“Setelah itu, bagaimana mungkin aku bisa membuatnya berbicara.” Alya berpikir sambil menunggu Ajar di depan rumah. Denyitan itu mulai terdengar dan mulai familiar setelah tumpangan kemarin.
Ajar berhenti dan tidak turun. Meraba keranjang depan dan memberikan surat kabar itu kepada Alya. Seterusnya, ia menyelipkannya di sela pagar. Itu dilakukan dengan cepat agar sepeda itu tidak sempat berjalan lebih dulu sebelum ia duduk di belakang.
Seperti hari kemarin. Alya duduk membelakangi. Namun kali ini kakinya diangkat dan diletakkan di ujung kursi belakang. Ia lebih merapat ke bangku Ajar. Kedua Tangannya memegang penopang keranjang.
“Bang, kau tau ini agak menakutkan.” Nada suara Alya meninggi dan mulai tertawa.
“................................” Suara denyitan dan hentakan di nilai 1 kayuhan.
“Jangan sampai goyang bang, aku bisa jatuh.” Ia tetap tertawa.
“...................................”
“Bang, jangan marah kalau aku bersandar di punggung kau y?” Alya mulai bersandar.
“...................................”
“Kau tidak bicara kepadaku. Padahal kemarin, aku melihat dan mendengar kau sempat berbicara kepada kak Amina.”
“..................................”
“Apa aku harus menangis seperti itu, agar abang mau bicara dengan alya kah?”
“................................”
Dan seketika itu juga sepeda Ajar berhenti.
“Kenapa kau berhenti. Apa kau nak marah....” Alya menoleh ke atas depan, melihat wajah Ajar.
“Turun !!” Ajar memotong komentarnya.
Alya bergegas turun dan mulai heran. Mungkin Ajar memang marah karena perkataannya itu. ia berpikir demikian. Namun ternyata, bukan demikian.
Sebuah mobil mewah berhenti mendadak di depan mereka. Itu ayah alya dan ia benar-benar terkejut melihat itu. Ayahnya keluar dan menutup pintu mobil dengan kencang. Itu pelampiasan kemarahan. Seketika itu juga tangan Alya ditarik menuju mobil. Membuka pintu bagian belakang dan memasukkan Alya dengan sekejab.
Ajar hanya berdiri dan tidak berbalik. Ayahnya berjalan dengan sigap dan . . . “prak..!!”. Itu tamparan keras.
“Siapa kau, berani membonceng anakku, hah? Apa kau tak cukup menyesal dengan kesalahan yang pernah kau buat?”
Kali ini rambutnya di jambak. Ajar ditampar berkali-kali dan di tendang jatuh. Lalu, sepedanya di hempas ke parit pinggir jalan. Ajar yang terduduk kemudian mencoba bangkit.
“Kau ingat baik-baik, jangan kau dekati anakku lagi. Jangan kau racuni dia. Kalau kau ingin selamat.”
Ayahnya langsung menaiki mobil dan tancap gas. Hanya asap putih pekat yang tertinggal di belakang. Juga pandangan alya, dari balik kaca belakang mobil yang gelap.