...
Ezra memasukan tangannya ke saku celana olahraga yang ia pakai. Laki-laki itu mendekat pada Anita yang tengah menatapnya dengan marah.
“Jika memang begitu. Anggaplah asumsimu benar. Kau mau apa?”
Anita terkejut. Tak ia sangka Ezra akan mengakui semuanya secepat ini. Suaminya itu bahkan tak berniat menyangkal dan membela diri. Dan seenteng itu? Apa Ezra benar-benar tidak menganggap pernikahan mereka?
“Ezra, ka-kau benar-benar menyukai Okta?” Anita masih ingin mendengar jawaban gamblang Ezra
“Kubilang seandainya,” balas Ezra
Malam itu Anita tak mendapat jawaban pasti. Setelah percakapan mereka, Anita memilih pergi dari kamar. Ia tak sanggup mendengar Ezra mengatakan yang sebenarnya. Meski ia sendiri sudah tahu apa kenyataan yang ada. Ezra sudah pasti punya rasa pada Okta.
Tak ingin membahasnya, Anita pergi ke kamar Okta. Dengan alasan tak bisa tidur di kamarnya sendiri, Anita meminta agar diizinkan tidur di sana. Okta tak punya alasan menolak, jadi ia mengiyakan.
Saat mereka sudah berbaring. Okta tiba-tiba saja berteriak. Itu karena gadis itu melihat cicak di dinding kamarnya.
“Astaga, Okta! Itu hanya cicak. Kenapa kau harus seheboh ini?” Anita mau tak mau ikut bangun karena tak habis pikir akan reaksi Okta. Gadis itu itu bertepuk tangan dan tersenyum girang.
Okta tak perduli pada omelan Anita. Ia turun dari tempat tidur dan menaiki kursi rias agar lebih dekat melihat cicaknya. “Kapan terakhir kali aku melihat cicak?” tanyanya pada Anita.
Saat Anita hendak menjawab, pintu kamar itu terbuka. Ezra muncul dengan wajah panik. “Siapa yang teriak?” tanyanya menatap Okta yang memanjat kursi. “Kau sedang apa, Okta?”
Okta tersenyum. Ia memindahkan pijakan kakinya pada tangan kursi. “Melihat cicak. Ini pertama kalinya aku li-“
BRAAAK
BUGH
Okta itu ceroboh. Entah itu dulu atau sekarang, gadis itu tetaplah seorang yang ceroboh, Dia gadis yang selalu membuat Ezra harus jadi laki-laki yang siap siaga. Menyelamatkan gadis itu dari akibat kecerobohannya Seperti sekarang. Ezra harus rela menjadi matras yang menghalangi tubuh Okta berbenturan langsung dengan ubin yang keras. Kalau tidak, kepala atau tubuh Okta bisa terluka. Gadis itu jatuh dari kuris yang ia naiki.
“Akh.” Okta meringis. Meski sudah jatuh diatas tubuh Ezra, pergelangan tangannya sempat berbenturan dengan lantai tadi.
Anita menghampiri dan berjongkok di depan Okta. Ia memegangi tangan Okta. “Sepertinya terkilir,” ucapnya
Ezra diam ditempatnya. Ia masih berbaring telentang dan tak berniat bangun. Ia hampir mati jantungan. Dan ini semua karena tingkah Okta.
Okta menatap Ezra. Ia melihat pria itu menutup mata dan rahangnya mengeras. Ini tidak baik. Okat pun berdiri. “Maaf, Ezra,”katanya takut-takut
Yang dimintai maaf membuka mata. Menatap tepat pada Okta, lalu bangun. Tak mengatakan apapun, Ezra keluar dari kamar. Ia tak ingin meledak di depan Okta.
Melihat reaksi Ezra, Okta meringis. “Dia marah padaku. Ah, bodoh sekali aku. Tubuhnya pasti sakit.”
Dua hari kemudian, seorang pria bernama Alex mendatangi kantor Ezra. Awalnya Ezra menolak bertemu laki-laki asing itu. Tapi karena Alex menyebut nama Okta, Ezra pun menerima ajakannya bertemu. Dan di sinilah mereka. Saling menatap dan seakan sedang berusaha membaca isi pikiran lawab bicara.
Alex. Pria dengan tinggi 170 cm itu mengaku mengenal Okta. Ia berdomisili di Singapura dan mengaku sudah pernah bertemu dengan ayah Okta. Bukan hal besar, Ezra tak peduli. Tapi kemudian, Alex mengatakan sesuatu yang berhasil membuat Ezra tertarik. Alex mengaku sebagai calon tunangan Okta. Harusnya ia dan Okta akan bertunangan, jika saja ayah gadis itu tak meninggal.
“Ayahnya sudah meninggal. Rencana kalian tak akan bisa direalisasikan.” Ezra bicara sambil membuka laptopnya. Bersikap tak peduli, padahal ingin segera menendang Alex.
“Yang kudengar, kau itu temannya. Apa itu benar?” tanya Alex
Ezra tersenyum sombong, lalu berujar, “Itu benar. Karena itu jangan bersikap sok ke-“
“Cara bicaramu seolah kau itu belum punya istri dan lebih dari teman. Berlebihan?”
Senyuman Ezra hilang. Ia menatap tajam pada Alex. Laki-laki itu tahu ia sudah beristri, itu artinya selama ini Alex memata-matainya. “Kau mau apa?”
Permintaan Alex sederhana. Ia ingin Okta menjadi istrinya. Karena memang begitulah rencananya dnegan ayah si gadis. Meski baru 3 kali berjumpa dengan Okta, Alex sudah jatuh hati pada gadis itu. Bahkan jika nanti Okta benar-benar tak mengingatnya, Alex rela memberikan waktu pada Okta untuk bisa mengingatnya.
“Tidakkah menurutmu aku sudah sangat menghargaimu sebagai teman Okta? Tolong buat Okta tinggal di rumah yang berbeda denganmu.” Alex berdiri dan berpamitan.
Ezra menatap pintu ruangannya yang sudah tertutup. Ezra ingin sekali melemparkan sesuatu pada pria bernama Alex tadi. Sekarang tidak hanya ingatan Okta yang membuat Ezra harus was-was setiap hari. Ada satu gangguan lagi. Alex.
Alex. Pria mapan yang menjadi salah satu teman bisnis ayahnya Okta. Awal ia bertemu dengan Okta adalah saat gadis itu dibawa ayahnya ke Singapura untuk tanda tangan kontrak bisnis dengan perusahaannya. Sederhana, Alex jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan bak gayung bersambut, ayah Okta memang punya rencana menjodohkan ia dengan putrinya. Bahkan Okta sudah setuju kala itu. Tapi sayang, musibah yang menimpa perusahaan ayah Okta mengacaukan segalanya.
Meski demikian, niat Alex untuk mempersunting Okta tidak berubah. Karenanya pria itu ada disini. Di tempat kerja Okta, dengan status sebagai pelangan. Ya, sudah seminggu lalu ia menyamar sebagai pengunjung di tempat Okta bekerja. Pura-pura membeli buku dan mencuri sedikit waktu untuk mengobrol dengan gadis itu. Layaknya sekarang.
“Hai, Okta,” sapanya pada Okta yang hari ini memakai seragam putih.
Okta tersenyum ramah lalu mengambil buku yang Alex hendak beli. “Kau beli buku lagi?” tanyanya. Okta bukannya bodoh. Ia tahu bahwa pria bernama Alex ini punya suatu maksud. Mana mungkin ada orang yang membeli buku setiap hari, dengan topic yang random.
“Aku akan terus membeli buku, sampai kau mau menyumbangkan sedikit waktumu untukku. Makan bersama siang ini?”Alex menerima bukunya yang dan memberikan kartu kreditnya pada Okta.
Okta tersenyum. Seminggu waktu yang cukup untuknya mengenali sifat Alex. Ya, meski hanya sedikit. Dia pria baik, hanya caranya saja yang sedikit kekanakan. Tapi itu lebih baik daripada seseorang yang suka memaksakan kehendak.
“Ayolah, Okta. Aku hanya ingin mengobrol denganmu sebentar.” Alex berusaha membujuk Okta lagi
“Kenapa? Apa alasanmu ingin bicara denganku? Kau tahu? Kau bersikap layaknya anak SMA yang sedang mengejar seorang gadis.” Satu kekehan lolos dari mulut Okta.
“Aku memang sedang mengejarmu. Namaku Alex, Okta. Kau tidak mengenaliku?”
Kalimat terakhir Alex berhasil membuat Okta mau menerima ajakan Alex. Tapi bukan makan siang, melainkan makan es krim di rooftop toko buku tempat Okta bekerja. Terpaksa Alex mengikuti.
“Jadi, apa kau mengenalku?” Okta bertanya tak sabaran.
Alex menatap gadis di sebelahnya. Ia sedang menimbang. Haruskah ia menceritakan semuanya pada Okta? Atau tetap diam dan menunggu gadis itu mengingat semua memorinya.
Jika Alex memilih opsi kedua, maka ia harus siap membiarkan Okta tetap tinggal di rumah Ezra. Ayolah, Alex tidak bodoh. Meski tak tahu mendetail soal siapa Ezra, ia tetaplah tahu bahwa laki-laki itu punya sesuatu yang disembunnyikan.
“Alex.” Okta menepuk lengan Alex, agar pria itu berhenti melamun. “Jawab aku. Kau bohong padaku? Kau sebenanrya tidak mengenalku, kan?”
Alex sudah membuat keputusan. Ia memilih menceritakan semuanya pada Okta. Dan reaksi yang ia dapat dari Okta sesuai dengan prediksinya. Gadis itu terkejut dan hampir tak bisa mengucapkan apapun.
“Okta, bisakah kau berhenti membuka mulutmu? Kau seperti orang bodoh,” kata Alex sambil mengacak rambut Okta. “Kau terkejut karena ternyata punya calon tunangan atau karena calon tunanganmu ini sangat tampan?”
Okta menatap wajah Alex. Ia tak ingin langsung percaya begitu saja pada laki-laki yang baru dilihatnya ini. Tapi keyakinan dimaya Alex tak bisa ia ingkari. Lagi pula, untuk apa Alex berbohong padanya? Okta bukan lagi putrid dari pengusaha terkenal. Alex sama sekali tak akan mendapat keuntungan darinya.
“Alex…,” panggil Okta. “Kau sungguh-sungguh akan ucapanmu?”
“Aku tidak sedang menipumu. Aku bisa saja membuktikan ucapanku, tapi satu-satunya buktiku adalah ingatanmu saat kita bertemu di Singapura terkahir kali. Aku meminta kesediaanmu menjadi pendampingku dihari itu.”
“Apa aku bersedia?” tanya Okta
Alex mengambil tangan Okta. Menyentuh jemari gadis itu dengan tatapan sedih.”Harusnya di jari manismu ini ada sebuah cincin. Yang seperti ini.” Alex menunjukkan kalung yang ia pakai. “Aku ini orang ceroboh. Aku takut menghilangkannya jadi aku jadian satu dengan kalungku,” jelasnya pada Okta
Okta selalu sedih setiap Anita menceritakan semua hal yang Okta lupa. Dan pengakuan Alex barusan jauh lebih sedih dari semua yang sudah pernah ia dengar. Karena itu Okta menangis dan tiba-tiba memeluk Alex.
“Maaf, Alex,” kata gadis itu sambil terisak
Alex membalas pelukan Okta. Ia senang karena gadis itu percaya padanya. “Kau tidak salah, kenapa minta maaf? Jangan menangis, nanti orang-orang pikir aku ini melakukan sesuatu yang buruk padamu.”
Okta sampai di rumah pukul 7 malam. Jam kerjanya berakhir pukul 5, tapi tadi ia tak ingin melewatkan kesempatan mendengar cerita soal dirinya dari Alex. Meski tidak banyak. Okta tetap senang. Setidaknya, ia tak hanya mendengar kisahnya dari Anita dan Ezra.
Anita dan Ezra. Okta lupa satu hal. Ia tak mengabari kedua temannya itu, bahwa akan pulang terlambat. Dan benar saja. Kedua orang itu sontak menatapnya saat ia tiba di ruang tamu.
“Kau bersama Alex?” Yang bertanya lebih dulu adalah Ezra.Laki-laki menatap Okta tajam saat gadis itu menjawab pertanyaannya dengan mengangguk. “Lain kali, jika ingin pacaran, beritahu kami. Kami bisa berpkiran yang tidak-tidak.” Ezra pergi.
Anita menatap suaminya kesal, karena sudah memarahi Okta. Anita pun segera menyruh Okta makan. Dan selagi Okta makan, Anita bertanya soal Alex. Malangnya Anita. Belum selesai soal Ezra, ia sudah harus dihadapkan pada masalah lain.Alex. Kenapa semua priia hanya bisa menciptakan masalah dalam hidup Anita?
Sementara Anita menemani Okta makan, Ezra memilih berdiam diri di ruang kerjanya. Pria ini sedang memikirkan cara agar bisa menjauhkan Alex dari Okta.
Setengah jam berlalu,, Ezra tak menemukan cara apapun. Kesal, Ezra keluar dari sana. Laki-laki itu langsung menuju kolam renang dan menceburkan dirinya ke sana.
“Shit!!” teriaknya keras
…
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14