Seperti tulisan di atas pasir
Dimana gelombang akan menghapusnya
Aku merasa takut kehilanganmu
Seperti kau akan pergi ke tempat yang sangat jauh
*****
New, Fine
April mematut – matutkan diri di depan cermin. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, sebagian diselipkan di belakang telinga. Masih pukul enam lebih lima menit. Ia menyapukan sedikit bedak ke wajahnya. Sedikit lebih banyak lagi. Lingkaran hitam di matanya terlihat jelas. Dan jangan lupakan kantung mata. Sempurna. Mata panda yang sempurna, karena sejak kejadian lusa, ia tak bisa tidur dengan tenang.
“April, cepat sedikit. Waktunya sarapan!”
Ia menghela napas. Apa tidak ada yang mengerti bagaimana dirinya? Ini tidak adil. Apa ia terlalu egois hingga memikirkan kesedihannya sendiri? April, dia jelas – jelas tahu bahwa semua orang juga berduka, lantas kenapa ia berlarut – larut sementara setiap orang sudah memutuskan untuk meneruskan hidup dan mencari kesibukan?
“Aku tidak tahu jenis perasaan apa ini, tapi aku rindu. Bisakah ia mendengarku dari atas sana?”
Sekali lagi. Bulir – bulir air mata kembali jatuh. Cepat ia menyekanya.
“Ah, dandananku rusak.” rutuknya sendiri.
Beruntung matanya bisa diajak kompromi, karena sesering apapun ia menangis, matanya tidak akan membengkak. Jadi, ia bisa sedikit lega.
Ia kembali duduk di depan cermin. Menyeret sepatu lalu memakainya. April menatap lagi bayangannya di cermin. Kali ini lebih dalam.
“Namaku April. Apa semuanya akan baik – baik saja? Apa sekolah akan benar benar menyenangkan seperti kata orang – orang? Bisakah aku..”
*****
Tiga hari sebelumnya. Pukul tiga dini hari.
Seminggu yang lalu, takbir berkumandang di mana – mana. Hari Raya Idul Fitri. Tapi tidak semua orang mengalami masa yang indah. Kadang musim duka itu benar – benar harus datang. Tanpa bisa ditunda. Hari ini, masih dalam suasana Idul Fitri, tangisan memecah keheningan malam. Sesuatu yang ditunggu telah datang. Jadi, mereka tidak harus berjaga lagi sepanjang malam.
April cepat – cepat membuka matanya ketika keributan menyeruak. Ia mengucek matanya beberapa kali, memastikan dia sudah bangun terlebih dahulu. Ia sudah menata hatinya ketika melangkahkan kaki ke luar kamar dan mendapati pemandangan yang tidak asing, untuk beberapa minggu ini.
Dia terduduk. Hatinya mungkin sudah membeku. Bagaimana mungkin, ia bahkan tidak meneteskan air mata.
Sebenarnya tidak ada yang berubah. Kecuali wanita itu. Wanita yang ia sebut nenek, sudah terbaring tanpa nyawa.
“Aku pikir kita akan memiliki waktu lebih lama, tapi tidak,”
Fajar merekah.
Berita meninggalnya nenek sudah tersebar. Semua orang sibuk mempersiapkan segalanya. Pemakaman, makanan untuk kenduri nanti, sementara jasad neneknya masil terbujur di tempat tidur.
“Bagaimana bisa mereka memikirkan makanan ketika nenek meninggal?”
April tidak habis pikir. Ini tradisi katanya. Tapi tetap saja. Baginya, berpikir untuk meninggalkan tempat saja sudah berat, apalagi harus memikirkan hal yang lainnya. April tahu, ia masih remaja. Biarkan orang dewasa yang memikirkannya. Ya.
*****
“Saat itu hari Jum’at jadi pemakaman dipercepat.” ujarnya sambil memungut sebuah foto. Di situ, ia dan neneknya tersenyum manis.
“Nenek harusnya memberiku waktu yang lebih lama. Aku bahkan belum terlalu dewasa untuk bisa membahagiakan nenek. Aku ingin gaji pertamaku untuk nenek. Seharusnya aku merawat nenek dengan lebih baik. Bukan meninggalkan nenek untuk video tidak berguna itu!”
Prangg!!
Foto yang dipegangnya jatuh.
*****
“Ibu akan ke rumah nenekmu nanti dengan Zahra, Dinar, dan Putri. Mungkin ibu akan pulang malam karena menunggu acara Yasinan selesai. Kamu baik – baik di rumah.” Jelas sosok wanita setengah baya yang memandang ke arah April.
“Apa mereka tidak jadi sekolah, Bu? Dan apa Ayah juga akan ikut?”
“Bukan begitu, Ibu akan menjemput adik – adikmu setelah mereka pulang sekolah dan langsung menuju ke rumah nenek.”
“Ayah akan menyusul setelah pekerjaan di kantor selesai.” Ayahnya menimpali.
Ah, kenapa seperti ini. Di hari pertama sekolah, ia bahkan tidak tahu apakah harinya akan menyenangkan, dan kedua orangtuanya sudah berencana meninggalkan dia sendirian.
April mendengus.
“Baiklah.”
Sekarang dia sudah sampai di pelataran sekolah barunya. Tidak ada yang istimewa. Sementara sahabatnya, Septi, terus saja berceloteh sejak tadi, membuat telinganya semakin sakit.
“Cuacanya cerah sekali. Apa kau tahu, aku sangat berdebar – debar! Ah, apa nanti kita akan sekelas lagi?”
Sekelas lagi? Mereka sudah melewati hari bersama – sama selama 9 tahun terakhir, di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dan sekarang di SMA? Astaga...
“Hei, bisa kamu diam sebentar? Kamu makan apa sih tadi pagi? Sarapan pisang lagi?” ledek April.
“Ya, kamu meledekku seolah – olah aku ini burung.”
April tergelak. Sementara Septi mengerucutkan bibirnya.
“Kau seperti burung Kutilang.” ledeknya lagi.
“Kalau iya memangnya kenapa? Tapi aku lebih suka burung Nuri. Satu lagi, aku tidak makan pisang pagi ini, menunya ganti. Aku makan pepaya!” Septi menyibakkan rambutnya dan mengedipkan matanya. Genit.
Kedua sahabat itu tertawa keras. Tanpa mereka sadari orang – orang mulai memandang tajam ke arah keduanya.
Masa Orientasi Peserta Didik Baru atau yang biasa dikenal dengan MOPDB dimulai. April duduk di kelas X IPA 1, bersama seorang temannya sedangkan Septi mendapatkan kelas X IPA 5. Mungkin keadaannya akan lebih baik jika pihak sekolah mencoba untuk lebih kreatif dalam penyelenggaraan kegiatan membosankan ini.
April baru saja hendak keluar kelas untuk upacara ketika satu – satunya teman yang dikenalnya-untuk saat ini- menabraknya, lalu pergi. Ia memungut topi bolanya yang jatuh, lalu memasangkannya kembali. Konyol. Tapi ada yang lebih penting. Temannya tadi. Temannya pergi begitu saja, bergabung dengan deretan anak – anak hits-begitu mereka disebut-tanpa menengok sedikitpun ke arahnya. Lalu, bisakah April beradaptasi, tanpa seorangpun disisinya?
Pukul sepuluh pagi.
Serangkaian kegiatan MOPDB belum juga usai. April menghela napas panjang. Ia mencoba menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. April masih tidak menemukan cara bagaimana berkenalan dengan teman barunya. Dia sedang berjalan, pandangannya ditundukkan ke bawah ketika seorang perempuan memanggilnya. Itu Septi! Tapi, siapa yang di sebelahnya? Apakah secepat itu Septi bisa beradaptasi?
“Hai.” sapanya lesu pada Septi.
“Hei, ada apa denganmu?” kedua tangan Septi memegang pipinya.
April hanya diam, lalu memaksakan diri untuk tersenyum.
Benar, tidak apa – apa Septi. Aku hanya malu untuk mengatakan jika aku belum berani berkenalan dengan teman – teman, gumamnya.
“Baiklah, aku mau ke kantin dulu. Oh, ini teman baruku, Dini.”
Ya, nikmati waktumu Septi.
Setelah pertemuan tak disengajanya dengan Septi, April masih terus berjalan. Cuacanya memang cerah. Angin berhembus menerpa tengkuknya. Sejuk. Beberapa siswa duduk – duduk di bangku teras kelas, termasuk Ningrum. April bergegas mendekatinya.
“Hai, Rum.”
“Ah, April, bagaimana harimu?” sahut Ningrum sambil mengacak – acak rambut April.
“Kamu tidak berubah, ya! Sudahlah!”
Andai saja ia sekelas dengan Ningrum. Mungkin semuanya terasa lebih mudah.
“Jangan bengong,” Ningrum mengagetkan April dengan menepuk pundaknya.
April masih diam.
“Kamu belum dapat teman baru? Ah, sudah kuduga.” Ningrum melanjutkan dengan mengeluarkan ‘Evil Smile’-nya.
Apa kamu bisa baca pikiran, Rum?
“Ah, sudahlah. Lupakan. Oh, ya, kudengar kamu sekelas dengan cowok tampan. Kamu tau, dia tampan sekali April! Kamu sudah berkenalan dengannya?” Ningrum memberondong April dengan serentetan pertanyaan yang sama sekali tidak dimengerti gadis itu.
“Siapa maksudmu? Entahlah, aku tidak mengenal siapapun,”
“Ayolah April, kamu harus bisa move on. Dia sangat tampan. Sungguh. Kamu akan menyesal kalau tidak berkenalan dengannya.”
April melirik jam berwarna pink yang ada di tangan kanannya.
“Aku benar – benar akan menyesal kalau aku terlambat. Bye!” April bergegas beranjak meninggalkan Ningrum yang masih terpaku di tempatnya.
“Hei, namanya Dana, Dana! Ingat baik – baik!” teriak Ningrum pada April yang belum jauh melangkah.
Dana? Namanya seperti tidak asing.
Langkah April terhenti. Kepalanya mendadak pusing. Sekelebatan bayangan kejadian muncul di kepalanya. Tidak jelas. Kebanyakan hanya siluet, dan sangat cepat. Ia seperti berada dalam lintasan waktu. April terduduk. Lemas.
Dana? Apa aku pernah mengenalnya sebelumnya?
*****
Siang ini udara tidak begitu panas. Matahari sepertinya sedang pengertian dengan membiarkan awan menutupi sebagian sinarnya. Matahari sedang ramah kepada April yang berjalan sendirian melewati taman dengan wajah lesu. Septi masih asyik dengan teman – teman barunya.
“Aku akan pulang nanti, kamu duluan saja. Hati – hati!” ujar Septi sambil melambaikan tangan padanya tadi.
Tunggu, apakah Septi juga sudah melupakanku?
Tidak, April membuang pemikiran itu jauh – jauh dari benaknya. Sebentar – sebentar ia membetulkan posisi tasnya yang miring.
“Hari ini sangat cerah, lihat pasangan itu! Ah..” April menggumam sendirian. Tanpa sadar kakinya tersandung batu. Ia tersungkur ke bawah. Tapi tidak ada seorangpun di sana. Perlahan ia bangkit sendiri. Menahan rasa malu. Besar kemungkinan pasangan di sini melihat ke arahnya dan menertawainya kan? Ia membersihkan debu yang menempel di lengan dan kakinya, kemudian mengambil tasnya yang ikut jatuh.
Tapi, apa itu yang ada di balik pohon? April mengucek matanya, memastikan apa yang dilihatnya itu benar. Jelas. Sangat jelas. Ia kemudian bergegas bangkit dan pergi dari tempat itu.
Ini tidak aman, pikirnya. Di balik pohon tadi, sosok bayangan tinggi berjubah hitam berdiri, seperti menguntit. Bayangan itu mulai mengikuti April beberapa bulan ini. Tapi, ia pikir bayangan itu sudah lelah karena beberapa hari ini April tidak melihatnya. Namun, sekarang bayangan itu muncul lagi. Bahkan, April merasa kalau kali ini lebih serius. Lebih dari sekedar mengikuti.
Bayangan itu bukan hanya ingin menguntitku.
April merasa ada yang semakin tidak beres. Bayangan itu, menginginkan sesuatu darinya, tapi apa? Ia hanya remaja biasa yang bahkan masih minta uang jajan ke orangtuanya. Apa ada yang istimewa dari dirinya?
Tidak lama, April sudah tiba di depan rumahnya. Kemampuannya untuk berlari boleh juga. Ia berhenti, mengatur napasnya. Ia menengok kanan dan kiri, kalau – kalau bayangan itu mengikutinya. Tidak ada. Syukurlah.
Seperti dugaannya, suasana sepi. Tidak ada orang yang berlalu – lalang. Tidak usah ditanya, orangtuanya pasti belum pulang. Walaupun mustahil, tapi April harap orangtuanya bisa pulang lebih awal. Iseng, tanpa memasukkan kunci, ia memutar gagang pintu.
Klik
Pintunya bisa terbuka. Mendadak rasa takut menyergap. Benarkah ibunya yang ada di dalam rumah, atau orang lain? Jangan – jangan bayangan itu?
April tidak serta – merta masuk ke dalam rumah. Ia mundur beberapa langkah. Untuk memastikan, dia menelpon ibunya. Tersambung.
“Halo? April?” terdengar suara dari seberang.
“Ya, apa Ibu sudah pulang? Ibu jawab aku?!” sahutnya gugup.
“Kamu kenapa? Ibu masih di rumah nenekmu, tadi ibu, kan sudah memberitahumu,”
“Ah, ya, Ibu, baiklah. Aku sayang ibu.” jawabnya memotong ucapan ibunya.
Setelah menutup telepon secara sepihak, April gamang.
Apa aku harus masuk?
Dengan perasaan gugup-bercampur takut-yang sama, April memberanikan diri untuk masuk ke dalam rumahnya. Tanpa ia sadari keringat dingin membanjiri pelipisnya. Aneh, padahal ini rumahnya sendiri.
Gelap. Itu yang pertama dirasakannya. Mendadak, ada suara derap langkah. Suaranya semakin mendekat. April membeku.
Apa aku akan mati kali ini?
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways