“Sekali lagi, tekankan pada kepuasan pelanggan. Kinerja kalian akan dihargai apabila pelanggan merasa puas dan kebutuhannya terpenuhi. Pelanggan adalah raja, jadi jangan sampai kalian kasar atau…” Yura berhenti pada salah satu meja kosong yang tidak berpenghuni, “Siapa yang duduk di sini?”
Hari ini saatnya Yura melakukan presentasi selaku pimpinan tertinggi di Amour Organizer. Yura benci keterlambatan. Yura benci manusia-manusia yang lebih memilih bergosip daripada mendengarkan dirinya. Dan Yura benci melihat bangku kosong saat ia memulai presentasi dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Ia jauh-jauh sekolah di Paris bukan untuk direndahkan seperti ini.
“Itu kursi milik marketing kami, dia sudah keluar dua hari yang lalu dan belum ada yang menggantikannya sejauh ini,” jelas Kwon Anna, formal. Ia memposisikan diri selaku owner dari Amour Organizer.
“Ada ponselnya?” Tanya Yura sembari meraih telpon genggam yang mungil di dekat laci meja itu, kemudian mengamatinya dengan serius.
“Oh, itu jenis ponsel tipe lama milik perusahaan. Kami memang tidak menggunakan telpon kabel, harganya cukup mahal jadi kami menyediakan ponsel lawas yang murah di setiap meja divisi.”
Kening Yura mengernyit, ia menekan tombol yang langsung menyuguhkan layar penuh notifikasi. “Ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Oh astaga… sebegitunya ya kalian tidak menghormati pelanggan? Padahal ada beberapa meja yang begitu dekat, apa kalian tidak dengar?”
Semua orang merunduk, menghindari tatapan mata Yura yang lebih menakutkan dari sebelumnya. Wajar saja, Anna bukan tipe manusia yang mudah marah-marah. Seperti yang dikatakan sebelumnya, gadis itu amat sangat sabar. Kesabarannya juga karakter lembutnya itulah yang juga mengantarkan bisnisnya pada kebangkrutan.
“Aku akan menyelesaikan permasalahan ini untuk kalian. Kalau hal seperti ini terjadi lagi, bisa ku pastikan kalian semua akan jadi pengangguran. Camkan itu. Setelah ini kita adakan rapat besar, kemungkinan beberapa orang pindah ke Divisi marketing, jadi bersiaplah selama sepuluh menit.”
Yura berlalu, diikuti Kwon Anna yang terus meminta maaf pada para pegawai dengan rendah hati. Sejujurnya Yura merasa risih dengan cara kerja tempat ini, kalau bukan karena Anna sang sahabat sejati, mungkin dia akan angkat kaki.
“Bukankah kau terlalu keras memperlakukan mereka?” Anna meletakkan papan dadanya sambil membanting tubuh ke sofa. Untuk sementara ruangan ini mereka pakai berdua, karena tempat ini belum direnovasi ulang. Mereka baru saja pindah, jadi belum sempat mempermaiki tata ruang.
“Apa kau tidak bisa mempercayaiku?” Yura bersindekap dada serius.
“Bukan begitu, ku rasa kau berlebihan.”
“Aku yang berlebihan atau kau yang tidak bisa mengikuti cara kerjaku?”
Kwon Anna diam.
“Kalau kau menginginkan sebuah kemajuan, hal pertama yang harus kau lakukan adalah keluar dari Zona Nyaman. Jadi keluarlah sekarang, sebelum terlambat, karena dunia tidak menerima manusia yang berleha-leha.”
Anna tak lagi bersuara. Begitu juga dengan Yura yang tidak berkata-kata. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sementara Kwon Anna memusingkan karyawannya yang mungkin terkejut dengan keadaan ini, Yura justru sibuk memikirkan cara untuk mendapatkan kembali pelanggan yang menghubungi nomor itu berkali kali.
“Jadi kapan terakhir tempat ini mendapatkan pelanggan?” Tanya Yura mencoba berdamai dari perang dingin yang baru saja terjadi.
“Dua bulan lalu, mungkin.”
“Untuk sementara aku akan bertanggung jawab atas marketing, kau boleh mengurus prosesnya jadi aku tidak perlu memarahi karyawanmu yang benci setengah mati padaku. Oke?”
Tawa Kwon Anna pecah, disusul dengan Yura yang juga merasa geli dengan ucapannya. Yura memang tidak banyak berubah, dia tetaplah gadis ambisius yang yakin kalau semua akan berhasil di bawah kendalinya. Namun Anna sendiri juga yakin, selama ada Yura, pekerjaan apapun akan selesai dengan sempurna. “Oke, kau memang yang terbaik, teman.”
Bagi seorang Park Yoo Ra sahabat dan pekerjaan itu urusan berbeda. Saat berdua saja boleh jadi mereka adalah sahabat sejati selamanya. Namun di hadapan karyawan, ia ingin menjadi sempurna, mengabaikan status sahabat demi kemajuan bersama. Semua pekerja di sini butuh makan kan? Termasuk dirinya dan Anna.
Paling tidak sekarang ia harus mendapatkan kembali pelanggan itu. Mereka membutuhkan pemasukan walau hanya sepeser dolar. Yah… bagaimanapun caranya, ia harus menyeret pelanggan itu kembali menggunakan jasa mereka. Semoga saja hidup merestuinya.
***
Sementara itu, di belahan bumi yang tidak jauh berbeda, Ong Seong Woo menggila. Jae Min yang tidak kuasa menyelesaikan masalah itu sendirian pun membawanya pada agency yang lebih berwenang. Dan begitu Jung Jae Min selesai menjelaskan semuanya, satu pukulan mendarat di pipi Seong Woo tanpa keraguan.
Ia hanya bisa diam, merasakan nyeri di pipi kirinya dalam keheningan. Hatinya terus berteriak bahwa ia pantas mendapatkan pukulan tidak bermartabat dari Direktur Baek Jin Sang. Napas pria itu terengah, mungkin satu pukulan lagi bisa mendarat di pipi Ong Seong Woo kalau Jae Min tidak menyela.
Seong Woo memang bersalah, tapi bagi Jung Jae Min, reaksi Direktur Baek terlalu berlebihan.
“Kau memang tidak berguna! Tanpa wajah tampanmu itu kau tidak berarti apapun di dunia hiburan! Aku sudah muak menutupi aibmu itu, kau pikir bisa apa kau tanpa attitude? Kau tidak lebih dari sampah yang ku pungut!”
Ong Seong Woo menautkan jemarinya. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap diam dan tidak membantah. Hatinya hancur, dan seketika ingatan akan kecelakaan t uterus muncul. Kala dunia seolah-olah mengangamatinya. Ketika alam semesta berubah menghakimi dirinya. Dia sendirian, terasa hampa bersama kucuran darah segar.
Malam itu menjadi malam terburuk dalam hidupnya. Ia bahkan belum berani berkendara lagi. Trauma itu begitu besar, sampai-sampai menghantui dirinya setiap saat. Mengerikan! Dan Seong Woo ingin melupakan semuanya.
“Dalam tiga bulan kalau masalahmu dengan Robin Group belum selesai, akan ku batalkan kontrakmu. Jangan pernah libatkan agency dengan scandal bodohmu itu, bocah tengik!” dan tanpa berniat memberi solusi, Direktur Baek berlalu menyisakan Jae Min dan Seong Woo di ruangannya yang dingin. Sangat dingin, sampai-sampai Seong Woo tidak bisa mengingat definisi dari kata dingin.
Untuk beberapa detik Seong Woo mematung di tempat. Nafasnya bergetar. Pandangan matanya kosong menatap lurus ke depan. Tanpa sadar, butir-butir bening membasahi pipinya. Menjamah wajah tampannya, menganiaya kantung mata miliknya. Lelaki tangguh itu seketika hancur, menjadi rapuh dan enggan menjalani hidup.
Selera humornya menhilang. Ia tidak memiliki lagi kemampuan untuk menertawakan kehidupan. Ia benci sengsara, ia tidak suka menderita, namun beginilah keadaannya sekarang. Dengan lembut, Jae Min menepuk-nepuk tengkuknya. Lelaki itu bahkan bepura-pura tidak melihat Seong Woo yang menangis dalam diam
Semua orang memerlukan pendewasaan, namun bukankah ini keterlaluan? Ong Seong Woo masih terlalu muda dan kekanakan bagi dirinya. “Ayo kita keluar, atau si tua itu menuduhmu mencuri uangnya.” Jae Min tersenyum tipis, berharap Seong Woo menimpali lawakannya kali ini.
Tetapi harapan Jae Min nampaknya terlalu berlebihan. Karena Seong Woo sama sekali tidak mengangkat kepala. Lelaki itu berubah, mengelabukan dunianya yang semula sangat berwarna.
***
Bulan semakin meninggi, menyisakan kota Seoul dengan berbagai kegaduhan bumi. Seong Woo sendiri hanya nyusuri trotoar tanpa memperhatikan kanan kiri. Lelaki itu berjalan lurus, menyelipkan kedua tangannya dalam saku jaket dengan pandangan yang tidak focus.
Kakinya melenggangkan langkah sempit. Mengabaikan semilir angin yang berusaha keras menyentuh permukaan kulit. Seong Woo tidak perduli! Saat ini telinganya dipenuhi ngaungan suara direktur Baek yang membuat hatinya teriris. Retinanya memutar-mutar retetan adegan siang tadi, seolah adegan itu sangat menarik.
Ia berjalan dan terus berjalan, melupakan arah dan tujuan. Ia bahkan sudah meninggalkan jiwanya, bersama akal sehat yang sudah tidak lagi berguna. Mabuk pun tidak diperlukan, karena ia sudah melayang-layang bahkan tanpa bantuan minuman keras. Dia sudah gila, melebihi sekumpulan manusia gila di dunia.
Dan lagi-lagi, di antara kekacauan hati seorang Seong Woo yang sedang ingin mencumbui hening, semestanya terpaksa di ambil alih oleh teriakan dari seorang gadis. Gadis yang tidak begitu asing, Seong Woo bahkan mengingat dengan jelas wajah gadis itu sejak pertemuan tidak sengaja tempo hari.
Itu dia, gadis kunci mobil. Dengan tubuh kecil yang linglung, gadis itu menunjuk-nunjuk dua lelaki berbadan besar yang asik menanggapi omong kosongnya. Sungguh, Seong Woo sama sekali tidak berniat membantu siapapun, tapi kenapa harus gadis itu? Dari sekian miliar juga perempuan di galasi bima sakti, kenapa juga harus gadis kunci mobil yang ia temui?
“Hya!! Aku bilang aku bisa menantangmu minum dua botol lagi! Aku ini peminum yang baik! Jadi tidak mungkin mabuk hanya karena segelas botol kecil, tahu!”
Dua lelaki itu terkekeh penuh arti. Beberapa kali mereka saling melempar kode sandi agar lekas membopong gadis mabuk ini. Seong Woo yang mengamati dari kejauhan masih bergeming, memastikan bahwa dua lelaki itu tidak berniat jahat apalagi sampai menculik.
Sudah cukup baginya terlibat dalam kehidupan Ahn Sarang yang rumit. Ia tidak mau, walau dipaksa sekalipun.
“Ku bilang jangan sentuh aku!!!” teriak gadis itu lagi, “Kalau kau terima tantanganku, maka aku memaafkan ulahmu! Bagaimana? Setuju?”
“Bagaimana kalau kita minum di rumahku?” usul salah satu lelaki itu berujar. Suaranya yang berat nan penuh nafsu itu terdengar jelas, bukan karena mereka berteriak, melainkan karena Seong Woo sudah berjalan mendekat.
“Di rumahmu? Memangnya kau punya rumah?”
“Tentu saja, atau kita pergi ke rumahmu?” sahut salah satunya menggoda.
Telinga Seong Woo memanas, dan dengan sangat amat terpaksa, ia harus kembali terlibat kedalam dunia seseorang. “Kau di sini rupanya, sayang. Aku hampir mencarimu ke seluruh kota.”
Kedua lelaki itu menoleh, tak terkecuali gadis kunci mobil yang memasang wajah kebingungan. Jangankan mereka, Seong Woo pun sebenarnya juga bingung dengan apa yang ia lakukan sekarang. Beberapa menit lalu dunianya berantakan, tapi sekarang justru berlagak menjadi pahlawan kemalaman.
“Hei, apa kau mengenalnya?” Tanya pria bertubuh gemuk—yang setelah Seong Woo dekati memiliki tato di daerah leher—itu dengan tatapan tidak suka. Ia seperti diganggu saat hendak menerkam mangsa.
“Eh? Sayang, apa mereka temanmu, kenapa kau tidak memperkenalkan mereka padaku?” Tanya Seong Woo sembari merengkuh gadis di sampingnya yang masih saja berlagak bingung. Seong Woo sendiri tidak habis pikir, memangnya apa yang dibingungkan oleh orang mabuk? Toh dia tidak akan mengingat kejadian ini besok pagi.
“Kau siapa?” gadis itu bertanya lirih, entah apapun yang ada dalam pikirannya yang jalas Seong Woo hanya bisa meringis. Ada dua pilihan, terus bersandiwara kemudian melarikan diri atau meninggalkan gadis ini dan menyelamatkan diri.
Dan yah.. karena Seong Woo berhati baik, ia pun memilih opsi terbaik. “He—he pacar saya ini kalau mabuk memang suka amnesia. Kalau begitu saya permisi dulu ya, lain kali akan saya pastikan dia memperkenalkan kalian, janji. Sampai ketemu lagi. Dahh..”
Tangan Seong Woo melambai dan menghentikan taxi yang melaju samar-samar. Bukan masalah mobil atau bukan, yang terpenting ia harus menyelamatkan dua nyawa sekarang. Siapa peduli dengan pobia? Dia hanya tidak ingin wajahnya terluka lebih banyak. Dua preman itu bisa-bisa menghajar dirinya kalau ketahuan memanipulasi keadaan.