“Kenapa kau!?, kenapa kau menangis, hah!!??” Pekik Teuku Danish memarahi anaknya. Alya benar-benar menangis pilu. Jilbabnya di bagian leher sampai basah.
“Kenapa ayah memukulnya,?, Ayah semestinya memukul aku.” Suaranya mendera dari belakang mobil.
“Dasar anak bertuah. Sejak kapan kau berani membalas marahan ayah mu, hah?” Suara ayahnya mulai meninggi sambil melihat kebelakang sepersekian detik.
“Alya yang mau pergi ke kampus dengan dia, kenapa ayah malah memukulnya, hah!?” Tangisannya mulai terdengar seperti orang menderita.
“Kau mau kenak pukul, ya.!”
“Pukul, yah. Pukul!”
Mobil mewah itu pun seketika berhenti. Ayahnya lantas melangkahi sela bangku depan mobil dan menampar Alya beberapa kali. Hari itu menjadi hari yang mengerikan. Alya hanya menangis, tanpa bicara. Menyertakan ayahnya menamparnya berkali-kali.
Setelah melihat hidung anaknya berdarah, ia merasa cukup. Keluar dan masuk lagi ke dalam mobil, Lalu mengubah haluan dan pulang ke rumah.
“Kau seharusnya mendengar nasehat ayahmu, sejak kapan kau menjadi anak durhaka sekarang, hah,?” Suara ayahnya memang besar.
Alya hanya menangis menyapu darah yang keluar dari hidungnya. Mobil mereka melaju kencang. Dari serentetan pohon-pohon yang mulai tertinggal dengan cepat, Alya melihat kembali Ajar dari balik kaca mobil. Ia sedang memungut sampah di pinggir jalan. Dan, tangisan Alya memilu lagi.