Ajar telah yatim 10 tahun lalu. Kemudian piatu 4 tahun setelahnya. Ia anak semata wayang. Sebenarnya, Ajar punya kakak. Namun mereka tidak pernah berjumpa. 3 bulan setelah lahir, kakaknya telah meninggal dunia. Itu sebabnya ia begitu disayang. Kehidupan keluarganya berubah pasca ayahnya meninggal dunia. Ibunya mulai sakit-sakitan sejak saat itu. Tidak ada sosok yang menjadi tulang punggung keluarga. Hidup dengan apa adanya. Tidak ada lauk ikan setiap hari, tidak ada pakaian baru, bahkan dunia kecilnya pun ikut menghilang. Anak itu putus sekolah.
Di umur 11 tahun, ia sudah mengupah ke sawah dan kebanjiran jam kerja. Merapikan pematang sawah seluas 1.600 m2 hanya dihargai 40.000 rupiah. Mencabut rumput setengah hari 15.000 rupiah. Memanen padi hingga proses perontokan, ia hanya diberi padi seperempat karung. Sudah barang tentu para petani itu lebih suka mempekerjakannya dari pada orang lain. Memang ada yang iba dengan memberi upah lebih, tapi itu sedikit.
Selama itulah, Ajar harus merawat ibunya dan mencari beras. Ibunya meninggal saat ia sedang tidak berada di rumah karena meladang di kebun orang. Ketika itu, ia pulang sore hari dan langsung memasak, menyiapkan makanan untuk ibunya. Sempat beberapa kali Ajar membangunkan ibunya yang sudah tiada. Ia tetap tidak memaksa karena mungkin ibunya sedang tertidur pulas.
Jam 10 malam sudah berlalu beberapa menit, sedang ia masih duduk menunggu ibunya bangun. Nasi dengan lauk minyak dan ikan asin itu sudah dihinggapi lalat berkali-kali. Selama itu pun Ajar belum sadar. Jam 12 malam, ia kembali menggoyangkan tubuh ibunya. Sampai rasa kantuk mendera. Ajar tidur di samping ibunya, memegang tangannya yang mulai dingin, dan memeluknya sampai esok.
Usai shalat subuh, ia baru sadar bahwa ibunya sudah tiada. Biasanya, ibu Ajar sudah bangun untuk berwudhu’ dan shalat. Subuh ini tidak demikian. Ia langsung bergegas ke rumah tetangganya yang jauh di seberang kebun, untuk mencari bantuan. Lalu, Ibunya disemayamkan siang itu juga.
Doa-doa dipanjatkan dengan kusyu’ di pusara. Seorang demi seorang beranjak pulang dari lahan pemakaman. Ajar masih di sana dan membaca beberapa doa. Lantas Datuk mengelus kepalanya dan mengangkatnya bangun untuk pulang. Langkah setapak membawa mereka semakin jauh. Sedang matanya tetap menoleh ke belakang, melihat ibunya yang telah beristirahat sendirian di sana.
Datuk mengajaknya untuk pulang ke kediamannya. Namun Ajar tidak mau dan hanya ingin pulang ke rumahnya sendiri. Ia langsung beranjak dan berjalan setapak tanpa berkata banyak. Di bawah sebuah pohon itu, ia duduk merangkul lutut sambil melihat bocah-bocah lain bermain layang di pelantaran sawah, bersama ayah mereka. Sejenak ia menengadah ke atas, melihat layang-layang yang mengambang lepas. Lalu air matanya pun jatuh dengan segera.