Di lantai tiga, ada empat ruangan yang berjejer dengan masing-masing dua daun pintu. Cat dindingnya mulai lapuk dan terkelupas. Kursi senyawa meja tampak berserakan di dalam ruang. Banyak guratan stip-X di atasnya, bahkan di dinding. Kebanyakan tentang pernyataan cinta, konsep jawaban untuk ujian final sampai pola gambar tak jelas. seperti ekspresi dari rasa bosan, renungan buram dan hal rumit lainnya.
Sepanjang lorongnya berserakan sampah. Kertas-kertas yang diremas padat, bungkus makanan, sampai puntung rokok. Belum lagi beratus helaian daun kering yang terbang dibawa angin. Suasananya tidak bagus, bahkan terasa mistis kala sinar senja mulai menyingsing.
Itu kampus Ajar. Walaupun seperti rumah sakit jiwa. Bukan. Bahkan rumah sakit jiwa tidak seperti itu. Namun dengan serta merta harus diterima. Coretan nakal para mahasiswa di dinding dan kursi meja adalah seni lukis langka yang tidak pernah ditemukan di tempat manapun. Kertas yang diremuk padat dan ditebar di lantai bisa jadi bunga putih yang terhempas secara acak. Hanya saja, perlu sedikit warna untuk membuatnya lebih indah. Dan, sempurna!
“Aku turun duluan, kau bereskan absen si Norman dan isi materinya dengan tanggal yang benar. Jangan sampai dia meradang karena salah kau isi seperti semester lalu, gam_ *” Riuh terburu-buru.
Riuh adalah seorang petani sawah. Ia tidak akan pernah tenang saat sedang musim panen. Apakah itu panen di sawahnya, atau di sawah orang lain. Dia pernah berkata bangga, “Selagi itu menghasilkan, untuk apa malu meskipun dipermalukan.”
Kali ini musim panen sedang mendulang di kampungnya. Berarti, tidak ada jam belajar full untuknya hari ini, begitu juga hari-hari yang berikutnya.
“Hei, mau kemana kau, gam!”, ini macam mana?”
“Tak usah kau takutkan, dia suruh aku untuk kasikan absen dosen ini untuk kau. Dia bilang, isikan yang benar, kalau tidak kau tak lulus mata kuliahnya.”
“Dia tak kasi materi apa-apa kepada kau?”
“Tak, tadi aku lewat di depan kedai runcit, dia sedang mesra sama istrinya berbelanja pagi. Ku liat, keningnya mengerut, seperti orang takut.” Riuh mulai tertawa dan langsung menuruni anak tangga.
Ajar masuk dan mengumumkan pagi ini tidak ada kuliah. Serentak suara gemuruh riang bergema. Seperti mendapat angin segar di kelas kumuh itu. Dalam hitungan detik, teman-temannya beranjak pergi dan berdesak-desakan di pintu. Daun Pintu itu sengaja dibuka satu, hanya untuk merasakan sensasi berdesak-desakan. Konyol memang, tapi itu jadi pemandangan biasa. Seperti mendarah daging. Hanya butuh script dan casting serta pencahayaan yang baik untuk membuat kebiasaan itu menjadi sebuah pertunjukan seni teater kolosal.