INI ADALAH hari yang menyebalkan buat Kinanti. Rabu, jam ketiga saat jam pelajaran Sejarah. Banyaknya peristiwa yang harus diingat, serta tanggal kejadian dan tokoh-tokoh di dalamnya membuat Kinanti kurang suka dengan pelajaran ini. Lebih-lebih lagi, guru yang mengajar adalah Pak Said. Guru yang usianya sudah senior dan selalu memberi tugas setiap awal pelajarannya. Jadi, apa yang diberikan pak Said minggu lalu, akan jadi kuis awal pelajaran untuk minggu ini. Tak ada murid yang bisa mengobrol selama jam pelajarannya, atau mereka akan merasakan hukuman dari pak Said.
Suara Pak Said terdengar lantang saat menjelaskan di kelas. Kinanti mendengus sebal, dia merasa bosan. Satu-satunya jalan agar dia bisa mengusir rasa bosannya adalah menggambar. Dia memang tidak terlau berbakat dalam menggambar. Tapi, daripada mengobrol atau tidur, lebih baik mengalihkan kejenuhannya itu, dengan membuat gambar.
Lembar demi lembar di buku catatan sejarah Kinanti berisi macam-macam gambar. Kali ini dia merasa sudah kehabisan ide untuk menggambar. Namun melihat pak Said yang bertubuh gemuk itu nampak susah bangun dari kursi, Kinanti jadi punya ide mau gambar apa.
***
"Baik ..." kata pak Said saat bel pergantian pelajaran berbunyi, "tugas kalian silahkan kumpulkan ke ketua kelas. Nanti antarkan ke kelas A, Bapak ada jam di sana. Supaya tugas kalian bisa langsung di koreksi."
"Baik, Pak ..." jawab para murid kompak.
Pak Said membereskan mejanya, lalu keluar sambil membawa buku dan peralatan lain miliknya menuju kelas A. Ali--ketua kelas, mendatangi satu persatu meja kawannya untuk mengambil tugas sejarah mereka.
Dua buku bersampul coklat di meja Kinanti, ia ambil salah satunya kemudian diserahkan pada Ali.
Lena, teman sebangku Kinanti, mengangkat dua tangannya ke atas. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa tegang dan kaku dari tadi.
"Akhirnya selesai juga pelajaran Pak Said," katanya.
"Rasanya hampir mau tidur tadi," tambah Kinanti.
"Malah dateng-dateng, langsung kuis. Otak langsung bleng."
"Hii, mungkin pak Said sadar muridnya sering gak merhatiin. Makanya dia kasih kuis tiap minggu."
Kinanti merapihkan mejanya dan menemukan fakta mencengangkan.
Latihan sejarah, Kinanti bergumam. Dia membaca subjek buku yang hendak dia masukkan. Kalau ini latihan, berarti yang tadi gue kasih ke Ali....
"Gawat !" pekik Kinanti, membuat Lena terkejut
"Kenapa?"
Kinanti panik, dia mengguncang tangan Lena dan kakinya menghentak-hentak ke bawah.
"Gue salah kumpulin buku! mana itu catetan isinya..."
"Isinya apa?"
Nggh, Kinanti jadi ragu untuk mengatakan. "Yah gitu, lah."
"Cepet susul Ali, siapa tau belum sampai ke kelas A."
Tanpa pikir panjang lagi, Kinanti beranjak dari tempat duduknya hendak menyusul Ali. Baru sampai di depan pintu, langkahnya terhenti sebab Ali sudah nampak batang hidungnya.
"Li, buku gue mana?"
Ali heran, Kinanti menanyakan bukunya yang jelas-jelas sudah dikumpul.
"Buku sejarah?" Alis Ali berkerut. "Aneh lo, yah udah gua kasih ke ketua kelas A. Udah di bagiin juga, buat dikoreksi mereka."
Mendengar penjelasan Ali, wajah Kinanti menjadi pucat.
Habislah sudah! batinnya.
***
Deni, ketua kelas A membagikan buku yang tadi diberikan Ali. Sesuai instruksi Pak Said, mereka akan mengoreksi kuis kelas B.
"Apa-apa'an ini?" Heran Toni saat menerima buku yang akan dia koreksi.
Dia melihat sampul depan buku tersebut. Kinanti, gumamnya. Toni membuka lembar demi lembar isi buku tersebut. Isinya benar-benar kacau. Ada banyak gambar di sana, dan yang paling parah adalah gambar terakhir. Toni mencoba mengingat siapa Kinanti itu.
"Ooh, si cewek aneh itu!" Tanpa sadar dia bicara sendiri.
"Ngomong apa sih, Ton?" Prima dibuatnya penasaran.
Toni segera menyembunyikan buku milik Kinanti dari Prima.
"Gak, bukan apa-apa."
Prima hanya berdecak, karena tahu Toni pasti sedang berbohong.
"Mmh, Pak, maaf," Toni mengacungkan tangan.
"Ya, ada apa?" Pak Said yang baru mau memulai pelajaran, meladeni Toni terlebih dulu.
"Saya mau izin ke toilet sebentar bisa, Pak?"
"Ya, silahkan!"
"Terimakasih, Pak."
Toni bergegas ke luar, namun bukan ke toilet tapi menuju kelas B.
Sementara itu Kinanti yang sedang panik, masih nampak berdiri di luar kelas.
Kebetulan, pikir Toni. Ada Kinanti di depan kelas, jadi dia bisa langsung menemuinya.
"Mana buku latihan lo?" Toni to the point.
"Hah? Bbbbu-ku?" Kinanti terbata.
"Latihan sejarah, buruan! Gue cuma ijin sebentar tadi."
Kinanti akhirnya paham. Dia berlari masuk ke dalam kelas menuju mejanya dan mengambil buku latihannya. Kinanti kembali keluar kelas menemui Toni dan memberikan buku tersebut padanya.
"Lo beruntung, buku itu gue yang dapet. Jadi masih aman."
"Terus, buku gue sekarang mana?"
"Ada," jawab Toni dengan wajah angkuhnya.
"Kalo lo mau ambil, jam pulang sekolah nanti gua tunggu di depan perpus. Dateng sendiri. Kalau gak, gue potocopy terus isinya gue sebarin."
Toni langsung pergi di saat Kinanti masih menatapnya bingung.
"TTt-oni!" Kinanti mencoba memanggil Toni, dengan suara yang rasanya tak sanggup keluar lebih keras. Entah kenapa, rasanya dia susah bicara jika ada Toni di depannya. Jantungnya terus berdetak kencang, saat ada Toni. Orang angkuh yang satu itu memang memesonanya. Saat Kinanti mencoba memanggil Toni kedua kalinya, Miss Medina-guru bahasa inggris, sudah hampir sampai di kelas. Terpaksa dia urungkan niatnya dan menunggu jam pulang sekolah nanti.
*****
"DHOR!" Maya mengejutkan Kinanti yang melamun saat jam pulang sekolah. Kinanti berdiri di samping pintu kelas, sementara siswa yang lain merayap keluar.
"Ngelamun aja. Mau pulang, nggak?"
"Lo duluan aja, ya. Hari ini gue pulang belakangan."
"Mau ada apa'an emangnya?"
Bukannya menjawab, Kinanti malah seperti orang bingung ketika Maya bertanya.
"Lo kenapa?" kembali Maya bertanya.
"Emmh, gue ada perlu dengan seseorang, May dan harus nemuin dia," jawab Kinanti dengan alis berkerut.
"Nemuin siapa?" cecar Maya.
Belum sempat Kinanti menjawab, Maya mulai menebak-nebak.
"Ooo!" Mulut Maya membentuk bulatan. "Gue tau sekarang." Dia menajamkan pandangan pada Kinanti.
"Apa?"
"Lo mau mojok, ya?" tebak Maya.
"Sama siapa, Nan, hayo...." Maya menggoda.
"Dosa tau, berdua'an," tambahnya.
Kedua bola mata Kinanti terbelalak. "Siapa yang mau mojok?" katanya.
"Kalau urusan gua udah beres, pasti gua kasih tau."
Maya menghela nafas."Oke lah! gua duluan ya, kalo gitu."
"Sorry, ya, May," Kinanti nampak berat ditinggal Maya pulang.
Jika saja Toni tidak mengancam, dia tentu lebih senang ditemani Maya.
"Gak apa-apa, jangan sungkan gitu. Gue duluan, ya, lo hati-hati."
Maya melenggang pergi meninggalkan Kinanti. Setelah Maya benar-benar hilang dari pandangannya, Kinanti berjalan menuju perpustakaan.
***
Toni menunggu Kinanti di perpustakaan seorang diri. Siswa lain yang lalu lalang, tak ia pedulikan. Vanesa baru saja dari toilet. Dia melintas di hadapan Toni. Melihat Toni tengah seorang diri, Vanesa memberanikan diri menyapanya.
"Hai, Toni."
"Hai," jawab Toni singkat.
Vanesa mendekat ke arah Toni. "Nunggu siapa?" tanyanya sok akrab.
Toni hanya tersenyum tipis, dia tidak menjawab pertanyaan Vanesa. Siswi cantik itu tidak menyerah, dia percaya bahwa hampir semua laki-laki di sekolah ini tertarik padanya. Kalau sekadar bisa lebih akrab dengan Toni, rasanya bukan hal sulit baginya.
Belum kering bibir Vanesa bicara, Kinanti muncul di hadapan mereka dengan wajah lugunya. Langkah Kinanti tertahan.
Toni dengan Eca. Kalau gue tanya buku itu sekarang, terus Eca jadi curiga bisa gawat. Hakhh! kalau gitu besok aja, deh.
Vanesa menyadari kehadiran Kinanti. Namun, telinganya terasa digelitik saat Toni mengajak Kinanti bicara.
"Lama! Gue tunggu dari tadi," kata yang pertama keluar saat Toni melihat Kinanti.
"Loh, kalian saling kenal?" Vanesa nyaris tak percaya.
Beberapa bulan menjadi teman sekelas Toni, Vanesa jarang atau bahkan hampir tidak pernah melihat Toni mengobrol atau bertegur sapa dengan siswi di sekolah. Padahal, banyak dari mereka merupakan siswi populer dan cantik yang sering dicomblangi oleh anak-anak. Toni tetap saja cuek.
"Lo, Jamu itu?" Vanesa menerka siapa Kinanti. "Mmh, maksud gua Kinanti."
Kinanti menyeringai di hadapan Vanesa. "Satu-satunya di sekolah ini."
Vanesa dan Toni tampak berdiri berdampingan. Jika boleh jujur, untuk seseorang yang menaruh perasaan, tentu saja Kinanti merasa cemburu. Namun, ia segera menyadarkan diri, bahwa dia bukan siapa-siapa.
"Gue rasa, gue mau langsung pulang, takut ganggu. Besok aja, ya."
Kinanti hendak beranjak. Namun dengan cepat Toni menarik tas selempangnya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tubuh Kinanti berada sangat dekat dengan Toni, kakinya jadi gemetaran dan keringat dingin mulai muncul. Bahkan, Kinanti bisa mencium Calvin Klein Man menyeruah dari tubuh Toni.
Saat keduanya sudah bersampingan, Kinanti dan Toni tak kunjung juga bicara, mereka seolah menunggu Vanesa pergi.
"Kayaknya temen-temen udah nunggu deh. Gue duluan, ya. Da!" Vanesa beranjak. Meski kelihatan tenang, dalam hatinya menggerutu. Bagaimana bisa, seorang Vanesa kalah dari perempuan model Kinanti.
***
"Buku, balikin!" kata Kinanti sambil menjauh beberapa langkah dari Toni. Badannya masih saja gemetaran, padahal dia sudah menjauh.
"Buruan!" Kinanti membuka telapak tangan, berharap bukunya bisa segera dikembalikan.
"Kalau ngomong, lihat orangnya! Gak sopan, ngomong sambil buang muka begitu."
Kinanti tidak mempedulikannya, dia tetap buang muka dari hadapan Toni.
Toni mengeluarkan buku catatan Kinanti dari dalam tasnya. Saat Kinanti hendak menyambarnya, Toni segera menariknya kembali.
"Eit!" Toni menyembunyikan buku itu di belakangnya.
"Lo tau, kalau kakek gue itu pendiri yayasan di sekolah ini?" tanya Toni.
Kinanti hanya mengangguk perlahan tanpa ada sepatah kata yang keluar.
"Menurut gue, buku catetan lo ini, isinya meremehkan guru. Meremehkan guru, berarti meremehkan sekolah. Lo tau apa yang pantas untuk perbuatan ini?" Toni menyipitkan matanya.
"Apa?"
"Dikeluarin dari sekolah ini, atau paling gak, yah dipangggil orangtuanya."
"Hheee...." Tawa getir Kinanti. "Yang bener aja. Lo pikir gue sebego itu."
"Baik!" kata Toni dengan mantap, "gue bakal buktiin sekarang."
Bola mata Kinanti nampak bergerak ke sana kemari. "Ummh, mungkin kita bisa berunding dulu. Please!!"
"Tenang." Toni memberi angin segar pada Kinanti. "Rahasia lo akan tetap aman sama gua, asal lo mau jadi asisten gua."
"Asisten?" Kinanti terbelalak.
"Iya!" tegas Toni. "Lo harus standby tiap kali gua perlu. Gak boleh protes, atau buku ini gua serahin ke Kepala Sekolah."
Asisten? Mungkin gue harus mengerjakan PR-nya, mengelap sepatunya, bawain tasnya. Tidak ... tidak! Kinanti tanpa sadar menggelengkan kepala.
Melihat reaksi Kinanti begitu,Toni semakin mengancam. "Ok. Kalau keberatan, gue punya hak buat laporin ini."
"Eeeh jangan!" Kinanti menghalangi Toni yang hendak pergi.
"Ya udah! Kita sepakat. Tapi, habis itu balikin bukunya, ya. Tolong...." Kinanti merapatkan kedua tangannya.
"Nih!" Toni memberikan buku baru yang masih kosong.
"Buku catatan lo, gue sita buat jaminan. Sampai lo selesai jadi asisten, gua balikin itu buku."
"Haah!" Kinanti tercengang. "Kenapa gak lo kembaliin sekarang. Gua janji gak akan ingkar."
"Katanya sepakat? berarti gak boleh protes!"
Kinanti merasa kesal, ingin rasanya dia meninju Toni.
"Bagi pin BB, lo!" ujar Toni.
"Gak punya BB." Malu-malu Kinanti mengakui. Dia memang hanya siswa biasa, dari keluarga sederhana. Memiliki ponsel yang bisa untuk telephone dan sms saja sudah syukur.
Sementara, Toni tengah memikirkan sesuatu.
"Nomor hape lo kasih ke gue!" Toni kembali bicara.
Kinanti menyebutkan nomor ponselnya, dan Toni menghubunginya.
"Save nomor gue!" katanya seraya memasukkan ponselnya kembali ke kantung.
"Sekarang, lo muter tiga kali. Terus jalan ke sana!" Toni menunjuk ke arah gerbang depan sekolah.
Tak mau berdebat, Kinanti segera menurutinya. Dia berputar tiga kali, dan langsung menuju gerbang depan. Belum sampai Kinanti di tujuan, Toni meneleponnya.
"Ck! Mau ngapain lagi coba dia?" Kinanti bicara sendiri.
"Halo!" Kinanti bicara dengan nada sedikit ketus.
"Lo tau? Lo memang asisten yang baik. Mungkin gua bakal lama membutuhkan lo sebagai asisten. Sampe ketemu besok."
Toni menutup teleponnya.
Kinanti yang tahu kalau Toni masih berada di belakangnya, tak mau menoleh lagi. Dia mulai merasa sebal dengan Toni dan merasa jatuh cinta pada orang yang salah.
dari judulnya kayaknya sedih2an nih ya, tapi awalnya udah bikin penasaran, siapa pengawalnya yaa? hihi
Comment on chapter PROLOG