...
Forbidden Love 5
The Past
Itu tahun ketiga Ezra dan Okta dikelas yang sama. Semester baru kuliah akan dimulai seminggu lagi dan kelas mereka menggelar acara jalan-jalan ke sebuah pusat pemandian air panas di daerah Brastagi.
Di sana mereka bersenang-senang dengan alasan mengumpulkan tenaga dan semangat untuk kembali siap pada rutinutas kampus nantinya. Disaat teman-temannya yang lain sudah keluar masuk kolam sebanyak 10 kali, Okta hanya duduk di pinggir dengan kaki menjulur ke bawah,
Ezra yang sedari tadi memperhatikan gadis itu akhirnya memberanikan diri menghampiri. Ezra naik dan duduk di sebelah Okta. “Kau mau disini terus? Kalau cuma mau merendam kaki di air hangat, bisa dilakukan dirumah kurasa,” ejeknya
Okta cemberut dan memukul lengan Ezra. “Aku kan tidak bisa berenang. Kau mau aku tenggelam dan tak ikut kuliah semester ini karena mati?” ketusnya
Ezra cukup terkejut mendengar fakta itu, tapi dia berusaha bersikap biasa agar Okta tak semakin kesal. “Mau aku ajari?” tawar Ezra sembari menoleh ke arah kirinya
Okta menoleh pada Ezra, menilai serius tidaknya pria itu atas tawaran barusan. Kemudian Okta menoleh pada kolam, pasti dalam pikirnya. “Kau serius? Kau bukannya akan menenggelamkanku disana?” tentu saja Okta ragu, sekak kapan Ezra bersedia menolong orang lain?
Sebelum Okta mendapat jawaban, ia sudah dicerbukan Ezra ke dalam kolam. Reflek Okta memegangi lengan Ezra yang juga ikut masuk ke air. Okta mulai panik. Walau tinggi air hanya sebatas dadanya, ia sudah merasa sangat takut. Belum lagi tekanan air yang seakan menghimpit dadanya. Ia jadi sulit bernafas. “Ezra, keluarkan aku dari sini….”
Ezra tersenyum saat mendengar cicitan Okta. Ia menemukan satu hal yang membuat Okta takut dan cukup senang karena itu. Ezra kemudian memposisikan dirinya didepan Okta sambil terus memegangi tangan Okta. Ezra menaruh tangan Okta di bahunya dan menyuruh gadis itu berpegangan padanya. “Airnya hanya setinggi dadamu, kau tak akan tenggelam. Pegangan padaku, setidaknya kau bisa berjalan mengelilingi kolam ini.”
Okta mulai mengikuti langkah Ezra. Dengan erat ia pegang pundak Ezra. “Jangan cepat-cepat, Ezra. Aku bisa tenggelam nanti,” kata gadis itu saat merasa Ezra mempercepat langkah
Ezra mengelilingi kolam dengan Okta dibelakangnya. Dengan cepat mereka jadi pusat perhatian teman-teman mereka. Sejak dulu mereka berdua memang sering jadi buah bibir. Selalu bersama dalam status teman, tapi terlihat seperti sepasang kekasih. Kesempatan ini pun teman-teman sekelas Ezra dan Okta gunakan untuk menggoda dua sejoli itu
“Ciee…pegang tangan kali !” Doni si ketua kelas memulai
“Ezra, Ezra. Apa aja buat Okta ya kan?” timpal Hani
“Kayak nonton film india ya? Lagi mutarin api suci tuh.”
Ezra hanya bisa menatap kawan-kawannya kesal. Kalau saja Okta tak sedang berpegangan padanya, ia pasti sudah menerjang orang-orang yang mengejeknya tadi dan menenggelamkan mereka semua.
Sementara itu Okta sama sekali tak memperdulikan mereka. Gadis itu sedang focus menikmati jalan-jalannya di dalam kolam
Liburan selesai, kuliah pun dimulai. Tugas berdatangan dan benar-benar dalam jumlah yang banyak. Energi Okta benar-benar terkuras karena semua itu dan akhirnya gadis itu jatuh sakit. Dua hari sudah ia tak masuk kampus. Di hari ketiga, Ezra pun datang menjenguknya. Ezra datang sendiri karena Okta yang meminta. Padahal teman-teman sekelas mereka juga ingin ikut.
“Apa tugas kita sudah selesai? Aku dapat bagian yang mana?” Dengan suara cempreng akibat flu Okta bertanya pada Ezra. Mereka duduk diruang tamu rumah Okta.
“Suaramu jelek sekali, Okta. Jangan bicara lagi.” ejek Ezra
“Kurasa besok aku sudah bisa masuk. Mana bagianku?”
Ezra mengeluarkan sebuah makalah dari tasnya dan memberikannya pada Okta. Tugas mereka sudah Ezra kerjakan, yang ia berikan pada Okta adalah salinannya. Gadis itu perlu memperlajarinya agar besok saat persentasi Okta tidak kewalahan.
“Sudah tidak ikut mengerjakan, memaksa diberi bagian pula.”
Okta hanya bisa menunjukkan senyumannya agar Ezra tak marah. Gadis itu kembali bertanya mengenai materi yang harus ia jelaskan besok dan Ezra pun menjelaskan.
Merasa sudah harus pulang, Ezra berpamitan pada ayah Okta. Sebelum benar-benar pergi, ia mengeluarkan sebatang cokelat dari tasnya dan memberikannya pada Okta. “Sisa kemarin.”
Okta menerima cokelat tadi dengan wajah kesal. Ezra selalu seperti ini. Memberikan sesatu yang sudah jadi sisa.
“Jangan sakit lagi, kau kira mengerjakan tugas kelompok seorang diri itu mudah?” kata Ezra dengan wajah yang juga terlihat kesal
“Kau kira aku suka sakit?” balas Okta
“Tidak suka sakit tapi jarang makan. Makanan yang kau tahu hanya cokelat dan pisang goreng.”
Okta diam. Ia tak bisa membantah karena apa yang Ezra katakan benar. Ia pun menunduk dan mengangguk paham
“Aku pulang dulu.”
“Iya. Kabari aku jika kau sudah sampai rumah.”
Ezra berbalik. Ia bingung. “Kenapa?”
Okta menggigit bibirnya. Ia sedang memikirkan jawaban yang tepat. Tak lama ia pun berucap, “Siapa tahu ada yang menculikmu dijalan. Pergilah !”
Disebuah rumah tampak seorang ayah yang sedang memarahi anak gadisnya. Ia berteriak dan membanting semua barang yang bisa ia jangkau. Putri semata wayangnya itu sudah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Ketahuan pacaran. Sungguh mencoreng nama keluarga. Sia-sia ia membangun citra baik dimata masyarakat selama ini. Semuanya hancur karena putrinya ini.
“Apa kau tidak punya akal?!”
Gadis yang diteriaki itu menatap benci pada ayahnya. Ia benar-benar benci pada ayahnya. Pada orangtuanya yang tak pernah memperhatikannya. Selalu saja menomor satukan pekerjaan. Ia ditelantarkan dan dibiarkan mencari jalan sendiri. Ia memang dicukupi secara materi, tapi kasih sayang dan arahan bijak dari orangtua, ia dapat nol besar. Dan saat dirinya sudah berada di jalan yang salah seperti sekarang, barulah orangtuanya muncul bak orangtua paling benar di seluruh dunia.
“Apa tidak ada laki-laki di dunia ini? Kau benar-benar membuatku malu ! Apa pernah kau dapat didikan salah begitu dari kami?!”
“Aku tak pernah dapat didikan apapun darimu !!” Si gadis balik meneriaki ayahnya.
Geram, si ayah menampar putrinya. Ia kemudian membuat keputusan. Ia akan memindahkan putrinya itu ke kampus lain. Bila perlu ia akan membawa keluarganya pindah dari kota ini. Posisinya sebagai salah satu anggota dewan pasti membuat berita memalukan ini cepat menyebar. Dan rival-rivalnya pasti menggunakan itu untuk menjatuhkannya
Si ayah kemudian menoleh pada istrinya, “Bawa dia ini ke dokter” Ia kemudian meninggalkan ruang tamu rumahnya
Gadis tadi menatap ibunya sebentar lalu pergi ke kemarnya. Disana ia menangis sejadi-jadinya. Bukan hanya karena sudah ditampar, tapi karena ia harus mengakhiri hubungan asmaranya. Gadis ini tak mengerti. Apa yang salah dari perbuatannya? Semua orang bebas mencintai siapapun kan? Tak ada yang pernah dilarang karena mencintai pria beristri, lalu kenapa ia di tampar dan dianggap sakit karena cintanya ini? Cinta tetaplah cinta. Kita tak bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa. Lantas kenapa caranya mencintai tak diterima ?
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14