Read More >>"> Forbidden Love (Bab 6) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Forbidden Love
MENU
About Us  

Okta terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Jarum jam masih menunjuk ke angka 2 dan Okta merasa tak akan bisa tidur lagi. Ia lalu mengingat apa penyebab ia terbangun. Sebuah mimpi yang aneh. Mimpi yang terasa sangat nyata tapi juga mustahil. Okta memimpikan Ezra.

Bukan wajah dingin pria itu yang Okta lihat di mimpi tadi. Bukan pula cara bicaranya yang  tak ramah. Tapi tetap saja, mimpi itu berhasil membuat Okta takut. Bisa-bisanya Ezra hadir dalam alam tidurnya, padahal ia sama sekali tak memikirkan pria itu. Setidaknya tidak saat mau tidur tadi. Okta melihat dirinya bersama Ezra, duduk bersebelahan di dalam sebuah kelas di mimpinya tadi.

Okta yakin mimpinya tadi bukan hanya sekedar bunga tidur. Ia yakin kejadian yang ia lihat tadi adalah salah satu bagian dari memorinya yang hilang. Anita juga bilang bahwa dirinya pernah mengenyam pendidikan di salah satu universitas. Itu berarti ruang kelas yang ia lihat tadi bisa jadi adalah ruang kelasnya dulu. Tapi mengapa ada Ezra di sana? Bukankah Anitalah teman sekelasnya?

Anita. Gadis itu satu-satunya orang yang harus Okta tanyai sekarang. Tanpa berlama-lama lagi, Okta pun pergi ke kamar Anita dan Ezra di lantai 1. Okta berjalan dengan tak sabaran dan akhirnya sampai di kamar itu Mengangkat tangan bersiap mengetuk, Okta mengurungkan niatnya. Ia mendengar sesuatu dari dalam kamar. Sebuah suara yang membuat Okta merinding sekaligus memerah. Okta memang tak mengingat apapun dari masa lalunya, tapi ia tak bodoh. Ia tahu suara apa yang ia dengar barusan, ia kenal suara itu dan ia paham apa kegiatan yang bisa menghasilkan suara semacam itu. Okta mengerti, dan ia memilih menjatuhkan tangannya ke samping tubuh. Mengurungkan niat menggebu untuk bertanya, gadis itu berbalik dan pergi dari depan kamar Anita dan Ezra.

Saat pagi datang, Anita yang baru saja selesai mandi menemukan Okta di ruang makan. Gadis itu sedang menyusun makanan di meja.

“Okta,” panggil Anita setelah berdiri di samping meja makan  Ia cukup heran mengapa Okta di ruang makan sepagi ini.

Okta yang menyadari kehadiran Anita langsung menunduk malu. Bagaimanapun, ia sudah mencuri dengar tadi malam. Rasa malu bercampur takut Okta bertambah saat kehadiran Ezra dilihatnya.  

Ezra melirik pada Okta dan menahan senyumnya. “Kau memasak sarapan?” Ezra menarik satu kursi dan duduk di sana.  

Okta menjawab dengan mengangguk. Ia tak berani menatap wajah Ezra ataupun Anita.

Ezra memulai memakan sarapannya, tapi terus melirik pada Okta. Ia tahu apa alasan Okta menunduk sedari tadi. Ia tahu mengapa sejak tadi Okta tak berani menatap dirinya atau Anita. Okta sama sekali belum berubah. Gadis itu tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu. Ezra tahu bahwa tadi malam Okta lewat di depan kamarnya. Pintu kamarnya tak sepenuhnya tertutup.  

“Hari ini kau libur, kan? Ikut kami ibadah pagi saja.” Anita mengajak Okta pergi bersamanya dan Ezra. Sangat jarang Okta mendapat jatah libur di hari minggu seperti ini.

Sudah 2 bulan Okta menjadi kasir di sebuah  toko buku. Gadis itu bekerja setiap hari dalam satu minggu, dari pukul 9.30 sampai pukul 5 sore, jika mendapat shift pagi. Karena lumayan besar, toko buku tempat Okta bekerja memberlakukan 2 shift setiap harinya.

“Iya.” Okta menjawab sembari mengunyah makanannya. Sesekali ia melirik pada Ezra yang sedari tadi terus menatap padanya layaknya singa yang hendak menerkam. Apa Ezra tahu apa yang ia mengintip semalam? Tapi Okta benar-benar tak sengaja.

Kemudian acara sarapan di meja makan itu pun berlangsung dengan diam. Tiga orang di sana fokus pada makanan masing-masing, setidaknya begitu yang terlihat. Beberapa menit kemudian Anita beranjak dari meja makan, hendak bersiap. Dan suasana canggung di sana pun semakin kentara.

“Aku duluan, Ezra,” kata Okta sambil berdiri.  

Ezra ikut berdiri. Laki-laki itu menatap Okta dengan senyuman mengejek, lalu berucap, “Bersihkan pikiranmu sebelum pergi ibadah, Okta.” Kemudian ia pun pergi dari ruang makan dengan sebuah senyum kemenangan. Menggoda Okta memang selalu menyenangkan sejak dulu.

Okta terduduk lagi di kursinya. Tebakannya benar. Ezra tahu apa yang sudah ia lakukan semalam. Malu setengah mati, Okta ingin menghilang saja dan tak melihat wajah Ezra hari ini. Kenapa pula hari liburnya harus ia habiskan dengan seperti ini.

“Aku bahkan belum bertanya soal mimpiku,” sungutnya sembari bangkit berdiri.

Seharian itu, Okta sama sekali tak emndapat kesempatan bertanya soal mimpinya. Sepulangnya mereka ibadah Anita mengajak makan di luar, setelah itu mereka pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan rumah, dan akhirnya tiba di rumah setelah mentari sepenuhnya terbenam.

“Kita mandi saja dulu, setelah itu baru makan malam.” Anita menenteng tas belanjaannya, bersiap pergi ke kamarnya.

“Ada yang ingin aku tanyakan.” Okta tiba-tiba berdiri dan menatap Anita juga Ezra bergantian. Ia rasa sudah waktunya ia bertanya.

Ezra duduk di sofa, “Ada masalah?” tanyanya

“Aku mengingat sesuatu.”

Ezra menahan nafasnya sebentar. “Ingat apa?”

“Kau. Aku, kau, di dalam kelas, tertawa saat seorang dosen berkemeja biru sedang menjelaskan.”

Berkedip sekali, Ezra menaruh satu kakinya di atas kaki yang lain. “Lalu?” tanyanya tenang.

“Apa dulu kita juga sekelas? Saat kuliah? Bukankah kata Anita, aku sekelas dengannya? Dan seingatku, Anita tak pernah menyinggung tentangmu, “jelas Okta

Kinerja serebrum Ezra terpecah. Satu sisi ia sedang sibuk memutar kembali kejadian yang Okta sebut tadi, sedangkan sebagian lagi sedang berusaha membuat sebuah kebohongan. Okta tak boleh curiga dan meragukan semua cerita yang sudah Anita tuturkan.

Okta menangkap kerutan halus di kening Ezra. Mendadak ia merasa gelisah. “Kita juga sudah saling mengenal sejak dulu, Ezra?”

Ezra yang sempat tertunduk akhirnya mendongak. Pandangannya menerawang dan tak lama satu senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia ingat saat-saat itu dan ia berhasil menemukan sebuah kebohongan. Dengan yakin, ia pun berdiri. Tepat berada di hadapan Okta, laki-laki itu sedikit mendongak demi bisa bersitatap dengan kedua mata Okta.

Memasukkan kedua tangannya ke saku celana, Ezra pun berucap, “Kejadian yang kau sebutkan tadi benar. Kita memang pernah sekelas, Okta. Dan kurasa penjelasanku ini akan sekaligus menjawab rasa penasaranmu selama ini. Aku tahu, meski selama ini kau diam, sebenarnya kau sangat ingin tahu apa alasanku begitu baik padamu, kan?”

Untuk sebentar, Okta lupa akan ingatannya yang tiba-tiba muncul itu. Ia penasran soal seberapa pintarnya Ezra. Pria itu selalu tahu segalanya. Ezra yang terlalu pandai atau dia yang bersikap terlalu kentara. Lagi pula, siapa yang tak curiga? Anita memang temannya, tapi Ezra adalah orang lain-setidaknya sebelum ingatan tadi muncul. Tapi semua sikap pria itu selama Okta tinggal di sini sungguh amat baik. Dia membolehkan Okta tidur di kamar utama, yang sebelumnya adalah kamarnya dnegan Anita. Kemudian, saat Okta bercerita pada Anita soal mimpinya yang ingin jadi penulis. Seminggu setelah itu Ezra membelikannya seperangkat komputer super canggih. Katanya agar leher Okta tak sakit karena setiap hari mengetik di laptop yang dipangku. Siapa yang tak berprasangka buruk setelah diperlakukan seperti itu? Entahlah. Okta tak tahu. Ezra itu punya maksud lain atau memang benar-benar baik. Jika benar dia laki-laki baik, maka Anita sungguh sangat beruntung. Tunggu! Apa yang Okta pikirkan? Bisa-bisanya ia menilai suami orang.

Tanpa sadar Okta menggeleng, “Tidak, tidak,” gumamnya pelan.

Di depan Okta, Ezra menukikan alis. “Tidak mau mendengar penjelasan?” tanyanya dengan suara ringan.

“Hah?” Okta tersadar. Cepat-cepat ia mengangguk, “Mau,” katanya yakin.

Ezra tertawa pelan, lalu lanjut berucap, “Kita memang pernah sekelas. Kita bertiga memang sekelas sejak kuliah. Aku menjadi temanmu, karena kau temannya Anita. Itulah sebabnya aku tak keberatan kau tinggal di rumah kami. Singkatnya, bukan hanya Anita, tapi aku juga temanmu.”

Okta menimbang. Alasan yang masuk akal. “Jadi begitu….” Okta berusaha menerima fakta baru itu.

“Apa sudah selesai? Atau ada hal lain yang ingin kau tanyakan?” Ezra bertanya seolah siap ditanyai apapun, padahal dalam hati ia berteriak agar Okta tak meneruskan sesi bertanya ini. Menciptakan  satu kebohongan  saja sudah membuatnya kehilangan banyak energi.

Okta terdiam. Ada sedikit rasa bersalah yang ia rasakan. Selama ini ia sudah beberapa kali berburuk sangka pada Ezra. Ternyata laki-laki itu memang tulus membantunya. Ditambah lagi ternyata Ezra adalah temannya. Pria itu pasti merasa kecewa karena tidak diingat.

“Maaf,” kata Okta selanjutnya

“Untuk apa?” tanya Ezra tak paham. Ia sudah membohongi Okta dan gadis itu malah meminta maaf padanya. Apa Okta sengaja? Ah benar. Sejak dulu memang beginilah Okta.

“Aku sempat berprasangka buruk padamu. Tapi kau tak bisa menyalahkanku speenuhnya. Kalian sungguh sangat baik padaku, wajar aku curiga. Kau bahkan berniat membuang komputer baru itu karena aku tak mau menerimanya.” Okta membela diri.

“Boleh aku tahu niat buruk apa yang kau pikir aku punya?” Ezra bertanya dengan wajah penasaran

“Hmmm?” Okta sama sekali tak menyangka Ezra aan bertanya demikian. Ia segera melirik Anita dan meminta pertolongan pada gadis itu agar bisa selamat dari pertanyaan Ezra barusan.

Anita mengerti, dia mengangguk pelan. “Sepertinya kalian harus menunda pembicaraan ini. Aku sudah sangat lapar. Bisa kita makan sekarang?”

Ezra menoleh pada istrinya. Sumpah demi apapun, ia baru sadar ternyata sedari tadi ada Anita di sini. Ia kira hanya ada ia dan Okta tadi. “Baiklah.” Ezra pun segera berlalu. Meninggalkan Anita dan Okta di ruang tamu itu.

Okta segera menghampiri Anita. Mengamit lengannya dan bertanya, “Jadi kita bertiga memang sudah berteman sejak kuliah?”

“I-iya. Ah, bisakah kau bertanya nanti? Aku sungguh sangat lapar.” Anita mengelus-elus perutnya agar terlihat meyakinkan. Bukan  lapar, ia mulas. Ia tak bisa sehebat Ezra yang mampu mengarang kebohongan yang sangat meyakinkan dengan cepat.

“Baiklah.” Okta mengangguk dan melepaskan lengannya dari Anita. “Aku naik dulu,” pamitnya, kemudian berjalan menuju tangga.

Selagi Okta menapaki tangga menuju lantai 2, Anita terus memandangi punggung gadis itu. Ia merasa bersalah. Bagaimanapun, ia dan Ezra sudah banyak membohongi gadis baik itu.

Ezra. Anita mengingat sesuatu. Senyum, tawa, dahi yang berkeurut dan nada yang tidak kaku. Seingat Anita, Ezra tak pernah menujukkan itu semua selama menikah dengannya. Pria itu selalu bicara dengan suara datar. Jangannya tertawa, tersenyum saja sekali satu tahun. Anita yang sudah lupa, atau Ezra memang tampak berbeda?

“Ah, aku jadi benar-benar lapar.” Tak mau ambil pusing, wanita itu meninggalkan ruang tamu. Ia harus rapat dengan Ezra untuk rencana selanjutnya.

Malam itu menjelang tidur, setelah Ezra dan Anita berbincang soal beberapa kebohongan baru, Ezra mencetuskan sebuah ide. Mereka bertiga akan pergi berlibur dua hari lagi. Ini demi mengalihkan perhatian Okta dari ingatan itu dan mencegah gadis itu mencoba mengingat hal lainnnya.

Vila Ezra yang ada di luar kota adalah tujuan mereka. Anita setuju dengan cepat. Ia juga sudah lama tak pergi liburan.

“Tapi Ezra, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Dengan posisi tidur menghadap Ezra yang membelangkinya, Anita bertanya. Ia kemudian mendengar Ezra berdehem tanda setuju. “Apa ada yang salah jika Okta tahu bahwa temannya semasa kuliah adalah kau dan bukan aku? Toh, tidak akan ada masalah. Aku juga tak keberatan jika Okta tinggal bersama kita. Jujur saja, aku senang dia di sini. Aku jadi punya teman.” Baru hari ini Enita berani menyuarakan rasa bingungnya.

“Tidak bisa,” jawab Ezra cepat.

“Kenapa?”

Hening. Pertanyaan Anita tak dijawab Ezra.

Anita melihat bahu Ezra yang bergerak teratur. “ Kau sudah tidur rupanya,”kata gadis, kemudian memejamkan mata untuk segera tidur.

Di sisi ranjang yang lain, Ezra sebenarnya belumlah tidur. Ia hanya berpura-pura agar Anita tak mendesaknya untuk memberikan jawaban. Okta tahu bahwa dirinyalah yang merupakan teman gadis itu semasa kuliah, tidak masalah. Tapi Ezra takut. Ia khawatir kebenaran itu akan memancng ingatan Okta. Detik dimana Okta mengingat masa lalunya bersama Ezra, deti itu juga gadis itu akan menghilang dari hadapannya. Dan sumpah demi apapun, Ezra tak ingin itu terjadi. Ezra sadar ia sedang bersikap egois, tapi ia tak akan sanggup jika harus kehilangan Okta lagi.

Kehilangan Okta, Ezra tersenyum miris saat menyadari apa yang sudah ia pikirkan. Memang kapan Okta pernah menjadi miliknya? Ia hanya seorang pria pengecut yang tak berani mengambil resiko demi kebahagian orang yang ia cintai.

Tags: twm18 romance

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Madesy

    ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..

    Comment on chapter Bab 14
Similar Tags
Story of time
2101      827     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
HOME
279      206     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Surat untuk Tahun 2001
3460      1828     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
It Takes Two to Tango
431      315     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
ADITYA DAN RA
16777      2789     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
The Diary : You Are My Activist
13388      2319     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Kalopsia
524      419     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
Dia yang Terlewatkan
353      235     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
Warisan Kekasih
777      534     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
IDENTITAS
668      451     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.