...
Sekitar sekitar pukul 11, Okta memutuskan keluar kamar. Turun dari lantai 2 ia menuju ruang tamu. Okta memundurkan langkah saat dilihatnya Anita dan Ezra duduk berduaan di tepi kolam renang yang berada disamping rumah. Lokasi kolam renang memang sejajar dengan ruang tamu. Niatnya yang ingin meminta Anita untuk mengajarinya cara membuat kue ia urungkan. Kembali ke ruang tamu, Okta memilih menyibukkan diri dengan menonton tv. Sengaja ia menyetel volume tv sepelan mungkin, agar tak mengganggu Anita dan Ezra yang sedang berduaan. Okta jadi tahu apa alasan Ezra tak pergi bekerja hari ini. Mereka ingin berduaan.
Selagi menonton, otak Okta melanglang buana. Ia sedang memikirkan apa kira-kira yang pasangan suami istri itu bicarakan. Penasaran, tentu saja. Okta pun mulai menerka-nerka sendiri sembari mengutak-atik remote
Anita dan Ezra masuk ke rumah 2 jam kemudian. Anita menoleh pada Ezra. Mereka mendapati Okta tertidur di sofa ruang tamu dengan tv yang masih menyala.
“Kenapa Okta tidur disini?” tanya Anita sembari mendekat pada Okta. Anita mengerjap cepat setelah memuji dalam hati. “dia pulas sekali. Biarkan saja dia tidur dulu disini” Anita bergegas pergi.
Setelah Anita pergi, Ezra malah menduduk dirinya di sofa lain. Ia mengambil remote dan mulai mengganti-ganti siaran. Tak ada yang ingin Ezra tonton, ia hanya ingin terus di ruang tamu. Dia tidak bodoh. Mana mungkin Okta ditinggalkannya sendirian disini. Gadis itu tidur di sofa sempit. Bagaimana jika nanti Okta jatuh? Ia tak mau mengambil resiko, meski mungkin saja ia dianggap tak sopan nantinya.
Dikamarnya, Anita tampak gusar. Ia memilih berbaring di ranjangnya dan mencoba tidur. Anita kembali mengingat wajah Okta dan membuatnya semakin tak tenang. Anita kemudian mengambil ponselnya dan membuat panggilan. Anita membuat janji temu dengan orang yang ia hubungi tadi. Minggu depan, pukul 10 pagi.
Menatap setiap sudut kamarnya dengan tidak tak focus, Anita bergumam sendiri.
Sore harinya, Anita mengajak Okta mengobrol di teras belakang. Ada dua kursi yang terbuat dari rotan beserta mejanya dan sebuah ayunan disana. Anita duduk di salah satu bangku dan Okta memilih menaiki ayunan
“Okta, tak berniat melakukan sesuatu?”
Okta menatap Anita bingung. Sembari duduk bersila di ayunannya, ia bertanya, “misalnya?” Okta lupa semuanya, bahkan kemampuan juga pendidikan terakhir yang ia enyam. Mungkin bertanya pada Anita bisa membantunya
“Bekerja di kantor Ezra? Membantu aku mengelola salonku? Atau ada sesuatu yang ingin kau lakukan? Aku bosan melihatmu hanya di rumah dan membaca semua buku-bukumu itu,” kata Anita sambil tersenyum mengejek
“Oh, kau sudah bosan melihatku di rumahmu?” balas Okta
“Tidak sayang, aku hanya ingin kau melakukan sesuatu yang kau suka.” Anita mengelus rambut Okta sayang
Okta tampak berpikir. Sebenarnya ia sudah punya rencana untuk dirinya. Ia juga sadar tak mungkin menumpang selamanya di rumah Anita. “aku ingin bekerja di toko buku yang kemarin kita kunjungi” Okta mungkin lupa semuanya, tapi ada satu hal yang membuatnya merasa tak sepenuhnya amnesia. Buku. Beberapa bulan tinggal di rumah Anita membuatnya punya banyak waktu untuk membaca. Seiring berjalannya waktu, ada keinginan dalam hati Okta untuk membaca bukunya sendiri. Okta ingin jadi penulis.
“Kau harusnya memintaku membelikanmu komputer baru atau laptop. Kenapa malah ingin kerja di toko buku?”
“Suatu hari aku juga harus pergi dari rumahmu. Gaji bekerja di toko buku akan kugunakan untuk membiayai hidupku. Dan menulis bisa aku lakukan setelah pulang kerja,” dengan tersenyum senang Okta memberitahu idenya pada Anita
Anita ikut tersenyum saat melihat Okta tersenyum. Awalnya ia tak ingin membiarkan Okta bekerja, tapi melihat binar mata Okta tadi, ia luluh. Apapun asal Okta senang dan bisa tersenyum seperti sekarang. Siapa yang bisa menduga, rasa simpati Anita sudah sampai sejauh ini.
“Oh, nona penulis ini sudah merencanakan segalanya rupanya” ejek Anita lagi. “satu tahun lagi. Kau boleh mulai bekerja di toko buku itu kapanpun, tapi pindah dari rumahku harus kau lakukan 1 tahun lagi. Aku harus memastikan kau punya tabungan yang cukup.”
Okta menatap Anita dan matanya mulai berkaca-kaca. Tak ia sangka ia punya teman sebaik dan setulus Anita. “Terima kasih, Anita.” Okta menghapus air mata yang sedang jatuh di pipinya
Anita tak suka sesuatu yang rumit. Ia benci pelajaran matematika sejak dulu. Ia tak suka makanan manis. Ia juga tak suka Ezra yang selalu egois. Hari ini Anita menambahkan satu hal lagi ke daftar hal-hal yang tidak ia sukai. Okta yang menangis. Ia tak suka itu.
“Jangan menangis, Okta. Aku tak suka.” Anita membawa Okta dalam pelukannya. Ia menepuk punggung Okta pelan. “Jangan menangis, Okta.”
Keesokan harinya Ezra yang pulang lumayan cepat mendapati Anita baru keluar dari kamar mereka dengan sebuah handuk ditangan. Pertanyaan pertama yang ia ajukan adalah dimana Okta. Biasanya dimana ada Anita, disana pasti ada Okta.
“Tadi bersamaku, dia bilang dia mau berenang,” kata Anita sambil menunjukkan handuk yang ia pegang. Ia hendak menyusul Okta yang mungkin saja sudah berenang duluan.
Ezra mematung ditempatnya. Nafasnya mendadak sesak mendengar kalimat Anita. Berenang kata Anita? Okta tak bisa berenang. Dengan berlari Ezra pun segera menuju kolam renangnya.
Melihat Ezra berlari, Anita pun ikut berlari
“Sial….” desis Ezra sebelum melompat ke kolam. Ia berenang menuju Okta yang sedang memukul-mukul air. Gadis itu tenggelam dan kehabisan nafas.
Ezra memeluk Okta erat. Tangan gadis itu lingkarkan di lehernya, agar kepala Okta bisa bersandar di bahunya dan gadis itu bisa bernafas. “Bodoh”
Sampai di atas kolam, Ezra membaringkan Okta yang sudah tak sadar. Ezra meletakkan jarinya di hidung Okta, memastikan gadis itu masih bernafas. Sayang, Okta tak lagi bernafas. Dengan cepat Ezra pun melakukan CPR dan memberikan nafas buatan pada Okta.
Sepuluh kali tekanan pada dada Okta, gadis itu pun kembali bernafas. Ia terbatuk dan mengeluarkan air kolam yang tadi sempat ia telan. Ezra langsung terduduk di depan Okta. Nafasnya memburu dan sungguh untuk pertama kalinya ia merasakan apa itu takut.
Anita langsung membantu Okta duduk lalu menyelimutinya dengan handuk yang tadi ia bawa. Anita juga terlihat sangat khawatir.
“Kau baik-baik saja, Okta?” tanya Anita
“Kita ke rumah sakit sekarang.” Ezra berdiri dengan susah payah. Pakaiannya yang basah terasa sangat berat.
“Ti-tidak perlu. Aku baik-baik sa-”
“KITA KE RUMAH SAKIT SEKARANG !” Ezra berteriak hingga wajahnya memerah.
Okta dan Anita sama-sama terkejut. Ini untuk kali pertama mereka melihat Ezra sangat marah. Bahkan Anita yang sudah jadi istri Ezra selama 2 tahun, baru kali ini melihat Ezra semurka sekarang.
“Jangan mendebatku, ganti bajumu dan kita ke rumah sakit sekarang….” Sadar sudah membuat Okta takut, Ezra memelankan suaranya. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan kolam renang
Untungnya tak ada yang serius dengan kondisi Okta. Jadi gadis itu tak perlu mendapat perawatan yang berlebihan, hanya beberapa resep obat dan vitamin.
“Tunggu aku disini, aku akan mengambil obatmu dulu.” Anita pergi untuk mengambil obat Okta, dan meninggalkan Okta juga Ezra di ruang tunggu.
Setelah Anita pergi, Okta terus mencuri pandang pada Ezra yang duduk disebelahnya. Wajah pria itu kaku dan rambutnya masih basah. Ezra bahkan tak mengganti pakaiannya tadi. Okta kemudian menatap handuk kecil di tangannya. “Ezra, keringkan rambutmu dulu.”
Awalnya Ezra ingin mendiamkan Okta. Tapi mendengar namanya disebut, sisi dari dirinya yang bodoh itu muncul lagi. Ezra kemudian menatap Okta lekat. “Kau benar-benar tidak ingat jika kau itu tidak bisa berenang? Kau mau aku mati tadi ?” tanyanya dengan suara pelan
Okta heran, Anita tak melarangnya atau memberitahunya bahwa ia tak bisa berenang tadi. Lantas kenapa Ezra bicara seperti itu? jika benar ia tak bisa berenang, kenapa yang tahu hal itu Ezra dan bukannya Anita?
“Aku tidak bisa berenang?” tanya Okta
Ezra membuang wajahnya. Bodoh. Ia baru saja membuka kedoknya sendiri.
Tak lama Anita pun datang. Ia segera mendapat pertanyaan dari Okta. Pertanyaan yang sama yang juga Okta tanyakan pada Ezra. “Apa?” Anita mencoba membuang waktu. Ia perlu berpikir. Pasti sudah terjadi sesuatu yang salah disini. Ia berkedip cepat dan menoleh pada Ezra
“Ezra bilang aku tidak bisa berenang, itu benar Anita?”
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14