“Kau semestinya mendengar, apa yang dikatakan ayahmu, nak.” Suara lembut itu sangat bertolak belakang dengan intonasi suaminya. Teuku Danish. Ibunya mencoba untuk mengobati kondisi mental Alya hari kemarin. Tangannya berulang-ulang mengelus kepala Alya yang tidur dipangkuannya.
“Tapi, ajar itu anak baik, mak. Kenapa ayah sampai memukulnya seperti itu. dia tak buat apa-apa. Alya yang membuat semua itu terjadi.”
“Mungkin ayahmu tak suka kau terlalu akrab dengan orang seperti itu. Mungkin juga ayahmu juga tak pernah membayangkannya.”
“Kenapa ayah harus membayangkan seperti apa teman-teman Alya nanti?, Alya tau dengan siapa Alya harus berkawan, Ajar itu anak baik.” tangisannya kembali hadir.
“Ayahmu memilih kampus itu agar kau tak jauh dari mak dan ayah. Bukan untuk berkawan dengan anak seperti itu. Bahkan kau sudah begitu akrab sampai dia memboncengimu pagi kemarin.”
“Mamak sepaham dengan ayah kah?” Alya mulai bangkit dari pangkuan ibunya.
“Nak, kau tau nasab keluarga kita kan?”
“Lalu hanya karena Alya, cut, lantas harus berteman dengan teuku?”
“Kau boleh berteman dengan anak itu, tapi semestinya janganlah terlalu akrab.”
“Alya tak paham.” Tangisannya malah semakin memilu.
“Dulu, ketika ayah ingin menyekolahkan kau ke kampus itu, kau sempat tidak setuju kan?, ayahmu akan mengurus surat pindah kau dari kampus itu,”
Wajah Alya mengerut bingung.
“Ayahmu akan mengurus pindahan. Kau akan belajar di kampus yang pernah kau cita-citakan dulu.”
Lalu, Alya langsung berlari ke kamar dan membanting pintu.