Gam, aku harus jujur kepada kau. Sepeda kau yang tergantung di pohon dan terjungkir, sarung shalat kau yang sobek, sepatu kau yang di atap perpustakaan, aku lah yang menjahati. Maafkan aku. Aku hilang kesadaran karena dia, gam.
Kau tau, dia yang paling sulit untuk didekati, wajah cantik, gayanya menarik, amboi..., kau tau kan. Sejak itu aku tak bisa tidur karena terus terbayang wajahnya. Ketika aku di sawah, di kebun, di pabrik roti, kau tau, aku jadi bekerja dengan laju. Setiap kali aku membayangkan wajahnya, aku juga lupa. Lupa bahwa sepeda itu sepeda kau, walaupun aku juga tau kalau itu juga sepeda kau.
Lama aku merenung. Ini tak semestinya aku buat. Tapi karena cinta ini aku jadi mabuk, gam. Sampai “orang baik ini” pun ku jahati. Alamak... bodohnya aku. Aku tak tau apa kau pernah jatuh cinta sampai kau mengerti mengapa aku tega melakukan ini kepada kau, gam. Tapi, maafkan aku.
“Kau tak perlu meminta maaf, jika memang kau menyukainya. Kenapa tak kau katakan saja.” Ajar tersenyum tipis.
Itu pernyataan Riuh kepada ajar, beberapa minggu sebelum amina jujur terhadap segala kesalahannya kepada Ajar pula. Satu hal yang mungkin tidak akan dilupakan oleh Riuh pada hari itu. Siang itu ada sebuah senyuman tipis milik Ajar yang tak pernah tampak sedari dulu.