MENJADI ASISTEN Toni, berarti Kinanti harus menuruti apa yang diperintahkan Toni. Selama masih masuk akal tentunya.
"Besok, gue mau lo bawain gue bekal nasi goreng," perintah Toni pada Kinanti.
"Malem-malem gini nelpon, cuma buat minta nasi goreng? Yang bener aja?" Kinanti nyaris tak percaya.
"Oohhh!" Toni mendramatisir.
"Jadi begini, asisten gue? Gak mau menuruti perintah?" Toni berkata dengan gaya ala-ala opera sabun.
"Kira-kira, apa reaksi Pak Said kalau liat catetan sejarah lo, ya?"
Kinanti jadi sadar, kalau catatannya itu berbahaya jika sampai jatuh ke tangan Pak Said.
"Nasi goreng?" katanya, mulai mengalah. "Gue rasa bukan hal sulit. Bisa, kok."
"Nah gitu, dong!" Toni merasa puas.
"Besok lo buat nasi goreng tanpa garam, dimasak pakai minyak zaitun, jangan pakai bawang putih sama merica. Ohh satu lagi, jangan masukin ke lunch box waktu masih panas. Ok!" Toni menjelaskan panjang lebar.
Kinanti hanya bisa menghela nafas, ternyata Toni banyak maunya.
"Gue gak punya minyak zaitun, Toni," keluh Kinanti.
"Bukannya kita sudah sepakat, kalau gue bisa dapetin apa yang gue mau?"
"Ngggh..." Kinanti menggaruk kepalanya. "Iya. Gue bakalan usahain."
Mengetahui betapa polosnya Kinanti, membuat Toni menyunginggkan bibirnya.
"Makanya, asisten jangan banyak protes."
"Gue bakalan cari minyak zaitun itu sekarang."
"Mmh, mau lo cari ke mana?" tanya Toni. Nada bicaranya mulai terdengar lembut. Sepertinya dia ada rasa khawatir pada Kinanti.
"Mungkin rumah Maya. Dia biasanya punya minyak zaitun."
"Jauh dari rumah lo?"
"Gak. Deket paling cuma beberapa ratus meter. Jalan bentar juga sampe."
Hening sejenak. "Kalau lo nyari gak dapet, cancel aja. Gue masih ada banyak perintah lain yang bisa lo kerjain."
Jangan-jangan, kalau dibatalin akan semakin parah permintaanya. Lebih baik Kinanti menurutinya saja.
"Gue cari dulu."
Sejenak Toni tak bersuara, hanya terdengar embusan napasnya.
"Makasih, ya!" katanya, mengakhiri pembicaraan.
"Sama-sam...." Kinanti belum menyelesaikan kata-katanya, tapi Toni sudah menutup telepon.
Ternyata, Toni bisa juga bilang terimakasih. Mengingat kata "terimakasih" dari Toni membuat Kinanti jadi senyum-senyum sendiri. Harus dia akui, sebetulnya dipaksa jadi asisten Toni itu menyenangkan juga. Karena, dia bisa punya alasan untuk bisa mengobrol dengannya.
Oh ya ampun! Kinanti tersadar, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dia harus bergegas ke luar mencari minyak zaitun.
***
Kinanti pergi ke rumah Maya, yang jaraknya hanya seratus meter dari rumahnya. Kebetulan Maya adalah gadis yang menggunakan minyak zaitun sebagai perawatan wajah. Minta dua sendok untuk memasak nasi goreng buat Toni, rasanya bukan masalah.
"Buat apa'an, sih, ni?" Maya menanyakan soal Kinanti yang meminta minyak zaitun miliknya.
"Kasih dulu, dong, baru gue cerita." Kinanti menyeringai.
"Ya. Tunggu bentar kalau gitu."
Maya kemudian mengambil botol extra virgin olive oil-nya yang ia letakkan di kamar, di atas meja rias. Tak lupa Maya membawa satu plastik kecil untuk Kinanti membawa minyak zaitunya.
"Nih!" katanya seraya menyerahkan botol minyak zaitun dan plastik pada Kinanti. "Sekarang, lo kasih tau ke gue. Buat apa tuh minyak!" ujar Maya sambil menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu miliknya.
Kinanti meletakkan minyak zaitun dan plastik diatas meja, dia menghela nafas sebelum bicara.
"Lo tau gak buku catetan sejarah gua?"
Maya mengangguk. "Emh, ya, tau. Yang isinya gambar macem-macem itu. Kenapa memang?"
"Terakhir gue gambar muka Pak Said, udah itu gua kasih keterangan, muka bersejarah di gambar."
Bicara Kinanti semakin tersendat. Tampaknya ia harus menyiapkan diri jika Maya shock. Maya, adalah temannya yang sangat ekspresif.
"Hmm, ya, terus?" Lagi-lagi Maya berkata sambil mengangguk.
"Terus...." Kinanti mulai ragu untuk bicara. "Buku itu, kebaca sama Toni. Hee." Dia memamerkan barisan giginya.
Maya hampir saja lompat dari sofa mendengar penjelasan Kinanti.
"Aduh! Kok lo bisa, sih, seceroboh itu?"
"Yah, gue buru-buru waktu itu. Abisnya Ali mintanya cepet."
"Daaah, jangan nyalahin orang. Emang lo-nya aja, yang gak teliti. Terus itu buku nasibnya gimana?"
"Yah itu, bukunya ditahan Toni. Rahasianya bakalan tetep aman, asal gue mau nurut sama dia. Kalau gak, dia bakalan laporin ke kepala sekolah."
Kinanti menelan ludah. Maya mungkin akan lebih shock jika tau hal berikutnya. "Terus, besok gue disuruh bawain dia bekal. Makanya gua perlu nih minyak zaitun."
"Apa! Besok gue yang rebut, deh. Berani aja dia, nindas orang!"
"Jangan! Dia, 'kan, cucu pemilik yayasan, nanti kita berdua malah kena masalah."
"Gak, lah! Mentang-mentang cucu dari keluarga Airlanga, bisa semaunya."
"Jangan ya, May, please ... please!" Kinanti mengiba.
Maya memandang Kinanti curiga. "Ooo," katanya terdengar sangat panjang. "Gue tau sekarang. jangan-jangan...." Maya menaikan sebelah alisnya. "lo naksir Toni, ya. Terus manfaatin momen ini buat lebih deket dengan dia."
Kinanti gugup, dia ambil kembali botol minyak zaitun dan plastik yang tadi ia letakkan di meja.
Demi menghindari Maya, Kinanti sibuk ingin menuangkan minyak zaitun ke dalam plastik.
"Coba dipikir." Maya mendekat ke arah Kinanti. "Gara-gara hal ini, kalian berdua jadi sering ketemu. Lama-lama...."
"Lama-lama apa?" tanya Kinanti. Tanganya sampai gemetaran.
"Cinta bersemi. Ya, gak?"
"Bukannya lo naksir Toni, ya?" Kinanti mengalihkan pembicaraan.
"Toni itu keren, ganteng, cool. Yah, gue sebagai cewek normal emang iya, sih, ada rasa. Cuma, bukan yang naksir cinta gitu. Kalau lo, kan laen."
"Coba bayangin, kalau lo berdua teruus."
Maya terus saja berceloteh, sedangkan Kinanti semakin tak karuan pikirannya. Tangannya saja semakin gemetaran. Mulai kehilangan konsentrasi, dia tuangkan minyak zaitun dalam plastik terus menerus.
"Nan!!" Maya menyadarkan Kinanti. "Luber, tuh! Waduh itu per gramnya udah modal seribu, lo dah numpahin berapa puluh gram itu!" Maya sekarang malah memarahi Kinanti.
"Maaaf! Abisnya lo, sih gangguin gue terus."
***
"Ini nasi gorengnya!" Kinanti menyerahkan nasi goreng yang ia buat pada Toni saat jam istirahat pertama. Toni masih berada di dalam kelas saat dia memberikannya. Siswi kelas sepuluh B tersebut, perlu keberanian khusus untuk masuk ke kelas A.
"Sesuai permintaan gak, nih?" Toni memutar-mutar lunch box yang berisi nasi goreng permintaanya.
"Sss-sesuai," jawab Kinanti.
Badan Kinanti mulai gemetaran. Tak tahan lebih lama lagi di dekat Toni, dia cepat-cepat melangkah pergi.
"Eeeh tunggu!" Toni menahannya.
Kinanti tak mau menoleh, ia dengarkan Toni bicara sambil memunggunginya. "Lo bisa nyanyi gak?"
Pertanyaan konyol. Untuk buka mulut di depan Toni saja susah, apalagi bernyany.
Kinanti menggeleng. "Gak bisa."
"Bagus kalau lo gak bisa nyanyi. Sekarang, gue mau lo nyanyi di sini!"
"Haahh!" Kinanti membalikkan badan dan menatap Toni dengan mata terbelalak.
Toni tertawa melihat reaksi Kinanti, sementara wajah Kinanti menjadi merah.
"Gue bercanda," katanya sambil tertawa. "Siapa juga yang mau dengerin suara fals lo."
Kinanti meremat tangannya. Harusnya ia tak perlu bereaksi seperti tadi. Mukanya pasti terlihat sangat jelek. Tapi, ada satu ucapan Toni yang membuat Kinanti merasa senang.
"Makasih bekalnya, lo boleh pergi."
Itulah kata-kata Toni yang membuat Kinanti senang.
Kinanti langsung pergi secepat yang dia bisa. Heran, kenapa Toni tetap terlihat manis, meski tingkahnya menyebalkan.
"Jangan gitu, Ton, kasian dia. Gue udah bilang, jangan kerja'in dia." Prima yang sedari tadi memperhatikan Toni dari kursi paling balakang menegur temannya tersebut.
Toni tak mempedulikannya, dia sibuk membuka kotak bekal dan mencicipi masakan Kinanti.
"Lagian, itu yang lo makan apa? Inget kondisi lo gimana."
"Berisik!" Hanya itu yang keluar dari bibir Toni.
Prima duduk di depan Toni dan merebut kotak makan yang dipegangnya. "Kasih tau gue, ini aman gak buat lo makan."
"Aman, Prim. Balikin!" Toni merebut kotak bekal itu kembali.
"Ok, kalau aman. Kalau sampe lo kambuh atau kenapa-kenapa, gue hajar lo!"
"Iya! Lo lama-lama lebih mirip nenek-nenek daripada temen," cerocos Toni, kemudian melahap nasi goreng buatan Kinanti.
dari judulnya kayaknya sedih2an nih ya, tapi awalnya udah bikin penasaran, siapa pengawalnya yaa? hihi
Comment on chapter PROLOG