya akan tertidur. Jika Dinda sudah selesai mengobati nenek, Dinda tinggal kembali ke sini dan meletakkan mutiaranya di kening Kanda.” Samudra mengeluarkan seuntai liontin dan memakaikannya di leher Titin. “Dengan Liontin ini Dinda tinggal menyebut nama Kanda, maka Dinda akan langsung sampai ke tempat ini.”

“Terima kasih, Kanda.” Samudra terkekeh untuk kemudian mengecup lagi kening Titin. Selanjutnya, dia berbaring di atas tempat tidur dan menyentuh lembut wajah Titin.

“Aku sangat mencintaimu, Dinda,” gumamnya lirih sebelum memejamkan mata.

Bibirnya mulai merafalkan mantra. Tubuh Samudra diselimuti cahaya biru. Titin sampai tak bisa membuka mata saking silaunya. Cahaya biru mulai memudar, menyisakan batu biru berpendar indah di kening Samudra. Sementara itu, mata Samudra terpejam. Titin mendadak iba. Hatinya jadi tak tega mengambil mustika tersebut.

“WOYY Titin! Ayo kita kabur!”

Titin tergeragap. Dzakky sudah keluar dari persembunyiannya, dengan gesit mengambil mutiaga naga dan memasukkannya ke tempat khusus yang diberikan Shela. Titin merasakan hatinya perih ketika sang kakek menariknya menjauhi Samudra.

...

Dzakky menghembuskan napas lega ketika keluar dari air. Napasnya memang masih tersengal. Dzakky merasakan energinya terkuras habis. Bagaimana tidak? Dia harus berenang dengan cepat sambil menyeret Titin yang melamun untuk menghindari lemparan tombak para penjaga di istana Banyu Biru.

“Apa kita melakukan hal yang benar, Opa?” gumam Titin lirih.

“Jangan katakan kamu jatuh cinta beneran sama naga yang tadi?”  Wajah Titin memerah. Bibirnya cemberut. Tangannya memukuli sang kakek. Dzakky jadi semakin semangat menggoda cucunya.

“Toloong saya ...,” suara misterius terdengar lirih.

Dzakky dan Titin langsung mengambil posisi siaga. Mata mereka mencari-cari keberadaan pemilik suara. Keduanya memutuskan untuk berpencar untuk mencari suara misterius. Dzakky ke arah Utara dan Titin ke Selatan.

“KYAAA!” jerit Titin ketika sepasang tangan memegangi kakinya. Dzakky langsung berlari ke arah cucunya. Matanya membulat lebar ketika melihat pemuda tampan dengan tubuh penuh luka tengah memegangi kaki Titin.

“K-KAMU HACKER YANG DI BUS KEMAREN!” Titin melongo. Dia tak mengerti ucapan sang kakek.

“Tolong saya ...,” gumaman lemah si pemuda sebelum tak sadarkan diri.

***

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tentang Kita
1912      814     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
Kisah Alya
305      225     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Arion
1124      640     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
740      500     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7837      1919     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Search My Couple
543      308     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
ATHALEA
1371      615     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Sherwin
367      247     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
8512      2720     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Special
1561      835     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.