...
Tiga hari waktu yang Ezra perlukan untuk menyimpulkan semua data yang suruhannya dapatkan. Anita memanglah dalang dibalik menghilangnya Okta. Istrinya itu entah karena motif apa menyekap Okta di sebuah rumah di pinggir kota.
Dengan bantuan dari kepolisian, Ezra pun menyergap rumah itu. Selain polisi, ia juga datang bersama Alex. Perjalanan sekitar 1 jam dari pusat kota, rombongan Ezra pun tiba di sana. Mereka masuk dan memeriksa semua ruangan yang ada di rumah itu.
Mereka menemukan Okta. Terbaring tak berdaya di atas kasur di kamar di lantai 2. Saat akan menghampiri Okta, tiba-tiba saja Anita keluar dari kamar mandi di kamar itu. Dengan sigap ia menerjang Okta dan mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya. Anita menjadikan Okta yang lemah sebagai tawanannya agar bisa kabur.
“Jangan mendekat, atau kutembak dia,” ancam Anita pada Ezra dan juga polisi di sana
“Kau sudah gila, Anita? Apa arti semua ini?” Ezra bicara dengan urat leher yang terlihat. Sungguh, jika saja Okta tak ada di tangan Anita, sudah ia pukul Anita.
“Ini semua salahmu. Jika kau tak membawa Okta ke rumah, aku tak akan seperti ini!!” Anita berjalan mundur menuju tangga.
“Apa maksudmu?” Ezra berusaha mengalihkan perhatian Anita
“Jika kau tak membawa Okta dan memperkenalkannya padaku, aku tak akan jatuh cinta padanya!!”
Semua mata terbelalak. Hal seperti ini masihlah sangat tabu.
“Ka-kau menyukai Ok-“ Ezra tak bisa meneruskan ucapannya. Ia terkejut luar biasa.
“Karena itu, kalau Okta tak bisa bersamaku, dia lebih baik tak bersama siapapun,”
“Anita, jangan lakukan ini. Kau bisa masuk penjara.” Dengan sisa-sia kesadarannya, Okta masih sempat mengingatkan Anita. Okta benar-benar merasa seluruh tubuhnya lemas. Ia sudah tak makan dan minum selama 3 hari penuh. Jelas saja ia tak baik-baik saja.
Anita terus menuruni tangga, dan saat merasa sudah aman, ia melepaskan Okta hingga gadis itu terjatuh. Anita berlari, sementara tubuh Okta berguling menuruni tangga dan akhirnya berhenti karena membentur lantai dasar.
Saat Ezra tiba di sana, ia langsung berteriak memanggil-manggil nama Okta. Sayang, gadis itu tak lagi membuka matanya.
“Cepat bawa Okta ke rumah sakit!” teriak Alex sembari berlari untuk menyiapkan mobil.
Satu jam menunggu di luar, sang dokter yang menangani Okta pun memperbolehkan Ezra dan Alex masuk. Dan saat dua orang itu masuk, ternyata Okta sudah sadar.
“Kau baik? Ada yang sakit?” Ezra bertanya sembari duduk di pinggir ranjang Okta.
Tak bisa berucap apapun, Okta langsung memeluk Ezra. Entahlah, keadaannya sekarang membuat Okta jadi lebih sensitif. Okta merasa lega luar biasa setelah mendengar ucapan dokter “Sebentar, Ezra. Sebentar saja,” katanya memohon. Okta menyembunyikan wajahnya di leher Ezra dan merasa nyaman dengan cepat.
Ezra tersenyum, “Jangan takut. Aku disini dan tak akan pergi.” Ezra mengelus lengan Okta.
Alex membuang wajahnya. Sungguh menyedihkan saat melihat orang kau cintai malah sangat membutuhkan orang lain. Tanpa membuat suara, ia pun pergi dari ruangan itu.
“Tidurlah, Okta. Jangan khwatir,” ucap Ezra lagi
Perlahan rasa kantuk Okta muncul. Ia menurut pada matanya yang berat dan pelan-pelan mulai terlelap. Sebelum ia benar-benar tidur, gadis itu berucap pelan pada Ezra, “Masih saja sama. Seperti rumah.”
Ezra menegang dan perlahan menarik dirinya dari Okta. Ia merasa pernah mendengar kalimat tadi. Di mobilnya, 5 tahun yang lalu. Saat itu ia dan Okta baru saja pulang dari acara menjenguk teman mereka yang sakit. Ezra mengantar Okta pulang dan dalam perjalanan mereka pun mengobrol.
“Kalau kau, Ezra, hal apa yang paling kau inginkan di dunia ini?” tanya Okta
“Aku? Aku ingin punya anak dari gadis yang cintai dan nikahi nantinya. “Kalau kau?” Ezra balik bertanya
“Aku ingin menikahi pria yang pelukannya senyaman rumah.” Okta tersenyum penuh harap.
Ezra tak mungkin salah mengingat. Itu memang ucapan yang Okta lontarkan. Dan baru saja, gadis itu juga menyuarakan hal yang sama. Ini hanya kebetulan atau memang ada sesuatu yang tidak Ezra ketahui?
.
.
Bangun pagi hari ini, Okta langsung mendapati wajah Ezra di sampingnya. Laki-laki itu tidur dengan berbantalkan lengannya sendiri.
“Ezra.” Okta membangunkan Ezra dengan menyisir helaian rambut laki-laki itu. “Bangun, jangan tidur di sini.” Okta tersenyum.
Tepat saat itu, Ezra pun membuka mata. Suatu pemandangan yang indah bisa melihat senyuman Okta saat membuka mata. Tanpa berlama-lama, Ezra langsung mengecup bibir Okta sekilas. “Selamat pagi,” katanya dengan suara serak.
Okta berkedip cepat. Serangan yang benar-benar tak pernah ia duga. Seketika wajahnya memerah, dan ia langsung menutupinya dengan selimut. Ezra terkekeh dan melangkah menuju kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi, Ezra keluar dari kamar itu sebentar, lalu masuk lagi. Ia habis meminta perawat untuk segera mengantar sarapan Okta. Dan tak lama setelah itu, makanan Okta pun datang. Menatap makanannya dengan tak berselera, Okta menggeleng pada Ezra.
“Aku tidak mau mendengar penolakan. Makan.” Perintah Ezra tegas
“Ezra, itu tidak enak. Aku pasti akan muntah jika memakannya. Bukannya sembuh, aku malah akan bertambah sakit.” Okta menjauhkan mangkuk bubur dari dekat wajahnya. “Ezra,” katanya lagi dengan wajah memelas.
Ezra mengernyit. Jarang-jarang Okta memperdengarkan nada manja semacam ini. “Kau mau makan apa?” tanyanya menyerah
“Nasi goreng…buatanmu.” Okta tersenyum lebar dan mengguncang-guncang lengan Ezra.
Ezra menganga. Nasi goreng di pagi hari untuk orang sakit dan harus dimasak dimana? “Ini rumah sakit, Okta. Aku harus masak nasi goreng di mana?” Ezra berteriak tertahan.
“Tentu saja di dapur rumah sakit. Cepatlah, Ezra. Aku lapar.” Okta duduk dan menurunkan kedua kakinya.
“Kau mau apa?” Ezra mencegah gadis itu turun.
“Ayo buat nasi goreng.” Okta turun dari ranjangnya, dan segera menyeret Ezra ke dapur rumah sakit.
Memasuki dapur rumah sakit tentu saja tak semudah itu. Ezra harus mengerahkan semua latar belakang dan koneksinya untuk bisa menggunakan panci di sana. Dengan sesekali menggerutu, ia pun mulai memasak nasi gorengnya. Tak lupa ia memelototi semua koki juga beberapa perawat yang ada di sana.
Sementara Ezra memasak, Okta yang duduk agak jauh dari Ezra terus menatapnya dan tersenyum.
“Berhenti tersenyum, Okta. Kau kira aku ini tontonan?” Ezra mengiris bawang
“Jangan menggerutu, kau bertambah seksi,” goda Okta dan langsung saja mendapat reaksi dari orang-orang disana ; mereka tersenyum dan memalingkan wajah.
Ezra menghentikan gerakan tangannya dan menoleh pada Okta. “Apa?” tanyanya
“Cepat masak, aku lapar.”
Tiga puluh menit kemudian, sepiring nasi goreng pun muncul di depan Okta. Tak sabar ingin mamakannya, gadis itu meminta Ezra menggendongnya ke kamar. Menerima permintaan aneh dalan satu hari, Ezra benar-benar tak mengerti.
“Tolong bawakan nasi goreng ini,” katanya pada seorang perawat, lalu menggendong Okta. “Setelah ini apa lagi yang kau inginkan?” ucapnya tepat di depan wajah Okta.
“Cepatlah, Ezra. Aku lapar.” Okta menggerak-gerakkan kakinya
“Iya-iya.”
Hari itu, Okta benar-benar mengingat rasa nasi goreng buatan Ezra. Bukan hanya itu, ia juga merekam baik-baik ekspresi kesal yang laki-laki itu tunjukkan karena semua permintaan anehnya. Okta akan segera pergi dan ia harus bwa amunisi yang banyak.
Menjelang malam, saat Okta hampir tertidur, gadis itu meminta hal aneh lagi dari Ezra. “Boleh taruh tanganmu di kepalaku?”
Tanpa menolak, Ezra melakukannya. Tapi ia tak hanya menaruh tangannya di sana, ia juga mengelus kepala gadis itu hingga dilihatnya Okta terpejam.
“Ezra, boleh minta sesuatu lagi?”
“Apalagi?”
“Jangan menyesali apapun.” Okta membuka mata dan tersenyum tulus pada Ezra.
“Baiklah. Terserahmu saja,” balas Ezra.
Karena kejadian di rumah sakit, Ezra menggantung harapannya setinggi langit. Ia kira semuanya akan jadi baik. Ia akan segera menceraikan Anita dan bisa bersama dengan Okta. Tapi ternyata tak demikian.
Seminggu setelah Okta pulang dari rumah sakit, gadis itu menghilang lagi. Tentu saja kali ini bukan karena ulah Anita, karena wanita itu sedang dikurung dalam penjara. Dan Ezra yakin gadis itu tidak diculik, karena saat akan pergi Okta berpamitan padanya.
Ezra sudah mencegah kepergian Okta untuk kesekian kalinya, tapi Okta tetap pergi. Untuk kesekian kalinya juga, Ezra kehilangan Okta.
Okta pindah rumah lagi. Dengan bantuan terakhir dari Alex, Okta mendiami sebuah rumah di kota yang berbeda dengan Ezra. Okta tak sendirian di sana. Alex juga sudah mempekerjakan seorang asisten rumah tangga di rumah itu.
Di rumah itu, Okta mengabulkan keinginan Ezra. Meski ia tahu hal itu akan membahayakan dirinya sendiri, Okta tetap melakukannya. Tak bisa bersama dengan Ezra, setidaknya Okta bisa memberikan hadiah untuk pria itu.
Karena meski Anita dan Ezra akan berpisah, ia tak akan sampai hati mengambil pilihan bersama dengan Ezra. Ia benar-benar menganggap Anita sebagai temannya. Mungkin, memang Anitalah yang ditakdirkan untuk Ezra. Bukan dirinya.
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14