Azan subuh berkumandang merdu. Ajar bangkit dari ranjangnya yang hanya beralaskan tikar. Ia bercermin dan memegang wajahnya. Tamparan kemarin masih terasa sakit. Belum lagi rasa nyeri di perutnya karena tendangan itu. “Mungkin Pak Danish pernah belajar silat.” Hingga rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Lalu, ia bergegas mandi dan berangkat ke mesjid.
Para jamaah subuh selalu ramah kepadanya. Meskipun ia tidak pernah menegur mereka. Tidak ada anak muda yang shalat subuh di mesjid itu selain dia. Para jamaah terkesan dengan sikap konsistennya untuk selalu hadir. Belum lagi, ia selalu membersihkan pekarangan mesjid yang kotor setelah shalat usai. Memang tidak ada anak muda seperti dia di kampung itu.
Setelah dari mesjid, Ia pulang ke rumah untuk memulai rencana baru. Ajar masuk ke kamar ibunya dan melihat tabungan keramik ayam, berjejer di sebuah rak lemari. Warnanya tidak serupa satu sama lain. Dari ujung kanan, tabungan itu terlihat usang dimakan usia. Sementara semakin ke kiri, warnanya semakin kontras. Ia melihat ke atas, ada 13. “ini sudah cukup.”
Ia mengambil kursi dan mulai menurunkan tabungan itu satu persatu. Mengurutkannya dari ujung sebelah kanan. Lantas, sepotong kain digelar ke lantai. Satu persatu tabungan tersebut dipecahkan. Raut wajahnya menjadi sedih. Tabungan yang paling usang ini adalah tabungan ayahnya. Uang kertas dan recehan meruah. Seketika waktu seperti bergerak ke belakang. Alat tukar 14 tahun yang lalu. Tentu beda dengan bentuk uang sekarang. “Ini harus ditukarkan ke bank.”
Semua tabungan itu sudah dipecahkan. Uang kertas dan recehan dipisahkan dalam dua tempat. 7 juta 200 ribu Rupiah. Itu uang yang banyak. Ia bahkan tidak menyangka tabungannya akan sebanyak itu. Kain yang berisikan uang itu lantas dibungkus.
Matahari mulai terbit. Ajar bergegas ke bank. Ingin mengganti rupiah tempo dulu yang tidak bisa digunakan lagi untuk masa sekarang. Ajar mengayuh sepedanya. Nilai 1 sampai 9. Alisnya mulai menurun. Matanya mengaca dan pipinya memerah. Itu mimik sedih.
Setelah menukarkan uang tersebut, ia memasuki langkah kedua dari rencananya. Ke rumah Alya. Ajar bahkan tidak takut sedikit pun. Uang itu ditaruh di keranjang depan dengan balutan kain. Ia sengaja tidak menukarnya dengan uang ratusan ribu. Padahal itu lebih simpel untuk di taruh di saku celana. Ajar hanya menukarkan mode uang yang tidak laku lagi.
Suara denyitan sepedanya itu terus bernyayi. Menemaninya hingga sampai di depan rumah Alya. Semestinya suara itu menjengkelkan. “ciiiiieettt... takk, ciiiieeettt takk,...........!”