Subuh menjelang pagi. Langit belum begitu terang. Kendaraan yang berlalu lalang di jalan juga masih sepi. Para tupai pun masih berani berlarian di kabel Telkom sepagi itu. Tanah di pinggir jalan masih lembab karena embun semalam. Suasana itu yang terus di lihatnya, sambil mengayuh sepeda bututnya yang berkeranjang depan. Selalu ada suara denyit di setiap kayuhan. Padahal ia sudah menyiramkan banyak oli bekas di poros kayuhan itu, agar tidak berdenyit. Tidak ada nyanyian pagi, tidak ada tolehan pandangan yang berarti, hanya suara denyitan kayuhan sepeda yang bersahut sapa. Pelan dan mengasyikkan.
Ajar harus menempuh jarak 21 Km untuk sampai ke kampusnya. Satu demi satu tempat singgahan dilaluinya. Ia melabelkan tempat itu dengan sebutan checkpoint. Suatu tempat yang sebenarnya adalah rumah-rumah yang relatif mewah, warung kopi, kios dan kantin. Ajar seorang loper koran.
Surat kabar itu selalu ia antarkan setiap pagi. Beberapa tempat sudah menjadi langganan. Namun tidak sedikit pula yang membeli harian. Suara uang koin yang jatuh di tangan saat diberi jadi hal yang biasa. Begitu pula saat kakinya naik turun mengayuh sepeda. Koin-koin itu berdencing, saling beradu di saku celana. Terkadang sakunya jadi membengkak. Karena pembeli lebih suka memberi uang receh pada loper koran itu. Terkadang juga uang putus. Uang yang semestinya mempunyai harga seribu, namun angkanya jadi seratus. Kadang pula ada yang tega hutang untuk harga 3000 rupiah, padahal sekelas warung kopi.
Ia bukan seorang penuntut. Meskipun juga, ia tidak mendapatkan untung di hari itu, bahkan rugi. Tidak ada suara protes. Tidak membuat ribut. Hanya diam saja manakala ia ditipu. Lantas ini yang membuat para pelanggan menaiki kepalanya. Pernah dalam beberapa minggu, ia rugi selalu. Jumlah modal yang harus disetor ke pemasok tidak cukup. Acap kali ia dimarahi, dikatakan bodoh, dungu, goblok dan sebagainya, baik dengan kata kasar, sering juga dengan tawa cemoohan.
Karena itu, ada semacam 2 keranjang yang dibalut dengan karung beras. Tepatnya di bangku belakang sepeda. Setiap kali ia melihat botol mineral, atau kaleng bekas di pinggir jalan, ia memungutnya. Keranjang sebelah kanan, ia memasukkan botol dan kaleng tersebut. Sementara keranjang sebelah kiri, adalah sampah-sampah yang ia pungut di sekitar tempat botol air mineral dan kaleng bekas itu dibuang.
Inilah inisiatif bila ketika rutinitas paginya tidak membawa laba atau sedang rugi. Seraya membersihkan lingkungan sebisa mungkin untuk mengharapkan keberkahan rezeki. Ia bisa mengganjal kerugiannya dengan menjual barang pungutan itu ke gudang pembeli sampah sejenis itu. Walau hanya sedikit, setidaknya dapat menutupi atau mengurangi kekurangan setoran.
Selalu seperti itu setiap pagi. Seperti mesin yang tak pernah berhenti. Tidak ada kelelahan, malu bahkan minder. Semuanya dilakukan sejauh itu masih benar. Mengantar koran dan memungut sampah di pinggir jalan, mungkin sebuah kewajaran menurutnya.