...
Vila Ezra terletak di daerah dataran tinggi, karenanya udara di sini sangat sejuk. Seperti pagi ini, Okta harus terbangun karena suhu dingin yang ada. Tak bisa tidur lagi, Okta memilih keluar kamar. Ia terkejut saat mendapati pintu utama rumah itu terbuka. Apa ada maling? Penasaran, Okta berjalan menuju pintu. Ia mengabaikan rasa dingin yang semakin menusuk tulang dan akhirnya sampai di bibir pintu.
“Kau sedang apa?”
“ASTAGA!!” Okta setengah menjerit dan menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia hampir saja memukul sumber suara, jika matanya tak cepat-cepat menyadari bahwa itu adalah Ezra. “Kukira kau maling,” katanya.
Ezra menggeleng pelan. “Jika aku benar maling bagaimana? Harusnya kau memanggil seseorang untuk menemanimu. Bukan memeriksa sendiri tanpa persiapan begini. Jika aku benar maling, mungkin kau sudah kena pukul.”
Okta mendengus kesal. “Kau mau apa keluar rumah sepagi ini?” tanyanya sembari melihat sekitar. Langit masih gelap.
“Bersepeda di udara dingin menurutku menyenangkan.” Ezra melanjutkan kegiatan pemanasannya.
“Bersepeda? Dingin-dingin begini? Kau tidak takut beku? Bersepeda itu akan seru saat dilakukan sore hari.” Suara Okta bergetar karena dingin.
Ezra menggerakkan alisnya. Gadis ini benar-benar tak berubah, pikirnya. “Aku bilangkan menurutku. Kalau menurutmu berbeda, kurasa kau tidak berhak menyalahkanku.”
Okta menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tersenyum dan menunduk karena malu.
Jika boleh jujur, Ezra sudah pernah melihat ini. Okta yang tersenyum dengan rona malu, sangat sering ia lihat saat mereka kuliah dulu. Tapi tetap saja. Dadanya masih bergemuruh saat Okta melakukannya tadi. Ezra ingin segera menarik gadis itu dan memenjarakannya dalam pelukannya.
“Kau mau ikut?” tanya Ezra setelah berhasil mengendalikan diri.
“Apa benar tak akan membuatku mati beku?”
“Tunggu di sini, aku akan ambil sepeda di garasi.” Ezra berjalan menuju garasi di sebelah bangunan rumah.
“Aku ikut.” Dengan berlari, Okta menyusul Ezra.
…
“Wuuaaaaaaaaahhhh!!!!” teriak Okta saat sepedanya melaju kencang di jalanan yang menurun. Ezra benar, bersepeda di udara dingin seperti ini tidak terlalu buruk. Disamping itu, jalanan yang sepi juga pemandangan indah di sebelah kiri dan kanan jalan itu cukup memuaskan.
Di belakang Okta, Ezra hanya bisa tersenyum karena tingkah kekanakan yang gadis itu perlihatkan sedari tadi. Mulai dari banyak bicara, banyak bertanya dan juga berteriak girang persis anak kecil.
“Ezra, ayo balapan!” Okta melambatkan kayuhannya agar bisa sejajar dengan Ezra. “Siapa yang sampai di ujung jalan sana lebih dulu, bebas meminta apapun pada yang kalah. Bagaimana?” Okta agaknya lupa pada siapa ia sedang bicara sekarang. Ini terjadi sejak Ezra mengaku bahwa ia juga temannya. Okta tak lagi cangung ataupun takut pada laki-laki itu. Dan setelah mengenal Ezra lebih jauh, Okta sadar bahwa Ezra tidaklah sekaku yang selama ini ia bayangkan.
“Bebas meminta apapun?” Ezra mengulang ucapan Okta
“Iya. Kita mulai. Satu,” Okta mulai menghitung. “Dua, TIGA!” tepat pada hitungan ketiga, gadis itu mengayuh secepat yang ia bisa.
Berbanding terbalik dengan Okta yang sangat bersemangat, Ezra terlihat santai-santai saja dalam kayuhannya. Tentu saja. Tujuannya bukanlah memenangkan pertandingan kekanakan ini. Okta yang senang dan terus tertawa seperti sekarang sudah lebih dari cukup.
Okta terus mengayuh sepedanya. Ia tak ingin kalah. Tapi kemudian sesuatu yang buruk terjadi. Rantai sepedanya putus, ia kehilangan kendali hingga sepedanya keluar dari jalan, dan akhirnya menabrak sebuah batu besar yang tertanam di pinggir jalan. Malang sekali.
Melihat itu Ezra segera menghentikan sepedanya. Membuang benda itu jauh-jauh lalu berlari menghampiri Okta yang sudah terduduk sambil memegangi lututnya.
“Kapan kau akan berhenti ceroboh?” setengah berteriak Ezra membantu Okta meluruskan kakinya. Ia panik saat dilihatnya darah mengucur dari luka sobek di dekat mata kaki Okta. Luka itu pasti karena berbenturan dengan kerikil tajam.
“Iisshh…jangan menyentuhnya.” Okta menyingkirkan tangan Ezra dari lukanya.
“Diam dulu. Aku bahkan belum menyentuhnya.” Ezra melihat sekitar. Jalanan itu sepi. Ia menoleh pada sepedanya kemudian berlari kesana. Membawa sepedanya ke depan Okta, ia menyuruh gadis itu naik.
“Aku tidak mau. Aku masih bisa jalan,”tolak Okta. Entahlah. Otak Okta sudah rusak. Disaat begini bisa-bisanya ia memikirkan kecanggungan yang akan terjadi saat ia dan Ezra di sepeda yang sama. Sepeda itu tak punya boncengan, otomatis Okta harus duduk di depan. Membayangkannya saja Okta sudah memerah.
“Astaga, Okta! Disaat begini kau masih saja keras kepala? Kenapa kebiasaan buruk ini terus kau pelihara sampai sekarang? Naik, kataku. Kau mau lukamu itu infeksi?” Ezra kesal.
Okta terus menolak, hingga Ezra harus turun dari sepeda dan memaksa gadis berdiri. Ezra menaiki sepeda, lalu menarik lengan Okta agar gadis itu duduk. Tanpa bersuara lagi, Ezra pun mulai mengayuh sepedanya.
Duduk dengan posisi tepat di depan Ezra, Okta tak bisa memastikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia sangat gugup dan merasa ada kembang api yang sedang meledak di dalam perutnya. Ditambah lagi, sedari tadi Ezra terus mengomel soal kecerobohan juga keras kepalanya. Aneh. Okta merasa Ezra lebih mengenalnya daripada Anita.
“Selalu saja keras kepala. Jika begini terus, kupastikan hanya aku orang yang akan tahan denganmu.” Ezra menggigit bibirnya. Ia baru saja mengatakan sesuatu yang salah. Dan kesalahan itu harus ia bayar saat mendengar Okta bertanya.
“Apa kau sangat mengenalku? Sama seperti Anita? Apa dulu kita juga dekat? Kalau kau tidak keberatan, bisa kau ceritakan bagaimana aku dulu?”
Tidak hanya satu, Ezra mendapat 3 pertanyaan dan 1 perintah. Sebenarnya ia ingin menolak menjawab semuanya, tapi nada sedih yang Okta bubuhkan dalam kalimatnya membuatnya menyerah. Okta pasti sedih karena tak bisa mengingat masa lalunya.
Ezra pun mulai menjelaskan. Ia bercerita soal seberapa ceroboh dan keras kepalanya Okta dulu. Seperti dulu, Okta pasti akan mengelak. Sejak dulu gadis itu tak suka dikritik. Meski begitu, Ezra tak mau mengalah. Ia tetap kekeh menyebut Okta ceroboh dan keras kepala. Lagi pula, Ezra tak berbohong. Ia bisa menyebutkan buktinya.
“Bekas luka di tumit kananmu. Kau kira itu karena apa? Jika kau tak keras kepala, kau tak akan mendapatkan luka jahitan di sana.” Ezra tersenyum puas. Kali ini Okta tak lagi mampu mendebatnya.
Luka di tumitnya Okta dapat saat ia dan Ezra bermain di sebuah pantai. Waktu itu mereka kesana dengan tujuan menenangkan diri dari banyaknya tugas kuliah. Di sana, Okta berlari di bibir pantai dengan bertelanjang kaki. Ezra sudah melarang si gadis untuk melakukan itu. Ia tahu bahwa pantai itu tak begitu di urus, jadi ada kemungkinan terdapat benda tajam yang nantinya bisa melukai kaki Okta. Bisa ditebak, Okta menolak. Dan akibatnya tumit gadis itu terkena pecahan botol yang dibuang sembarangan di bibir pantai.
Okta terdiam. Ia terkesima dengan cara Ezra menjelaskan. Sangat runtut dan terasa dekat. Ini aneh jika dibandingkan dengan cerita yang Okta dengar dari Anita. Cara dua orang itu menyampaikan sangat berbeda. Anita hanya bercerita hal baik soal dirinya. Dan Okta tak merasakan emosi apapun saat mendengar semua cerita dari wanita itu. Tapi dari Ezra, Okta merasakan yang sebaliknya. Cara Ezra bercerita terasa sangat dekat. Ini aneh.
Larut dalam pikirannya sendiri, Okta tak sadar bahwa ia sudah sampai di depan rumah. Ezra pun memapahnya masuk, dan dengan cepat suasana rumah singgah itu menjadi gaduh. Ezra yang terus mengomel dan Anita yang khawatir berlebihan. Okta pusing. Dua temannya ini benar-benar bersikap tak wajar. Lukanya tak parah dan juga sudah diobati. Apalagi masalahnya?
“Ini hanya luka kecil. Kakiku tak harus diamputasi, jadi bisakah kalian berhenti panik,” ujar Okta dengan suara meninggi.
Ezra dan Anita terdiam. Mereka saling menatap dan akhirnya sama-sama tersenyum malu. Okta benar, mereka sudah sangat berlebihan.
“Sudah? Sekarang bisa kita sarapan? Maafkan aku, tapi aku lapar.”
Saat sore, selesai mandi, Okta menemukan Anita duduk di ranjangnya. Wanita itu memangku kotak P3K dan tersenyum.
“Aku bisa mengobati lukaku, Anita. Aku ini bukan anakmu yang harus kau urusi 24 jam.” Okta berjalan tertatih dan akhirnya duduk di sebelah Anita.
Anita menyingkirkan kotak obatnya lalu menaruh kaki Okta di sana. “Masih sakit? Kita harusnya liburan, kau malah mendapat luka.” Anita pun mengeringkan luka Okta lalu meneteskan betadine kesana.
Selesai dengan pekerjaannya, Anita menutup kotak tadi. “Harusnya kita jalan-jalan sore ini. Tapi kakimu malah sakit. Dasar ceroboh!” Anita memukul lengan Okta gemas.
“Kalian pergi saja. Aku juga sangat mengantuk, kurasa aku mau tidur setelah ini.”
Anita menggeleng. Mana seru jalan-jalan tanpa Okta. Yang sudah-sudah, pergi bersama Ezra sama seperti pergi bersama patung. Laki-laki itu hanya akan diam. Dengan kecewa, Anita pun bangkit dari tempat tidur Okta. Memberi ruang agar gadis itu bisa berbaring.
Okta menarik selimutnya dan memejamkan mata. Rasa kantuknya benar-benar tidak terlawan. Ini pasti karena ia bangun sangat pagi tadi. Satu menit kemudian, Okta kembali membuka mata. Ia tersenyum karena Anita ternyata masih ada di sana. Berdiri di samping tempat tidur dengan wajah aneh.
“Apa yang kau lakukan di sana? Kenapa terus melihatku?” Okta bicara dengan suara yang berangsur-angsur pelan. Ia memejamkan matanya lagi.
“Tidurlah. Aku akan di sini dan seperti ini sebentar lagi,” jawab Anita sembari tersenyum.
Hening. Anita tak bisa mengatakan apapun dan tak tahu harus bereaksi semacam apa. Perlahan senyuman di bibirnya sirna, berganti dengan kerutan jamak di dahi. Ini aneh. Sudah lama Anita tak merasakan hal yang seperti ini. Tenang, lega, damai bahkan senang tanpa alasan. Anita memegangi dadanya dan merasakan detakan jantungnya melalui telapak tangan. Cepat sekali detakan di sana. Anita berkedip cepat lalu pergi. Ini sudah tidak benar untuknya.
Saat akan pergi ke kamar, Anita bertemu Ezra di ruang tamu. Niatnya yang ingin segera mengurung diri di kamar harus tertunda karena suaminya itu bertanya soal Okta. Anita pun menjelaskan keadaannya Okta, sama seperti apa yang Okta katakan tadi. Setelah itu, ia pun melanjutkan langkah menuju kamar.
Anita segera menuju ranjangnya. Duduk di sana, ia memilih meremas jemarinya sendiri. Ini sudah lebih dari 5 tahun. Harusnya tanda-tanda penyakit itu tak lagi ada. Lantas kenapa gemuruh aneh itu mampu menaklukan dirinya lagi. Menghantamnya tepat di dada dan menenggelamkannya tanpa ampun. Ini bahkan lebih kuat daripada yang pernah ia rasakan sewaktu SMA.
Tak mampu mencerna semuanya yang datang tiba-tiba, Anita memilih meringkuk di ranjangnya. Memejamkan mata, berusaha tidur. Semoga setelah ia bangun nanti, semuanya akan kembali seperti semula. Okta adalah temannya.
..
Okta tidur hingga pukul 3 sore. Saat gadis itu bangun, ia segera keluar kamar dan menuju dapur. Setelah menegak segelas air, Okta merasa aneh. Tempat itu terasa sepi. Dengan tertaih ia menuju ruang tamu dan tak menemukan seorang pun di sana. Berpikir sebentar, Okta sepertinya paham. Mungkin Ezra dan Anita sedang keluar, menghabiskan waktu berdua.
Okta kemudian berjalan menuju kamarnya tepat saat Ezra muncul. Tersenyum kikuk, gadis itu pun bertanya, “Kalian baru pulang?”
Ezra terdiam sebentar lalu berucap, “Kita pulang sekarang. Biar kubantu membereskan barangmu.”
Okta yang bingung bertanya. Seingatnya rencana kepulangan mereka baru 3 hari lagi. Dan saat Ezra menjawab, Okta merasa jantungnya jatuh ke lantai. Ibu Anita sudah meninggal dunia. Ezra baru saja pulang mengantar wanita itu ke rumah orangtuanya. Anita mendapat kabar kemarin sore dan memutuskan untuk pulang lebih dulu.
“Ayo kemasi barangmu.” Ezra berucap dengan suara pelan. Bagaimana pun, Ezra pernah merasakan ditinggalkan ibu. Ia turut bersedih atas kehilangan yang Anita alami.
Berada dalam mobil saja dengan Ezra membuat Okta hanya bisa diam. Laki-laki yang sedang mengemudi itu terlihat sangat rapuh. Okta berasumsi bahwa Ezra juga sangat menyayangi mertuanya itu, hingga pria itu terlihat sangat bersedih.
“Apa kau sudah makan?” Okta memberanikan dirinya memecah kesunyian.
“Kau lapar?” Ezra menoleh sebentar pada Okta. Ia lupa baha tadi Okta tidur dan belum sempat makan siang. “Kita cari mini market di dekat sini untuk membeli sesuatu yang bi-“
“Aku bertanya padamu, Ezra. Terkadang otak pintarmu itu sangat menyebalkan” Okta memotong dan berucap tanpa beban.
Ezra menoleh lagi pada Okta. Cara gadis itu bicara sudah seperti dulu. Selalu sesuka hati jika padanya. Tanpa sadar Ezra tersenyum kecil. “Maaf. Aku terbiasa bersikap menyebalkan seperti itu. Ezra menghentikan laju mobilnya di depan sebuah mini market. “Tunggu di sini.” Ezra pun turun dari mobil dan masuk ke dalam mini market.
Sepuluh menit kemudian Ezra keluar dari mini market itu dengan dua plastic ukuran sedang. Masuk ke mobilnya lagi, Ezra menyuguhi makanan yang ia beli pada Okta.
“Kau juga harus makan sesuatu.” Okta membuka cokelatnya. Tanpa banyak basa-basi ia memakan cokelat tadi. Ketika menoleh lagi pada Ezra, ia masik mendapati pria itu tak makan apapun.
Okta membuka plasti tadi lagi. Mengeluarkan sebungkus roti dari sana dan membukanya. “Nah.” Ia memberkan rot tadi pada Ezra.
Ezra langsung menggigit roti yang tersaji di depannya. Rotu itu manis, tapi tidka semanis apa yang ia lihat saat menoleh pada Okta. Entah siapa yang menyuruh, gadis itu tersenyum padanya. Sangat manis. Persis seperti dulu. Mengalihkan tatapannya, Ezra berujar pelan, “Kau bisa membunuhku jika terus tersenyum seperti itu.”
Okta mematung. Meski pelan, apa yang Ezra katakan data ditangkap rungunya dengan jelas. Pelan-pelan ia menarik tangannya dari depan wajah Ezra. Menatap keluar jendela, ia merasa pipinya memanas dan jantungnya serasa ingin keluar. Okta tahu ini perasaan apa. Tapi diatas semua itu, Okta paham bahwa ini salah.
...
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14