Malam ini akan kukirimkan cahaya kunang – kunang
Ke sekitar jendela kamarmu
*****
Through The Night
April berada di atap rumahnya. Memandangi langit malam yang gelap. Lebih gelap dari biasanya karena mendung semakin tebal, bulan tidak bersinar, begitu pula dengan bintang. Sunyi, senyap. Dingin menggigit.
April mengacak – acak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian tadi sore. Ia menyesal. Dia menangis di hadapan Nata, menyeret cowok itu ke dalam masalahnya sendiri. Begitu bodoh. Bahkan belum genap sebulan ia mengenal Nata.
Tadi sore, ia menumpahkan segala masalahnya tanpa ia sadari. Ini semua karena bayangan itu. Sebenarnya siapa dia?
April menarik napas panjang.
Nata cowok yang baik.
Ah, April makin kalut dengan pikirannya sendiri. Jujur, selama ini ia baru jatuh cinta sekali, itupun berakhir mengenaskan. Ya, cinta pertamanya itu kembali berpacaran dengan mantannya. Dan kejadian tadi sore, Nata merengkuhnya ke dalam pelukan hangat cowok itu.
Aku tidak bisa menghadapi Nata.
Pandangannya mulai tidak terarah ketika telepon genggamnya berdering. April mencoba meraih handphonenya yang diletakkan tidak jauh dari tempatnya.
Siapa ini?
Ia meletakkan kembali teleponnya.
Tapi, bagaimana kalau itu Septi? Sahabatnya pasti akan mengamuk kalau ia tidak membalas pesannya. Tidak ada yang aneh, Septi memang hobi berganti – ganti nomor telepon. Entah apa alasannya. Ketika ditanya, gadis itu pasti punya alasan yang beragam.
Tidak ada sinyal kalau di rumahku.
Biaya sms dan internetnya ternyata mahal.
Kartunya kemarin kulepas, tidak sengaja kecebur air.
Setidaknya dua alasan pertama bisa diterima, tapi yang terakhir? Gadis itu benar – benar ceroboh.
April kembali memungut handphonenya. Tidak, ini bukan dari Septi. Ah, pria itu. Kenapa ia tetap nekat menghubunginya. Ya, Handi.
Hai April
Bagaimana April bisa tahu kalau itu dia? Ini mudah. Handi selalu mengawali pesannya dengan sapaan yang sama. Ah, April muak. Bukan sok tahu, tapi April terlalu peka untuk mengetahui sejak awal trik para pria yang ingin mendekati perempuan, dan ia tidak mau terlibat dalam permainan baru kali ini. Biar saja, April kembali meletakkan handphonenya.
Berdering lagi.
“Hei!” April spontan berteriak mendengar handphonenya berbunyi lagi. Kesal, ia hanya melirik tajam ke arah handphonenya. Tunggu, itu bukan dari Handi. Itu, Nata.
Kenapa Nata lagi? Tidak bisa dia sms besok saja?
April gugup. Ia menggigit ujung bibirnya. Balas, tidak, balas, tidak, balas? April hanya termenung. Tidak beberapa lama handphonenya berdering lagi. Beberapa pesan masuk.
April ragu – ragu meraih teleponnya, lalu membaca satu persatu pesan dari Nata. Baru beberapa detik saja, cowok itu sudah mengirim begitu banyak pesan.
Kamu dimana?
Apa kamu sudah merasa lebih baik?
Apa tidak terjadi apa – apa denganmu?
Kau aman?
Hei, kau bisa membalas pesanku?
Jawab aku, dimana kau? Aku akan kesana!
Apa kau di rumah? Ya, kau pasti di rumah, tunggu aku!
Nata, ada apa dengan cowok ini. April menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Tanpa sadar, ia terlalu tertekan dengan semua kejadian hari ini. Ia harusnya bisa lebih bersyukur. Sepanjang hari, merupakan nikmat Tuhan yang seharusnya tidak ia sia – siakan. Dan hujan di sepanjang hari ini juga. Hujan yang selalu disukainya, dirindukannya pada setiap malam di musim kemarau. Aroma petrichor bahkan masih bisa dirasakannya saat ini.
Hujan, sebenarnya tidak ada yang spesial dengannya. April selalu ingin ia bisa mengabadikan salah satu kenangannya bersama hujan. Dan membiarkan kenangan itu masuk kembali dalam lintasan memorinya suatu saat, ketika hujan kembali turun. Namun, hingga kini ia masih tidak memiliki memori apapun untuk dikenangnya bersama hujan. April tertegun.
Sekarang, sebelum sempat mengetik balasan untuk pesan dari Nata, suara cowok itu bahkan sudah terdengar. April berhalusinasi, suara Nata seperti terdengar jelas memanggil namanya. Semakin jelas.
“April, apa kamu mau bengong terus? Hei! Aku memanggilmu, di bawah sini!”
Nata benar – benar datang, ia tidak berhalusinasi. April serta – merta menoleh ke bawah. Cowok itu mengenakan celana pendek dengan kaus bermotif garis – garis hitam putih. Apa dia tidak merasa kedinginan? Suhu di luar rumah sangat dingin kali ini. April sendiri bahkan mengenakan celana dan kaos lengan panjang ditambah jaket abu – abu yang dibelinya kemarin.
“Naiklah.” April menjawab pendek. Telunjuk tangan kanannya bergerak menunjuk tempat tangga yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk sekarang.
Tanpa menunggu aba – aba lagi, Nata langsung naik. April yang tidak tega kemudian beranjak membantu memegangi tangga agar Nata tidak jatuh. Hampir sampai di atas, Nata meraih tangan April yang sudah siap diulurkan sejak tadi. Nata tersenyum.
“Kenapa di sini sendirian?” ucap Nata memulai pembicaraan. Hening sejenak. April mendongakkan kepalanya, menatap langit.
“Entahlah, kurasa aku butuh udara segar.” sahut April singkat. Nata hanya mengangguk. Sedetik kemudian Nata menoleh ke arah April, saat yang sama dimana April juga menoleh ke arahnya. Mereka bertatapan.
“Apa udaranya tidak terlalu dingin? Dan kamu sendirian. Kamu harusnya menghubungiku.”
April mengernyit. Alisnya dinaikkan sebelah.
“Bukankah harusnya aku yang menanyakan itu? Udaranya dingin dan kamu hanya memakai pakaian itu? Lihatlah dirimu? Setidaknya aku masih bisa mengurus diriku sendiri. Satu lagi, aku tidak sendirian, ini selalu menjadi teman terbaik.” April tidak melepaskan pandangannya dari Nata sambil menunjukkan handphonenya.
Nata mendengus kesal.
Apa kamu bisa pacaran dengan handphone?
Menyadari Nata hanya diam memandangnya, April segera menyadarkan cowok itu.
“Hei, kamu pasti berpikir apa yang bisa kulakukan dengan handphone, ya kan?” kata April dingin sambil menyikut lengan Nata.
Cowok itu masih diam. April kesal juga pada akhirnya. Ia kemudian membetulkan tatanan rambutnya yang diterpa angin malam. Rambut panjangnya yang ingin ia potong sejak beberapa hari lalu. Sejak kejadian – kejadian aneh belakangan ini. Konyolnya, April pikir rambutnya ini juga bisa membebaninya, sehingga jika memotongnya sedikit mungkin dapat memangkas beban hidupnya selama ini. April kembali menghirup udara malam yang dingin.
April berusaha mengambil ikat rambut yang ada di saku celananya. Ketika ia hendak mengikat rambutnya di belakang-persis seperti yang dilakukannya selama ini, tiba – tiba tangan itu melepaskan rambut yang digenggamnya sebelum sempat diikatkan.
“Hei!” April memekik, ia tahu itu pasti Nata, siapa lagi?
Nata hanya diam di tempatnya tanpa rasa bersalah, menatap April yang emosi. Cowok itu mendekat ke arah April. Membetulkan rambut belakang sang gadis dengan lembut.
“Biarkan rambutmu tergerai, angin tidak akan bisa menyentuh tengkukmu.” kata Nata ringan, sambil menatap ke langit, sama seperti yang dilakukan April beberapa saat yang lalu.
Kali ini April benar – benar kehabisan kata – kata. Ia hanya menatap ke arah cowok itu yang sekarang berbalik memandang langit. Tatapan gadis itu mulai menghangat. Bola mata cokelatnya menatap tulus ke arah cowok yang baru dikenalnya beberapa minggu itu-namun bisa sangat mengerti perasaannya.
Tanpa diduga, Nata berbalik dan menatap ke arahnya. Bola mata cokelat milik April dan bola mata biru milik cowok itu bertemu. Dalam keremangan cahaya malam, bola mata biru Nata seperti berkilau. Sinarnya membius April dalam keheningan beberapa saat. Cahaya birunya benar – benar indah. Sadar, April cepat mengarahkan pandangan ke depan.
“Bagaimana sekolahmu? Baik? Kita tidak sekelas jadi aku perlu menanyakannya,” ucap Nata sambil tersenyum melihat tingkah April yang tadi buru – buru mengalihkan perhatian.
April menyelipkan sebagian rambut di belakang telinga, tanpa menoleh lantas menjawab pertanyaan Nata.
“Apa urusanmu?”
“Bagaimana kamu bisa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Baik, sekarang beritahu aku. Apa aku perlu menanyakannya kepada orang lain? Bukankah kamu sendiri yang lebih tahu tentang hidupmu? Apa aku bahkan tidak tidak boleh tahu apa yang terjadi dengan hidup sahabatkku?” serentetan kalimat itu lolos tanpa permisi dari mulut Nata. Cowok itu sedikit menekankan suara ketika menyebut kata sahabat. April termangu.
“Sahabat?” sahut April, tanpa mengubah fokus pandangannya.
“Tentu saja. Kamu ingat, aku pernah bilang padamu kalau kita ini teman kecil. Ya, dulu aku yang sering mengikutimu. Waktu itu kamu memang benar.” Nata menjawab ringan. Tapi, nada suaranya semakin melemah. Ia seperti tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
Maaf April, aku bukan ingin membohongimu.
April mengangguk perlahan. Gadis itu tersenyum simpul. Kali ini ia terlihat lebih santai. April kemudian menautkan kedua tangannya lalu melakukan peregangan, tidak lupa menghirup oksigen sebanyak – banyaknya.
“Ya, hidupku mungkin tidak terlalu baik. Ah, jangan bahas itu lagi. Kurasa aku perlu oksigen lebih banyak. Selama ini kurasa aku kurang menikmatinya.” April kemudian memeluk kedua lututnya, sementara tanpa mereka sadari titik – titik air mulai jatuh lagi dari langit. Hujan yang keberapa kalinya dalam seharian ini.
“Aku tahu. Kamu harus banyak istirahat. Jangan lupa untuk terus berhati – hati. Kamu tahu, apa yang terlihat baik belum tentu baik.” Nata kemudian mengikuti gerakan April.
“Itu pepatah lama.” ledek April yang kemudian mengecek handphone yang sejak tadi digeletakkan begitu saja. Tidak ada notifikasi apapun. Aman.
“Hei, aku serius. Hindari berhubungan dengan laki – laki. Mereka tidak cukup baik untukmu.” tanpa disadari suara Nata mulai meninggi.
April mengernyitkan dahinya, sambil masih berfokus pada handphone, ia menjawab Nata tidak kalah emosinya,
“Lalu bagaimana dengan kamu? Apa kamu juga cukup baik?” mendengar ucapan April, Nata bingung. Apa yang harus dikatakannya?
“Maksudku bukan seperti itu, tapi.. April kumohon lakukan saja apa yang aku bilang. Aku tidak bisa menjelaskannya karena jika itu terjadi maka kamu akan,”
“Aku akan baik – baik saja.” April memotong perkataan Nata, gadis itu mengibaskan tangannya ke arah Nata yang duduk di sampingnya. Cukup.
“Ayo turun. Sebelum hujan turun lebih deras lagi.” April menarik tangan Nata. Ia akan turun duluan dan meminta Nata untuk memegangi tangganya. Nata tersenyum kecil.
Gadis ini, aku tahu dia tidak bisa benar – benar marah.
April turun dengan hati – hati. Ia sangat fokus dengan setiap langkahnya tanpa sadar Nata terus memandanginya.
April, hati – hati, sebelum semuanya terlambat, jauhi dia, kumohon..
Waktu, cepatlah berlalu, aku ingin gadis ini benar – benar menjadi bagian dariku, bagian dari kehidupan kami.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways